Saturday, December 7, 2013

Dari Keiretsu ke Pertumbuhan Ekonomi



by Imam Budiraharjo

Dalam dunia bisnis di Jepang, ada satu istilah yang disebut dengan keiretsu (系列) atau perkongsian dalam bahasa Indonesianya. Secara umum, keiretsu terbagi 2 yaitu keiretsu horizontal dan keiretsu vertikal.

Keiretsu horizontal biasanya terpusat pada sebuah bank atau perusahaan dagang (trading company), yang fungsinya adalah meminjamkan uang atau menanam saham di perusahaan – perusahaan anggota keiretsu tersebut. Bank atau trading company sendiri memiliki kontrol dan fungsi pengawasaan atas perusahaan yang didanainya tersebut. 

Contohnya adalah Mitsubishi. Sentral dari grup bisnis ini dulunya adalah Mitsubishi Bank (sekarang dikenal dengan Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ), dengan anggota grup diantaranya adalah Mitsubishi Corporation, Mitsubishi Chemical, Mitsubishi Heavy Industry, Mitsubishi Materials, dan lain – lain.

Adapun struktur keiretsu vertikal sering digambarkan dengan piramida, dengan posisi puncaknya diisi oleh perusahaan pembuat produk yang merupakan hasil akhir dari seluruh transaksi yang terjadi di dalam struktur tadi. Dalam keiretsu Toyota atau Honda misalnya, maka produk yang dimaksud adalah kendaraan bermotor.

Pemasok utama dalam sistem keiretsu ini biasanya merupakan spin-off dari perusahaan utama pada awalnya, yang kemudian membentuk sub pemasok lagi pada tingkat di bawahnya. Sistem ini pada akhirnya akan membentuk suatu jaringan rantai pasok (supply chain) yang canggih yang bersifat jangka panjang, dan biasanya akan saling mengisi ketika salah satu rantainya tidak berfungsi atau kolaps karena sesuatu hal. Kasus kebakaran di pabrik Aisin Seiki di Kariya, Aichi, pada tanggal 1 Februari 1997 membuktikan kekuatan sistem keiretsu Toyota.

Pabrik Aisin Seiki yang mengalami kebakaran tersebut memproduksi P-Valve (proportioning valve) minyak rem, yang berfungsi mengontrol tekanan pada sistem rem belakang. Karena Toyota menganut prinsip JIT (Just In Time) dalam sistem produksinya, maka stok P-Valve adalah minimal, hanya mampu menyuplai produksi selama 4 jam. 

Kejadian ini diperkirakan akan memaksa Toyota untuk melakukan stop produksi selama berminggu-minggu karena Aisin adalah pemasok dari 99% suku cadang tersebut. Ketika pabrik Aisin terbakar, manajemen Aisin langsung buat crisis center dan melaporkan segala sesuatunya ke Toyota. Ini juga semacam kewajiban buat Aisin, karena Toyota adalah pemilik 23% sahamnya. 

Begitu Toyota mendapat laporan, mereka langsung mengerahkan sekitar 400 orang insinyur untuk mem-back up Aisin. Setelah melakukan analisis perencanaan produksi dan kebutuhan logistik, mereka kemudian meminta pemasok utama untuk membuat P-Valve. Dan ternyata pelaksanaannya tidak mudah karena ada sekitar 200 tipe P-Valve dengan tingkat kerumitan desain yang tinggi. 

Hal ini menuntut banyak modifikasi pada tool, mesin, jig, gauge, cutter, dll. Mendengar informasi kesulitan ini, akhirnya suplier yang lain nimbrung tanpa diminta. Dan akhirnya Toyota dapat berproduksi kembali pada tanggal 5 Februari 1997, tepat 5 hari setelah kebakaran terjadi.

Yang sangat fenomenal dari gotong royongnya para supplier Toyota untuk membuat P-valve adalah bahwa mereka sama sekali belum pernah membuat komponen tersebut. Berdasarkan drawing yang didapat baik dari pihak Aisin maupun Toyota, mereka membuat sendiri tooling maupun jig untuk produksi barang tersebut. 

Hebatnya lagi, setelah recovery suplai komponen itu sudah berjalan lancar, para “pemasok darurat” tersebut tidak meminta kepada Aisin maupun Toyota untuk melakukan kompensasi atas jam lembur, upaya engineering maupun alokasi sumber daya yang sudah dikerahkan untuk memproduksi barang yang bukan spesialisasinya itu. Tapi Toyota dan Aisin memutuskan memberikan apreasiasi atas mereka, yang totalnya mencapai sekitar $100 juta.

Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa bisa demikian? Laporan Wall Street Journal di awal Mei 1997 tentang recovery pasokan logistik Toyota akibat kebakaran Aisin menampilkan komentar beberapa pemasok Toyota. Keseluruhan komentar menyimpulkan satu hal bahwa mereka tidak memikirkan soal kompensasi dan kontrak (purchasing agreement), karena kondisinya darurat. 

Keterikatan inilah yang jadi kunci kekuatan keiretsu Toyota, hasil dari sebuah proses panjang hubungan customer-supplier yang dibina selama puluhan tahun. Hal ini berhasil karena memang ada role model-nya, yaitu Toyota itu sendiri, dengan sistem produksinya yang efisien.

Kejadian ini sangat menarik seluruh kalangan akademisi maupun praktisi manajemen, khususnya manajemen logistik, sehingga analisis kekuatan sistem keiretsu saat peristiwa Aisin ini bahkan sampai masuk ke jurnal manajemen sekolah bisnis MIT, Sloan Management Review.

Fenomena keiretsu Toyota ini menarik untuk dikaji karena ritme arus logistik di-drive oleh satu konsep produksi yang disebut JIT (Just In Time). Secara mudahnya, JIT dipahami sebagai memproses barang yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam jumlah yang tepat (the right material, at the right time, and in the exact amount)

Konsep ini secara ideal akan memangkas habis-habisan stok atau inventory pada level yang sangat minim sehingga masalah yang timbul akibat stok berlebih dapat diketahui dan dikontrol dengan baik. Kelebihan stok sering diibaratkan sebagai level air pada suatu danau atau laut. 

Bila level airnya tinggi, maka batu maupun rongsokan yang mengendap tidak terlihat sehingga  bisa menyebabkan perahu kandas karena menabraknya. Sebaliknya, dengan semakin rendah level air maka yang tersembunyi di dalam air akan menyembul sedikit demi sedikit sehingga dapat diambil antisipasi untuk melewati hambatan tadi. Pada prinsipnya, stok tidak dianggap sebagai sebagai aset, sehingga menyimpan stok yang tidak sesuai dengan tarikan produksi sama saja dengan pemborosan (muda atau waste).

JIT sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari implementasi sistem tarik (pull system), dimana lini akhir perakitan akan menarik komponen – komponen dari lini produksi sebelumnya. Dalam sistem ini, jumlah produksi ditentukan oleh tingkat permintaan pasar atau konsumen (market driven)

Dari analisis pemasaran, selera konsumen sendiri sudah mengalami pergeseran hingga pada tingkat dimana mereka menghendaki banyak variasi pada suatu produk. Kondisi ini akan memaksa produsen membuat barang dalam satuan produksi (lot) yang kecil untuk mengakomodasi berbagai varian di dalamnya. Akibatnya, pasokan komponen tidak dilakukan dalam jumlah besar (large batch), tapi dalam lot yang kecil dengan frekuensi pengiriman yang sering dan tepat waktu.

