Saturday, January 21, 2012

Main Api Terbakar

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Kultur buram menyandera kita. Peribahasa Melayu itu selengkapnya berbunyi: “Main api terbakar, main air basah”. Artinya, setiap perbuatan yang menyerempet bahaya atau perbuatan kotor, si pelaku harus berani menanggung risikonya, jangan dipikulkan ke atas pundak orang lain.

Peribahasa ini akan saya pakai sebagai pisau pembedah tentang karut-marutnya. kultur Indonesia mutakhir di ranah politik kekuasaan, ekonomi, hukum, dan moral. Keempat ranah ini sudah bertali berkelindan sehingga amat sulit memisahkannya. Satu sama lain saling menempel dan mungkin sudah saling berselingkuh. Politik punya tujuan ekonomi, sebaliknya ekonomi perlu payung politik. Di antara keduanya posisi hukum diperlemah dan diperdagangkan. Pertimbangan moral sudah lama menguap, entah ke mana.

Harus ada jalan ke luar

Karena kondisi moral bangsa sudah demikian rapuh dan pengap, kelakuan mereka yang mengaku beragama atau yang tak hirau dengan agama sudah tidak bisa dibedakan lagi (ingat peristiwa tragedi penyerangan umat Ahmadiyah, di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Minggu 6/2/11, dan peristiwa Temanggung, Selasa, 8/2/2011). Itulah kultur buram Indonesia sekarang yang dapat kita amati dengan gampang siang dan malam melalui berbagai media cetak, elektronik, dan dalam pembicaraan di mana-mana, di kota dan di kampung.

Di warung-warung kopi di seluruh Nusantara, Anda dapat menyaksikan dan merasakan betapa dalamnya guncangan kultural yang tengah menyandera publik dalam rentangan radius yang sangat luas. Dalam perspektif fenomenologi semuanya ini tentu menarik untuk diteropong, sekalipun benang kusutnya tidak mudah diurai dan dibongkar karena menyangkut sistem kekuasaan yang sedang berlaku.

Di tengah kultur yang menyesakkan napas itu, siapa sebenarnya yang tega main api? Apakah auktor intelektualisnya berupa sosok perorangan atau berupa kekuatan masif, kita belum bisa memastikan.

Selama auktornya tetap bersembunyi, publik akan terus meraba-raba secara spekulatif dengan maksud baik dan damai, atau karena ingin perubahan radikal dengan segala akibatnya. Kelompok terakhir ini mewakili arus kecil dalam masyarakat yang tidak peduli lagi apakah perubahan yang dibayangkan itu akan berdarah-darah dan merusak bangunan milik publik.

Bagi mereka, itu semua risiko setiap perjuangan. Saya sendiri memang ingin perubahan, tetapi harus tetap damai, konstitusional, dan haram berdarah-darah. Kita jangan lagi membebani bahu bangsa yang sudah sarat beban yang nyaris tak terpikul. Dalam bacaan saya, semua sisi gelap di atas adalah akibat logis syahwat kekuasaan mereka yang tuna moral yang telah lama mengubur dan menjungkirbalikkan nilai-nilai luhur Pancasila.

Syahwat yang tak terkendali pasti membutakan mata, membunuh kesadaran rohani, dan di ujungnya tragedi ini: bangsa dan negara akan digiring ke posisi kehilangan kedaulatan di tengah-tengah lautan kemiskinan sebagian rakyat kita. Dari sudut pandang inilah saya sangat berharap dalam tempo tak terlalu lama mereka yang telah main api cepat siuman dan tak meneruskan petualangan syahwat yang merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara yang susah payah dibangun selama ini. Pemain api adalah pengkhianat. Titik! Titik-titik api yang mendesak untuk dipadamkan.

Kita ambil masalah-masalah besar saja sejak tiga tahun terakhir. Dari sumber-sumber yang punya otoritas, saya mendapatkan info cukup mengerikan tentang siapa sebenarnya yang bermain api itu. Namun, untuk pengungkapannya lebih jauh sekarang, biarlah waktu yang akan memberi tahu publik pada saatnya.

Yang perlu dijaga adalah agar bangsa dan negara ini tetap utuh dan damai, tidak oleng dan terkoyak-koyak. Masa depan Tanah Air yang elok ini masih bisa diselamatkan dengan syarat kita tak membiarkannya terus meluncur menjadi bangsa paria, tempat agen-agen domestik sedang bekerja untuk itu, sadar atau tidak sadar.

Mesir di bawah Hosni Mubarak adalah contoh telanjang tentang betapa jauhnya cakar neoimperialis itu telah membius Mesir. Anda tentu sudah tidak sabar menunggu apa yang saya maksud dengan permainan api itu, bukan? Sebenarnya publik sudah tahu masalah-masalah besar itu, tetapi siapa pemain yang sebenarnya masih gaib oleh sebagian besar publik kita.

