Saturday, March 8, 2014

Efek Dwelling Time


Berdasarkan hasil survey kebijakan tarif operator pelabuhan maka :
  1. Tarif penumpukan, tarif LOLO di Lini I Pelabuhan dan di Lini II - TPS dan tarif progressive penumpukannya itu besaran tarifnya sama besar (tidak ada perbedaan) dan tidak boleh dibesarkan oleh Pengelola Lini II TPS karena dianggap melanggar kebijakan operator pelabuhan.
  2. Tarif bongkar muat itu untuk kapal asing dikenakan dollar atau untuk kapal yang dari pelabuhan luar negeri itu dikenakan dollar.
A. PRE-INPECTION TINGGI
Importir memang boleh dikatanan tidak akan berlama-lama di pelabuhan namun filosofi kepabeanan kita adalah sebagai berikut:

Inline image 1

Jika pre-inpection (pemeriksaan kepabeanan) itu tinggi maka post-inspection-nya rendah. Namun akibat pre-inspection tinggi maka container belum boleh atau belum dapat dikeluarkan dari Lini I Pelabuhan sehingga Dwelling Time naik.
B. PRE-INSPECTION RENDAH
Inline image 2
Sebalikanya jika pre-inspection itu rendah maka untuk mengimbanginya adalah post-inspection harus tinggi. Namun pada kondisi ini, fisik container sudah boleh keluar atau dipindahkan pada Lini II TPS sehingga Dwelling Time di Lini I Pelabuhan bisa turun.
Selanjutnya kondisi Post-Inspection dapat dilakukan di Lini II TPS yang ditunjuk.
Nah, pertanyaan mana yang cocok untuk Pelabuhan Tanjung Priok, apakah butir A atau Butir B.

PRO & CONS ANALYSIS
Baik Butir A dan Butir B adalah tujuan pemeriksaan pabean tercapai dan resiko keamanan negeri kita Indonesia ini terjaga, misalnya: ternyata di dalam container itu ada bahan baku untuk pembuatan bom, atau di dalam container itu ada daging yang mengandung virus kuku yang kalau kena otak kita maka dalam waktu satu jam, cairan di otak kita kering/ abis, atau di dalam container itu ada mobil yang diselundupkan maka kesemuanya dalam manajemen resiko harus menjadi perhatian utama.
Menimbang hal di atas ini maka anda jangan seenaknya nuding menyalahkan bahwa proses Bea Cukai lama.

Butir A yang dilakukan di Lini I Pelabuhan dapat dihindari dengan cara memperbanyak Importir kita menjadi MITA (Mitra Utama) Bea Cukai dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan Bea Cukai sehingga Pre-Inspection menjadi turun menjadi seperti model pada Butir B.
Dalam masa transisi maka Importir-Importir yang berhak ada di Lini I adalah Importir yang berstatus MITA. Sisanya harus di PLP (Peralihan Lahan Penumpukan) atau OB (OverBrengen) ke Lini II TPS.

BIAYA PLP/ OB
Jika sudah dianalisasi data tersebut di atas maka Biaya Haulage Truck untuk PLP/ OB dapat segera diketahui.
Dalam hal ini maka tinggal kebijakan pemerintah apakah ada subsidi dari pemerintah untuk biaya tersebut.
Saya pernah hitung rasionya bisa puluhan milyar rupiah, dan saya bisa salah dan mungkin ada dari teman-teman yang perhitungan lebih akurat dari perhitungan saya ini.
KOORDINASI PEMILIK BARANG YANG DIKUASAKAN DAN TRUK
Manajerial 3PL kita di Indonesia belum semua sadar atau me-mandatory-kan penggunaan sistem teknologi, kecuali mereka perusahaan asing atau perusahaan besar saja.
Pemerintah tidak bisa mencampuri manajerial dan kinerja 3PL ini kecuali menerbitkan suatu peraturan sebagaimana disebutkan di atas tadi.
Masalah lain mengenai kinerja pelabuhan khusus TPK (Terminal Petikemas) dan peranan Kantor OP (Otoritas Pelabuhan) yang mempengaruhi Dwelling Time maka dapat dibicarakan tersendiri.
--
Sumbang ide demi kemajuan logistik kepelabuhanan
Rudy Sangian

Sumber :
Milis APICS-ID

Travelling on the Ground as Slowly as Possible


Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.

"A good place to understand the present, and to ask questions about the future, is on the ground, travelling as slowly as possible." - Robert D. Kaplan, The Revenge Of Geography: What The Map Tells Us About Coming Conflicts And The Battle Against Fate, Random House, New York, 2013.

***

  Memahami realitas yang sedang terjadi, argumentasi Robert D. Kaplan, memang mesti membumi. Gambaran (grafis) yang sesungguhnya terjadi di suatu wilayah (geo) didekati secara lebih komprehensif lewat pemahaman geografi. Seluas dan selengkap mungkin unsur-unsur (sejarah, budaya, fisik, ekonomi, adat kebiasaan, statistik, dll) dari suatu kewilayahan diwacanakan (discourse) untuk dipahami lebih mendalam. Pelbagai alat analisa dikerahkan untuk membiarkan kenyataan muncul dan tergambar secara lebih utuh.