Dalam kasus Toyota, maka sebagai konsekuensi kondisi di atas, para pemasok secara alami mengumpul di sekitar pabrik Toyota. Hal ini juga merupakan konsekuensi logis untuk mengurangi biaya transportasi ke lokasi tujuan. Pola jaringan logistik ini akhirnya berkembang lebih jauh ke suatu hubungan patron klien, dimana patron yang dalam hal ini adalah Toyota, akan membantu klien yang dalam ini pemasok, untuk mencapai irama produksi yang sinkron dengan sistem JIT. 

Proses sinkronisasi tadi tidak hanya mencakup segi hardware seperti masalah optimalisasi utilitas produksi, tapi juga secara software seperti sistem produksi maupun pengembangan SDM. Jaringan pemasok Toyota sangat akrab dengan istilah TPS Jishuken.

Terkonsentrasinya para pemasok Toyota di daerah Chubu, khususnya perfektur Aichi, akhirnya membentuk suatu kluster industri yang terintegrasi dari hulu (pasokan material) sampai hilir (manufaktur). 

Kinerja Toyota sebagai fabrikan otomotif global yang meningkat secara konsisten memberikan pengaruh positif pada sistem keiretsu yang telah dibangunnya, sehingga menyebabkan daerah ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil & konsisten dibandingkan daerah yang lainnya di Jepang. Hal ini sejalan dengan prinsip yang disebut co-existence & co-prosperity (共存共栄), suatu jargon kebersamaan yang banyak disebut keiretsu Jepang.

Bukan hanya arus barang dan jasa yang terjadi di antara perusahaan, tapi terbentuk pula pola kemitraan strategis antara industri dan lembaga pendidikan, yang sering disebut dengan San-gaku (産学).Format relasi ini boleh dibilang seperti feed-back loop yang bersifat mutualisme, dimana lembaga pendidikan akan memasok kebutuhan tenaga kerja ke pihak industri, sementara itu industri dapat meminta coaching teknologi ke pihak lembaga pendidikan.

Dengan hubungan seperti di atas, maka pengaruh ekonomis pertama tentu akan ke daerah dimana kluster industrinya sudah terbentuk. Akan tetapi, pengaruh ini secara perlahan dipastikan akan berkembang secara nasional, karena daya tampung dan daya dukung kluster di daerah tersebut tentunya akan menemui titik jenuh ketika stabilitas arus barang dan jasa sudah tercapai untuk target produksi tertentu. 

Hal ini terbukti dengan Toyota membangun pabrik baru di Kyushu untuk lini produksi Lexus, yang merupakan pabrik terbaik di dunia versi riset JD Powers. Lokasi yang baru untuk lini produksi tertentu sudah tentu akan menyeret para pemasok untuk mengikutinya. Keadaan ini secara otomatis akan menciptakan kluster industri yang baru di daerah lain, yang akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi di tempat tersebut. Untuk contoh kecil di Indonesia, mungkin kita bisa melihat perkembangan daerah dimana beberapa kawasan industri berlokasi. Misalnya, daerah Karawang, Purwakarta, atau Cikampek.

Dari paparan sejak awal, dapat ditarik kesimpulan bahwa pola keiretsu vertikal dengan manajemen rantai pasoknya ternyata berimbas sangat besar pada pertumbuhan ekonomi , baik daerah maupun nasional. Sebagai gambarannya, analis ekonomi memperkirakan bahwa bila Toyota berhenti beroperasi 1 hari saja, maka pertumbuhan ekonomi Jepang akan melambat 0.1%.

Merujuk kasus di Jepang itu, akhirnya secara mudahnya dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dari sektor industri manufaktur dapat diilustrasikan dalam diagram alir sederhana di bawah ini:

Sistem tarik (pull system) –> Just in Time (JIT) –> Eliminasi muda (waste), mura (unbalance), muri (overload) –> Sistem produksi efisien –> Profit perusahaan –> Pertumbuhan ekonomi daerah –> Pertumbuhan ekonomi nasional.

Seperti ditunjukkan di atas, kunci untuk mewujudkan sistem produksi yang efisien adalah mengeliminasi muda, mura, dan muri. Dan sudah jamak diketahui bahwa langkah awal untuk meminimalisasi atau menghilangkan 3 hal tersebut adalah 5S (seiri, seiton, seiso, seiketsu, shitsuke). 

Kiichiro Toyoda yang merupakan pendiri dan bos pertama Toyota Motor Corp memberikan mantera yang terus dibaca sampai saat ini: “We are working on making better products by making improvements every day”. Dan Anda harus percaya bahwa kunci dari semua kehebatan Toyota itu dimulai dari aktivitas 5S yang tanpa henti.

Dalam konteks bangsa kita, mungkin permasalahan terbesarnya adalah bagaimana membudayakan 5S tersebut!

Catatan: 5S diterjemahkan sebagai 5R dalam bahasa Indonesia, yaitu Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin.

Sumber : 
milis APICS ID
http://imambudiraharjo.wordpress.com

Sunday, November 24, 2013

7 Leadership Secrets Sir Alex Ferguson


Sir Alex Ferguson, former Manager, Manchester United, UK

Written by

Steve Tappin
CEO Xinfu, Host of BBC CEO Guru & Founder, WorldOfCEOs.com

His autobiography is released today, so what lessons can we draw from this sporting icon?



When Manchester United boss Sir Alex – the most successful manager of a British soccer team in decades – announced his retirement back in May, it generated more than 1.4 million Twitter mentions within the first hour. This ranked as more significant than the death of Margaret Thatcher, if slightly less so than the announcement of the new Pope.

So here are Sir Alex's seven leadership lessons:

(1) Face Tough Reality And Sort Problems Out Head-On

The son of a Glasgow shipbuilder, Ferguson’s grit was forged during 17 relatively unspectacular years as a player in Scottish football. He reflected: “The adversity gave me a sense of determination that has shaped my life. I made up my mind that I would never give in.”

When he became manager of Manchester United in 1986, the tough reality was that the side hadn’t won the football league for 26 years – Ferguson was depressed by the players’ level of fitness and worried that they were drinking too much. However, as he would do many times in later years, Ferguson drew strength from adversity, managing to increase their discipline and improve results.

A key lesson for CEOs is not to let problems fester but to tackle them head-on. As Ferguson says:

“No one likes to get criticized. But in the dressing room, it’s necessary that you point out your players’ mistakes. I do it right after the game. I don’t wait until Monday, I do it, and it’s finished. I’m on to the next match.”

(2) Only Accept Winning

“I’ve never played for a draw in my life,” boasts Ferguson, and with 49 trophies, 13 Premier League titles and two European Cups to his name, it shows. He has inspired by his passion, convincing players that they can push their performance on through a brick wall.

Ferguson is also passionate about his politics, leading his friend and Labour spin doctor Alistair Campbell to comment:

If there is one lesson politics can take from sport, and someone as successful as Fergie, it is that if winning is what matters, make sure you do everything you need to do to win. That sounds obvious. But it is a mindset that combines the big vision with microscopic attention to detail.”

The temptation for Western CEOs is to get stuck in the mindset of incremental improvements, where 5% sales growth will get them through. However, as they come up against the big dreamers of increasingly professional Chinese companies, they would do well to adopt the mindset of the binary world of sport, where there are only winners and losers.

(3) No-One Is Bigger Than The Team

While he made solid transfer decisions, a big part of Ferguson’s success was the ability to spot talent and nurture from within. He turned exuberant “show ponies” – such as the 17-year-old Cristiano Ronaldo – into team players, while providing a home for talented misfits like Eric Cantona.

If you think there are big egos and strong characters in your organization, just look inside a Premier League dressing room. Ferguson’s genius has been to make everyone understand that the glory and the riches that they enjoy flow from being part of a winning team. It doesn’t matter how big a star you are. The team is always bigger. Either he was in control or the players were – as Roy Keane, Ruud van Nistelrooy, and David Beckham found out to their cost.

