Sunday, March 11, 2012

Hubungan Kerja, Romantisme atau Realisme ?

Oleh

Arbono Lasmahadi*

Hari itu Jum'at sore, saat jam dinding belum genap menunjukan Pukul 16.00 WIB. Hardi, seorang Manajer Keuangan terlihat meninggalkan ruang kerja atasannya, Reinhard, Direktur Keuangan dan Pengawasan. Hardi dan Reinhard baru saja menyelesaikan pertemuan empat mata diantara mereka, yang dimulai sekitar Pukul 14.00 WIB. Hardi tampak tidak gembira. Air mukanya menunjukan kegalauan dan kesedihan. Dia tidak mampu menyembunyikan kegalauan dan kesedihannya, yang selama ini mungkin mampu ia lakukan di hadapan anggota timnya. Hardi yang selama ini dikenal sebagai seorang yang periang dan banyak canda. Sore itu dia tak tampil seperti biasanya. Tak sepatah kata-pun yang keluar dari mulutnya. Biasanya, selepas pertemuan manajemen atau pertemuan pertemuan penting lainnya, Hardi selalu berbagi cerita dengan anggota tim-nya, sejauh informasi yang disampaikannya tidak bersifat rahasia atau belum boleh menjadi konsumsi umum. Sore itu, ia langsung masuk ke ruang kerjanya dan mengurung diri rapat-rapat di dalamnya. Bahkan pertemuan dengan anggota timnya yang biasa dia lakukan di akhir minggu, dia batalkan sepihak, tanpa penjelasan lebih lanjut.

Sore itu Hardi baru saja mendapatkan informasi dari atasannya tentang "rencana perceraian" dari pihak perusahaan tempatnya bekerja saat ini kepada dirinya. Karena reorganisasi yang terjadi di perusahaan, posisi yang selama ini dia pegang akan dihilangkan. "Kisah kasih" yang dibangunnya bersama dengan perusahaan selama 19 tahun, harus diakhiri dengan kesedihan, dan seolah sirna disapu badai krisis keuangan perusahaan. Loyalitas yang selama ini menjadi senjata ampuh baginya untuk bertahan di perusahaan, ternyata saat ini tak lebih dari sebuah busur panah, tanpa anak panah. Loyalitasnya ternyata juga tak mampu lagi menyelamatkannya saat berhadapan dengan realitas bisnis saat ini. Hardi seperti tersentak dari mimpi-mimpi indah yang menemani tidurnya selama ini. Mimpi indah untuk mengakhiri karirnya di saat masa pensiun tiba. Namun untung tak dapat diraih, dan malang tak dapat ditolak. Hardi harus mengakhiri karirnya di usia 50 tahun. Hanya 5 tahun menjelang akhir dari masa baktinya. Peristiwa ini seperti sebuah pukulan telak yang telah membuatnya terhuyung-huyung.

Krisis keuangan yang mendera perusahaan Elektronik tempat Hardi bekerja, telah membuat perusahaan mengambil langkah efisiensi, yang salah satunya adalah melalui pengurangan sejumlah karyawan. Pengurangan tersebut terjadi baik di fungsi Operasional , maupun Pendukung.. Sejumlah unit produksi untuk produk-produk ekspor tertentu terpaksa harus dihentikan, karena menurunnya secara drastis permintaan dari para pelanggan. Akibatnya fungsi-fungsi pendukung yang ada di unit-unit tersebut juga terkena imbas dari penghentian operasional unit-unit tersebut, dan Hardi menjadi bagian dari proses tersebut. 

Saat bertemu dengan Reinhard, Hardi sempat mempertanyakan alasan pemilihan dirinya sebagai salah satu manajer yang masuk dalam daftar karyawan yang harus menerima "perceraian" dari perusahaan. Dia juga coba memohon kepada Reinhard agar loyalitasnya selama bekerja hampir 20 tahun di perusahaan dipertimbangkan sebagai faktor yang dapat mengeluarkannya dari daftar karyawan yang terkena PHK. Secara terbuka Reinhard mengucapkan terima kasih atas dedikasi dan loyalitas yang telah ditunjukkan oleh Hardi kepada perusahaan. Namun demikian keputusan perusahaan untuk memasukkan namanya dalam daftar karyawan yang terkena imbas, tidak dapat dihindarkan. 