Serangkaian drama

Saya sendiri masih terus mengumpulkan data valid tentang semuanya itu. Ada beberapa kasus aneh yang perlu dibicarakan di sini. Misteri pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen yang kemudian menyeret Antasari Azhar sebagai Ketua KPK ketika itu ke meja hijau bukan perkara sederhana. Kesaksian ilmiah ahli forensik kenamaan, Dr Mun’im Idris, yang membantah rekayasa pihak kepolisian tentang penyebab kematiannya masih dibiarkan menggantung di awang-awang. Juga kesenjangan yang sangat jauh antara tuntutan jaksa dan keputusan hakim terhadap Antasari kian menghilangkan kepercayaan publik kepada institusi penegak hukum.

Pada saatnya, drama ini harus dibongkar lagi. Jika tidak oleh penguasa sekarang penguasa berikutnya tidak punya pilihan lain kecuali membukanya untuk publik. Pembongkaran ini akan memberi tahu kita siapa yang main api di belakang panggung politik ini. Apa kaitannya dengan perhitungan suara dalam Pemilu 2009 di tangan KPU-nya yang tidak profesional.

Drama kedua yang tidak kurang mengganggu adalah rekayasa terhadap Bibit Chandra yang pernah ditahan dan sampai hari ini Komisi III DPR masih bersilat lidah untuk mempersoalkan kehadiran mereka di DPR. Tampak jelas di sini bahwa politik kepentingan pragmatis anggota DPR tidak bisa disembunyikan lagi.

Masih bertalian dengan kasus Bibit Chandra pemberhentian Susno Duadji sebagai Kabareskrim dan kemudian memperkarakannya juga tak boleh dipandang enteng. Susno adalah saksi dan sumber kunci tentang banyak hal, seperti Daftar Pemilih Tetap pemilu, skandal Bank Century dan tentu masih banyak yang lain. Pembungkamannya — karena di sumbat mulutnya untuk berbicara kepada publik — hanya akan kian mengeruhkan kondisi politik yang memang sudah keruh. Pada saatnya, kita mungkin akan tahu peta politik sebenarnya tentang siapa bermain api di belakang penangkapan Susno ini.

Drama ketiga adalah kasus Gayus Tambunan yang nyaris mengalahkan negara. Di belakang mafia pajak ini pasti berkomplot para pejabat merangkap pejabat penting yang telah pula bermain api untuk membakar republik tercinta ini. Kasihan Indonesia yang telah dijadikan panggung bulan-bulanan oleh anak-anaknya sendiri yang sarat dusta (baca:bohong) dan dosa melalui perbuatan hitam sementara kepemimpinan nasional terasa kian lemah dan kehilangan perspeklif.

Akhirnya, Anda jangan terlalu risau. masih ada optimisme di sini. Sekali nilai-nilai luhur Pancasila ditegakkan di ranah politik, ekonomi, hukum, dan moral; pasti akan segera ketahuan siapa yang main api selama ini dan pasti akan terbakar. Dibakar oleh kesadaran tulus dan dalam warga negara tentang perlunya pembelaan terhadap bangsa dan negara agar tidak tiarap di depan kekuatan mana pun dan di depan siapa pun. Negeri milik kita ini bukanlah negeri tempe yang tidak mampu bangkit serentak bagi suatu langkah besar ke depan secara kolektif. (Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Kompas 7/2/2011)

---------

Berbahagialah rakyat, bangsa dan negara yang masih memiliki pemimpin yang bisa dipilih oleh rakyatnya. Namun, celakalah bila suatu bangsa ternyata dikuasai oleh pemimpin2 yang rakus, korup dan serakah bahkan lebay…. yang ternyata penuh nafsu syafaat kekuasaan yang sulit kendalikan oleh aturan, tatanan nilai-nilai demokrasi dan moralitas bangsa Indonesia. Hingga rakyat dibiarkan menderita dalam kemiskinan, keterpurukan, kenestapaan dan penderitaan… yang penting kesejahteraan dan kemakmuran masih ada dalam genggaman kuasanya – kendati pun itu membangkrutkan negara. Kekuasaan hanya dipakai sebagai pijakan kepentingan bersama kelompoknya, makmur berkembang, mengabaikan rakyat sebagai pihak lain yang seharusnya dilindungi dan diperjuangan kesejahteraannya.

