Saturday, January 28, 2012

Angsa Itu Mulai Beranak Elang

Kairetsu yang dapat diartikan sebagai Perkongsian ini sebenarnya
merupakan strategi Jepang dalam berbisnis automotif di seluruh dunia.
Caranya adalah para perusahaan besar automotive memiliki share di
perusahaan-perusahaan lain yang merupakan groupnya, misal Toyota
Group, ada Toyota Motor Company, Toyota Tsusho Indonesia, Toyota
Engineering dll.

Perusahaan besar Jepang tersebut kemudian bekerjasama dengan banyak
perusahaan local di seluruh dunia untuk produksi komponen, stamping,
hingga perakitan but mostly dengan raw material adalah imported dari
steel mills Jepang seperti Nippon Steel, Kawasaki Steel yang notabene
steel producer ini juga memiliki share di Toyota Group. Disinilah
letak "Keiretsu" nya Jepang, mereka akan tetap menomorsatukan raw
material yang berasal dari group mereka sehingga perekonomian mereka
tetap bergerak. Komposisi Krakatau Steel sebagai local content
hanyalah sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali.

Kita cukup kebablasan dengan di ambil alihnya kepemilikan saham astra
di TAM oleh Toyota Motor Company Jepang untuk kemudian berganti nama
menjadi TMMC, Toyota Motor Manufacturing Company. Akibat dari hal ini
secara financial adalah retain earning perusahaan lari ke Jepang
semuanya, secara moral pekerja Indsonesia seperti menjadi tamu di
negeri sendiri dan secara operasional peningkatan local content
Krakatau Steel yang diperjuangkan Astra tidak lagi terdengar.

Morale of the story adalah peraturan pemerintah yang memberikan
kebebasan perusahaaan asing untuk memiliki 100% saham di Indonesia
telah menjadi bumerang. Steel producer Indonesia yang seharusnya bisa
memberikan kontribusi lebih kepada industri otomotif Indonesia tidak
berjalan mulus, padahal bila menggunakan material Krakatau Steel kita
terhindar dari import duti yang tinggi sehingga harga mobil tidak
perlu seperti sekarang ini.

Secara resmi zaibatsu (financial cliques) yang melahirkan keiretsu
(corporate groups), memang pernah dilarang saat Jepang diduduki oleh
Amerika
Serikat. Namun ketika kekuatan ekonomi Jepang mulai membaik sekitar tahun
1960-an-1970-an, zaibatsu bangkit lagi. Dunia bisnis Jepang kembali
membuat
pengelompokan seperti yang pernah ada pada masa sebelum perang. Namun
berbeda dengan zaibatsu yang lebih jelas, keiretsu bersifat agak
samar-samar.

Selama ini, para perencana ekonomi atau badan pengembangan teknologi dan
ilmu pengetahuan di negara-negara berkembang, sepertinya tidak pernah
memeriksa berapa jumlah perusahaan yang mendukung, perusahaan besar Jepang
untuk menghasilkan sebuah produk. Bila penelitian ini pernah dilakukan,
tidak mustahil sejak awal mereka bisa mengetahui bahwa alih teknologi dari
Jepang tidak akan pernah terjadi. Mereka akan sadar bahwa pemindahan
kegiatan industri Jepang ke negara-negara berkembang, tak lebih hanyalah
sekadar penyewaan lokasi untuk pabrik dan tenaga buruh, terutama
sehubungan
dengan yendaka.

Gambaran lebih gampang bagaimana cara melihat bentuk keiretsu ini
beroperasi, dapat dilihat jelas dari geliatan bisnis Jepang yang ada di
industri otomotif dan elektronik, yang memiliki ratusan sampai ribuan mata
rantai perusahaan. Dari situ akan terlihat bagaimana imposible-nya
negara-negara berkembang melakukan alih teknologi tersebut.

Gampangnya, ada satu negara berkembang ingin melakukan alih teknologi
elektronika TV atau mobil, maka negara ini tak cukup hanya membawa satu
perusahaan saja untuk masuk ke negaranya dan kemudian bisa terjadi alih
teknologi. Tetapi harus membawa ratusan atau ribuan perusahaan yang
tersubordinasi atau yang menjadi pendukung perusahaan utama tersebut.

