Sunday, January 22, 2012

Malaysia truly Indonesia!

Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.


“Bukan lautan, hanya kolam susu... Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat 
kayu dan batu jadi tanaman!”– Koes Plus.

“Nina bobok, ooh nina bobok… kalo tidak boobok digigit nyamuk!”– anonim.

***

Tentu kita perlu berkonsultasi dengan para ahli psikologi-sosial, apakah 
jenis lirik lagu Kolam Susu seperti ini termasuk alat hipnotis massa yang telah 
ikut andil meninabobokan bangsa sejak tahun 70an, atau malahan teks Koes Plus 
itulah yang terus mengingatkan – lantaran manusia senantiasa tergelincir dalam 
status kelupaannya – agar senantiasa kembali dalam keadaan sadar terhadap 
situasi eksistensialnya. Sehingga dengan demikian ia justru telah menjadi 
semacam kritik sosial, karena terus memberi komparasi ideal (das sollen) 
terhadap realitas de facto (das sein) yang ternyata detrimental.

Sedari kecil memang kita sudah diayun-ayun dengan syair lagu Nina Bobok yang 

struktur isinya terasa irrelevant, bahkan mungkin illogical. Karena – kalau 
dipikir-pikir – apa sih hubungannya antara tidur/tidak tidur dengan digigit 
nyamuk? Jangan-jangan pola asuh kita sejak dulu memang telah menanamkan bibit 
cara pikir yang selalu tidak relevan dan tidak logis saat berhadapan dengan 
realitas dan saat menafsirkannya? Wallahuallambishawab.

***

Diberitakan bahwa Malaysia tengah meluncurkan program ekonominya yang baru 

(Kompas, 22 Sept 2010). Program ini berambisi membawa Malaysia ‘going up to the 
next level’ untuk berdiri sejajar dengan negara-negara maju. Ukuran 
sederhananya, dari GDP perkapita – yang sekarang – sebesar US$ 6700 menjadi US$ 
15ribu di tahun 2020. Sebagai perspektif, GDP per kapita Indonesia saat ini ada 
di level US$2600an. Untuk merealisasi ambisi ini pemerintah Malaysia merekrut 
seorang eksekutif (mantan bos Malaysian Airlines), Idris Jala, yang diangkat 
menjadi pejabat setingkat menteri di kantor PM Najib Razak untuk memimpin 
program transformasi ekonomi Malaysia Incorporated ini.

Ada 131 proyek yang membutuhkan dana investasi sebesar US$ 444milyar. 
Kompilasi proyek berjangkawaktu 10 tahun ini meliputi: pengembangan jaringan 
internet, energi nuklir dan matahari, kereta cepat Malaysia-Singapura, 
pengembangan industri minyak dan gas, pertanian, pariwisata, jasa keuangan dan 
infrastruktur perkotaan.

Negara jiran ini berhasil “memaksa” dirinya sendiri keluar dari zona 
kenyamanan akibat keberhasilan program-program mantan PM Mahathir Mohammad yang 
legendaris itu. Model ekonomi Malaysia saat itu (bahkan sampai saat ini) adalah 
masih mengandalkan industri manufaktur. Pernyataan yang menarik dari Idris Jala, 

“Jika kita mempertahankan model ekonomi sekarang, kita akan terjebak dan akan 
kehilangan talenta yang kita butuhkan untuk mendukung pengembangan ekonomi.” 
Lalu pungkasnya, “Malaysia tidak akan membuang-buang waktu. Kami membutuhkan 
transformasi ekonomi yang utuh dan radikal!”

***

Di saat yang sama ada fenomena menarik, di harian yang sama dan tanggal 
yang sama (Kompas, 22 Sept 2010) ditampilkan iklan full-color dari Biro Hukum 
dan Humas Kementerian Pertanian Indonesia berjudul cetak tebal merah: “Jangan 
Panik, Pasokan Pangan Aman!” Dilengkapi foto seremonial kunjungan para menteri 
ke gudang Bulog. Isi pesannya ingin mengatakan bahwa masyarakat tidak usah takut 

kelaparan lantaran kekurangan pasokan pangan. Soal perut memang krusial, Abraham 

Maslow bilang penuhi dulu kebutuhan fisik baru bicara soal rasa aman (safety 
needs), dengan perut lapar orang bisa nekat menerabas apa saja. Di paragraf 
akhir iklan itu dikatakan, “Selain beras, papar Mentan, pasokan daging dan telur 

ayam juga surplus sampai akhir tahun. Sementara ketersediaan gula, daging sapi, 
bawang merah dan cabe cukup untuk memenuhi kebutuhan menjelang lebaran tahun 
ini. Atas dasar itu, Mentan meminta masyarakat tidak panik, ‘ketersediaan pangan 

kita aman. Bahkan surplus,’ tegasnya.”

Namun lucunya, headline di halaman terdepan harian yang sama itu 
mengabarkan, “Cuaca Ganggu Pertanian, target produksi tak terpenuhi,” intinya 
isi berita utama itu menyampaikan bahwa bakal terjadi kekurangan pasokan pangan 
gara-gara gagal panen. Solusinya tentu impor beberapa dari bahan-bahan pangan 
tersebut (misalnya beras, gula dan jagung). Sehari sebelumnya bahkan Kompas (21 
Sept 2010) telah mewartakan bahwa Mentan dan Menperdag memberi ijin impor Beras 
dan GKP (gula Kristal putih).

***

Tanpa tedeng aling-aling kita mesti mengakui bahwa dalam banyak aspek – 
utamanya aspek pengelolaan perekonomian, industri, pembangunan infrastruktur, 
pendidikan umum dan kesejahteraan masyarakatnya – Malaysia semakin jauh lebih 
unggul. Walau memang – dalam aspek kesenian dan warisan kebudayaan (secara 
historis) – Indonesia rasanya lebih berwarna. 

Selain perselisihan soal demarkasi, omelan dengan negara jiran ini lebih 
bernuansa pencaplokan properti budaya (warisan kesenian). Corak batik, lagu 
jadul, tarian daerah, makanan (resep) daerah adalah sebagian dari properti 
budaya Indonesia yang diganyang Malaysia.

Di luar konflik soal demarkasi, mungkin lebih ciamik kalau kita mesti 
saling berangkulan. Bangsa serumpun ini bisa saling belajar, bergaul dengan 
sopan dan terhormat. Di bidang ekonomi, infrastruktur, pendidikan dan 
profesionalisme aparat, jelas Indonesia mesti semakin menjadi seperti Malaysia. 
Belajar berpikir logis dan relevan. Dan soal cita rasa seni serta warisan 
kebudayaan, keindahan Indonesia memang tak bisa dipungkiri keunggulannya. Itu 
pun boleh pula dipelajari dan diserap oleh bangsa serumpun ini. Tak elok 
ribut-ribut soal kesenian Pak Cik, sila nikmati budaye Indonesia, sila jadikan 
Malaysia truly Indonesia.

(baca selengkapnya di artikel terlampir, dari Majalah MARKETING)

No comments:

Post a Comment

Related Posts