Saturday, January 21, 2012

IJ Kasimo, Jawa yang Mengindonesia

Oleh: ST. Sularto

Siapakah Kasimo? Kecuali diingat sambil tertunduk hormat saat menyebut nama itu, orang spontan teringat pada sosok yang senantiasa tersenyum lebar, berbadan kekar, biasa berpakaian Jawa tradisional lengkap, pendiri dan Ketua Partai Katolik (1924-1960), penganut Katolik yang religius, politisi yang tidak gegap gempita revolusioner, terjun ke bidang politik sebagai pengabdian untuk rakyat dengan penuh pengorbanan diri.

Siapa lagi Kasimo? Dari sekian buku yang terserak terkait dengan Kasimo, terbaru mungkin buku Gerry van Klinken, Minoritas, Modernity and the Emerging Nation: Christian in Indonesia, KITLV, 2003. Buku itu diindonesiakan dengan judul 5 Pengaruh Bangsa yang Terlupa Nasionalisme Minoritas Kristen, LkiS, terbit beberapa minggu lalu.

Gerry, yang belakangan ini dikenal sebagai salah satu indonesianis, menemukan tesis penting yang menyebutkan keterlibatan kaum minoritas Kristen dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Selain Kasimo dan Albertus Soegijopranata SJ dari Jawa, juga Toedoeng Soetan Goenoeng Moelia dan Amir Syarifuddin dari Sumatera, serta Ratu Langie dari Sulawesi. Berangkat dari latar belakang yang berbeda-beda, dengan cara masing-masing, kelimanya memiliki jasa besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Mereka berlima menempuh cara tidak populer di kalangan nasionalis, ditegaskan oleh Adnan Buyung Nasution sebagai kompromistis, tetapi berjuang lewat birokrasi dan parlemen. Kasimo, Moelia, dan Ratu Langie berjuang lewat parlemen Volksraad.

Soegiyapranata lewat institusi Gereja Katolik, dan barangkali dari mereka berlima tergolong radikal dan terlibat langsung dengan gerakan nasionalis popular hanya Amir Syarifuddin.

Penelitian Klinken menyentakkan kealpaan kita akan sumbangan dan darma bakti kaum minoritas dalam perjuangan Indonesia Merdeka. Memang sejarah kepahlawanan tidak lagi didominasi kaum militer, tetapi masih perlu diketengahkan yang lain, di antaranya mengangkat keterlibatan tokoh-tokoh minoritas.

Oleh karena itu, kalau Indonesia sejak awalnya adalah majemuk dalam segala hal, apakah memang selama ini tidak ada pejuang atau pahlawan dari kelompok Hindu dan Buddha? Dalam konteks itu, Klinken menyibak kealpaan, bahwa sumbangan para pejuang dari semua agama dan latar belakang dalam Indonesia Merdeka adalah sama.

Gelar pahlawan nasional

Dua seminar tentang Kasimo dengan pembicara dan peserta berbeda-beda, 8 Oktober dan 12 Oktober, awalnya dimulai dengan pertanyaan, perlukah Kasimo memperoleh gelar pahlawan nasional? Semua panelis dan ditunjang beberapa peserta berpendapat sama, mendukung pencalonan Kasimo sebagai pahlawan nasional.

Menurut Bambang Purwanto, sebagai seorang menteri dan pejabat negara, nama Kasimo menguap dari panggung catatan sejarah Indonesia seiring dengan hilangnya kepercayaan negara terhadap pertanian sebagai sumber kemakmuran rakyat dan hilangnya kejujuran sebagai nilai dasar dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Hak kepahlawanan Kasimo bukan karena kekatolikannya, tetapi karena kemampuannya menghadirkan inspirasi kejujuran, keindonesiaan, dakeutuhan Indonesia.

Pahlawan muncul ketika realitas masa lalu bertransformasi dengan bagian dari sistem nilai dan budaya dalam masyarakat kekinian. Kasimo sudah dengan sendirinya adalah pahlawan dari sumbangsih yang diberikan mulai dari keterlibatannya di bidang politik sejak 1930-an, berbagai jabatan menteri yang disandangnya, bahkan sesudahnya. Dalam ranah bicara ini, ketika gelar pahlawan adalah representasi pengakuan publik, gelar-gelar kepahlawanan perlu, termasuk di antaranya Kasimo.

Dalam urusan kenegaraan, akal manusia (rasio) yang diutamakan, bukan semangat keagamaan. Karena itu, ujar Adnan Buyung Nasution, Kasimo menganggap agar hak orang berganti agama dijamin. “Kalau suatu kali saya menyakini bahwa Islam atau Buddha adalah yang benar, apakah saya tidak berhak memeluknya,” kata Kasimo, seperti dikutip oleh Buyung.

