Gus Dur – panggilan almarhum KH Abdurrahman Wahid – selalu mengingatkan agar jangan menyepelekan peran masyarakat karena mereka punya peran signifikan dalam membangun bangsa.
Pesan Gus Dur itu terasa semakin penting untuk didendangkan kembali ke permukaan. Apalagi di tengah kegagalan Negara dalam melaksanakan amanat konstitusi, terutama dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam laporan “From Reformasi to Institusional Transformation” yang dirilis ASH Center for Democratic Governace and Innovation, Hardvard Kennedy School, Indonesia tertinggal dibandingkan dengan Negara-negara Asia lain, seperti China, Vietnam, Thailand, Malaysia, India, dan Filipina. Ketertinggalan itu bisa dilihat dari aspek penanaman modal asing, produksi barang-barang manufaktur, dan pendidikan.
Masalah utama dari ketertinggalan: pemerinah tidak mampu menerjemahkan kemajuan ekonomi ke dalam kemajuan sosial. Hal tersebut bisa dilihat dari minimnya investasi dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Pertumbuhan ekonomi kerap diteropong dari kacamata makro, bukan realitas mikro yang menyentuh langsung hajat masyarakat luas. Masyarakat yang berada di lapisan paling bawah tidak merasakan klaim pertumbuhan ekonomi yang selalu digembar-gemborkan pemerintah.
Pun pemberantasan korupsi tidak mengalami kemajuan yang signifikan. Bahkan, cenderung berjalan di tempat karena indeks Persepsi Korupsi Indonesia tetap 2,8 atau berada pada posisi 110 dari 178 negara (Kompas 27/10). Bahkan, pemerintah secara telanjang sedang mempertontonkan upaya pelemahan sistematis terhadap pemberantasan korupsi, salah satunya dengan memidanakan sejumlah pimpinan KPK. Fakta yang masih segar dalam ingatan publik adalah kasus Bank Century yang merugikan uang Negara: Rp 6,7 triliun dibiarkan menguap ditelan tsunami ke laut yang tidak bertepi.
Masyarakat sipil
Dalam kondisi yang mencemaskan itu, diperlukan inisiatif dari masyarakat sipil. Pernyataan Gus Dur agar memberdayakan masyarakat sipil semakin releven, khususnya dalam rangka menggemakan kembali spirit yang menggelora dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Pada masa itu, inisiatif untuk mengukuhkan kebangsaan dimulai dari para pemuda. Pada masa kini, spirit dalam menggemakan kebangsaan dan keadilan sosial harus diambil alih oleh masyarakat sipil.
Yoos Lutfi, sebagaimana Gus Dur, juga menekankan pentingnya masyarakat sipil dalam membangun kemandirian bangsa. Faktanya, eksistensi bangsa ini dalam sejarahnya tidak hanya ditentukan oleh para elite. Mayarakat mempunyai peran yang tidak kalah besarnya dalam membangun kemandirian, terutama dalam sektor ekonomi.
Pengalaman koperasi tanggung renteng yang dikelola oleh Yoos Lutfi telah menumbuhkan harapan besar perihal pentingnya gerakan masyarakat sipil. Gerakan tersebut diinisiasi oleh kalangan perempuan di bawah kepemimpinan Ibu Zaafril. Mereka memulainya dengan arisan kecil-kecilan yang diikuti kalangan perempuan sehingga akhirnya menjadi gerakan koperasi.
Ada dua hal yang menonjol dalam gerakan tersebut: menumbuhkan saling percaya sesama anggota dan disiplin yang tinggi. Hingga sekarang, gerakan mereka tersebar dari Aceh hingga Sulawesi, dengan omzet miliaran rupiah. Istimewanya, tingkat kredit macet mereka mendekati 0 persen. Kuncinya, mengubah perilaku perempuan yang terlibat dalam kegiatan koperasi. Sistem tanggung renteng hingga saat ini sudah digunakan oleh 200 primer koperasi di seluruh Tanah Air, yang tergabung dalam Induk Koperasi Wanita.
