Friday, May 11, 2012

Mengenali Generasi X , Y dan Z



by Jalis

Istilah Generasi X, Y dan Z digunakan untuk merujuk kepada kelompok generasi dalam kumpulan umur tertentu. Don Tapscott dalam bukunya Grown Up Digital membahagikan demografi penduduk kepada beberapa kelompok berikut:

1. Pre Baby Boom (lahir pada 1945 dan sebelumnya)
2. The Baby Boom (lahir antara 1946 – 1964)
3. The Baby Bust (lahir antara 1965 – 1976) – Generasi X
4. The Echo of the Baby Boom (lahir antara 1977 – 1997) – Generasi Y
5. Generation Net (lahir antara 1998 hingga kini) – Generasi Z

1 Pre Baby Boom
Generasi Pre Baby Boom lahir pada tahun 1945 dan tahun-tahun sebelumnya. Billings dan Kowalski menganggap generasi ini sebagai adaptive. Mereka mudah menerima dan menyesuaikan diri dengan keadaan semasa.
Generasi ini dianggap “orang lama” yang mempunyai banyak pengalaman kerana telah lama hidup.

2. The Baby Boom (lahir antara 1946 – 1964)
Generasi The Baby Boom adalah generasi yang lahir antara tahun 1946 hingga 1964. Istilah “baby boom” digunakan Don Tapscott merujuk pada kadar kelahiran yang tinggi selepas Perang Dunia Kedua. Sewaktu peperangan, ramai pasangan menangguhkan kelahiran disebabkan faktor kesusahan semasa perang.
Mereka adalah kelompok generasi yang idealis. Generasi ini hidup berdikari dan tidak lagi terlalu bergantung kepada keluarga. Mereka mementingkan kerjaya atau pekerjaan
“The baby boom” adalah generasi penyiaran (broadcasting). TV, radio dan akhbar mempengaruhi keputusan mereka.

3. The Baby Bust (lahir antara 1965 – 1976)
Selepas era “the baby boom”, kadar kelahiran di Amerika Syarikat turun dengan mendadak.
Terma “the baby bust” , istilah yang sering dipakai ialah “Generation X”, mengambil tajuk novel Douglas Coupland. “X” merujuk kepada kumpulan yang terpinggir dalam masyarakat walaupun mereka mendapat pendidikan yang lebih baik berbanding “the baby boom”,
Gen X ialah generasi internet. Generasi X menganggap internet sebagai media yang tidak memerlukan kepakaran (nonspecialist media). Sesiapa saja boleh gunakan internet dan melahirkan pandangan mereka.

4. The Echo of the Baby Boom (lahir antara 1977 – 1997)
Ini dikenali sebagai Gen Y. Salah satu faktor mengapa “Net Gen” kekal agak lama ialah wanita pada ketika ini memilih untuk berkeluarga dan melahirkan anak pada usia yang agak lewat, iaitu 30an atau 40an.

5. Generation Net (lahir antara 1998 hingga sekarang)
Mereka juga dikenali sebagai Gen Z. Umur mereka yang paling tua sekarang ialah 10 tahun.

Berikut ialah peratusan kelompok ini dalam konteks penduduk Malaysia (lihat “Buletin Perangkaan Sosial” yang diterbitkan oleh Jabatan Perangkaan Malaysia:

* Pre-Baby Boom (63 tahun ke atas) – 4%
* The Baby Boom (45 hingga 62 tahun) – 16%
* The Baby Bust / Gen X (32 hingga 44 tahun) – 21%
* The Echo of Baby Boom / Gen Y (11 hingga 31 tahun) – 21%
* Generation Net / Gen Z (sehingga 10 tahun) – 38%

Antara ciri-ciri yang ketara di kalangan “Generasi X” (berumur antara 32 hingga 44 tahun) dan “Generasi Y” (berumur antara 11 hingga 31 tahun) ialah mereka inginkan kebebasan membuat pilihan dan bersuara, menghargai keterbukaan, ketelusan dan integriti, cenderung kepada “collaboration” dan hubungan antara satu sama lain; interaktif dan inginkan sesuatu secara pantas (speed).
Kelompok Generasi X dan Generasi Y sekiranya dicampurkan menunjukkan dua kelompok ini mewakili 42% dari penduduk Malaysia. Ertinya hampir separuh dari penduduk Malaysia adalah golongan generasi muda dan remaja yang berumur dalam lingkungan 11 hingga 44 tahun, manakala Generasi Z yang merupakan 38% dari jumlah penduduk merupakan kanak-kanak yang masih berada di bangku sekolah rendah.http://sdar948-semasa.fotopages.com/?entry=1970676

Thursday, May 10, 2012

8 Pekerjaan Termudah di Dunia

Orang-orang dengan profesi di bawah ini pasti senang sekali saat hari Senin sudah tiba. Mereka memiliki pekerjaan paling menyenangkan di dunia.


