Saturday, January 21, 2012

Demokrasi Tiwul

Oleh: J Kristiadi

Selama lebih dari satu decade, rakyat Indonesia, dengan tertib dan penuh harap, melalui prosedur demokrasi, telah memilih belasan ribu elite politik yang menjanjikan kemakmuran dan keadilan. Namun, ekspektasi rakyat jauh dari kenyataan. Kehidupan rakyat semakin sulit dan berkubang kemiskinan. Tiwul maut yang merenggut nyawa enam orang, minggu lalu, hanyalah pucuk gunung es dari gemilang kepapaan masyarakat. Mereka terpaksa makan tiwul karena tidak mampu membeli makanan yang lebih bergizi. Hidup sejahtera hanya fatamorgana.

Kebijakan pengurangan jumlah rakyat miskin kadang-kadang hanya dilakukan dengan memperlunak definisi kemiskinan sehingga tidak mengurangi tingkat kemiskinan riil. Praktik demokrasi selama ini pantas disebut demokrasi tiwul. Tatanan kekuasaan tanpa “gizi” roh, peradaban, dan niat politik mulia. Demokrasi telah merusak demokrasi.

Demokrasi tiwul menghasilkan elite politik hidup berkelimpahan. Lebih-lebih kalau mereka sedang memburu, mempertahankan, atau memupuk kekuasaan. Uang mengalir dari sumber yang tidak jelas, tetapi tidak pernah kering. Dana selalu tersedia pada hamper setiap proses politik, terlebih dalam kontestasi politik.

Pemiskinan rakyat terus berlangsung karena meski elite politik bergelimang kemewahan, mereka miskin empati terhadap penderitaan rakyat, miskin komitmen terhadap janji-janji sendiri, miskin kepedulian terhadap keprihatinan masyarakat, miskin sensitivitas aspirasi masyarakat, serta rudin niat baik mengelola kekuasaan guna kepentingan rakyat.

Saraf kolektif dan nalar sehat mereka lumpuh terserang bakteri demokrasi tiwul beracun yang berwujud keentingan dan kenikmatan kekuasaan. Bangunan kekuasaan disesaki penghuni yang haus dan lapar kekuasaan. Struktur kekuasaan yang disebut demokratis justru membunuh rasa keadilan dan jauh dari upaya seriua mewujudkan kesejahteraan. Praktik politik tersebut akan membangun persepsi publik bahwa demokrasi bukan pahala, tetapi monster atau berhala politik yang harus dikutuk.

Kemelut di atas mungkin mirip praktik politik masa lalu di beberapa Negara Eropa dan Amerika Serikat. Konon di Inggris sekitar abad ke-18 dan ke-19, para menteri menyalahgunakan uang Negara untuk kepentingan pribadi dan politik yang dianggap sangat normal. Demikian pula janji-janji kampanye berlebihan dan ancaman terhadap pemilih dalam kontestasi politik dianggap lumrah saat itu. Bahkan, setelah terbitnya regulasi yang membatasi praktik buruk tersebut, Corrupt an Illegal Practice Prevention Act 1883, aksi sejenis terus berlangsung.

Di Amerika Serikat, kolusi dan nepotisme dalam membagi-bagi jabatan publik kepada para loyalis partai berurat berakar sampai awal abad ke-19. Baru setelah lahirnya regulasi yang mengharuskan prinsip meritokrasi dalam perekrutan pejabat publik, Pendleton Act 1885, praktik semacam itu menyurut. Berbagai kecuranggan dalam pemilu juga marak, termasuk mengubah imigran haram menjadi warga Negara instant yang mempunyai hak pilih. Pada kurun waktu itu korupsi dan kolusi di lembaga perwakilan sangat buruk.

Presiden Theodore Roosevelt pun mengeluhkan perilaku majelis yang secara terbuka menjual suara kepada kelompok pelobi. Mereka memandang karier dalam pemerintahan dan jabatan publik seperti burung nasar pemakan bangkai yang melihat domba mati. Namun, berkat kegigihan dan konsistensi rakyat di Negara-negara itu dalam membangun manajemen kekuasaan yang manusiawi, akhirnya rakyat menikmati kesejahteraan.

Bangsa Indonesia tidak boleh menyerah. Demokrasi tiwul bukan demokrasi. Meyelamatkan demokrasi hanya dapat dilakukan dengan lebih bersemangat membangun demokrasi. Bangsa Indonesia tidak boleh putus asa dan jangan meilih sistem pengelolaan kekuasaan yang dianggap lebih efektif, seperti otoritarian.

Jenis kekuasaan yang lalim pasti akan menyengsarakan rakyat. Jangan pula memilih opsi system kekuasaan yang mengandalkan supremasi primordialisme karena sangat mudah meicu konflik komunal dan bermuara kepada scenario perang saudara. Kunci menyelamatkan demokrasi adalah partisipasi politik rakyat. Inilah salah satu mata rantai yang putus (missing link) antara demokrasi dan kemiskinan. Partisipasi rakyat tak boleh berhenti setelah memberikan suara. Rakyat harus aktif mengawasi dan terlibat dalam proses politik terus menerus.

Demokrasi memang tak menjamin terwujudnya kemakmuran atau menghapus kemiskinan. Namun, demokrasi memberikan kebebasan kepada rakyat miskin untuk menjerit sekeras-kerasnya agar mendapatkan perhatian dari para pengambil kebijakan. Bahkan, rakyat sangat berhak membangun kekuatan politik untuk mengoreksi dan menekan pemegang kekuasaan agar kebijakkannya berkiblat pada kepentingan rakyat. Selain itu, memang diperlukan pula ketrampilan dan kemampuan rakyat dalam mengontrol kebijakan publik.

Faktor penyelamat lain yang sangat penting adalah kepemimpinan. Ketegasan, kejelasan, konsistensi, dan keberpihakan pemimpin kepada kepentingan rakyat mutlak diperlukan. Pemimpin harus mampu menyususn agenda prioritas, baik dalam mendorong terwujudnya tatanan kekuasaaan yang menghasilakn pemerintahan efektif mampu membangun ekonomi yang akan menjadi basis munculnya kelas menengah yang menopang demokrasi.

Terlebih dalam situasi yang mengarah kepada dinamika politik yang apokaliptik, membangun citra, politik uang dan transaksi politik harus ditinggalkan. Dukungan rakyat harus benar-benar dikelola untuk kepentingan rakyat. Hanya dengan berpedoman kepada kredo politik tersebut, scenario kiamat politik di depan mata dapat dihindari. (J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS, Kompas, 11/1/2011)

No comments:

Post a Comment

Related Posts