Saturday, January 21, 2012

Air Mata sebagai Mata Air

Oleh: Yudi Latif

Air mata itu mempunyai makna jamak. “Adalah kecerdikan buaya untuk melelehkan air mata sebelum memangsa,” tulis Francis Bacon. Di sisi lain, Perjanjian Lama menyebutkan, “Dalam kelimpahan kearifan banyak kesedihan, dan siapa yang bertambah ilmunya bertambah keharuannya.”

Air mata tidak selalu mencerminkan kecengengan infantile karena bisa juga memantulkan kekuatan batin dari kedalaman penghayatan. Bukankah para revolusioner, seperti Soekarno dan Che Guevara, adalah orang-orang yang mudah terharu? Jika air mata kecengengan menempatkan nestapa sendiri sebagai sumber keharuan, air mata kekuatan menempatkan nestapa orang lain sebagai sumber keharuan.

Air mata keharuan adalah air mata kekuatan ketika air mata itu mencurahkan kedalaman penghayatan pada penderitaan orang lain. Pada titik ini, air mata menjadi mata air yang mengalirkan energi hidup bagi yang lain. Ketulusan bara cinta kepada yang lain pada akhirnya akan berbalas air mata cinta di hati yang lain. Dalam suatu Dialog Pastoral dikatakan, “Love’s flames will shine in every tear.”

Lantas, makna apakah gerangan dibalik tetas air mata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Hari Agraria Nasional, Kamis pekan lalu? Bukankah Presiden juga pernah menyatakan keharuannya saat menerima delegasi korban Lumpur Lapindo? Cuma Presiden sendiri yang dapat mengerti maknanya.

Satu hal yang pasti, jeritan harapan keadilan Lumpur Lapindo itu masih belum kunjung terkabulkan. Sementara itu, selama pemerintahan SBY, otoritas Badan Pertanahan telah mengizinkan jutaan hektar tanah dikuasai oleh segelintir orang (terutama pemodal asing) yang kian meminggirkan akses rakyat kecil atas lahan. Apakah Presiden tidak menyadarinya?

Dengan kesenjangan yang lebar antara ekspresi keharuan dan ekspresi keadilan, tetes air mata Presiden itu belum sanggup meneteskan air mata rakyatnya. Tidak seperti empati keharuan Presiden Cile Sebastian Pinera dalam penyelamatan petambang yang membuat jutaan orang meneteskan air mata.

Alih-alih meneteskan air mata rakyatnya, yang mengemuka adalah gelombang demontrasi korban Lumpur yang tak berkesudahan. Tepat satu tahun masa bakti kabinet SBY jilid II, demontrasi ketidakpuasan rakyat kritis meluas: mulai dari Ibu Kota hingga di 24 kota lainnya di Tanah Air (Kompas, 21/10).

Wujud kepedulian Presiden untuk memenuhi keadilan rakyat memang terlalu berat untuk dipikul sendirian. Itu sebabnya, Presiden perlu didukung oleh tim kabinet cakap dan amanah, dan memiliki jiwa kenegarawanan. Dalam kunci pokok ke-9 dari sistem pemerintahan Negara menurut penjelasan UUD 1945 disebutkan: “Menteri-menteri Negara bukan Pegawai Negeri Biasa. Meskipun kedudukan Menteri Negara tergantung dari Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa oleh karena Menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (power excekutif) dalam praktik. Sebagai pemimpin Departemen, Menteri mengetahui seluk-beluk hal-hal yang mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu, Menteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik Negara yang mengenai kementriannya. Memang yang dimaksudkan ialah para Menteri bekerja bersama satu sama lain seerat-eratnya di bawah pimpinan Presiden.”

Oleh karena menteri-menteri itu bukanlah pegawai tinggi biasa, Presiden tidak boleh mengangkat dan memberhentikan menteri secara sembarangan. Mengangkat menteri secara tidak bertanggung jawab, dengan tidak memenuhi prasyarat kapabilitas, integritas, dan wawasan kenegarawanan yang memadai, merupakan pelanggaran tehadap jiwa konstitusi.

Dalam kaitan dengan ini, meskipun dalam manajemen pencitraan seleksi atas calon-calon menteri cabinet SBY jilid II itu dilakukan melalui mekanisme fit and proper test, dalam kenyataannya kabinet disesaki oleh menteri-menteri dengan kualitas rendah. Presiden lebih memilih orang-orang yang direstui oleh penguasa partai politik ketimbang orang yang memenuhi tuntutan konstitusi dan kewenangan presidensial.

Fitur kabinet yang dihasilkan bukan saja kabinet yang miskin pencapaian, melainkan juga kabinet yang lebih mengedepankan ekspektasi partai (penguasa partai) ketimbang memenuhi amanat hati nurani rakyat. Akibatnya, keharusan Presiden tidak bersambung dengan kepedulian pemerintahan: ekspresi kata tak tersambung dengan ekspresi perbuatan. Mata hati pemerintahan terbutakan oleh kepentingan sempit perseorangan dan golongan yang lambat laut membuatnya menjadi mati hati.

Dalam mati hati, air mata yang menetes bisa sekedar air mata buaya untuk mengelabuhi kesan sebelum pemerintahan “memangsa” rakyat sendiri oleh kerakusan, ketidakadilan ketidakpedulian, dan snobisme-elitisme.

“Jika engkau memiliki air mata, bersiaplah untuk menangis saat ini,” ujar Julius Caesar. Namun, bagi para pemimpin, sebaik-baiknya air mata adalah yang menjelma menjadi mata air belas kasih bagi penderitaan rakyatnya. Bagi mereka, sebaik-baiknya air mata adalah terpancar tulus dari relung hati dan membekas di hati rakyatnya yang membalasnya dengan air mata cinta. Marilah menangis dengan hati demi memberi negeri hujan kemakmuran! [Yudi Latif, Direktur Eksekutif Reform Instititte, Kompas, 19/10/2010]

---------

No comments:

Post a Comment

Related Posts