Tukang Tidur Profesional
Qunar, sebuah situs perjalanan China, mempekerjakan tiga orang untuk menguji kenyamanan tidur, kekuatan sinyal wi-fi, kelembutan sandal, dan layanan kamar pada hotel-hotel ternama di seluruh negeri. Sementara itu, Travelodge mempekerjakan seorang ahli tempat tidur untuk tidur di semua kamar jaringan hotel nasional dan menguji kualitas dari setiap kasur. Pada tahun 2006, pria tersebut mendapatkan penghasilan besar. Diperkirakan secara umum dia mendapatkan 1.500 dolar Amerika (sekitar Rp 13,74 juta) per bulan.

Pengicip Cokelat
Di Godiva, penguji cokelat sama terlatihnya seperti penguji kualitas anggur. Ia dituntut untuk menilai kilauan dan retakan cokelat dan mengendus aroma cokelat. Totalnya ia harus menikmati hingga 50 coklat per hari. Penguji cokelat dapat menghasilkan USD 24.000 (sekitar Rp 219,91 juta) hingga 70.000 dolar Amerika (sekitar Rp 641,40 juta), bergantung pada perusahaan. Mungkin terdengar mudah, namun ini merupakan pekerjaan yang sulit didapat. Para penguji Godiva belajar pada "sekolah coklat" untuk mendapatkan pekerjaan tersebut, dan beberapa perusahaan bahkan membutuhkan "penguji-super", yaitu orang-orang yang lahir dengan kemampuan perasa luar biasa. 

Pengumpul Binatang Lucu
Untuk sebagian dari kita, bermain dengan kucing biasanya dilakukan dalam waktu senggang. Namun jika kamu berprofesi sebagai editor situs Cute Overload atau agen casting di True Entertainment, perusahaan di balik acara "Too Cute" Animal Planet, kamu harus mencari cuplikan dan foto dari perilaku kucing dan anjing yang menggemaskan, untuk mendapatkan uang. Gaji rata-rata untuk staf pemula dalam situs tersebut dapat berkisar dari 10 dolar Amerika (sekitar Rp 91.629) per jam atau 40.000 dolar Amerika (sekitar Rp 366,51 juta) per tahun, bergantung pada lokasi, perusahaan, dan tanggung jawab.

Penjaga Rumah
Sangat mungkin untuk hidup seperti seorang milyuner dengan uang 10.000 dolar Amerika (sekitar Rp 91,62 juta) setahun. Sepasang suami istri menghabiskan musim dingin di Pyranees dan musim panas di Antibes, membersihkan dedaunan dari kolam renang mereka, berjalan-jalan dengan anjing, dan mencegah perampok menyatroni sebuah rumah. Penjaga rumah berpengalaman dapat membebankan biaya 200 dolar Amerika (sekitar Rp 1,83 juta) per pekan untuk menjaga rumah seorang milyuner. Untuk pemula, ada Luxuryhousesitting.com, sebuah situs yang menghubungkan para pengelana yang mencari pekerjaan menjaga rumah, dengan para pemilik rumah besar di Florida, Malta, Virgin Islands.

Penonton Televisi
Hanya diperlukan kemampuan mengetik cepat untuk jadi "penonton teve" yang bertugas mentranskrip dialog di teve bagi seorang tuna rungu sambil kamu menemaninya nonton. Ada pula pekerjaan sebagai asisten produksi untuk acara klip seperti "Talk Soup", yang bertugas menonton berbagai channel di teve dan mencari segmen yang pas untuk diberikan kepada produser. Gajinya beberapa ratus dolar per pekan. Dalam Nielson, ada tim peneliti media yang harus terus menonton teve selama 8 jam per hari untuk menonton semua iklan di seluruh jaringan, dengan bayaran 10 dolar Amerika (sekitar Rp 91 ribu) per jam.

Tuan Serba Tahu
Ada sebuah program, partner situs Youtube, yang memproduksi dan menjual video-video "how-to". Mereka menjawab satu hal yang ingin diketahui orang namun terlalu malu untuk ditanyakan. Pertanyaan seperti "bagaimana cara membuat pesawat-pesawatan dari kertas", "bagaimana cara bersiul", bagaimana cara menyeterika baju", dan sebagainya, dalam video tutorial. Pembuat video tersebut dapat menghasilkan hingga 100.000 dolar Amerika (sekitar Rp 916,29 juta). "Aku senang dibayar untuk tidak melakukan apapun," ujar seorang pria yang terkenal lewat video "cara memakai dasi".