Jemaah Ahmadiyah dan pengerusakan gereja2 adalah contoh korban akumulasi ‘sebuah kekuasaan’ kehidupan beragama dan berbangsa. Mereka korban kebiadaban, kebrutalan dan kebengisan saudara-saudaranya yang sok ‘merasa punya kuasa’. Padahal sebenarnya justru mereka seharusnya diberi pengertian dan pembinaan oleh negara dengan tegas! Tentu tidak perlu harus dengan tembak di tempat, walaupun toh apa yang mereka lakukan mirip dengan perampokan, pengrusakan dan pembunuhan. Jadi paling tidak musti diburu, ditangkap, dipenjara, dan dijatuhi hukuman setimpal dengan perbuatan kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan – serta kembali disuruh menjalani ajaran agamanya dengan baik dan benar – dengan menyadarkan dan memberi pengertian bahwa tindakan itu tidaklah pantas dilakukan oleh orang-orang yang taat dan menjunjung tinggi nilai dan moral agamanya. Mengingat banyak saudara seagama turut mengutuk, mencegah dan prihatin mengapa hal tersebut terjadi berulang dan berulang kembali, serta menodai ajaran agamanya. Bagaimana pun para korbannya adalah orang2 yang taat, tekun dan beriman menurut kepercayaannya. Karena ini menyangkut soal kepercayaan seseorang, menyangkut pilihan keyakinannya, jelas berkaitan dengan HAM universal seseorang. Kok ini malah dipaksa2, disalah2kan bahkan sampai dibunuh oleh orang2 lain, yang mengaku beragama dengan benar – nggak kebalik ni?! Dan sudah berulangkali mereka secara dangkal pemahaman dan masif menyalahgunakan ajaran agamanya sebagai kedok alat pembenaran untuk menyerang, melukai dan merusak hak milik agama/orang lain. Atau malah syukur2 bisa dijadikan kuda tunggangan kelompok, untuk kepentingan politis, ekonomi bahkan kekuasaan. Dengan demikian, dalam hal ini... negara tidak boleh lemah, letoy, apalagi lebay…. sehingga jangan sampai peristiwa serupa terjadi kembali, seolah kita tidak pernah mau belajar kepada realita praktik keagamaan yang salah, namun terus berulang.

Kalau pun berpraktik agama masih salah, memang itu juga wajar dan manusiawi. Namun kalau ternyata kesalahan praktik keagamaan itu berakibat menyengsarakan dan menyakiti orang lain, bahkan hingga menghilangkan nyawa, tentu itu bukan lagi praksis keagamaan yang benar, namun lebih bersifat tindak kejahatan kemanusiaan. Contoh sederhana terjadinya korban tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), tentu pihak pelaku beralibi ‘terpaksa melakukan dengan maksud baik’ hanya cara yang dilakukan menimbulkan penderitaan/korban bagi orang lain – padahal tanpa disadari tindakan itu justru menyakiti diri sendiri. Sehingga terpaksa yang berwenang harus menggunakan hukum dan keadilan sebagai piranti ketertiban kehidupan masyarakat, haruslah ditegakkan.

Kita bersyukur masih ada sosok para negarawan sejati seperti halnya Buya Ahmad Syafii Maarif dan banyak tokoh-tokoh lain, yang terus berjuang dengan gigih, sangat perduli, menjaga dan selalu memikirkan tentang pentingnya para pemimpin bangsa menjunjung tinggi moralitas bangsa Indonesia, yang sementara ini menurutnya, telah hilang entah ke mana. Bila di kemudian hari (terakhir tragedi Cikeusik dan Temanggung) terjadi kekerasan dengan mengatasnamakan agama, dan ternyata negara tidak dapat segera mengusut tuntas dan menghukum setimpal para pelakunya, maka kita tidak tahu lagi kebijakan politik apa lagi yang sedang diperankan oleh pemerintah kepada masyarakatnya. Lebih-lebih apabila kemudian tidak bisa mengatasi dan menjamin ketentraman kehidupan beragama di negeri ini…! Pantas saja bila kemudian di tengah perjalanan berbangsa muncul permasalahan besar seperti ‘mafia pajak dan mafia hukum, mafia century, mafia rekening gendut para petinggi...' dan sebagainya yang ternyata selama ini telah membelit dan menggurita dalam kehidupan birokrasi negeri ini. Yang jelas, sejak awal negara republik Indonesia ini didirikan oleh para founding fathers bukan diperuntukan bagi para mafia, yang hanya berusaha menyandera negara dan rakyatnya. Melainkan untuk tujuan mulia, menjamin kesejahteraan kehidupan masyarakat dan rakyatnya.

Maka saat ini hendaknya kita semua mengingat kembali, menyadari dan eling, bahwa rakyat telah banyak mengorbankan kehidupannya, paling tidak otoritas dan kekuasaannya telah diwakilkan dan dipercayakan kepada penyelenggara negara/pemerintah. Salah satunya berupa anggaran dana negara, biaya, waktu dan devisa untuk menyelenggarakan pemerintahan ini, untuk menggaji, menghidupi dan membiayai kehidupan berbangsa dalam mengelola bangsa ini. Anggaran dana setahun 220 trilyun lebih, tidaklah sedikit, telah dikelola oleh para penyelenggara negara, – eksekutif, legislatif, yudikatif, dan dunia usaha pun banyak berperan serta menentukan melalui Senayan. Jadi jangan lagi megorbankan masyarakat, dengan penderitaan lain lagi – dengan tindakan aneh-aneh, yang tidak penting, oleh tindakan semena-mena yang tidak pantas, terulang kembali.

Janganlah sampai kita salah mengartikan dan memaknai arti kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara hanya oleh kepentingan nafsu syafaat kekuasaan belaka, sehingga akhirnya hanya menjadikan bangsa ini tersesat, bahkan sekarat. Namun raihlah prestasi dalam segala lini kehidupan sebagai wujud persembahan bagi bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila, yang sehat, bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat, kini dan di masa depan.

Menuju Indonesia bahagia, maju dan bermartabat.

Best Regards,

Retno Kintoko

No comments:

Post a Comment

Related Posts