Many CEOs should apply this to their top teams and deal more firmly with the big individuals who end up casting a dysfunctional shadow on team spirit and the company culture.

(4) Command Loyalty As A True Father Figure

One of the great characters of football, Ferguson is often associated with his volatile temper. His “hairdryer” – whereby he dressed down a team member with such force and directness that it was said to dry his hair – is the stuff of legend. However, his role as a mentor and a father figure should be not be overlooked.

Ultimately, Ferguson has been more about building players up than knocking them down:

“There is no room for criticism on the training field. For a player – and for any human being – there is nothing better than hearing ‘Well done’. Those are the two best words ever invented in sports.” Whatever the private exchanges, he always defends his team externally: “There is no point in criticizing a player forever. And I never discuss an individual player in public. The players know that. It stays indoors.”

CEOs can learn much about loyalty and the importance of seeking external perspectives from Ferguson, who also told Alistair Campbell:

“You know my definition of friendship – the real friend is the one who walks through the door when the others are putting on their coats to leave… I know from my position here that sometimes there can be so much noise and fury going on around you that you need people outside your own bubble who can take a slightly different perspective for you. We all need that.”

(5) Work Hard & Stay Fresh

Renowned for his work ethic and 7am training sessions, Ferguson says:

“I tell players that hard work is a talent, too. They need to work harder than anyone else.”

However, Ferguson – whose outside interests span racing and military history – is an unlikely advocate of work-life balance, commenting:

Mental and physical fitness are two sides of the same coin. You have to build rest into any program. That’s another thing that applies in all worlds, not just sport. I don’t think you can do high-pressure jobs now without being physically fit… there were times I could see [the leader] was getting tired, and I was thinking he’s probably doing too much himself, not delegating, not spreading the load.”

Only when they apply this insight can CEOs consistently perform at their best:

“Being able to analyze a situation and then decide what to do – that is such an important part of these top jobs. Reaching the right decisions under pressure.”

(6) Build An Enduring Institution Of Which People Want To Be A Part

Ferguson told the Harvard Business School that core to his success at Manchester United was building a “club” and not just building a “team” to survive:

“The first thought for 99% of new managers is to make sure they win – to survive. They bring experienced players in, often from their previous clubs. But I think it is important to build a structure for a football club, not just a football team. You need a foundation. And there is nothing better than seeing a young player make it to the first team. The idea is that the younger players are developing and meeting the standards that the older ones have set before.”

With a 27-year reign that’s eclipsed that of most CEOs and political leaders, Ferguson has excelled in managing multi-generation succession at his club. The baton has passed from the likes of Lee Sharpe and Nicky Butt, to Phil Jones on the inside and Robin van Persie from the outside. This would-be dinosaur has actually moved with the times, embracing new technology and medical advances to build a state-of-the-art training facility at Carrington. Ferguson has kept on developing his style and systems – and, professing that the modern player is somewhat more fragile – even claims to have mellowed a bit over the years.

(7) Leave On A High

Back on top of the English Premier League, Ferguson was wise enough to step away from the touchline of the beautiful game at a time of his choosing; without being given the red card. While it’s tempting to stay on and have another go and the ‘treble’ and the UEFA Champions League, the smart move is to leave space for someone else to take it on. That way his legacy has room to grow.

Many great leaders are true ‘one-offs’ and it is too simplistic to suggest that they should seek to bottle their essence to be preserved in aspic. Rather, the big challenge for them is to groom the next generation and ‘blend the essence’ so that it’s fit for their current and future organisation. Ferguson’s anointed successor, David Moyes, is said to be another Scot in the same mold but he is still going through a difficult transition.

Note to soccer fans: As a passionate lifelong fan of Leeds United, a competing soccer team, it's hard for me to write this post in praise of Sir Alex (easier though after Leeds' 1-0 FA Cup Victory over Manchester United in 2010!). However, I have to respect what Sir Alex has achieved and the lessons we can draw from his leadership.


*** And Don’t Forget To Add Some "Fergie Time" ***

One of the most revealing passages in Sir Alex’s new autobiography is when he deals with the matter of Fergie dj Time”. He admits that theatrically tapping on his watch as matches reached their conclusion was a psychological ploy.

The long-held popular belief was that this tactic would intimidate referees into granting Manchester United a little extra “stoppage time” (added with injuries, player changeovers etc.) at the end of either leg of a match. It was often in these vital extra seconds that his team would successfully score the goal that needed to level up the match or clinch victory. As BBC TV soccer presenter Gabby Logan would often say during her commentaries: “They're playing Fergie Time!!”

I think the lesson here is that leaders and sports players – when in really matters – are able to get fully “in the zone” and into a state of peak performance. In this moment, we seem to lose track of conventional “clock time”, and the usual physical obstacles melt away. American football player John Brodie brings this concept to life:

“Time seems to slow way down… It seems as if I had all the time in the world.. and yet I know the defensive line is coming at me just as fast as ever.”

A truly great leader can shift other people’s perceptions of reality - inspire people to do the impossible. “Fergie Time” reminds me of Steve Jobs’ famous “reality distortion field” – which famously inspired his team to create ever-smaller, faster “insanely great” products – and convince us to buy products that we didn’t even know we needed.


With Sir Alex's retirement, have we really seen the end of "Fergie Time"?

Sumber : http://www.linkedin.com/today/post/article/20131024113124-13518874-sir-alex-ferguson-s-7-leadership-secrets?trk=mp-details-rc

Thursday, November 14, 2013

Economic Success = Education


Dr. PAUL KRUGMAN
Nobel Prize Winner

"If you had to explain America’s economic success with one word, that
word would be “education".... Until now, the results of educational
neglect have been gradual — a slow-motion erosion of America’s
relative position. But things are about to get much worse, as the
economic crisis ... deals a severe blow to education across the
board.... We need to wake up and realize that one of the keys to our
nation’s historic success is now a wasting asset. Education made
America great; neglect of education can reverse the process."

Globalisasi Simbol


Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.

“We live in a world where there is more and more information, and less and less meaning.” – Jean Baudrillard.

***

     Di era tumpah ruahnya informasi di dunia ini yang tak dibarengi menguatnya serta meningkatnya daya kritis masyarakat maka tanda dan simbol tidak lagi mengacu (menunjuk) pada kebenaran (the truth), namun tanda dan simbol itu telah menjadi sang kebenaran itu sendiri. Makna referensial simbol/tanda kepada kebenaran seolah copot, dan ia meng-klaim kebenaran pada dirinya sendiri.

*** 

     Di tataran ekonomi mikro, waktu Apple merilis produk teranyarnya, iPhone 5S dan iPhone 5C, baru-baru ini, di pusat belanja Ginza, Tokyo, ada tak kurang dari 800 orang calon pembeli rela (bahkan semangat) untuk antre. Mereka mengantre sambil mengenakan kostum Batman, bahkan ada juga yang pakai topeng berwajah Steve Jobs, sang pendiri Apple, lengkap dengan sweater turtle neck warna hitam dan celana panjang jeans belel yang merupakan ciri khasnya. Di Australi dikabarkan lebih dari 400 orang berdiri di kawasan bisnis Sidney ketika gerai iPhone baru dibuka pukul 8 pagi.

     Di skala yang lebih makro, demi memerangi tekanan inflasi, bank sentral India beberapa waktu lalu menaikkan suku bunga acuan 0,25%. Suku bunga repo, yaitu bunga pinjaman dari bank sentral kepada bank komersial naik dari 7,25% menjadi 7,50%. Seperti diketahui di minggu ketiga September lalu tingkat inflasi India menyentuh 6,1%, ini posisi tertinggi dalam kurun enam bulan terakhir. Kata Raghuram Rajan, gubernur RBI (Reserve Bank of India), “Kenaikan bunga repo sebesar 25 basis poin diharapkan bisa menurunkan inflasi ke level yang dapat ditoleransi.”  Di pelbagai belahan dunia lain, banyak bank sentral yang juga  memfokuskan kebijakannya pada defisit fiskal dan inflasi yang dipercaya telah banyak menggerus daya beli. 

