Saturday, January 21, 2012

Makna Kesatuan Indonesia

Oleh: Jakob Sumardjo

“Yang merusak kerukunan persaudaraan, merusak dirinya sendiri,” begitu kata RM Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini.

Sosrokartono (1877-1952) adalah pejuang pergerakan nasional sejak tahun 1925 dan pejuang anti-pendudukan Jepang. Dia bersahabat dengan Soekarno, Setiabudhi, Dr Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantoro. Dia juga dikenal dan dikenang rakyat kecil sebagai “dokter” penyembuh segala penyakit hanya dengan air putih.

Sosrokartono dicaci maki oleh dokter-dokter Belanda sebagai penipu, tukang jual obat, dukun. Namun. Sosrokartono mengatakan. “Yang saya pegang adalah agama saya, Islam dan kejawen saya.” Dia dikenal jujur, menolak pembayaran apa pun, sama sekali tidak kaya, dan wafat sebagai bujangan. Beliau sangat rajin berpuasa.

Kita tidak menyangka Sosrokartono adalah seorang sarjana kesusastraan Timur di Leiden yang menguasai 17 bahasa Eropa dan sembilan bahasa daerah Indonesia serta bahasa-bahasa Timur. Selama 26 tahun hidup di Eropa, dia tercatat sebagai penerjemah di Liga Bangsa-Bangsa, Geneva dan wartawan Perang Dunia I untuk New York Herald dan New York Herald Tribune.

Akan tetapi, dia tidak menemukan tujuan hidupnya di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Ada sesuatu yang kosong dalam dirinya. Sampai pada suatu hari dia mendoakan seorang gadis kecil, putri sahabatnya, yang orang Perancis di Geneva, menaruh tangan di kepalanya, dan hari itu juga si anak minta makan.

Padahal, para dokter sudah memutuskan ketidakmungkinan anak yang sudah tidak sadar beberapa hari itu bisa sembuh. Sejak itu ia mengerti panggilan hidupnya. Tahun itu juga, 1925, dia kembali ke Indonesia dan menetap di Bandung.

Kearifan lokal

Untuk zaman kita sekarang ini, tentu banyak orang yang akan bersikap seperti dokter-dokter Belanda pada zaman kolonial itu: tidak memercayai “klenik” semacam itu, yang mampu menyembuhkan puluhan ribu orang — dari rakyat kecil sampai sultan-sultan di Sumatera dan bahkan tentara Belanda dengan air putih dan secarik kertas berhuruf Alif.

Amuk massa, tawuran, bentrok antar kampung, bentrok antar fakultas serta perusakan dan pembunuhan karena beda iman terjadi akibat Indonesia telah melupakan akar-akar budayanya sendiri. Indonesia mencaplok begitu saja budaya-budaya lain tanpa sikap kritis sama sekali.

Mereka terlalu percaya adanya kebenaran tunggal yang universal. Kalau Amerika bisa, kenapa kita tidak? Kalau di Pakistan begitu, kenapa Indonesia tidak menjiplaknya?

Mengapa kearifan-kearifan lokal Indonesia yang selama ratusan bahkan ribuan tahun berhasil mendamaikan hidup rakyat kecil setelah tahun 1950-an, dan terutama setelah 1998, memorakporandakan kehidupan di Nusa Damai ini?

Sejak nenek moyang bangsa Indonesia menempati kepulauan ini, keragaman budaya yang ratusan itu bisa hidup berdampingan. Tidak ada ambisi untuk menyamaratakan semua budaya itu dalam satu kebudayaan tunggal yang monolit.

Barang siapa berusaha menyamaratakan Indonesia dalam kebenaran tunggalnya, rakyat akan bangkit menumpasnya apabila saat yang tepat tiba. Peristiwa pembangkangan komunisme dan DI/TII membuktikan hal itu.

Kesatuan Indonesia tak akan bisa mengingkari keragamannya karena geografi Indonesia beragam. Indonesia bukan hanya padang sabana, bukan padang pasir saja, bukan padang es saja, bukan bukit-bukit saja, bukan dikepung lautan saja, melainkan gabungan semua itu.

Bahkan lebih beragam dari itu. Bagaimana Anda akan menghapuskan keragaman yang kodrati itu dalam satu pukulan kekerasan yang seragam?

Kesatuan berwujud justru karena adanya keberagaman. Kalau semua sudah seragam, untuk apa disebut kesatuan? Seragam itu nilainya hanya satu. Kesatuan dan keberagaman adalah bagaimana menjalin sistem hubungan saling menghidupi antara yang beragam itu. Anda akan ikut sakit bila salah satu partner Anda dalam sistem hubungan kesatuan itu sakit. Kalau sengaja menyakiti, bahkan meniadakan salah satu unsur jaringan tersebut, bukan hanya Anda yang akan mati, melainkan juga seluruh kesatuan.

Saling membutuhkan

Sejak dahulu kala, daerah Jawa itu perlu bagi Indonesia karena menyumbang kebutuhan beras bagi beberapa daerah. Akan tetapi, Jawa juga membutuhkan Nusa Tenggara karena sumbangan kayuwanginya, membutuhkan kayu-kayu besi untuk keraton-keraton Jawa, membutuhkan Maluku karena rempah-rempahnya, membutuhkan Papua karena satwa yang bisa dijual di China.