Ilustrasi cerita yang terjadi pada Hardi di atas, bukan hal yang tidak mungkin terjadi pada para professional lainnya di fungsi-fungsi di luar fungsi Keuangan.. Masa kerja yang lama sebagai ukuran loyalitas karyawan, tidak lagi menjadi "kartu as' yang dapat digunakan sebagai senjata pamungkas untuk mempertahankan posisi seorang professional di perusahaan. Apalagi bila kompetensi yang dimiliki oleh karyawan yang bersangkutan dianggap tidak lagi sesuai dengan profil kompetensi yang diharapkan oleh perusahaan. Dalam bukunya Monster Careers Jeff Taylor (2004) menjelaskan kasus yang sejenis yang dialami Hardi seperti berikut : 

" Saat ini, sebuah perusahaan kemungkinan akan mengatakan , " Terima kasih untuk 19 tahun masa kerja anda. Anda telah melakukan segala yang kami minta dan melakukannya dengan baik. Tetapi ada restrukturisasi yang harus dilakukan, dan kita harus memutuskan hubungan kerja dengan anda."

Keadaan tersebut menurut Jeff Taylor (2004) mendorong munculnya dilemma generasi. Yang dimaksud dengan dilema generasi menurutnya adalah bahwa di masa lalu seseorang akan kehilangan pekerjaan hanya bila melakukan kesalahan berat di perusahaan. Namun saat ini, tanpa berbuat salahpun, seorang profesional. dapat kehilangan pekerjaan. Secara sederhana, untuk bertahan hidup, perusahaan menempatkan kinerja keuangannya sebagai prioritas utamanya. 

Jeff Taylor (2004) selanjutnya menyatakan bahwa para pemberi kerja perlu beradaptasi terhadap lingkungan bisnis yang berubah begitu cepat. Kadang-kadang mereka harus menghilangkan 30 % dari pekerjaan yang ada, untuk menyelamatkan 70 % lainnya. Hal ini bukanlah bersifat pribadi, semata-mata masalah bisnis. 

Penjelasan Jeff Taylor dan ilustrasi kasus yang terjadi pada Hardi telah menunjukkan kepada kita beberapa "learning point" perlu kita pertimbangkan sebagai berikut :
1. Loyalitas tidak lagi menjadi ukuran penting bagi perusahaan dalam mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan kerja dengan para profesional. 
2. Tidak ada posisi yang aman dari proses restrukturisasi.
3. Kinerja keuangan lebih menjadi prioritas utama yang lebih penting untuk diberikan perhatian bagi kebanyakan perusahaan dibandingkan para karyawan, di saat terjadinya krisis keuangan
4. Keputusan perusahaan untuk menghilangkan sejumlah pekerjaan dan mengurangi jumlah karyawan, semata-mata adalah keputusan bisnis dan tidak bersifat pribadi. Dengan demikian selayaknya keputusan ini ditanggapi secara rasional. Keputusan ini dapat ditanggapi secara emosional bisa jadi karena karyawan menganggap bahwa dedikasi dan loyalitas yang selama ini mereka tunjukan akan dengan seindirinya mengamankan mereka dari ancaman PHK. Disamping itu mereka tidak pernah mempersiapkan diri untuk menghadapi hari terburuk yang mungkin terjadi pada karir mereka di perusahaan.

Learning points di atas memberikan kita sebuah pemahaman bahwa pada dasarnya jumlah karyawan di dalam perusahaan akan dapat bertambah atau berkurang sesuai dengan kebutuhan bisnis dan kondisi keuangan perusahaan. Umumnya dalam kondisi keuangan perusahaan yang kurang sehatlah, potensi terjadi pengurangan jumlah karyawan akan semakin besar. Mengingat bahwa kondisi keuangan perusahaan tidaklah selalu sehat terus menerus, maka perlu disadari oleh para profesional bahwa kita semua mempunyai potensi untuk kehilangan pekerjaan kita. 

Bagi banyak perusahaan, pada akhirnya jumlah karyawan hanyalah seperti sebuah angka di dalam laporan keuangan perusahaan, yang besar kecilnya dapat disesuaikan setiap saat oleh para pengelola perusahaan. Menurut hemat penulis hal ini menjadi sesuatu yang wajar dan sah-sah saja bila menjadi sebuah cara pandang dari para pengelola dan pemilik perusahaan. Pada akhirnya kita harus menyadari bahwa tujuan utama didirikannya sebuah badan usaha adalah untuk mencari keuntungan. Sehingga wajar saja, manakala para pengelola perusahaan atau para pemegang saham melihat keuntungan yang menjadi tujuan utama mereka berbisnis terganggu,maka perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengatasinya agar perusahaan tetap memperoleh keuntungan, walaupun mungkin harus dengan mengurangi karyawan. Menurut Jeff Taylor ( 2004), " It's not personal - it's a business fact of life."