***

     Beberapa fenomena simbolisasi yang terjadi baru-baru ini. Label (judul) ‘mobil murah’ apakah betul sesungguhnya merupakah solusi transportasi yang berpihak kepada rakyat kecil? Apa betul simbol/tanda ‘murah’ disini punya makna membela kepentingan rakyat kecil?

     Tanda pertumbuhan ekonomi yang disimbolisasi dengan angka PDB, angka laju inflasi, neraca perdagangan (ekspor-impor), neraca pembayaran, angka jumlah cadangan devisa, angka arus modal masuk serta pertumbuhan investasi, dan lain-lainnya itu apakah sesungguhnya betul merepresentasikan kemakmuran dan kebahagiaan hidup yang nyata dialami masyarakat kecil secara meluas dan merata?

     Jika seseorang berkata-kata dengan menyitir bahasa Inggris di sana-sini (termasuk artikel ini) serta istilah-istilah ‘canggih’ yang sering diucapkan kaum cendekiawan maka apakah orang itu pastilah terbilang dalam kaum cendekiawan juga? Sama halnya seperti orang yang gemar menempelkan pelbagai atribut merek tenar serta gelar pada badan atau dirinya maka apakah dengan demikian ia otomatis adalah sungguh dan sebenarnyalah
orang yang sukses serta berkualitas hidupnya?  Mirip juga dengan orang yang senantiasa memakai atribut-atribut religi tertentu maka apakah ia sesungguhnya dan sebenarnyalah orang yang religius, baik serta santun peri hidupnya di dalam ruang privatnya?

***

     Baiklah artikel ini ditutup dengan membiarkan pertanyaan-pertanyaan tadi untuk terus terbuka sehingga senantiasa mengundang kegundahan. Dan dengan demikian bisa memancing daya kritis kita untuk menyaring banjir informasi, tanda dan simbol untuk kemudian membedahnya ke kedalaman kenyataan yang sebenarnya (the
truth).

     Karena hal yang sesungguhnya mesti diperangi dalam globalisasi simbol ini dalah kedangkalan analisis, sesat pikir dan erosi daya kritis akibat kampanye konsumerisme lewat media-media massa global. Dan juga penyuntingan berita-berita yang kerap kali pekat dengan kepentingan-kepentingan aliran politik dan kapital dunia dari sementara pihak, dan akibatnya telah terjadi pembengkokan realitas. Simbol-simbol pencitraan menjadi semakin berkuasa, dan kebenaran semakin tenggelam. 

(twitter@andrewenas)
---------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING, edisi November 2013

STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Email: strategicmanagementservices@yahoo.com

CISCP (Certified International Supply Chain Professional)



As the Authorized Learning Partner of PASAS – Purchasing and Supply Association (Singapore) and based on the experiences and networking then Multimatics exclusively provides the training of CISCP. CISCP is stand for Certified International Supply Chain Professional and this certification is the recognized industry certification program sponsored by PASAS (Purchasing and Supply Association-Singapore) to meet the rapidly changing needs of the supply chain management field. The CISCP designation recognizes professionals who have demonstrated their knowledge and experience of supply chain management.

PASAS has been awarded the accreditation by International Accreditation Organization (IAO) for all their international certification programmes. All our programmes are specially customized for various industry sectors and recognized by Global Multi-National Corporations.

Benefits of the CISCP Program:
§  Learn to boost productivity, collaboration, and innovation
§  Discover how to positively affect lead times, inventory, productivity, and bottom-line profitability
§  Understand how to manage the integration and coordination of activities to achieve reduced costs and increase efficiencies and customer service
§  Gain the knowledge to effectively and efficiently manage worldwide supply chain activities
§  Achieve greater confidence and peer and industry recognition
§  Enjoy the potential for career advancement and increased earnings.

Tuesday, November 5, 2013

Just In Time di Indonesia


Salah satu yang diajarkan oleh JIT adalah permintaan pengiriman material secara parsial, sesuai yang dibutuhkan  atau yang sudah diatur jadwal produksinya oleh customer. Jika bergaining posisition supplier lebih lemah, (entah itu karena skala bisnis yang lebih kecil, ketergantungan order yang besar, ataupun karena customer adalah perusahaan monopoli) maka dia akan tak berdaya dan mengikuti saja apa yang diinginkan oleh customernya,
walaupun parsial delivery itu cenderung menyulitkan dia.

Apakah SEMUA CUSTOMER MEMIKIRKAN KESULITAN SUPPLIERNYA ? Pendekatan primitif tentang pemasok cenderung untuk berfikir secara zero sum (menang kalah). Sehingga hanya memindahkan stock kepada suppliernya saja, agar si customer sendiri bisa zero inventory dan just in time ?
                         
Bagaimana dengan si supplier, apakah dia bisa zero inventory juga,  dan bisa just in time juga ? Banyak supplier yang akhirnya harus menumpuk stock berlebih hanya agar bisa mensupplay material yang diinginkan customernya (yang polanya belum tentu teratur, sesuai kanban yang diatur customer) agar setiap saat bisa mengirimkan barang yang dinginkan customer. Di sini justru malah si supplier yang melakukan tindakan yang tidak menambah nilai yaitu over stock. Yang tentu saja ini salah satu bentuk Muda (pemborosan).

Dengan level stock yang tinggi, maka barang di supplier akan terancam kadaluarsa, cepat rusak dan membebani cash flownya. Tinggal menunggu waktu saja, cepat atau lambat, si supplier ini yang justru bermasalah. Jika supplier
bermasalah, bisakah dia selalu on time dan just time mengirimkan barang ke customernya ? Pengalaman di tempat saya mengatakan tidak akan selalu
berjalan dengan smooth
                       
 Karenanya pendekatan terbaru terhadap supplier bukan hanya selection dan valuation vendor, tapi juga pembinaan dan bantuan kepada vendor untuk mengatasi segala kesulitannya dan memberikan segala informasi yang dipunyai oleh customer untuk membantu vendor. bahkan dalam pendekatan supply chain management, Customer tidak hanya mengurusi dan membantu suppliernya, tapi juga suppliernya supplier... hingga sampai ke hulu supplier. Ini dimaksudkan untuk menghindari kegagalan delivery oleh supplier. Sebab kadang sebuah masalah bukan disebabkan oleh supplier, tapi justru oleh pihak lain di luar supplier itu.
                         Suatu contoh, sebuah perusahaan sparepart otomotif memiliki supplier karton box (corrugated carton box). Perusahan otomotif ini minta kepada suppliernya untuk mengirim karton box secara parsial, sesuai yang diminta oleh customer. Karena customer tidak pernah memberikan informasi schedule produksi dan delivery dan informasi lainnya, akibatnya si supplier tidak tahu berapa kira-kira dia harus menyipakan materialnya. Pilihan logis yang diambilnya adalah menumpuk stock material sebanyak-banyaknya.

Namun tiba-tiba keadaan berubah. Suppliernya perusahaan karton box, yang notabene
adalah produsen kertas yang di Indonesia keberadaannya masih monopoli (duopoli) menerapkan kebijakan agar semua pembeli material untuk karton box membayar secara cash total dimuka (bukan advanced payment), baru bisa mendapatkan material yang diminta. Akibatnya posisi perusahaan karton box ini menjadi kelimpungan karena kesulitan cash flow (likuiditas). Apalagi ketika customernya yang perusahaan sapreparts otomotif itu berkehendak untuk mengganti spek material, sementara material dengan spek lama masih menumpuk. Akibatnya perusahaan karton box ini terncam gulung tikar, dan tidak bisa mengirim barang  lagi.