Kritikus Spa
Jika kamu seorang yang kritis, mengapa tidak menggunakannya untuk mendapatkan pijatan gratis? Susie Ellis, C.E.O dari Spafinder, mendapatkan ribuan dolar dalam kariernya selama 20 tahun. Dia berkeliling dunia sebagai seorang wartawan, menguji pijatan punggung dan ritual aromaterapi untuk direktori online spa miliknya. Penulis lepas dan editor untuk situs spa dan majalah dapat menikmati semua layanan pijat tersebut dengan santai dan mendapatkan sekitar 20.000 dolar Amerika (sekitar Rp 183,25 juta) dan 90.000 dolar Amerika (sekitar Rp 824,66 juta) per tahun. 

Konsultan Resor
Seorang ibu rumah tangga sekaligus blogger pernah disewa dibayar oleh sebuah resor mewah untuk menghabiskan empat hari di resor mereka sebagai tamu V.I.P. dan meminta pendapatnya tentang bagaimana memperbaiki layanan yang dapat menyenangkan keluarga. Selain liburan gratis, dia mendapatkan 1.200 dolar Amerika (sekitar Rp 10,99 juta). Pekerjaan yang menyenangkan, namun sayang sekali sangat sulit didapatkan. (ik/ml)

http://id.she.yahoo.com/8-pekerjaan-termudah-di-dunia.html;_ylt=AsrjxpKRlTciT9ZijQZWgDAKeuR_;_ylu=X3oDMTNybzJlZmFhBG1pdANLYXJpciBMYXRlc3QgTmV3cwRwa2cDZWY1NmEyOWUtNDUwMi0zZDg2LWE0ZjAtNmEwYmE5OTM4MDk5BHBvcwM2BHNlYwN0b3Bfc3RvcnkEdmVyA2EyYmRiMmEwLTdkOGMtMTFlMS1iZmFiLWJmMWZmNzBhZTYyMQ--;_ylg=X3oDMTFqamtmams5BGludGwDaWQEbGFuZwNpZC1pZARwc3RhaWQDBHBzdGNhdANrYXJpcgRwdANzZWN0aW9ucw--;_ylv=3

Tuesday, May 8, 2012

Pekerja Andal, Tak Sekadar Profesional

KOMPAS.com - Pernahkah kita secara serius mengukur berapa nilai profesionalisme dan keandalan diri kita? Seberapa sering sikap kerja dan kualitas kerja Anda diacungi jempol oleh pelanggan? Seberapa sering pelanggan memberi komentar: “Saya memilih perusahaan ini karena Anda bisa diandalkan”?
Apresiasi pelanggan atas keandalan kita tentu menimbulkan perasaan bangga. Pengalaman ini otomatis bisa membuat kita terdorong untuk mencari cara-cara lain yang bisa membuat pelanggan lebih puas, mendalami dan mencari celah untuk melakukan hal yang lebih baik lagi. Beginilah rasanya kalau kita dihargai karena upaya kita, dibayar dengan rela hati, dan merasa berkembang. Tanpa disadari, kualitas kerja kita juga kita dorong untuk meningkat, sadar bahwa pelanggan menikmatinya.

Setiap orang, setiap pekerja, mustinya sadar bahwa peningkatan keandalan diri adalah prioritas utama. Kita melihat masih begitu banyak situasi yang kita temui, di mana para profesional yang dituntut memberikan layanan yang tepat waktu dan profesional, malah memberikan servis dengan angin-anginan, tidak mempraktekkan prosedur dengan benar, tidak tuntas dalam memenuhi kebutuhan yang diharapkan pelanggan. Seringkali pelanggan tidak mau repot-repot mengeluh, tetapi dengan gampang tidak lagi kembali dan mencari profesional lain.
Ada perusahaan yang memindahkan keagenan produk ke perusahaan lain karena tidak puas, sampai akhirnya si produsen membuka kantor perwakilan sendiri. Lihat betapa para pasien bereksodus ke rumah sakit negara tetangga untuk mendapatkan pelayanan yang lebih profesional. Bahkan, tidak sedikit perusahaan yang “menyelundupkan” supervisor asing, sekadar untuk memandori buruh kita.
Apa yang kita rasakan melihat dicaploknya rejeki dalam pariwisata, dengan pengelolaan asing yang dominan dalam industri pariwisata negara kita sendiri? Para “bule” menjadi wirausaha handicraft, sementara pekerja kita hanya sebagai pekerja kasar karena mereka tidak percaya bahwa orang Indonesia bisa profesional.