Dalam skala yang lebih luas, gerakan koperasi tanggung renteng tidak hanya membuahkan keuntungan finansial, tetapi juga mampu menumbuhkan demokrasi deliberatif di kalangan perempuan: demokrasi yang mendorong keterlibatan dan komunikasi aktif oleh publik.
Ada beberapa hala menarik yang lahir dari gerakan tersebut, yaitu tumbuhnya keberanian mengemukakan pendapat, disiplin, percaya diri, tanggung jawab, pendidikan, rasionalitas, kebersamaan, dan kaderisasi secara berkelanjutan.
Secara tidak langsung, gerakan masyarakat sipil, sebagaimana dilakukan Yoos Lutfi, telah memberikan makna yang amat besar dalam penguatan demokrasi dan keadilan sosial di republik ini. Bahkah, Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian asal Banglades yang popular dengan gerakan bank untuk orang-orang miskin, secara blak-blakan menyatakan bahwa gerakannya di Banglades mendapatkan inspirasi dari koperasi tanggung renteng yang dikembangkan oleh Ibu Zaafril dan Yoos Lutfi.
Karena itu, gerakan masyarakat sipil – sebagaimana diinisiasi oleh kalangan perempuan melalui koperasi tanggung renteng – dapat dijadikan sebagai acuan untuk menyelamatkan negeri ini dari keterpurukan dan kegagalan yang bersifat permanen. Meskipun Negara selalu jatuh bangun dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana diamanatkan konstitusi, masyarakat sipil tidak boleh terpuruk. Masyarakat sipil harus menjadi pilar yang terpancang kuat untuk menjaga merajut kebangsaan dan kemanusiaan.
Emansipasi
John dan Doris Naisbitt dalam China’s Megatrends menegaskan pentingnya fondasi yang kuat untuk menuju kebangkitan sebuah bangsa. Belajar dari China yang saat ini mulai mnguasai perekonomian dunia, para pemimpin China di akhir dasawarsa 1970-an mendeklarasikan pentingnya emansipasi pemikiran.
Pada masa itu, masyarakat China terjebak dan terbelenggu dalam indoktrinasi ekonomi-politik yang bersifat sentralistik dan hirarkis. Setiap orang tidak mempunyai pemikiran yang bebas untuk mengartikulasikan pikirannya. Deng Xiaoping mendeklarasikan pentingnya emansipasi pemikiran. Setiap orang tidak lagi hanya berkutat dalam indoktrinasi dan idiologi sempit, melainkan harus mencari kebenaran melalui fakta-fakta. Seruan Xiaoping yang sangat populer: “Keluar dari sawah agar melihat Lumpur di kaki mereka”.
Belajar dari China, setiap orang di negeri ini harus menyadari dengan baik di manakah posisi mereka sekarang. Meski ada terobosan untuk keluar dari kepompong keterpurukan. Putri Kuswisnu Wardani mempunyai resep yang menarik dalam rangka mewujudkan Indonesia Incorporated, yaitu perlunya sinergi dan sinkronisasi antara akademisi, pengusaha, dan pemerintah.
Bermula dari emansipasi masyarakat sipil dan sinergi diantara akademisi, pengusaha, dan pemerintah, maka upaya membangun Negara yang kuat dan bermartabat bukanlah sebuah mimpi. Syaratnya, asalkan kita mulai dari sekarang. (Kompas, 29/10/2010)
Saturday, January 21, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Related Posts
-
Kamar mandi / toilet biasanya dilengkapi dengan perlengkapan untuk buang air kecil maupun besar. Kamar mandi yang dilengkapi dengan urina...
-
Salah satu senjata ampuh para eksekutif untuk meningkatkan kariernya kini adalah dengan menempuh jalur pendidikan keprofesian bersertifi...
-
Cerita di Balik Penutupan Pabrik Panasonic dan Toshiba Penutupan tiga pabrik Toshiba dan Panasonic di Indonesia membawa dampak pemutusa...
-
Sebaiknya PPIC dibagi menjadi: PPIC Planner, bertugas untuk membuat perencanaan atau MPP (Master Production Plan) dan MRP (Material Req...
-
What exactly is 5S? Simply stated, a 5S is the structured method to organize the work place. As evidenced by its name, there are 5 steps ...
No comments:
Post a Comment