Pernyataan itu menggarisbawahi sumbangan Kasimo mendukung dimasukkannya butir-butir hak asasi manusia (HAM) dalam rancangan konstitusi. Di antaranya, dia menyerukan agar konstitusi secara tegas membedakan antara kebebasan beragama dan kebebasan berserikat. Kalau keduanya dicampur aduk, Kasimo khawatir kebebasan beragama bisa dihambat oleh dalil ketertiban umum.

Meskipun ditabalkan sebagai Bapak Politik Umat Katolik Indonesia, menurut Harry Tjan Silalahi, Daniel Dhakidae, dan Syafii Maarif, Kasimo membawa partainya menjadi nasional, tidak Katolik-sentris (sectarian) – meskipun memang partai gurem – tetapi berkat dia pada pemilu 1955 Partai Katolik memperoleh enam kursi di parlemen, padahal jumlah umat Katolik hanya 2,5 persen dari penduduk Indonesia.

Jakob Oetama dalam Tajuk rencana Kompas, 2 Agustus 1986, mengantar kepergian Kasimo, menulis “.the man of character, orang yang berwatak dengan gaya teguh pada prinsip. Luwes pada tindak-tanduk. Dengan pendidikan formal yang hanya setingkat SLTA (sekolah pertanian di Bogor), Kasimo berhasil mengisi seluruh usia dengan pengabdian yang tulus mulai dari guru, pegawai perkebunan, hingga sejumlah jabatan publik setingkat pejabat tinggi Negara yang semuanya tidak pernah mengubah kesederhanaan, kepekaan sosial, dan kejujuran.”

“Man of action”

Berkat pendidikan Barat itu, termasuk seperti yang diperoleh para politisi pergerakan lainnya, saat menjadi pejabat negara, Kasimo menarik garis tegas antara milikku dan milik negara. Tidak korup, meskipun mengibarkan “bendera Katolik”, dalam praksis politik ibarat apa yang di zaman kemudian dilakukan oleh partai-partai Kristen Demokrat di Eropa Barat dan Amerika Latin (teologi-teologi pembebasan).

Oleh karena itu, tidak lagi pengandaian, tetapi keyakinan, Farid Prawiranegara – anak keempat Syafruddin-yakin dalam keadaan sekarang pun Kasimo pasti tidak akan korup.

Melintas biografi politik mulai dari Perkumpulan Politik Katolik Djawa tahun 1923, kesertaan PPKD dalam Indische Katholieke Partij, Persatuan Politik Katolik Indonesia tahun 1925, ditunjuk jadi anggota Volksraad tahun 1931, Partai Katolik RI tahun 1945, semasa Indonesia merdeka hingga meninggalnya, orang menyayangkan sedikitnya warisan gagasan dan tindakan dalam bentuk tulisan.

Kasimo memang bukan seorang man of analysis dalam arti menuliskan gagasan dan visi politiknya. Dia seorang man of action, terjun langsung dengan praksis politik etis, sehabis-habisnya untuk rakyat, pluralis, pengorbanan, dan karena itu praksis politiknya bermartabat.

Mengacu pada tokoh-okoh besar Indonesia, Komaruddin Hidayat menyayangkan kurangnya pendidikan kewargaan untuk anak bangsa penerus negeri ini. Sampaikan secara terstruktur kelebihan dan kekuarangan mereka, dengan perspektif tokoh-tokoh pergerakan termasuk Kasimo sebagai bagian dari sarana belajar.

Mengutip Harry dan Asvi Warman Adam, Kasimo membawa kejawaannya menjadi Indonesia. Jawa mengindonesia. Bukan lagi Katolik di Indonesia, melainkan Katolik Indonesia.

Menjadi menarik, seperti dingatkan oleh Hasto Rosariyanto, bagaimana pengaruh lingkungan dalam masa-masa forming years menjelang terjun ke politik.

Disebut oleh Daniel Dhakiedae, perlunya menilik secara cermat titik-titik krusial pengabdian dan perjuangan Kasimo. Ajakan ini bisa dilihat dari hasil penelitian Klinken, bahwa selain diinspirasi Van Lith dan Rikevorsel serta aksi sosial Katolik karya JM Llovera tentang prinsip kebangsaan, yakni “setiap bangsa berhak membentuk sebuah negara merdeka”, juga dilandasi kesalehan religiusnya.

Kasimo bukan hanya milik keluarga, orang Jawa, atau orang Katolik, tetapi juga milik bangsa Indonesia. Dialah satu dari lima penggerak bangsa, menurut Gerry van Klinken, yang terlupa! [Kompas, 19/10/2010]

No comments:

Post a Comment

Related Posts