Tidak semudah membalikkan telapak tangan bukan ? Banyak perusahaan besar kemudian mengambil langkah pintas dalam supply chain management ini dengan menerapkan Keiretsu. Yaitu semua suppliernya dari hilir ke hulu adalah perusahaan dalam grupnya sendiri. Tapi apakah itu mudah dilakukan oleh semua perusahaan di Indonesia ?

Masalah kedua berkaitan dengan pengendalian stock ini adalah letak perusahaan supplier yang berjauhan dengan pabrik customer. Jika dalam literatur Lean Manufacture sering disebut istilah supplier yang letaknya di wilayah industri yang sama. Apakah hal ini akan mudah diterapkan di Indonesia, atau paling tidak di Jabodetabek ?

Jika di Jepang, semua supplier utama Toyota ini berada di area Toyota City. Yang berarti semua supplier utama Toyota letak pabriknya tidak jauh dari pabrik Toyota. Sehingga masalah kemacetan bukan menjadi kendala. Tapi bandingkan dengan di Jabodetabek. Apakah semua supplier utama kita letaknya di sekitar pabrik kita ? Toyota Indonesia yang pabriknya ada di Sunter dan Karawang, ternyata mempunyai supplier utama seperti Sugity yang ada di Cikarang, Aisin di Bekasi, Abadi Barindo (Ex Kadera-AR) di Gandamekar Cikarang Barat, GKD Group di Pegangsaan Dua Kelapa Gading, dan lain-lain.

Apakah lalu lintas antara Sunter, Karawang, Cikarang, Bekasi, dan Kelapa Gading selalu lancar dan mudah terjangkau ? Bagaimana jika terjadi kemacetan yang panjang, atau demo buruh seperti hari buruh kemarin ? Apakah semua supplier tetap bisa mengirimkan barang on time, sehingga level stock perusahaan kita tetap terjaga ?

Di negara yang blue print kebijakan manufakturnya masih tidak stabil seperti Indonesia ini, mengharap semua supplier kita berda dalam kawasan industri yang sama tentu saja merupakan sebuah harapan yang naif. Akibatnya tetap saja kita harus mencari suuplier yang letaknya di luar kawasan industri pabrik kita. Jika demikian, bagaimana dengan masalah kemacetan lalu lintas, hambatan transportasi, demo buruh, dan sebagainya ?

Bisakah kebijakan satu suppleir diterapkan ? Bagaimana dengan kebijakan dua atau lebih supplier ? Ini berarti penyesuaian dong dengan konsep single suppliernya TPS. Tapi kenapa tidak ?
                         
Sementara itu, jika semua material utama kita diperoleh melalu import, dapatkah kita menerapkan kebijakan parsial delivery untuk mejaga level stock agar tetap rendah ? Ini sangat sulit sekali, karena dengan import, kita harus mengikuti aturan minimal import.

Jika minimal import ini jauh dari kebutuhan per bulan kita, tentu saja membuat level stock menjadi tinggi. Belum lagi harus menghadapi masalah pengurusan adminidtrasi import yang lama dan panjang. Sehingga banyak perusahaan yang kemudian mengecualikan barang importini dalam kebijakan level stock rendah mereka.

Bahkan sebuah perusahaan otomotif besar sekalipun akhirnya memberikan diskon yang cukup besar untuk mobil yang diimportnya secara CBU (completly built up). Ini artinya mobil ini tidak bisa diimport jumlahnya sesuai yang diminta oleh customer (sesuai dengan konsep JIT)
                         
Oleh karena itu, jangan terlalu terpukau dengan satu konsep manufaktur semata, tapi ambillah semangat dan intisari konsep itu yang bisa diterapkan sesuai dengan kondisi perusahaan kita. Perlu ada proses dialektika dalam memahami dan menerapkan suatu konsep manajemen manufaktur dengan kondisi dan kebutuhan nyata perusahaan.

Salam,
Agus Hendri - Bogor


Monday, October 7, 2013

Daging Sapi dan Rantai Pasok Nasional


Mengatasi Persoalan Daging Sapi dengan Membangun Rantai Pasok Nasional

Oleh: Setijadi – Chairman | Supply Chain Indonesia

Menjelang Idul Fitri 1434 H terjadi kenaikan dan lonjakan harga beberapa komoditas, terutama daging sapi, daging ayam, telur ayam, dan cabai. Harga daging sapi, misalnya, mengalami kenaikan yang signifikan menjadi sekitar Rp95.000-140.000/kg.

Untuk meredam kenaikan harga daging sapi, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah sejak April 2013, antara lain: melonggarkan impor daging, mempercepat realisasi impor, menyederhanakan mekanisme impor daging, stabilisasi daging sapi oleh Bulog, menambah pasokan daging sapi dengan impor, dan bekerja sama dengan swasta menjual daging sapi murah ke pasar tradisional. Namun, persoalan tidak dapat terselesaikan dan harga daging sapi di tingkat konsumen tetap tinggi.

Fenomena kenaikan dan lonjakan harga komoditas, termasuk yang disertai dengan kelangkaan, berulang kali terjadi. Kedua fenomena ini semakin kuat ketika terjadi lonjakan permintaan, misalnya, berkaitan hari-hari besar keagamaan.

Fenomena yang berulang kali terjadi tersebut semestinya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk merancang suatu program yang bersifat strategis dan sistematis untuk mengantisipasi kelangkaan dan fluktuasi harga berbagai komoditas penting. Langkah-langkah yang bersifat taktis dan operasional, seperti impor, terbukti tidak bisa mengatasi persoalan tersebut.

Salah satu upaya pemecahan masalah yang bisa dilakukan adalah dengan pendekatan manajemen rantai pasok (supply chain management/SCM). Pemerintah perlu merencanakan, membangun, dan mengintegrasikan aspek-aspek “produksi-distribusi-konsumsi”, antara lain dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Pemetaan rantai pasok. Pemetaan dilakukan secara nasional dengan mengidentifikasi para pelaku (pemasok/produsen, pelaku distribusi, pengecer/pedagang, dan konsumen), termasuk wilayah dan aliran distribusinya.

Pembuatan basis data. Basis data mencakup: pemasok/produsen (jumlah pemasok, jumlah sapi), pelaku distribusi (jenis dan jumlah pelaku), pengecer/pedagang (jumlah), dan konsumen (jumlah, segmen, tingkat konsumsi, wilayah).

Perencanaan rantai pasok. Dilakukan terutama untuk mengintegrasikan aspek produksi-distribusi-konsumsi yang selama ini saling terpisah. Para peternak pada tingkat produksi, misalnya, “terpisah” dengan pelaku distribusi yang dilakukan oleh pihak lain. Pelaku distribusi dan pedagang pun saling “terpisah”. Hubungan antar pihak terjadi secara transaksional, tanpa ada kerja sama jangka panjang yang memberikan manfaat bagi para pihak. Selain mengakibatkan rantai pasok tidak efisien, kondisi ini membuka peluang pihak tertentu dalam rantai pasok itu untuk mengambil keuntungan secara tidak proporsional.

Perencanaan rantai pasok mencakup pula perencanaan produksi sesuai permintaan/kebutuhan konsumen, termasuk mempertimbangkan peningkatan permintaan berkaitan dengan hari besar keagamaan dan sebagainya.

Menata dan membangun produksi. Penataan perlu dilakukan terutama agar produksi dilakukan pada skala ekonomis, mengingat pada saat ini para peternak kebanyakan melakukan penggemukan sapi pada jumlah kecil. Skala ekonomis dapat dicapai dengan mengembangkan peternakan sebagai industri besar atau mengintegrasikan para peternak kecil.