* * *
PERTANYAAN besarnya, apakah mungkin pemindahan atau pembuatan semacam
duplikat dari mata rantai perusahaan-perusahaan sebanyak itu. Ini baru
satu
persoalan saja, yakni pemindahan perusahaan saja, belum termasuk alih
teknologi.

Dalam kasus Toyota misalnya, sebuah studi menyebutkan bahwa lapisan atas
struktur organisasi piramida Toyota, tersusun oleh 10 perusahaan
subkontraktor utama. Di luar ini ada dua lagi perusahaan lain, tapi tidak
berkaitan dengan kegiatan manufakturing. Total perusahaan pada lapisan
atas
berjumlah 12 unit. Namun jumlah tersebut masih di tambah lagi oleh dua
perusahaan, yang dalam kesan umum sering dirasakan sebagai saingan
Toyota di
pasaran mobil, yakni Daihatsu Motors dan Hino Motors yang dikonsentrasikan
pada truk.

Pada lapisan menengah piramida itu terdapat pula dua grup pembuat
komponen.
Masing-masing adalah kyoho-kai (Toyota cooperative association), yang
terdiri dari 183 perusahaan dan kemudian Eiho-kai (Toyota Prosperity
Association), yang terdiri dari 65 perusahaan. Totalnya 248
perusahaan, ini
baru perusahaan yang nampak dalam keiretsu Toyota.

Di bawah perusahaan-perusahaan ini masih terdapat pula beberapa angkatan
perusahaan dalam urutan hirarki, yang masing-masing terdiri pula dari
ratusan perusahaan. Namun berapa pastinya jumlah perusahaan yang ada dalam
jaringan keiretsu Toyota, barangkali hanya Toyota sendiri yang tahu.

Semua ini memang hanyalah gambaran yang tidak sepenuhnya utuh, namun
minimal
mendekati kebenaran mengenai otomotif Toyota. Sebab di luar gambaran ini
masih ada pula jaringan distribusi yang mencapai 4.750 perusahaan.

Seperti yang ada dalam bayangan orang pada umumnya, sekadar untuk membuat
kaca spion saja, perusahaan-perusahaan industri mobil Jepang
memerlukan tiga
atau empat perusahaan kecil. Perusahaan terakhir melakukan tugas untuk
merakit hingga menjadi spion. Keempat perusahaan ini tak mungkin sendiri,
karena satu sama lain merupakan dari rangkain sistem.

Ciri semacam ini bukan khas dominasi dari Toyota, tetapi merupakan
khas dari
seluruh perusahaan besar di Jepang. Matsushita misalnya, memiliki
rantai 160
perusahaan, yang masing-masing perusahaan memiliki lagi mata rantai kecil
hingga yang paling kecil yang tidak sedikit jumlahnya. Demikian juga
dengan
Sony, Hitachi, dan Mitsubishi, semua mengikuti pola seperti itu.

Sebuah contoh konkret tentang berlakunya aturan main tersebut adalah, soal
terbakarnya pabrik rem milik Toyota di Perfektur Aichi beberapa bulan
lalu.
Akibat tidak mungkinnya Toyota memperoleh suplai dari luar
jaringannya, maka
perusahaan ini harus menghentikan produksi beberapa hari. Akibatnya Toyota
menderita kerugian milyaran yen, karena harus menunggu salah satu
pensuplai
dari lingkungan sendiri memproduksi komponen rem yang diperlukan.

* * *
KEMBALI dalam hubungan antara Jepang dan mitra dagangnya selama ini, jelas
terlihat bahwa pengejaran oleh angsa yang berada di belakang dalam kawanan
angsa menurut flying geese model jelas tidak akan pernah terjadi. Ini
belum
lagi jika faktor-faktor lain ikut diperhitungkan sebagai misal, sikap
perusahaan-perusahaan Jepang yang ada kalanya, jelas-jelas menghalangi
negara berkembang untuk melangkah sendiri atau menyalahi garis yang
ditetapkan.