Banyak hal yang perlu kita evaluasi. Sadarkah kita bahwa di Komodo, Raja Ampat, Bunaken, yang kita kenal sebagai nirwana selam, terdapat 150 pengelola kapal penyelam yang 95 persen dimiliki dan dikelola orang asing? Apakah kita tidak cukup penyelam? Bukankah para penyelam mutiara di perusahaan-perusahaan mutiara adalah orang Indonesia?
Bagaimana dengan "arlog" (arek logam), penyelam natural  di pinggir kapal feri dan membuat pertunjukan menyelam ke dasar laut untuk mengambil koin? Apakah kita tidak punya kapal? Bukankan kapal pinisi dibuat dengan cantik, kekar, canggih oleh nelayan kita? Apakah kita tidak mengenal servis? Bukankah bangsa Indonesia terkenal murah senyum?
Mengapa eco-tourism di negara kita dominan dikelola oleh asing? Apakah betul ini disebabkan karena pendidikan? Ke mana para sarjana kita yang sudah mengenyam pendidikan tinggi berkualitas? Mengapa penularan profesionalitas tidak kunjung mencapai kualitas jempolan sehingga ada salah satu atau beberapa profesi yang dilirik negara lain, untuk "dibeli" dari kita? Sampai kapan kita biarkan ini terjadi?

Profesionalitas ada di semua profesi
Individu di semua profesi, dengan pendidikan khusus, pendidikan bersertifikat, ataupun sekadar pelatihan, bisa dilihat stakeholder sebagai profesional atau tidak profesional. Bisakah membayangkan sopir taksi yang tidak tahu jalan, atau petugas bandara yang tidak bisa mengarahkan pengunjung bandara yang bertanya loket mana untuk apa? Bagaimana profesionalisme petugas purna jual mesin bergaransi yang tidak bisa tahu "penyakit" mesin atau dokter yang mengirim pasien untuk melakukan pemeriksaan ini-itu yang sebenarnya belum diarahkan diagnosanya?
Kita baru bisa menyebut diri sebagai profesional bila setidaknya kita sadari betul apa yang menjadi tugas, tanggung jawab, batasan wewenang, serta etika dalam pekerjaan kita. Seorang profesional perlu menyajikan “service of value”, sehingga pelanggan selalu merasa nyaman. Hal semacam ini perlu datang dari tiap pribadi, tanpa harus menunggu arahan dari orang lain, bukan? Secara awam saja kita bisa tahu bahwa bila profesionalisme ini tidak kita sikapi secara keras dan tegas, kita tidak akan bisa mengembangkan diri, lembaga, perusahaan tempat kita bekerja dengan subur.

Setiap profesi mempunyai sistem, prosedur pelaksanaan, cara problem solving, serta cara pelayanan yang standar. Penyusunan SOP, penulisan job description dan perumusan key performance indicator memang tidak boleh dipandang sebelah mata, sehingga kita senantiasa bisa mengukur dan mengevaluasi keandalan kita. Di jaman penuh persaingan seperti ini, kita tidak bisa sekadar memenuhi standar, tapi harus melebihi standar, agar bisa stand out di mata pemakai jasa.
Seorang profesional baru terlihat keandalannya bila ia bisa berada di atas kemampuan standar, mampu melihat situasi dan meramalkan apa yang dibutuhkan di situasi tersebut, dan meramal untuk masa depannya. Ia berpikir untuk kliennya atau perusahaan tempat ia bekerja. Ia mempunyai persepsi jangka panjang dan tidak tergoda oleh "quick wins”. Pemakai jasalah yang akan menilai, bagaimana kita tampil, bicara, menulis, mengambil tindakan, dan bekerja. Saat ada salah satu aspek dari pekerjaan ini salah, atau di bawah standar, maka kita langsung dicap sebagai golongan amatir.

Andal: lebih daripada sekadar profesional
Bila kita menelaah pendidikan profesi, di mana pun, kita pasti sadar bahwa jaminan untuk menjadi profesional andal begitu keluar dari pendidikan sangatlah minim. Berapa banyak kasus yang ditangani seorang psikolog ketika kerja praktek di rumah sakit jiwa? Tuntaskah diagnosa, analisa, prognosa, dan terapinya? Berapa kali seorang lulusan pendidikan akuntansi membuat laporan keuangan? Berapa jenis industri yang ditekuninya selagi kerja praktek?
Begitu individu menerima sertifikasi profesinya, tantangannya baru dimulai. Individu yang memang berorientasi untuk jadi profesional akan sibuk mencari kesempatan sebanyak-banyaknya untuk mengasah diri dan terus menambah wawasannya. Kesempatan belajar dan pengembangan diri ini yang juga perlu disediakan dan diberikan oleh pimpinan dan perusahaan.

