Saturday, January 21, 2012

Attraversiamo !

Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.


Let’s cross over, mari menyeberang (attraversiamo!). Itu adalah kata (bahasa
Italia) yang dipilih Liz (diperankan Julia Roberts) sebagai identitasnya dalam
‘Eat, Pray, Love’, film yang diangkat ke layar perak dari novel Elizabeth
Gilbert. Novel ini semacam memoir pengarangnya sendiri. Untuk berhasil dalam
hidup (yang artinya hidup penuh makna) de facto manusia menjalaninya dalam
proses pencarian jatidiri (identitas) dalam situasi paradoksal (semacam
tegangan) antara kepastian dan ketidakjelasan (situasi samar-samar). Dan modal
utama untuk memenuhi panggilan hidup itu adalah keberanian berlayar menyeberang.

Ada apa di seberang? Belum tahu persis, tapi akan kita beritahu setelah nanti
tiba di seberang! Adventurous.

***

Tantangan terbesar ekonomi internasional kita tahun ini adalah defisit dagang

dengan Chinayangkian lebar. Awal 2011 ini, genap setahun pelaksanaan pasar
bebas ASEAN-China alias ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA). Hasilnya,
serbuan barang impor terutama dari China membanjiri pasar domestik kita.Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat, periodeJan-Nov 2010, neraca perdagangan sektor
non-migas Indonesia dengan China defisit US$ 5,32 miliar (Tahun 2009 minusUS$
4,29 miliar). Defisit dengan China saat ini adalahyang terbesar dibandingkan
relasi dagang bilateral kita dengan negara-negara lain.

Defisitnya neraca dagang dengan China membuktikan industri lokal belum mampu
bersaing dipasar bebas. Walau kualitas produk Indonesia lebih baik ketimbang
produk China, tapidi ujung kerucut yakni faktor harga yg murah telah membuat
produk China lebih kuatmerajai lapak.China Incsanga piawai mengekspor barang
jadi,

sementara kita masih mengekspor barang mentah. Makanya, demi mengurangi defisit
dagang dengan China, kita mesti mendongkrak daya saing produk lokal dengan lebih

banyak mengekspor barang jadi dan setengah jadi dengan harga kompetitif.

High cost economy jelas musuh nomor satu. Akarnya adalah praktek pungutan
liar dan korupsi yang endemik, pelayanan publik buruk serta patahnya kepastian
hukum. Ongkos logistik menggila, Indonesia mutlak butuh infrastruktur
transportasi (barang dan orang) agar arus pergerakannya lebih efektif dan
efisien. Ujungnya, supaya pasar Indonesia tak roboh diserbu produk China,
pemerintah mesti turun tangan mengefektifkan perlindungan pasar dalam negeri,
paling tidak untuk sementara waktu. Tak ada pilihan lain,segeralah dongkrak daya

saing industri lokal agar tidak kian tergilas dalam era AC-FTA. Sebab bukan
hanya

dengan China, perdagangan Indonesia juga defisit terhadap sejumlah negara ASEAN.

Dengan Thailand (periodeJan-Nov2010) neraca dagang kita minusUS$ 3,12
miliar,dengan Singapura minusUS$ 460 juta.

***

Sementara itu fenomena tekanan kenaikan harga pangan di dalam negeri telah
membuat ketar-ketir segenap apparatus negara (yang masih peduli). Soal perut
(hirarki kebutuhan dasar Maslow lapis pertama) memang cukup membuat pening
kepala. Menurut Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu(Kontan, 5 Jan 2011), ada

tiga problema yang jadi pemicu lonjakan harga pangan. Pertama, tekanan kenaikan
harga komoditi pangan internasional terhadap harga di pasar lokal. Kedua,
anomali cuaca yang terjadi sepanjang tahun 2010 sehingga mengganggu produksi.
Akibatnya, pasokan ke masyarakat juga terhambat. Ketiga, distribusi bahan pangan

terganggu akibat kondisi cuaca yang tidak menentu. Menteri Pangestu menambahkan,

masalah kenaikan harga komoditi pangan adalah fenomena global yang tidak hanya
dialami Indonesia saja.

Yang janggal adalah dari ketiga faktor penyebab yang dilansir pemerintah
semuanya lantaran faktor eksternal (pasar internasional, dan cuaca yang
mengganggu produksi serta distribusi pangan). Blame it on the rain! (salahkan
hujan/cuaca). Sayang, dari gesture ini tak terdeteksi sikap determinasi diri
yang mature dan bertanggungjawab.

***

Belajar dari studi yang dilakukan Ian Bremmer (bukunya: The End of The Free
Market: Who Wins the War Between States and Corporations?, 2010) perlunya
pemerintah negara berkembang menggenjot instrumen ekonominya (mis: BUMN) untuk
jadi alat kapitalis negara (state-capitalism) yang efektif membela kepentingan
politik suatu bangsa. Ujar Bremmer, “In this system, governments use various
kinds of state-owned companies to manage the exploitation of resources that they

consider the state’s crown jewels and to create and maintain large numbers of
jobs. They use select privately owned companies to dominate certain economic
sectors. They use so-called sovereign wealth funds to invest their extra cash in

ways that maximize the state’s profits.” Dan dalam tiga kasus itu, “the ultimate

motive is not economic (maximizing growth) but political (maximizing the state’s

power and the leadership’s chances of survival)”. Ini adalah bentuk dari sistem
kapitalisme juga, namun dimana negara justru bertindak sebagai pelaku ekonomi
yang dominan serta memanfaatkan pasar terutama demi kepentingan politis bangsa.

Jalan pembenahan pelbagai instrumen ekonomi kita memang masih panjang dan
berliku (dari sisi model-bisnis, profesionalisme, efektivitas dan efisiensi
manajemen, maupun dari kemauan politik yang ada). Namun bukan berarti kita bakal

diam dan berputar dalam lingkaran setan (sambil terus menyalahkan cuaca, blame
it on the rain!). Identitas negara-bangsa (dengan perasaan bangganya) semakin
tergerus oleh derasnya gesekan gerak globalisasi. Marilah ambil sikap berani
menyeberang dari situasi stale-mate ini. Ada resiko memang, namun berlayarlah
juga. Attraversiamo!

(Artikel terlampir, dari Majalah MARKETING edisi Feb.2011)

No comments:

Post a Comment

Related Posts