Kasus pengembangan teknologi Mazda tua yang berhasil dilakukan KIA dari
Korsel pada pertengahan tahun 1980-an yang akhirnya menimbulkan kekecewaan
KIA, karena Mazda menolak memberi restu atas teknologi tersebut. Masih
dalam
konteks Korsel, dalam industri semi konduktor, sering kali dikatakan koran
bahwa Korsel telah mengalahkan Jepang.

Tapi di luar cerita di koran-koran, ilmuwan Korsel sendiri mengeluh bahwa
akibat ketergantungan pada Jepang, total hasil keuntungan dari penjualan
semi konduktor tersebut ternyata lebih besar dikantungi Jepang
beberapa kali
lipat daripada Korsel-nya sendiri.

Barangkali ketidakpuasan yang kini mulai timbul di negara-negara mitra
Jepang di Asia, terutama sekali dalam hal alih teknologi, apakah tidak
mungkin bahwa industri yang ada di negara berkembang tersebut adalah
jaringan keiretsu Jepang. Kalau perkiraan ini salah, pertanyaan yang
timbul
selanjutnya, melihat dasar dan rumitnya jaringan keiretsu, serta
aturan atau
komitmen-komitmen yang dipegang teguh para anggota, tampaknya hampir
mustahil bagi negara berkembang untuk bisa tumbuh menjadi kekuatan
industri
yang mandiri.

Kalau hanya sekadar dilihat dari sisi menumbuhkan lapangan kerja baru,
barangkali kehadiran perusahaan Jepang bisa dianggap bermanfaat. Sisi
lainnya hanya sekadar untuk memperoleh wahana latihan dalam sistem
industri
modern, walau hanya sepotong-sepotong.

Jadi sangat keliru jika hubungan bisnis yang terjalin melalui investasi
Jepang di Indonesia selama ini, merupakan rumus efektif untuk memaksa
Jepang
melakukan alih teknologi. Setelah proses itu terjadi, kemudian negara
berkembang itu sendiri menjalankan berbagai proses produksi dari awal
hingga
akhir. Padahal dalam sistem keiretsu, ibaratnya semua itu tak lebih
hanyalah
tangan perusahaan Jepang yang ada di negara berkembang, dari ribuan tangan
yang mengenggam kepingan teknologi dari produk yang dihasilkannya.

Proses tak terjadinya alih teknologi dalam industri otomotif nasional,
sekali pun telah bermitra seperempat abad dengan Jepang, tidak perlu
ditanggapi sebagai kekecewaan. Masalah itu sebenarnya sudah harus disadari
sejak awal, bahwa hal itu memang tidak mungkin pernah terjadi. Kita telah
kehilangan waktu sekitar seperempat abad, karena ketidakjelian lembaga
terkait dalam membaca "nafas bisnis" Jepang yang sesungguhnya yang tetap
berobsesi ingin menjadi saudara tua, cahaya dan pelindung bagi Asia.

Bila ingin menguasai teknologi dan akhirnya menjadi mandiri, Indonesia
mungkin bukan harus menjadi angsa yang adem dan terbang lembut di belakang
dalam formasi huruf "V" terbalik itu. Melainkan harus berubah menjadi
elang
yang tangguh. Namun untuk menjadi elang yang tangguh harus ada kepastian
hukum, permainan yang adil dan kompetitif, tidak membuang peluang, menjaga
kewibawaan, performance yang bagus, kesungguhan, serius, dan tidak
menganggap segala sesuatunya sebagai barang mainan sesaat.

Tetapi harus dilihat sebagai sesuatu peluang besar untuk membawa
bangsa ini
menjadi mandiri, karena waktu, tenaga, dana dan kehormatan yang
dipertaruhkan untuk menjadi elang itu sudah terlalu besar dikeluarkan.
Kalau
semua pengorbanan yang dilakukan oleh seluruh masyarakat ini tak diimbangi
dengan kemampuan yang maksimal, bukan saja si induk angsa beserta
rangkainnya yang menghantamnya, tetapi juga kolega angsa itu ikut
menghantamnya. (Banu Astono/ Yusron Ihza)

Sumber : Kompas

No comments:

Post a Comment

Related Posts