Wednesday, August 5, 2015

Agility vs Rigid

Manusia-manusia "Rigid" Akan Sulit Sendiri

Rhenald Kasali
@Rhenald_Kasali

Dalam perjalanan pulang ke Jakarta dari Frankfurt, salah seorang CEO perusahaan terkemuka Indonesia duduk di sebelah saya. Pria berkebangsaan India yang sangat berpendidikan itu bercerita tentang karier dan perusahaannya.

Gerak keduanya (karier dan perusahaannya) begitu lincah, tidak seperti kita, yang masih rigid, terperangkap pola lama, seakan-akan semua layak dipagari, dibuat sulit. Perusahaan sulit bergerak, impor-ekspor bergerak lambat, dwell time tidak konsisten. Ini sama seperti karier sebagian dari kita, terkunci di tempat. Akhirnya, kita hanya bisa mengeluh.

Pria itu dibesarkan di India, kuliah S-1 sampai selesai di sana, menjadi alumnus Fulbright, mengambil S-2 di Amerika Serikat, lalu berkarier di India sampai usia 45 tahun. Setelah itu, ia menjadi CEO di perusahaan multinasional dari Indonesia.

Perusahaannya baru saja mengambil alih sebuah pabrik besar di Frankfurt. Namun karena orang di Frankfurt masih kurang yakin dipimpin eksekutif dari emerging countries, ia membujuk pemasoknya dari Italia agar ikut memiliki saham minoritas di Frankfurt. Dengan kepemilikan itu, pabrik di Frankfurt dikelola eksekutif dari Eropa (Italia).

Solved!

Itu adalah gambaran dari agility. Kelincahan bergerak yang lahir dari fenomena borderless world. Anehnya juga, kita mendengar begitu banyak orang yang cemas menghadapi perubahan. Dunia sudah lebih terbuka, mengapa harus terus merasa sulit? Susah di sini, bisa bergeser ke benua lain. Tak ada lagi yang sulit. Ini tentu harus disyukuri.

Serangan tenaga kerja

Belum lama ini, kita membaca berita tentang kegusaran seseorang yang tulisannya di-forward ke mana-mana melalui media sosial. Mulai dari keagresifan angka pertumbuhan yang berkurang, sampai serangan tenaga kerja dari Tiongkok.

Berita itu di-forward ke sana kemari sehingga seakan-akan tak ada lagi masa depan di sini. Yang mengherankan buat saya, mengapa ia tidak pindah saja bekerja dan berimigrasi ke negara yang dipikirnya hebat itu?

Bekerja atau berkarier di luar negeri tentu akan menguntungkan bangsa ini. Pertama, Anda akan memberi kesempatan kerja kepada orang lain yang kurang beruntung. Kedua, Anda akan mendapatkan wisdom bahwa hal serupa, komplain yang sama, ternyata juga ada di luar negeri.

Rekan saya, CEO yang saya temui di pesawat Lufthansa tadi, mengeluhkan tentang negerinya. "Orang Indonesia baik-baik, bekerja di Indonesia menyenangkan. Kalau diajari sedikit, bangsa Anda cepat belajar. Pikiran dan tindakannya terstruktur. India tidak! Di India, politisi selalu mengganggu pemerintah. Irama kerja buruh tidak terstruktur. Pertumbuhan ekonomi terlalu cepat, membuat persaingan menggila. Rakyatnya makin konsumtif dan materialistis." Kalimat itu ia ucapkan berkali-kali.

Susah? kerja lebih profesional!

Di Italia, guide saya, seorang kepala keluarga berusia muda, mengantar saya melewati ladang-ladang anggur di Tuscany, menolak menemani makan siang yang disajikan mitra kerja Rumah Perubahan di rumahnya yang indah. "Biarkan saya hanya makan salad di luar. Saya dilarang makan enak saat mengemudi," ujarnya.

Kepada putra saya, ia mengajari. "Saat bekerja, kita harus bekerja, harus profesional, gesit, dan disiplin. Cari kerja itu sulit, mempertahankannya jauh lebih sulit. Kita harus lebih kompetitif dari orang lain kalau tetap ingin bekerja," ujarnya.

Di dalam vineyard-nya yang indah, rekan saya menyajikan aneka makanan Italia yang lezat, lengkap dengan demo masak dan ritual mencicipi wine yang dianggap sakral. Di situ, mereka berkeluh kesah tentang perekonomian Eropa yang terganggu Yunani belakangan ini. Lagi-lagi, mereka menyebutkan bahwa kehidupan yang nyaman itu ada di Pulau Dewata, Bali; dan Pulau Jawa.  