Kita bukannya tidak bisa mencetak prestasi. Lihat saja dominasi kejuaraan servis di dunia perbankan Indonesia tidak lagi dikuasai oleh perusahaan asing. Bukankah perusahaan kita juga ada yang bisa memamerkan tatakrama, pengelolaan waktu, pemahaman dan pemenuhan kebutuhan pelanggan, komitmen, serta pembinaan hubungan yang kinclong?
Kita bisa, asal mau. Kebisaan dan kemauan ini juga dalam sebuah lembaga harus terjadi turun-temurun. Bila perusahaan berkembang sekali pun, kebisaan dan kemauan ini harus menular sampai tercium ke garda depan.

(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)

http://female.kompas.com/read/2012/03/27/11371139/Pekerja.Andal.Tak.Sekadar.Profesional

Proaktif sejak Magang agar Sukses Berkarier

KOMPAS.com - Pencari kerja, termasuk Anda yang tengah merintis karier di bidang yang Anda minati dan memiliki persaingan kerja tinggi, penting untuk bersikap proaktif. Kesuksesan dalam dunia kerja tak hanya disumbangkan oleh kegigihan mencari peluang, namun juga menciptakan kesempatan. Sikap proaktif ini juga perlu ditumbuhkan sejak masa magang, yang merupakan bagian penting dalam perjalanan karier Anda.

Desainer fashion Ardistia Dwiasri membuktikannya. Kesuksesannya mengangkat label fashion siap pakai Ardistia New York, yang kini dikenal di lima benua, juga turut disumbangkan oleh pengalaman dari masa magang. Perempuan yang akrab disapa Disti ini mengedepankan sikap proaktif, baik saat menjalani dua tahun masa magang hingga tiba waktunya mencari pekerjaan selepas menuntaskan pendidikan fashion design di Parsons School of Design, New York, Amerika Serikat pada 2003 silam.

Pengalaman yang didapatkannya dari magang, bekerja freelance dan full time, di berbagai perusahaan fashion internasional ternama menjadi bekal baginya merintis label secara mandiri. Ia merintis label sejak 2005 dan meluncurkan koleksi perdana Ardistia New York pada 2007. Sukses berkiprah di dunia internasional, Disti fokus menyasar pecinta mode di Indonesia sejak 2011 lalu.

"Pengalaman magang saya, total dua tahun. Setelah lulus kuliah sebelum bekerja full time, saya bekerja freelance. Dalam satu semester masa kuliah, saya magang di tiga perusahaan fashion yang berbeda. Saya mulai magang sejak semester pertama saat kuliah. Setelah lulus, saya membuat daftar perusahaan fashion yang ingin saya kirimkan resume. Saya membuat 300 resume yang berbeda untuk dikirimkan ke perusahaan fashion tersebut. Dari 300 resume itu, saya mendapatkan kesempatan 33 kali wawancara kerja, dan akhirnya mendapatkan dua tawaran kerja," ungkap Disti kepada Kompas Female melalui hubungan telepon, Senin (26/3/2012).

Kompetisi kerja yang tinggi di New York, dan kecilnya kesempatan bekerja di perusahaan fashion ternama, menjadi tantangan sekaligus kondisi yang harus disikapi dengan cara kreatif dan proaktif. Kebiasaan bersikap proaktif menciptakan peluang kerja sesuai passion. Menurut Disti, persaingan kerja yang ketat sebaiknya memang disikapi dengan cara-cara proaktif.

Ia menyontohkan, kesempatan magang di departemen desain perusahaan fashion ternama Diane von Furstenberg (DVF) di New York, didapatkannya karena proaktif menciptakan peluang. Membuat daftar perusahaan fashion yang diincar, menyusun resume, mengirimkan resume ke perusahan tersebut, menghubungi perusahaan fashion untuk mengkonfirmasi lamaran yang dikirim, merupakan sejumlah cara proaktif yang dilakukan Disti sejak masa magang.

"Setelah berhasil magang di DVF, saya baru mengetahui ternyata DVF tidak membuka kesempatan magang. Kebanyakan mahasiswa yang magang di sana mencari sendiri kesempatan magang tersebut, dengan proaktif mengirimkan resume dan menanyakan kembali melalui telepon dan fax. Saat itu belum menggunakan email," jelasnya.