Membangun sistem distribusi. Pelaku distribusi sapi potong terdiri dari banyak pihak yang bisa berbeda-beda sesuai daerahnya. Para pelaku distribusi ini antara lain: blantik, jagal, pedagang pengumpul, pedagang besar, rumah potong hewan, dan lain-lain. Sistem distribusi perlu ditata agar efisien dan para pelaku berperan dan mendapatkan keuntungan secara proporsional.

Edukasi di tingkat konsumsi. Edukasi diperlukan antara lain agar konsumen melakukan pola pembelian daging secara tepat. Sebagai contoh, pada saat ini masyarakat lebih menyukai membeli daging segar daripada daging beku. Padahal proses pendistribusian sapi potong lebih mahal yang berdampak ke harga daging.

Pengembangan infrastruktur dan sarana pengangkutan. Ketersediaan infrastruktur (pelabuhan khusus ternak, terminal ternak berikut fasilitas bongkar muat, cold storage system untuk cold chain) dan sarana pengangkutan (kapal ternak, kereta api khusus ternak) sangat diperlukan untuk efisiensi proses pengiriman ternak. Untuk pengangkutan sapi dari Jawa Timur ke Jakarta, misalnya, penggunaan kapal ternak berkapasitas 400 ekor jauh lebih efisien daripada menggunakan truk.

Pengawasan/pemantauan. Dilakukan untuk mengantisipasi pihak-pihak tertentu mengambil keuntungan dengan cara yang tidak dapat dibenarkan. Pengawasan/pemantauan terutama diperlukan pada proses distribusi yang dapat dilakukan dengan melakukan pencatatan arus pengiriman sapi potong antar wilayah, misalnya dengan memanfaatkan jembatan timbang. Di jembatan timbang tidak hanya dilakukan pencatatan berat truk dan muatannya (untuk menghindari beban lebih), namun dilakukan juga pencatatan jumlah sapi potong yang diangkut.

Koordinasi antar Instansi. Pembangunan rantai pasok ini memerlukan koordinasi antar instansi/lembaga/kementerian, misalnya: Kementerian Peternakan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, dan lain-lain. Koordinasi juga diperlukan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Sumber : http://www.supplychainindonesia.com

LSP-LI (Lembaga Sertifikasi Profesi Logistik Indonesia)


Terdapat tidak kurang dari 10 lembaga di dunia yang menyelenggarakan sertifikasi internasional dibidang supply chain , detail dan summary tablenya bisa dicek di link wikipedia berikut:

http://en.wikipedia.org/wiki/Certified_Supply_Chain_Professional 

Salah satunya adalah LSP-LI (Lembaga Sertifikasi Profesi Logistik Indonesia). Untuk keterangan lebih lanjut silahkan baca artikel dibawah ini.

1. LSP yang didirikan ALI bernama LSP-LI (Lembaga Sertifikasi Profesi Logistik Indonesia), lembaga sertifikasi pertama bidang logistik dan SCM di Indonesia, yang sudah mendapat lisensi dari BNSP.

2. Keberadaan LSP-LI ini merupakan next step dari kontribusi ALI bagi pengembangan insan logistik nasional, yakni setelah ALI pd tahun 2010 mendirikan sekolah sertifikasi dan profesi logistik pertama di Indonesia, yaitu Sembada Pratama, yang secara khusus mengembangkan pendidikan profesi dan sertifikasi bidang logistik dan SCM, baik utk level supervisor, manajerial dan eksekutif.

3. Keberadaan LSP-LI dan Sembada Pratama telah mendorong ELA (European Logistics Association) menetapkan ALI sebagai partner sekaligus menunjuk ALI sebagai National Certification Center (NCC) ELA di Indonesia. Dengan penunjukkan ini, maka ALI sudah memiliki 2 (dua) endorsement utama luar negeri, yaitu JILS (Japan International Logistics System)/AOTS dan ELA, dan insya allah akan semakin kredibel setelah diperkuat dengan adanya lisensi dari BNSP.

4. Saat ini LSP-LI dan Sembada Pertama, di bawah supervisi ALI, sedang dan sudah menggagas kerjasama dengan berbagai pihak, dalam menjalankan proses sertifikasi dan pengujian, termasuk dengan bbrp perguruan tinggi, LSP terkait lainnya, dan lembaga pendidikan dan pelatihan yang ingin bekerjasama dengan ALI. Bahkan kami sudah menyelenggarakan bbrp kerjasama pelatihan dengan bbrp perguruan tinggi.

Demikian sebagai tambahan imformasi, semoga bermanfaat, khususnya bagi pak Syarif Hidayat dari Universitas Al Azhar Indonesia, dan mohon maaf bila ada yg kurang berkenan, tks

Wassalam,
Dr. Nofrisel, SE, MM, CSLP
Anggota Dewan Pengawas LSP-LI

Direktur Eksekutif Sembada Pratama

Sumber : milis Supply Chain Indonesia

Friday, September 27, 2013

ERP dengan Excel


Menurut saya, ramai antara teman teman mengaku bahawa Excel itu “life saver’. Apa sahaja yang tidak bisa dilakukan di ERP sama ada terencana atau sebaliknya, biasanya dapat kita lakukan memakai Excel. Benar ka??? Memang sudah terbiasa kita mendengar dari sang penjual ERP bahawa ERP bisa melakukan semuanya. Walau bagaimanapun kita yakin terus pada Excel untuk memanage, menganalisa dan merencanakan supply chain kita. Kita amat nyaman bersama Excel.

Dengan arsenal kapabilitas yang ada, ramai yang menganggap Excel sebagai “unspoken ERP”. Excel merupakan perangkat perencanaan paling awal yang pernah saya gunakan. Walaupun penggunaan tersebut terbatas pada demand supply balancing yang sederhana, menurut saya ia jauh lebih mudah, lebih cepat dan lebih efektif dari ERP system saya saat itu. Sampai saat ini saya masih pakai Excel untuk menganalisa data dan sebagai satu perangkat pengukur.  Memang saya peminat Excel! Yang harus kita hati-hati adalah: banyak area pengelolaan global supply chain yang tidak cukup dengan pakai Excel sahaja.

Nah ini ada satu analogi – saat bermain golf, apakah harus pakai driver termahal atau cukup dengan 9 iron ? The right answer depends on what kind of shot you need!  Kalau anda berada di tee Par 3, jawaban  sudah cukup jelas walaupun ramai ahli golf punya masaalah memilih club yang cocok. Hal ini sama terkait keputusan yang harus diambil pada supply chain management. Kita harus pasti sebagai seorang ahli professional di supply chain untuk mengerti kapan sebuah tantangan dilapangan membutuhkan alat yang lebih mutakhir.

Saya pengen berbagi beberapa persyaratan yang tidak dapat dipenuhi ketika mencoba untuk mengelola supply chain yang lebih canggih dengan Excel:

 Apabila anda punya multiple data sources di beberapa tempat atau lokasi dari beberapa sumber yang berbeda termasuk suppliers dan customers
Aabila anda menghabiskan lebih banyak waktu mengumpul data daripada bekerja dengan informasi (working with information)

Apabila supply chain anda menjadi lebih rumit – bukan sekadar menentukan supply dan demand berdasarkan due date sahaja. Anda harus mengalokasikan barang berdasarkan prioritas  atau pelanggan; anda menggunakan aggregated atau disaggregated forecasts menggunakan rasio perencanaan yang berbeda; anda menggunakan alternative sourcing, substitute atau kebijakan inventori yang bervariasi

Apabila anda mendapati bahawa anda tidak lagi bisa merespon pada variabilitas demand secara efektif dan menguntungkan

Apabila anda harus melakukan simulasi  ‘what if’ dalam hitungan menit atau detik versus jam, hari atau minggu.