***

  Banyak pengamat ekonomi sudah memberi caveat bahwa pertumbuhan tahun ini bakal melemah, tergerus inflasi, memblenya kurs, ditambah bencana alam yang memporakporandakan infrastruktur, harta bahkan jiwa masyarakat. Belum lagi soal rentannya ketahanan pangan nasional lantaran hampir semua pangan pokok ditopang lewat importasi (beras, gula, jagung, terigu, garam, daging, kedelai, dll.).

  Secara sosial-politik tahun ini Indonesia masuk dalam kontestasi politik yang walaupun sangat gaduh namun tetap diragukan apakah bakal membawa perubahan signifikan ke arah masyarakat yang maju, adil dan makmur. Hiruk pikuk politik tanpa esensi, tanpa bobot mutu. Indonesia bakal jadi semacam panggung sandiwara besar dimana para aktor protagonis maupun antagonis unjuk kepiawaian. Namun setelah drama ini selesai semua kembali ke kehidupan yang itu-itu juga. Konstelasi mendasar seperti inilah yang mesti jadi pertimbangan para pelaku bisnis.

***

  Baru-baru ini tarif listrik naik hingga 65%. Kebijakan ini menyusul kenaikan upah buruh. Masyarakat bisnis pun berteriak. Namun di sisi lain, dilaporkan juga bahwa perbankan saat ini sedang berlomba memikat nasabah tajir di Indonesia! Indikasi bisnis wealth management yang tumbuh 15% - 20% jadi pemicunya.

  Laporan Credit Suisse, Global Wealth Databook 2013 menungkapkan Indonesia ada di urutan ke 22 untuk jumlah kaum superkaya. Adapun segmentasi pertumbuhannya: Mereka yang punya harta US$ 500 juta - US$ 1 miliar atau setara dengan Rp 6 triliun - Rp 12 triliun tumbuh sebesar 47,62%, sedangkan mereka yang punya lebih dari US$ 1 miliar naik 46,67%! Hartawan di range US$ 100 juta - US$ 500 juta naik sebesar 36,95%, kelompok  US$ 50 juta - US$ 100 juta naik sebanyak 32,60%, kelompok hartawan US$ 10 juta - US$ 50 juta naik 26,78%. Pendeknya, kelompok superkaya Indonesia tambah banyak, tak peduli politik sedang gaduh, KPK pontang-panting dan bencana alam di sana-sini. Nampaknya disparitas kesejahteraan dan keadilan sosial justru semakin menganga.

***

  Gunung Sinabung sudah 6 bulan erupsi. Pengungsian sudah berlangsung lama. Manado banjir besar melanda, menghancurkan infrastruktur, harta serta nyawa. Penderitaan rakyat di sana sudah tak terbilang sakitnya. Namun hingga saat artikel ini ditulis, tak kunjung pemerintah menetapkannya sebagai bencana nasional. Karena dengan status itu maka dana pusat bisa turun untuk menolong meringankan beban.

  Argumentasi BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), bahwa penanggung jawab penanggulangan bencana ada di pemerintah daerah setempat.  Kepala Humas BNPB Sutopo berujar, "Kita mengedepankan pemda. Ada hierarki dalam penanganan bencana dan kita tidak mau melangkahinya dan pemda adalah penanggung jawab utama." Tawaran BNPB nampaknya ditolak pemda setempat dengan alasan masih dapat dikendalikan oleh daerah. Padahal lewat BNPB dana tambahan yang bisa turun hampir Rp 21 miliar, dari Kementerian Kesehatan juga telah dianggarkan Rp 4 miliar.

  Lalu apa argumentasi pemda? Jawabannya nampaknya agak sumir. Wagub Sumut Erry Nuradi bilang, meskipun bencana letusan Gunung Sinabung tidak berstatus bencana nasional, namun pemerintah pusat senantiasa siap beri bantuan. Ia ingatkan, bahwa selama erupsi ini, pemda tidak pernah membiarkan pengungsi kekurangan makanan dan kebutuhan dasar lainnya.

  Wagub Sumut itu juga mengatakan bahwa penetapan status untuk masuk dalam kategori  bencana nasional harus memenuhi kriteria yaitu: a. Pemda tidak sanggup menangani, b. Korban jiwa mencapai jumlah tertentu, c. Dampak bencana mencakup beberapa wilayah kabupaten, kotamadya, atau lebih luas lagi, dan d. Pertimbangan untung dan rugi. Sebuah upaya penjelasan yang tidak menjelaskan apa-apa.

***

  Pemimpin bisnis, politik atau masyarakat memang mesti bisa mengartikulasikan realitas. Tidaklah mungkin menangkap sinyal getaran hati nurani penderitaan rakyat dari ketinggian menara gading. Metode sederhana blusukan yang dengan tulus dan jujur dijalankan pemimpin seperti Jokowi, Ahok, Risma, Ridwan Kamil, dan lain-lain nampaknya  pas.

  Seperti diingatkan Kaplan, bahwa "A good place to understand the present, and to ask questions about the future, is on the ground, travelling as slowly as possible."


(twitter@andrewenas)
------------------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING, edisi Februari 2014

STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Email: strategicmanagementservices@yahoo.com

Related Posts