Kita ini saling membutuhkan untuk dapat meneruskan hidup ini dengan selamat dan sejahtera. Kalau Indonesia seluruhnya Anda jadikan sawah, lantas mau dibuang ke mana surplus beras kita itu? Itulah ibaratnya. Sekarang ini kita tidak mengenal apa peran yang akan dilakukan masing-masing untuk saling menunjang dan mengisi kebutuhan kita secara keseluruhan karena keseluruhan tak lain adalah keseragaman.

Kesatuan itu bermakna justru karena adanya keberagaman peran sehingga satu sama lain peduli untuk saling menolong dan menghidupkan. Kesatuan yang seragam akan memusnahkan dirinya kalau kelemahan dirinya tak tertolong lagi.

Dalam bidang kerohanian pun agama-agama besar dunia masuk Indonesi dan berkembang sesuai keberagaman itu. Buah apel itu akan berbeda-beda rasanya kalau ditanam di Malang, di pegunungan Papua, atau di tanah persawahan Jawa.

Adalah Aki Sasmi, seorang warga Baduy yang tak pernah sekolah, pada 1950-an mengatakan kepada guru Suria Saputra, mewakili kearifan lokal penduduk desa.

Kira-kira begini perkataan Aki Sasmi: “Sungguh baik sekali kalau di dunia ini hanya ada satu agama yang dipeluk manusia. Aku bersedia memeluk agama yang hanya satu itu bila semua tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan dapat dimakan, tidak beracun lagi. Semua daging hewan dapat dimakan, tidak memabukkan lagi. Dan semua manusia baik lelaki maupun perempuan sama cantiknya, tidak buruk seperti aku.” [Jakob Sumardjo, Budayawan, Kompas, 12/3/2011]

-------

Berbagai-bagai pendapat, sikap, tindakan dilakukan dalam menjalani kehidupan manusia di dunia yang fana ini, khususnya di negara kesatuan Indonesia yang asri ini. Sehingga dalam perspektif yang lain selalu saja ada yang tidak merasa, tahu-tahu ada sekelompok orang sudah berada, masuk dalam suatu lubang goa yang dalam dan gelap, dengan tujuan ingin melakukan penyelamatan kehidupan makhluk yang hidup dalam lubang goa tersebut. Tidak merasa takut, karena datang bergerombol, berkelompok, dengan membawa penerangan, dan tiap orang memegang obornya masing-masing.

Dengan gagah berani, semangat membaja mencoba maju terus menerobos kegelapan lubang (goa), walau hanya berbekal penerangan yang ada, sebatas yang diketahui dan yang dimilikinya.

Di dalam kegelapan goa, mereka berusaha memberikan penerangan-penerangan kepada umat dan makhluk yang ditemuinya. Bahkan kemudian kecenderung berlaku seperti penguasa, apa saja yang ditemui dianggap wilayah kepunyaannya, dan hendaknya mengikuti kemauannya – padahal di situ banyak, bahkan beragam makhluk, yang telah lama hidup dalam harmoninya. Perjalanan pun semakin dalam, masuk dalam kegelapan. Dalam benak mereka seolah sedang melakukan suatu misi suci dalam usaha penerangan dan penyelamatan kehidupan manusia dari kegelapan lubang yang dalam.

Perjalanan semakin dalam, ternyata bekal penerangan terbatas, sehingga desakan antara kebutuhan hidup dan kepanikan hidup bercampur-baur menjadi satu…

Makhluk hidup di dalam goa pun bingung, karena mereka merasa tidak hidup dalam kegelapan – sebab walaupun mereka hidup dalam lubang yang gelap, namun hati dan pikirannya selalu mereka jaga untuk dijauhkan dari kegelapan... Mereka percaya kepada Yang Maha Kuasa sebagai junjungannya dalam alam semesta ini, meskipun hidup di dalam goa, namun taat dan tekun berdoa sebagai hal yang utama.

Akhirnya, justru makhluk goa lah yang menyelamatkan rombongan tersebut, karena mereka memahami hakikat makhluk hidup itu, yang kadang pikirannya hidup di jalan terang, lain waktu di jalan gelap, dan tahu persis hakikat ke arah mana jalan menuju terang di dalam goa itu. Sehingga rombongan pun selamat, dan semua telah diselamatkan – tidak ada satu korban pun jatuh. Mengapa terjadi demikian? Karena mereka sebagai makhluk hidup ternyata menyadari betul bahwa hakikat hidup itu harus saling menyelamatkan, dan menjadi jalan terang bagi umat lain yang membutuhkannya, lebih-lebih bagi yang sedang berada dalam kegelapan. Bukan dengan kekerasan, dan penganiayaan, namun dengan kasih sayang dan rasa welas asih. Maka semua makhluk pun akan hidup damai, rukun dan bahagia di seluruh alam semesta, khususnya di bumi persada Indonesia tercinta ini.

Menuju Indonesia bahagia, sejahtera, maju dan bermartabat.

Best Regards,

Retno Kintoko

No comments:

Post a Comment

Related Posts