Apabila siklus S & OP anda terlalu panjang dan sulit untuk mencapai konsensus sebelum siklus berikutnya dimulai

Jika teman2 telah menerapkan Excel sebagai alat stop gap di salah satu situasi tsb, saya pikir anda akan setuju bahawa anda hanya dapat menemukan nilai yang terbatas. Pada awal 80-an, ramai yang befikir mereka bisa membuat solusi apa sahaja dengan menggunakan Excel. Yang jelas, sampai saat ini, situasi tersebut masih belum berubah. Jika gejala di atas pernah anda temu, anda mungkin telah sampai ke batas akhir kapabilitas Excel. Anda mungkin hanya perlu mengganti klub golfnya untuk tembakan supply chain yang lebih sulit.

Salam
Ramlee

Sumber : milis Asosiasi Logistik Indonesia [ALI]

Friday, September 13, 2013

ACHIEVE YOUR GOALS!



We all want to be successful in our life. We all have our dreams and vision, something that we would like to become in the near future. But we are also witnessing that not all people can achieve their dreams. WHY?

Success is not a miracle. Success is a result of consistent efforts. Many people fail to achieve their dreams because of their lack of consistency. They’re easily carried away with non-important things that make them gets further to their goals.
The achievers are different. The Achievers are people who have champion spirit inside them. They have a dream, they keep fighting, dare to face the challenge, always find solution to their problem, and the most important thing, they are very committed to their dream/goals.

Today, many people succeed, and many more are failed to achieve their dreams. What separates the achievers and the non-achievers lies in these four disciplines, that are:


1. Discover Your Potentials
understanding personal strength and weaknesses and how to use it for our own benefit.

2. Set Your Goals
Goals and dreams, and the great feeling of achieving it will make us highly motivated, realizing our purpose in life, and make our life meaningful
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
visit http://bolder.n-adhi.com to get more information and download more resources------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

3. Translate Goals Into Actions
A dream will remains a dream if we cannot translate it into reality. And the first step is translate our dreams into actions.

4. Cherish Every Moment
To keep ourselves in a positive situation, we should always be grateful and cherish every moment we have, whether it’s good or bad.

(c) 2009. Nugroho Adhi W.
BOLDER. http://bolder.n-adhi.com

Analisa Mengenai Dampak Lingkungan


ENVIRONMENTAL IMPACT ASSESSMENT –
ANALISA MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

BAGIAN PERTAMA

Environmental Impact Assessment atau di Indonesia yang diterjemahkan dengan istilah Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)  diperkenalkan pertama kali tahun 1969 oleh National Environmental Policy Act di Amerika Serikat, yang untuk selanjutnya menyebar dan digunakan oleh berbagai negara. Dengan metode kajian yang bersifat universal, posisi  EIA selalu dapat disesuaikan dengan sistem pengendalian di masing-masing negara yangmengimplementasikannya. Sebelum membahas lebih mendetail mengenai AMDAL di Indonesia, mari kita lihat beberapa negara selain Amerika yang biasa menjadi rujukan:

GERMANY
Germany atau Jerman merupakan salah satu negara di eropa yang sangat memperhatikan mengenai masalah lingkungan. Berbagai peraturan mulai dari tingkat Eropa (EIA Directive 337/85/EEC, SEA Directive 42/2001/EG) hingga ke Internal negara Jerman (EIA Act; Federal Mining Act; Federal Regional Planning Act, etc) dikeluarkan untuk memastikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Secara umum, EIA di Jerman diterapkan ke dalam 2 tingkatan Assessment:
Environmental Impact Assessment (EIA)à Evaluasi menyeluruh terhadap project sebelum dilaksanakan.
Strategic Environmental Asessment (SEA)àEvaluasi menyeluruh terhadap usulan kebijakan/rencana/program.

CANADA
Melalui Canadian Environment Assessment Act (CEAA), Negara ini juga membagi EIA kedalam 2 assessment:
Environmental Impact Asessment à Evaluasi menyeluruh terhadap project sebelum dilaksanakan.
Strategic Environmental Assesment à Evaluasi menyeluruh terhadap usulan kebijakan/rencana/program
Selain itu terdapat 2 asessment lagi yang umum di gunakan di kanada, yaitu:
Health Impact Asessment àMerupakan kombinasi dari prosedur, metode & tools (Alat) dimana suatu kebijakan; program; projek dianalisis mengenai pengaruhnya terhadap kesehatan suatu populasi serta cara pendistribusian pengaruh ini di dalam populasi.
Risk Asessment à spesifik membahas mengenai pengaruh paparan dari material berbahaya (Hazardous Material)  serta situasi berbahaya (Hazardous Situation) terhadap kesehatan manusia.

INDONESIA
Regulasi pemerintah Indonesia telah mengatur secara komprehensif mengenai analisa dampak lingkungan. UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; PP No. 27/1999 tentang Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) dan lebih dipertegas lagi oleh PP No. 27/2012 tentang ijin lingkungan, telah mendefinisikan secara jelas dan gamblang mengenai apa itu AMDAL.

AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Setiap Usaha dan/atau kegiatan diwajibkan melakukan AMDAL apabila usaha/kegiatan itu menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan dan menimbulkan perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar.

Dampak penting yang dimaksud adalah:
1.      Daya dukung lingkungan (Carrying Capacity)
2.      Kebijakan yang akan terpengaruh rencana usaha dan atau kegiatan
3.      Nilai sosial atau pandangan masyarakat yang akan terpengaruh rencana usaha dan atau kegiatan.
4.      Komponen lingkungan yang memiliki nilai penting ekologis (ecological importance) yang akan terpengaruh rencana usaha dan atau kegiatan.
5.      Komponen lingkungan yang memiliki nilai penting ekonomi (economic importance) yang akan terpengaruh rencana usaha dan atau kegiatan.
6.      Adanya komflik kepentingan (termasuk tata ruang dan kawasan lindung – protected & spatial planning significance) akibat rencana usaha dan atau kegiatan
7.      Akan dilampauinya baku mutu lingkungan akibat rencana usaha dan atau kegiatan
8.      Terganggunya ekosistem yang memiliki nilai penting secara scientific (ilmu pengetahuan)

Adapun Perubahan fungsi ekosistem (diantaranya: perubahan siklus hidrologi, perubahan komposisi vegetasi, perubahan komposisi satwa), perubahan taraf hidup dan kesempatan kerja (diantaranya: penerimaan tenaga kerja, pengembangan wilayah sebagai akibat adanya usaha/kegiatan baru) merupakan beberapa contoh perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar. Oleh karena perubahan fungsi yang sangat drastis ini, diperlukan kajian AMDAL secara mendalam mengenai layak atau tidaknya suatu usaha/kegiatan untuk dilakukan.

Dari pengertian-pengertian diatas, dapat diketahui pada akhirnya tujuan dan sasaran AMDAL adalah untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan dapat berjalan secara berkesinambungan tanpa merusak lingkungan hidup. Sehingga AMDAL berfungsi sebagai upaya PENCEGAHAN terjadinya kerusakan lingkungan hidup.
Dengan melalui studi AMDAL, diharapkan usaha dan atau kegiatan pembangunan dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efisien, dapat meminimumkan dampak negatif serta memaksimalkan dampak positif terhadap lingkungan hidup. Secara umum, badan yang bertanggung jawab terhadap koordinasi proses pelaksanaan AMDAL adalah BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan).

Untuk mengukur atau menentukan dampak penting dapat menggunakan beberapa kriteria dimana kriteria-kriteria ini saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya:
besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
luas wilayah penyebaran dampak;
intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
banyaknya komponen lingk ungan hidup lain yang akan terkena dampak;
sifat kumulatif dampak;
berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.