Proaktif tak hanya dibutuhkan saat mencari perusahaan tempat anda magang atau bekerja freelance maupun penuh waktu. Anda juga membutuhkan sikap proaktif saat menjalani berbagai tugas di berbagai tahapan dalam karier. Saat magang misalnya, Anda bisa menawarkan diri untuk membantu bidang kerja di luar tugas Anda untuk mencari pengalaman dan menambah pengetahuan. Dengan memelajari berbagai hal seputar bidang kerja yang akan Anda geluti nantinya, Anda akan lebih siap menghadapi tantangan berkarier.

Disti membuktikan buah manis dari sikap proaktif ini. Satu tahun sejak menyelesaikan pendidikan di sekolah fashion, Disti berhasil menempati posisi sebagai technical design pada perusahaan fashion Tommy Hilfiger, New York, pada 2004. Sebelumnya, di tahun yang sama ia mengumpulkan pengalaman bekerja freelance dari Ann Taylor dan GAP Inc., keduanya berbasis di New York.

Cara proaktif ini tak hanya berlaku bagi mereka yang ingin menggeluti dunia fashion. Kesempatan kerja tak hanya bisa dicari, tapi juga bisa diciptakan. Saat merintis karier, Anda tak hanya mengandalkan lowongan pekerjaan yang tersedia. Anda juga bisa membuat daftar perusahaan yang Anda incar, mengirimkan resume kepadanya dan proaktif menindaklanjutinya. Di era persaingan kerja yang semakin ketat, sikap proaktif dapat membantu Anda meraih sukses mendapatkan pekerjaan idaman dan karier ideal.

http://female.kompas.com/read/2012/03/26/13365853/Proaktif.sejak.Magang.agar.Sukses.Berkarier

3 Bahasa Asing Penunjang Karier

KOMPAS.com - Berencana mengembangkan karier di dunia internasional? Ke depannya diperkirakan ada tiga bahasa yang semakin populer, yakni Mandarin, Jepang dan Jerman.

Perubahan kepentingan suatu bahasa sangat dipengaruhi oleh seberapa penting arti perekonomian negara tersebut di mata dunia internasional.

Diprediksikan, China yang berpenduduk paling banyak di dunia, kelak menjadi negara yang menguasai perekonomian dunia, Jadi, jika Anda ingin memiliki daya jual tinggi di bursa tenaga kerja internasional, cobalah menguasai bahasa Mandarin.

Begitu pun bahasa Jepang yang tak kalah penting. Walau Jepang kini tak lagi menguasai perekonomian Asia, masih banyak perusahaan Jepang yang menanamkan investasinya di Indonesia.

Sedangkan Jerman, negara ini merajai teknologi di kawasan Eropa dan banyak membuka peluang kerja bagi WNI. Bahkan pemerintah Jerman juga dikenal royal menawarkan beasiswa untuk mahasiswa Indonesia.



http://female.kompas.com/read/2012/04/11/10531589/3.Bahasa.Asing.Penunjang.Karier

Temukan "Passion" dari 4 Pertanyaan Ini

KOMPAS.com - Banyak orang yang mengaku tak mengetahui apa passion-nya dalam hidup. Tak sedikit juga orang yang mengaku punya passion tapi tak tahu cara mewujudkannya, dan selalu mencari alasan di balik ketidakmampuannya ke luar dari kondisi yang dianggapnya menyulitkan untuk mewujudkan passion.

Anda butuh duduk tenang dan berpikir untuk menemukan passion, jelas psikolog dan pendiri Daily Meaning Alexander Sriewijono. Sejumlah pertanyaan ini juga bisa Anda ajukan ke diri sendiri, untuk membantu menemukan passion termasuk mewujudkannya.

1. Hal apa yang paling Anda sukai dari aktivitas atau pekerjaan?
Alex mengungkapkan orang paling sering salah mengartikan passion sebagai pekerjaan. "Passion tidak sama otomatis dengan pekerjaan," tegasnya.

Alih-alih bertanya pada diri apa yang Anda punya (pekerjaan atau aktivitas), akan lebih baik menanyakan hal apa dari pekerjaan yang membuat Anda selalu bersemangat? Hal apa dari aktivitas Anda yang paling disukai?

Menjawab sejumlah pertanyaan ini dapat membantu Anda memahami makna passion yang sesungguhnya, hingga akhirnya memudahkan Anda untuk mewujudkan passion.

2.  Satu kata apa yang paling merepresentasikan diri Anda?
Pertanyaan ini penting diajukan dan punya kaitan erat dengan passion. Hanya dengan mengenali diri sendiri seutuhnya, Anda bisa menjadi seseorang yang jauh lebih "bersinar".