Ketika saya ceritakan bahwa kami di Indonesia juga sedang susah, dia mendengarkan baik-baik. "Dari dulu kalian terlalu rendah hati, selalu merasa paling miskin dan paling susah. Ketika kalian sudah menjadi bangsa yang kaya, tetap merasa miskin. Namun, saya tak pernah melihat bangsa yang lebih kaya, lebih merdeka, lebih bahagia daripada Indonesia." Saya pun terdiam.

Di Singapura, saya mengirim berita tentang komplain terhadap masalah dollar AS dan ancaman kesulitan kepada rekan lain yang sudah lima tahun ini berkarier di sana. Ia pun menjawab ringan, "Suruh orang-orang itu kerja di sini saja."

Tak lama kemudian, ia pun meneruskan. "Kalau sudah kerja di sini, baru tahu apa artinya kerja keras dan hidup yang fragile."

Saya jadi teringat curhat habis-habisan yang ia utarakan saat saya berobat ke negeri itu. "Mana bisa kongkow-kongkow, main Facebook, nge-tweet saat jam kerja? Semua harus disiplin, berani maju, kompetitif, dan siap diberhentikan kalau hasil kerja buruk. Di negeri kita (Indonesia), saya masih bisa bersantai-santai, karyawan banyak, hasil kerja tidak penting, yang penting bos tidak marah saja," ujarnya.

Saat itu, ia tengah menghadapi masa probation atau percobaan, dan sungguh khawatir kursinya akan direbut pekerja lain dari India, Turki, dan Perancis yang bahasa Inggrisnya lebih bagus, dan ritme kerjanya lebih cepat. Ternyata, bekerja di negeri yang perekonomiannya bagus itu juga tidak mudah. Padahal, di sana, mereka lihat bahwa kerja yang enak itu ya di sini.

Bangsa merdeka jangan cengeng

Saya makin terkekeh membaca berita yang disebarluaskan para haters melalui grup-grup WA bahwa pemerintah sekarang tidak perform, membiarkan sepuluh ribuan buruh dari Tiongkok melesak masuk ke negeri ini. Sungguh, saya tak gusar dengan serangan tenaga kerja itu. Yang membuat saya gusar adalah kalau hal serupa dilakukan bangsa-bangsa lain terhadap tenaga kerja asal Indonesia di luar negeri.

Penyebar berita kebencian itu mestinya lebih rajin jalan-jalan ke luar negeri. Bukankah dunia sudah borderless, tiket pesawat juga sudah jauh lebih murah. Cara menginap juga sangat mudah dan murah. Kalau saja ia rajin, maka ia akan menemukan fakta-fakta ini: Sebanyak 300.000 tenaga kerja Indonesia bekerja di Taiwan. Sebanyak 250.000 lainnya di Hongkong. Lebih dari 100.000 orang ada di Malaysia. Selain itu, perusahaan-perusahaan kita sudah mulai mengepung Nigeria, Myanmar, dan Brasil, bahkan juga Kanada dan Amerika.

Jadi bagaimana ya? Kok baru dikepung 10.000 orang saja, kita sudah rasial? Ini tentu mengerikan. 

Lalu dari grup WA para alumnus sekolah belakangan ini juga mendapat kiriman teman-teman yang kini berkarier di mancanegara. Delapan keluarga teman kuliah saya ada di Kanada, beberapa di Jerman dan Eropa, puluhan di Amerika Serikat, dan yang terbanyak tentu saja di Jakarta. Semakin banyak orang kita yang berkarier bebas di mancanegara. Karier mereka tidak rigid.

Jadi, janganlah kita cengeng. Beraninya hanya curhat dan komplain, tetapi tak berbuat apa-apa. Bahkan, beraninya hanya menyuarakan kebencian, atau paling-paling cuma mengajak berantem dan membuat akun palsu bertebaran. Kita juga jangan mudah berprasangka.

Syukuri yang sudah didapat. Kecemasan hanya mungkin diatasi dengan berkomitmen untuk bekerja lebih jujur, lebih keras, lebih respek, lebih profesional, dan memberi lebih.

Kalau Anda merasa Indonesia sudah "berbahaya", ya belain dong. Kalau Anda merasa tak senang dengan orang lain, ya sudah, pindah saja ke luar negeri. Mudah kok. Di sana Anda akan mendapatkan wisdom atas kata-kata dan perbuatan sendiri. Di sana, kita baru bisa merasakan kayanya Indonesia. Di sana, kita baru tahu bahwa tak ada hidup yang mudah.


Prof Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria bergelar PhD dari University of Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi anggota pansel KPK sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi acuan dari bisnis sosial di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul Self Driving: Merubah Mental Passengers Menjadi Drivers


Sumber :
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/08/03/054500426/Manusia-manusia.Rigid.Akan.Sulit.Sendiri?page=all

Related Posts