Saturday, January 21, 2012

Bangsa main-main

Oleh: M Alfan Alfian

Heboh penampakan Gayus Tambunan di Bali mencerminkan proses penegakkan hukum negeri ini masih sangat diwarnai adegan main-main. Kasus ini membuat getir.

Rasa keadilan tertampar. Publik seolah semakin mendapat penegasan bahwa di negeri kita uang adalah segalanya. Semua bisa dibeli, termasuk ketidakadilan. Lantas, sedih nian rasanya manakala orang masih dapat dengan mudah melabeli negeri ini sebagai negeri suap, surganya para penyuap dan tersuap, serta bangsa main-main, yang tak pernah serius. Apakah perwatakan sejati kita memang demikian?

Para sejarawan biasanya mengajak menengok kembali ke zaman VOC atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur (1602-1798). Perusahaan Belanda yang bercokol di koloni yang sekarang disebut Indonesia itu memiliki sejumlah hak istimewa dalam memonopoli perekonomian. Ia semacam negara dalam negara. Dan, betapa kekayaan Nusantara disedot luar biasa.

Tetapi, ironisnya VOC kemudian diberitakan bangkrut dan dibubarkan. Salah satu versi popular mengapa bangkrut adalah karena mengecambahnya kultur dan praktik korupsi di dalamnya. Korupsi dipicu gaya hidup hedonis dan boros. Belum lagi terbiusnya para pejabat dan mentalitas feodalisme yang konon terinspirasi dari raja-raja Jawa.

Tuntutan untuk menyelaraskan gaya hidup metropolis dan terbukanya peluang untuk korupsi karena sistem membuat praktik korupsi menyubur. Gayus adalah salah satu potret puncak gunung es teater perilaku korupsi yang terungkap. Ia membuat sakit hati, bukan hanya ribuan pegawai negeri lain yang bergaji pas-pasan, melainkan juga hampir kita semua terbelalak. Betapa perilaku zaman VOC nyatanya masih terpraktikkan sedemikian rupa pada era reformasi ini.

Main-main

Ketidaksempurnaan reformasi kita, antara lain, terutama disebabkan oleh masih bertahannya mentalitas main-main yang notabene juga mentalitas koruptif. Tentu saja pikiran masih mengajak untuk mengatakan, jumlah orang jahat lebih sedikit dibandingkan dengan yang baik. Tetapi, bukankah kita punya pepatah “Akibat nila setitik, rusak susu sebelanga”?

Mentalitas culas itu, manakala terpraktikkan, sedikit atau banyak, akan berakibat fatal bagi semua. Apalagi, apabila mentalitas itu terpraktikkan dalam sistem yang koruptif. Ketika peluang terbuka lebar, muncullah upaya untuk bermain-main dengan api, yang sesungguhnya mudah membakar.

Yang terkena proses hukum terpikir dalam benak untuk menyuap aparat penegaknya. Dengan berbagai dalih, tak cuma gaji yang pas-pasan, juga guna memenuhi standar gaya hidup hedonis, para aparat tergoda pula oleh main-main itu. Adegan-adegan di bawah gunung es, kita bayangkan lebih mengerikan, ketimbang yang terungkap di puncaknya karena daya rusaknya luar biasa.

Mentalitas korupsi membuat banyak yang sadar atau tidak menjadi kurang serius bekerja. Alam bawah sadar sering kali menggoda mempraktikkan sologisme, janganlah bekerja terlalu keras dan serius demi pencapaian prestasi puncak secara obyektif dan cemerlang, toh hal seperti itu tidak membuat sekaya koruptor. Dengan kata lain, alam bawah sadar di tengah-tengah kultur dan sistem koruptif sering mengajak berkompromi dan bermain api.

Hal itu menjauhkan kita dari berfikir dan bertindak mandiri memajukan bangsa mengingat sejak mulai dari mentalitas, masih terbebani oleh paradigma jalan pintas, culas, mengorbankan yang lain, menginjak-injak keadilan sosial. Pada bagian ini patutlah kita renungkan apa yang sering dikeluhkan para tokoh perjuangan tempo dulu, kita masih terbelenggu oleh mentalitas bangsa terjajah, bangsa kuli.

“Trial and error”

Semangat untuk memperbaiki sistem agar korupsi tak dapat dipraktikkan dengan demikian mudah, sesungguhnya telah menjadi bagian integral dari paket reformasi. Kebijakan anti korupsi merupakan bagian utama dari reformasi birokrasi. Pembenahan membutuhkan konsep yang implementasinya membutuhkan waktu. Namun, sampai kapan?

Demokrasi memungkinkan, apa yang sering dikatakan almarhum Nurcholis Madjid, trial and error. Arinya, semangat dan kesungguh-sungguhan melakukan evaluasi dan perbaikan harus mewujud secara nyata. Perbaikan-perbaikan mutlak dilakukan secara sungguh-sungguh, bukan sekedar main-main.

Kalau main-main saja kita tidak akan maju-maju. Bahkan, seolah kita sedang membangun rumah pasir di pinggir pantai, yang mudah hancur tersapu ombak. Mudah-mudahan kita tidak terlalu sering mengulangi kesalahan dan tetap berhati-hati dalam melangkah ke depan, dengan penuh kesungguh-sungguhan.

[M Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta, Kompas, 18/11/2010]

No comments:

Post a Comment

Related Posts