Orang lain dapat melihat bagaimana Anda menjalankan aktivitas atau pekerjaan dengan penuh semangat dan bergairah, karena Anda berhasil merepresentasikan diri yang sesungguhnya. Jadi pikirkan kembali, satu kata apa yang paling mewakili diri Anda, sebagai langkah awal mengenali diri lebih mendalam. Semakin Anda mengenali diri sendiri, Anda mampu menemukan dan mewujudkan passion.

3. Apa yang Anda kerjakan?
"Hati-hati, karena ini merefleksikan pekerjaan Anda," jelas Alex. Ia menyontohkan, penulis yang memiliki passion akan menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan, "Saya mengerjakan sesuatu untuk memengaruhi orang lain" atau "Saya mengerjakan sesuatu untuk membuat dunia lebih berwarna". Passion akan mendorong Anda menjawab pertanyaan semacam ini dengan lebih bermakna, bukan sekadar menjelaskan secara harfiah apa yang Anda kerjakan untuk hidup.

Setiap orang memiliki passion yang berbeda meski aktivitas atau pekerjaannya sama. Inilah yang membedakan Anda dengan orang-orang lain se-profesi misalnya. Dengan memahami apa yang Anda kerjakan, dan tahu mengapa Anda melakukan pekerjaan tersebut, Anda takkan menjadi korban dalam hidup atau dengan kata lain Anda akan selalu passionate menjalankan apa pun aktivitas Anda.

4. Seperti apa cara berpikir Anda?
Alex mengatakan, orang yang punya passion akan selalu berpikir berangkat dari apa yang ia mau bukan berangkat dari apa yang ia punya. Dengan kata lain ia memiliki pola pikir quantum leap.

Untuk mencari jawaban atau solusi dari apa pun kondisi, pilihan, tantangan yang sedang dihadapinya, ia kemudian akan bertanya pada dirinya tiga hal ini:
* Apa yang paling diinginkan terjadi?
* Apa yang sudah saya punya?
* Apa yang harus saya lakukan?

Sebagai contoh, jika saat ini Anda memiliki uang Rp 2 juta, enam bulan dari sekarang Anda mau berlibur ke mana? Dengan memiliki cara berpikir quantum leap, seseorang akan memberikan jawaban yang boleh jadi dianggap tak masuk akal bagi orang lain.

Misalnya, ada orang yang menjawab, "Saya akan berlibur ke Eropa" atau "Saya akan berlibur ke Bali". Orang yang memiliki pola pikir quantum leap akan memberikan jawaban yang didorong oleh passion dalam diri,  dengan berpikir, "Tak ada yang tak mungkin, dan semua hal bisa saja terjadi dalam hidup". Orang seperti ini mendasarkan jawaban pada keinginannya untuk ke Eropa, bukan mendasarkan jawaban pada apa yang ia punya (Rp 2 juta) saat ini.

Artinya, ia meyakini bahwa ia mampu ke Eropa enam bulan ke depan, meski uang yang dimilikinya saat ini hanya Rp 2 juta. Lantas apa yang akan terjadi? Ia akan menempatkan keinginannya (berlibur ke Eropa) sebagai fokus utama, lalu ia akan tergerak untuk menganalisa kembali apa yang ia punya saat ini dan ia takkan berhenti sampai disitu, karena setelahnya ia akan berupaya mencari cara bagaimana agar ia bisa ke Eropa.

Semangat dan gairah dalam dirinya lah, yang pada akhirnya mendorongnya untuk mewujudkan keinginan, berlibur ke Eropa, dengan segala daya yang dikerahkan tanpa terkalahkan oleh kondisi apa pun.

http://female.kompas.com/read/2012/04/19/22534662/Temukan.Passion.dari.4.Pertanyaan.Ini

Menyikapi Generasi Y di Dunia Kerja

KOMPAS.com - Generasi Y semakin banyak memasuki dunia kerja. Generasi milenium ini menjadi sumber daya manusia yang nyatanya memang dibutuhkan perusahaan. Generasi Y memiliki karakter berbeda dengan generasi X apalagi generasi baby boomer. Perusahaan pun perlu melakukan penyesuaian juga perubahan, karena dunia kerja pun juga telah berubah.