Menyadari bahwa saat ini tidak ada lagi keamanan kerja bagi para profesional, maka penulis mencoba mengajak para profesional untuk secara proporsional dan rasional melihat hubungan kerja mereka dengan perusahaan. Apakah memang romantisme akan menjadi pola hubungan kerja yang terus dipertahankan oleh para profesional yang bekerja di sektor swasta ? atau apakah para profesional perlu melihat hubungan kerja yang ada seperti sebuah realisme semata ?

Pilihan untuk menjadikan pola hubungan kerja seperti hubungan yang romantis atau sebuah realitas kehidupan tentunya layak menjadi bahan renungan kita semua para profesional. Hal ini penting diperhatikan mengingat sebagai profesional yang sebenarnya bekerja atas dasar kontrak bisnis, kita tidak terjebak di dalam romantisme pengabdian karyawan kepada perusahaan, , seperti yang mungkin di masa lalu menjadi format hubungan kerja di dunia bisnis. Romantisme yang menjanjikan hubungan kerja yang abadi, yaitu saat terjadi perpaduan antara loyalitas dan dedikasi karyawan dan janji keamanan dan kenyamanan kerja hingga masa pensiun tiba yang diberikan oleh perusahaan. 

Romantisme masa lalu yang membuat para profesional berharap dapat bekerja dari hari pertama hingga mencapai usia pensiun (long life employment), tampaknya akan sulit menjadi kondisi yang dijamin oleh para pemilik perusahaan. Ketidak-pastian bisnis dan persaingan bisnis yang begitu ketat, menuntut mereka untuk terus melakukan perubahan dan menjadi organisasi yang efisien, efektif dan dinamis. 

Tampaknya, saat ini romantisme akan sulit untuk dipertahankan sebagai sebuah tema sentral di dalam skenario hubungan kerja di dunia bisnis. Setidaknya di mata pengusaha, pendekatan ini sudah banyak ditinggalkan. Realisme dapat menjadi sebuah tema alternatif yang tampaknya perlu dipertimbangkan oleh para professional, karena banyak perusahaan telah mengadopsi skenario ini terlebih dahulu. Perusahaan mengadopsi tema ini karena mereka menyadari bahwa kondisi bisnis bisa berubah secara drastik setiap saat, sehingga mereka melihat kenyataan bahwa tidak mungkin terus menerus mempertahankan jumlah karyawan yang ada. Dengan mengadopsi skenario realisme ini maka para professional tidak perlu lagi melihat hubungan kerja sebagai sebuah pengabdian yang sarat dengan ikatan emosional. Mereka perlu melihatnya sebagai sebuah hubungan bisnis nyata, yang dapat terbentuk dan terputus kapan saja, sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak yang terkait. Dengan mengambil skenario realisme sebagai tema sentral dalam membanggun hubungan kerja dengan perusahaan, maka para professional diharapkan terus meningkatkan kompetensi yang ada di dalam dirinya dan terus mempertahankan jejaring sosialnya (network). Dengan demikian akan terus dapat berkarya, manakala kelak "surat cerai" disampaikan oleh perusahaan kepadanya. Dengan kompetensi yang dapat dihandalkan serta jejaring sosial yang kuat, diharapkan para profesional mempunyai kemampuan untuk dapat mempekerjakan dan memberdayakan dirinya kapanpun dan dimanapun dia berada.

Semoga tulisan pendek dan sederhana ini dapat mengingatkan penulis dan juga dapat memberikan inspirasi bagi yang membacanya , untuk terus menerus dan tiada henti melakukan perbaikan dan peningkatan kompetensi diri kita, demi masa depan yang lebih baik.

Jakarta, 23 Desember, 2009

* Penulis adalah alumni program Pasca Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Penulis saat ini berkarir sebagai Praktisi Sumber Daya Manusia , penulis dan pelatih lepas.

No comments:

Post a Comment

Related Posts