Friday, September 24, 2010

Melahirkan Peradaban Baru

Oleh: Andre Vincent Wenas

“Malam musim panas itu hangat. Bulan sedang purnama. Dengan muram Kaeso memandangi bayangannya – sesosok pincang yang berjalan di sepanjang jalan-jalan Palatine yang gelap dan sunyi.”– Bab VIII Bayang-bayang Scipio, novel Steven Saylor, ROMA: Kisah Epik dari Zaman Romawi Kuno, 2007.
***

Joe Rospars adalah seorang whizzkid, umur 28 tahun, baru-baru ini ia jadi key-note speaker di Personal Democracy Forum (PDF) di Barcelona. Dia bilang, “Internet lowers the barriers for people to participate in the political process.” Buat kita di Indonesia, demokrasi ala facebook telah membuktikan kedigdayaannya dalam kasus cicak vs buaya. Tatkala parlemen di Senayan dan pressure-groups lainnya impoten lantaran terkooptasi, maka segenap jamaah-fesbukiyah bersatu padu menggalang opini publik melawan kekuasaan yang semena-mena. Tsunami opini publik yang digalang itu sementara ini berhasil menggulung niatan kaum jahiliyah yang ingin merampok masa depan bangsa ini dengan konspirasi jahatnya.

Fenomena di atas tentu saja menarik. Selain dimungkinkannya seorang pemuda belia bisa berceloteh di fora internasional, pada kenyataannya ia pun fasih juga dalam menyampaikan pesannya. Arus komunikasi tidak lagi terlahangi tembok perbedaan usia. Pertukaran ide berada dalam jalur bebas hambatan (budaya, prasangka). Memang, dorongan kekuatan teknologi telah meruntuhkan banyak hambatan komunikasi yang irasional. Wacana komunikasi argumentatif antar-subyek seperti yang diadvokasi Juergen Habermas nampaknya mulai mendapatkan platform-nya. Atau dalam wacana Hegelian kita melihat gerak sejarah ke depan dalam proses dialektika (tesis-antitesis-sintesis) yang ‘mengalami percepatan’ lantaran di-booster teknologi informasi. Tiang pancang pembangunan negara global dari nalar-universal mulai ditancapkan.

Caveat buat kaum laggards yang telmi (telat mikir) demi memahami lebih dalam fenomena dunia-datar (Thomas Friedman, The World is Flat, 2005) ini. Kompresi dan ekstensi spatio-temporal telah mendorong perubahan, bukan sekedar aksidentalia bahkan sampai di tataran paradigmatik.
***

Mayetika, berasal dari kata ‘maieutikos’ (Yunani) yang berarti seseorang yang bertindak sebagai bidan yang membantu proses kelahiran. Istilah ini diadopsi Sokrates sebagai metodenya, yakni membantu proses kelahiran juga, tapi bukan kelahiran bayi melainkan kelahiran pengetahuan, kesadaran, ide. Dalam maieutike-techne Sokrates, dikatakan bahwa orang sudah punya pengetahuan, tetapi pengetahuan itu perlu dikeluarkan, dilahirkan. Sebagaimana proses kelahiran, inheren di dalamnya rasa sakit, perlunya kesabaran dan perjuangan (hidup-mati), pengorbanan.

Proses melahirkan peradaban baru yang compatible dengan paradigma jaman yang baru memang bisa juga dirasa menyakitkan bagi sementara golongan. Ada ketidak-relaan yang mewujud dalam bentuk resistensi, mulai dari yang sifatnya kasat-mata sampai yang klandestin. Namun pilihannya sudah jelas, to be or not to be…
***

Pandangan di atas bisa dikatakan agak Neo-futuris sebagai oposisi pandangan Dystopian yang sangat kritis terhadap teknologi (Anthony G. Wilhelm, Democracy in the Digital Age, 2000). Alvin Toffler, yang merupakan pentolan neo-futuris bersama John Naisbitt, Jim Ruben, Richard Groper dan Nicholas Negroponte, telah mengingatkan bahwa untuk menghindari terjadinya ‘gegar masa-depan’ dalam arti ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan kemajuan (teknologi), maka manusia seharusnya terus menerus memperbaiki dan berpikir ulang (rethinking) mengenai tujuan sosial yang disebutnya dengan ‘demokrasi antisipatoris’. “Dengan meluncurkan sebuah proses besar pembelajaran sosial – sebuah eksperimen dalam demokrasi antisipatoris di banyak negara sekaligus – kita dapat menghadang tikaman totalitarian,” demikian Toffler.

Di lain pihak, kita juga mesti mempertimbangkan pandangan Dystopian (tokohnya: Husserl, Heidegger, Thoreau, Arendt dan Barber) yang sangat kritis terhadap aplikasi teknologi. Seperti diurai oleh Heru Nugroho dalam pengantar terjemahan buku Anthony G. Wilhelm, “Bagi Heidegger inti dari teknologi adalah cara untuk mengungkapkan atau menjadi suatu cara berpikir mengenai alam sebagai suatu cadangan tetap, sebagai suatu sumber untuk dipulihkan, ditata dan dikontrol. Sedang Thoreau menyindir bahwa teknologi hanya bersifat menolong.
Namun Arendt menyesali hilangnya hubungan manusia karena pemusnahan ruang-ruang publik yang muncul secara bersama dalam rezim totalitarian (maksudnya rezim komunikasi modern). Dalam hal ini romantisme Arendt adalah ketika ia berfikir bahwa demokrasi politik yang ideal adalah model Yunani kuno. Sementara Barber melihat komunikasi politik bermedia dengan kecurigaan, sebab komunikasi politik di ruang cyber adalah sesuatu yang abstrak, tak berbentuk dan anonim sehingga mudah terjadi penyimpangan.”
***

Dalam retrospeksi, kita mungkin juga sedang melihat bayang-bayang kita sendiri, yang berjalan terpincang-pincang meniti rute-rute asing dalam jaman yang baru. Namun kalau saat ini kita masih selamat berdiri tegak di sini, maka tatapan ke masa depan seyogianya berlensa optimis. Lakukan yang terbaik, siap sedia setiap saat, soal kiamat itu bukan urusan kita.

No comments:

Post a Comment

Related Posts