"Generasi Y sudah masuk ke dunia kerja, penyesuaian perusahaan pun harus ada. Perusahaan harus memfasilitasi. Dunia berubah, perusahaan juga membutuhkan generasi Y ini," jelas Yulia Yasmina, Senior Director Management Consulting Indonesia Lead Accenture, kepada Kompas Female di sela seminar sumber daya manusia di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut Yulia, perusahaan perlu melakukan penyesuaian dalam dunia kerja jika ingin sumber daya manusianya, para generasi Y, memberikan kontribusi maksimal. Meski begitu, bukan berarti perusahaan hanya berkonsentrasi pada generasi Y saja, dan generasi lainnya terlupakan.

Hanya saja, lanjutnya, generasi Y ini memang butuh penanganan tepat karena karakter dan cara mereka bekerja pun tak sama dengan generasi sebelumnya.

Yulia mengatakan, generasi Y memiliki kemampuan multitasking, kompetitif, dan cenderung mengandalkan teknologi dalam bekerja. "Mereka bisa bekerja dengan gadgetnya sendiri, dan menjaga keseimbangan kerja dengan kehidupan pribadi penting bagi mereka. Mereka technology savvy dan mampu mengerjakan pekerjaannya mengandalkan teknologi," jelasnya.

Generasi Y membutuhkan kepercayaan dari manajemen juga fleksibilitas. Teknologi dan gadget yang sudah menjadi teman baik bahkan rekan kerjanya, membuat generasi milenium ini lebih membutuhkan keleluasan bekerja di mana dan kapan saja, untuk mengerjakan berbagai tugas yang diberikan atasannya.

"Mereka bisa bekerja dari rumah, dari kafe, dunia kerja generasi Y tak harus di kantor. Berikan tugas, dan ia akan mengerjakan di mana saja asalkan selesai tepat waktunya. Generasi Y membutuhkan waktu untuk juga bersenang-senang, selain bekerja," lanjutnya.

Karakter generasi milenium inilah yang semestinya mampu diakomodasi perusahaan, jika tak ingin kehilangan tenaga kerja yang potensial. Menurut Yulia, generasi Y memiliki banyak potensi dan kelebihan yang dapat memberikan kontribusi pada perusahaan. Terutama cara bekerja dan semangat mereka.

"Akui saja keberhasilannya, berikan pengakuan atas hasil kerjanya, hanya dengan mengatakan 'good job' misalnya, mereka akan lebih bersemangat dalam bekerja dan siap menerima tugas berikutnya dari atasannya," saran Yulia.

Marta Jonatan, Human Resources Director PT Microsoft Indonesia mengakui pentingnya mengakomodasi generasi Y ini. Namun baginya, kultur bekerja dalam perusahaan termasuk dalam menyikapi generasi Y semestinya disesuaikan kebutuhan dengan juga mempertimbangkan segmen market perusahaan tersebut.

"Kultur seperti apa yang dibutuhkan acuannya bukan generasi tapi lebih kepada segmen market. Kami bergerak di industri teknologi informasi, maka kami pun menyesuaikan dengan segmen market yang kebanyakan adalah generasi Y. Perusahaan dan generasi Y memang memiliki kedekatan. Lebih dari 70 persen karyawan di Microsoft juga berasal dari generasi Y, sehingga kultur bekerja pun akhirnya menyesuaikan," jelas Marta pada kesempatan yang sama.

Felksibilitas yang dibutuhkan generasi Y bukan semata menyangkut waktu bekerja. Bagi Marta, manajemen perusahaan juga perlu memahami cara mengelola karyawan dengan prinsip flexible style.

"Jangan menghakimi anak muda dengan mengatakannya tidak sopan mengenakan jeans ke kantor. Bagi generasi baby boomer atau generasi X, gaya kasual dengan jeans boleh jadi tak sopan, tapi tidak demikian bagi generasi Y. Manajemen perlu lebih fleksibel dalam mengatur berbagai generasi yang bekerja di perusahan. Agar generasi X bisa menerima generasi Y, dan generasi Y bisa memahami generasi X," jelasnya.

Menurut Marta, generasi Y punya lebih banyak pilihan. Kalau mereka tidak diakomodasi, ketidakpuasan dalam bekerja bisa saja muncul dan jangan heran jika mereka menjadi kutu loncat karenanya.

Untuk memunculkan kecintaan dan kesetiaan terhadap pekerjaan, perusahaan harus mampu mengakomodasi kebutuhan berbeda dari sumber daya manusianya. Salah satu caranya, dengan memberikan perasaan nyaman dan diterima bagi sumber daya manusia lintas generasi, terutama generasi Y.

"Merasa diterima di tempat kerja sangat penting, untuk memunculkan kecintaan pada pekerjaan," tandasnya.

http://female.kompas.com/read/2012/04/27/11065516/Menyikapi.Generasi.Y.di.Dunia.Kerja

Related Posts