Adapun isi dari AMDAL mencakup 5 hal penting, yaitu:
1.      Kerangka Acuan (KA) sebagai dasar pelaksanaan studi AMDAL. Kerangka Acuan berisikan ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
2.      Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL); merupakan hasil dari telaahan secara cermat, matang dan mendalam dari dampak penting suatu rencana usaha/kegiatan.
3.      Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL); merupakan upaya penanganan dampak penting sebagai akibat dari rencana usaha/kegiatan, yang ditujukan untuk mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif lingkungan hidup.
4.      Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL); merupakan upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak penting serta digunakan untuk melihat kinerja pengelolaan yang dilakukan.
5.      Executive Summary; Merupakan ringkasan dari dokumen ANDAL, RKL & RPL.

Demikian artikel singkat mengenai AMDAL ini yang merupakan bagian 1 dari 3 artikel yang akan kami coba susun untuk menambah pengertian kita secara mendalam tentang AMDAL.
Adapun bagian 2 akan akan berisikan mengenai prakiraan dan evaluasi dampak pada AMDAL. sedangkan bagian ke 3 akan berisikan tentang Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam penilaian AMDAL. 

Jakarta, 14 Desember 2012 (Penulis: Fedy Gusti Kostiano, ST, M.Sc)

Teori, Model dan Realitas Pemasaran yang Dinamis


Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.

"We make models to abstract reality. But there is a meta-model beyond the model that assures us that the model will eventually fail. Models fail because they fail to incorporate the inter-relationships that exist in the real world."- Myron Scholes, speech at NYU/IXIS conference on hedge funds, New York, Sept 2005.

***

     China, operasi perusahaan farmasi raksasa dunia GSK (Glaxo Smith Kline) sedang mengalami guncangan. Apa pasal? Rupanya pemerintah mencium adanya praktek suap GSK kepada para dokter disana untuk memakai produk-produk keluaran GSK. Terhadap dugaan ini pemerintah China langsung mengeluarkan perintah cekal terhadap direktur keuangan perusahaan farmasi asal Inggris ini, Steve Nechelput, yang tidak boleh keluar dari China sampai investigasinya beres.

     Otoritas China memperkirakan GSK telah menggelontorkan dana sekitar 3 miliar yuan (setara US$ 489 juta) lewat agen-agen perjalanan yang lewat mereka telah memfasilitasi suap kepada para dokter dan rumah sakit. Upaya GSK demi meningkatkan penjualan dan harga obatnya telah membawa prahara, walau dalam situs resminya GSK menegaskan bahwa sampai saat ini Steve Nechelput belum ditahan pihak berwajib. Manajemen GSK berjanji akan terus mengikuti proses hukum yang berlaku di China.

     Gara-gara kasus ini, beberapa perusahaan lain bakal terkena imbasnya. Investigasi akan meluas, Gao Feng yang kepala unit kejahatan ekonomi, mensinyalir ada beberapa perusahaan farmasi multinasional yang menjalankan praktek suap dengan modus serupa (gratifikasi via agen perjalanan).

***

     Dari markas besarnya di Paris, chief financial officer Carrefour Pierre-Jean Sivignon, menyiarkan bahwa Carrefour SA secara global bakal lebih mengandalkan pasar Amerika Latin. Penjualannya di kawasan itu menanjak signifikan, sekitar 8%  di semua format ritel. Penguatan penjualan di Amerika Latin ini bisa mengompensasi buruknya penjualan Carrefour di pasar Eropa (khususnya pasar Italia dan Spanyol) yang merosot 4,3%. Di pasar Perancis sendiri penjualan hipermarket Carrefour susut 1,1%, sementara penjualan makanan masih terus tumbuh. Tapi penjualan supermarket turun 1,8%, sedangkan penjualan di format convenience dan yang lainnya tumbuh 0,8%. Di Asia penjualannya menurun tipis 0,1%.

     Tantangan pemasaran global lainnya bagi Carrefour  adalah terdepresiasinya kurs tukar real Brasil dan peso Argentina terhadap euro. Dampaknya negatif terhadap penjualan Carrefour. Nilai tukar real terhadap euro telah tererosi 7,5% tahun ini, sedangkan peso Argentina melemah 9% terhadap euro. CFO Pierre-Jean Sivignon khawatir lantaran kinerja laba bersih Carrefour di Amerika Latin akan sangat tergantung pada nilai tukar real dan peso terhadap euro. Secara  keseluruhan, di kuartal kedua tahun 2013, Carrefour mencatat penurunan pendapatan jadi 20,5 miliar euro (setara 27 miliar dollar AS, atau sekitar 270  triliun rupiah).

***

     San Fransisco, sang pendiri Dell, Michael Dell sedang berjuang keras untuk membawa Dell Inc. keluar dari bursa saham Amerika Serikat (go private). Rupanya para pemegang saham lainnya menolak usulan dana penggantian sebesar US$24,4 miliar yang ditawarkan Michael Dell (setara dengan US$13,65 per unit saham). Tawaran ini dinilai kerendahan, Angelo Zino seorang analis dari Standard & Poor's Financial Services, menganggap US$14 per saham adalah nilai yang lebih pantas. Saat ini Michael Dell sendiri menguasasi 15% saham.

     Sebetulnya apa sih alasan Michael Dell untuk go private? tak lain ia menginginkan keleluasaan yang lebih besar dalam upayanya melakukan perubahan bisnis dan merampingkan organisasinya. Dalam visinya, Michael Dell melihat masa depan komputer personal sudah suram semenjak dilansirnya smart-phone dan komputer tablet.

***

     Di Nigeria ada badan semacam BPPN (sekarang jadi PT PPA) di Indonesia, namanya AMCON yang mengurusi aset bermasalah di Nigeria. Saat ini AMCON sedang mendivestasi 3 bank yang diselamatkan oleh pemerintahnya, yaitu Afribank, Spring Bank dan Bank PHB. Untuk  urusan ini AMCON menunjuk Citigroup dan Vetiva Capital, sebuah perusahaan pengelola aset asal Afrika sebagai penasehatnya, supaya bisa rampung di kuartal ketiga tahun 2014.  Menurut chief executive AMCON, Mustapha Chike-Obi, pemerintahnya berencana melepas seluruh saham pada investor. Setelah disehatkan nanti ketiga bank itu akan berganti nama jadi Mainstreet Bank, Enterprise Bank dan Keystone Bank.

***

     Begitulah konstelasi pasar global yang dinamikanya senantiasa menuntut daya kritis untuk mencerna sinyal-sinyal perubahan. Dan sinyal perubahan tersebut perlu disikapi dengan kecerdikan dan keberanian demi menggiring perubahan, yang kerap bisa radikal. 

     Banyak model-model teori dalam dunia bisnis dan pemasaran. Semua model serta teori itu sangat bermanfaat untuk memahami sebagian dari realitas. Kita gunakan itu semua di dalam situasi dan konteks yang tepat.

     Steve Nechelput dari GSK, Pierre-Jean Sivignon dari Carrefour SA, Michael Dell dari Dell Inc. dan Mustapha Chike-Obi dari AMCON, adalah beberapa pemimpin bisnis yang sedang dalam pergulatan di arena globalisasi pasar yang dinamika perubahannya berintensitas sangat tinggi. Soal hukum internasional, sosial-budaya dan politik. Dari mereka para pemasar Indonesia bisa mengambil hikmah. Demi mengisi kemerdekaan. 

     Selamat hari raya Idulfitri, dan selamat memperingati hari kemerdekaan RI.

(twitter@andrewenas)
----------------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING, edisi Agustus 2013

Related Posts