Oleh: Andre Vincent Wenas
Bagaimana menjual dengan bercerita? Temukan cerita yang menyentuh hati
pelanggan. Maka penjualan akan berjangka panjang dan premium.
Masih ingat waktu masih kecil kita gemar dongeng Si Kancil atau Cinderella.
Biarpun orangtua berulang kali berkisah – kadang sambil terkantuk – kita tidak
pernah bosan, malah selalu minta lagi. Saat dewasa, kegemaran itu tidak berubah,
kita masih suka mendengar cerita, secara langsung (obrolan) atau tidak langsung
(lewat media-massa, ingat kisah seputar selebritis atau tayangan reality-show
yang tinggi rating-nya).
Cerita mewarnai hidup, menambah wawasan dan yang terpenting menciptakan
koneksi emosi antara kita dengan tema cerita. Soal koneksi emosi inilah yang
dimanfaatkan pemasaran, terutama untuk menciptakan koneksi emosi dengan brand.
Sebabnya, cerita bisa langsung menusuk ke area emosi, berbeda dengan
komunikasi-pemasaran yang tertuju pada manfaat produk (product benefits) yang
umumnya mengajak pelanggan berhitung soal untung-rugi (atau costs & benefits).
Pelanggan yang tersentuh emosinya cenderung melupakan hitungan untung-rugi,
harga dan kandungan produk jadi nomor dua. Di sini cerita jadi senjata ampuh
untuk menggiring pertimbangan pelanggan dari intelektual-logis ke
emosional-loyal.
Pemasar dan penjual mesti bahu-membahu menciptakan cerita (story) tentang 3
hal : cerita tentang merek (brand story), tentang servis (service story), dan
proses operasi (process story).
Brand story, misalnya kisah Bank Buana yang ekuitas mereknya kuat di
kalangan pedagang, karena selama ini komitmen Bank Buana yang konsisten membantu
nasabah yang kesulitan. Saat krisis moneter 1998, Bank Buana justru tidak ikut
menaikkan bunga kreditnya, karena akan mematikan para pedagang. Justru langkah
melawan aruslah yang ditempuh, Bank Buana memotong tingkat bunga. Kemudian, saat
Pasar Mangga Dua kebakaran, Bank Buana malah memberikan keringanan kepada para
pedagang yang jadi korban berupa penangguhan sementara pembayaran kredit selama
tiga bulan!
Strategi ini menumbuhkan simpati publik. Sehingga cerita tentang Bank Buana
ini ditulis oleh wartawan, dan – ini yang terpenting – di kalangan pedagang pun
cerita ini beredar dari mulut ke mulut (word of mouth). Cerita ini memperkokoh
loyalitas nasabah dan menarik prospek baru. Bank Buana pun menempati urutan
pertama dalam Banking Loyality Index tahun 2005 yang baru lalu.
Saat ini, lanskap bisnis sangatlah kompetitif. Persoalannya, bagaimana
membangun kerjasama solid antara divisi penjualan dan marketing yang kerap
beselisih paham? Pertama-tama identifikasi dulu empat alasan yang kerap
menyebabkan pemasar dan penjual berseteru.
Pertama, perbedaan waktu perencanaan. Rencana penjualan yang dieksekusi
sebelum rencana pemasaran selesai, alasannya demi kejar target. Karena rencana
penjualan (sales plan) telah lebih dulu selesai, maka banyak hal di dalamnya
yang kelak tidak sesuai dengan rencana pemasaran. Padahal kelirulah jika rencana
pemasaran mengikuti rencana penjualan, karena ibaratnya rencana penjualan adalah
pigura kecil dan rencana pemasaran adalah pigura besarnya. Maka pigura kecil
mesti mengikuti pigura besar sehingga selaras dan benar, bukan sebaliknya.
Kedua, beda paham tentang hasil (result). Konflik klasik yang kerap muncul
adalah saat perumusan anggaran. Orang penjualan sering menganggap anggaran
pemasaran yang besar percuma karena dampaknya tidak nyata. Korelasi antara
besarnya anggaran pemasaran dengan kinerja penjualan tidak jelas. Menurut
mereka, andaikan perusahaan fokus menambah jumlah penjual dan meningkatkan
manajemen penjualan, maka hasilnya – dalam jangka pendek – langsung kelihatan,
berupa kenaikan volume penjualan.
Alasan ketiga penyebab perseteruan pemasar dan penjual adalah karakter.
Sampai sekarang kenyataan lapangan menunjukkan kualifikasi pemasar biasanya
lebih tinggi dari kualifikasi seorang penjual. Latar belakang pendidikan pemasar
biasanya sarjana, pascasarjana, bahkan Master of Business Administration (MBA)
dari luar negeri. Maka lazimnya pemasar akan kuat secara konseptual, punya daya
analisis tajam, dan berpikiran luas (helicopter view).
Meskipun para penjual berpendidikan lebih rendah, namun karena berada di
lapangan dan terus berinteraksi dengan pelanggan, maka daya empati dan
sensitivitasnya kuat. Para penjual biasanya mudah menjalin hubungan pertemanan
dengan siapa saja.
Perbedaan karakter ini mengakibatkan terjadinya perbedaan orientasi
pekerjaan. Pemasar biasanya fokus pada hasil, sementara penjual lebih pada
jalinan hubungan. Bahkan seringkali karena kelewat dekat dengan pelanggan,
penjual seakan-akan berada di sisi pelanggan, bukan di sisi perusahaan. Misalnya
dengan minta diskon tambahan demi menjaga hubungan yang telah lama dibina,
bukannya berusaha meyakinkan pelanggan bahwa harga yang telah ditetapkan adalah
wajar adanya.
Alasan keempat, perbedaan area pekerjaan. Manajer pemasaran bekerja di
depan layar komputer, di atas meja besar, baca riset pasar, analisa, menghadiri
rapat strategi, dsb. Sebaliknya, manajer penjualan kerjanya terjun ke pasar,
bergaul dengan ‘encik-encik” pedagang, canvassing dari toko ke toko, dan dari
satu pasar-becek ke pasar-becek lainnya.
Pendeknya, pekerjaan pemasar kelihatan derajatnya lebih tinggi daripada
penjual. Akibatnya penjual sering “iri hati” (cemburu), apalagi jika kerja
kerasnya tidak dihargai oleh pemasar. Padahal sebaik apapun strategi pemasaran,
akhirnya yang menentukan adalah eksekusi di lapangan, bukan perhitungan di atas
kertas.
Dalam lingkungan bisnis sekarang yang makin turbulen, di mana kompetisi
semakin menggila di satu sisi, dan sisi lain harapan pelanggan terhadap produk
semakin tinggi, maka sudah saatnya konflik yang tidak produktif ini dihentikan.
Sebaliknya, integrasi keduanya mulai digalang.
Era transaksional telah diganti era hubungan (relationship). Di sini yang
penting adalah konsistensi hantaran produk (deliverable). Supaya berhasil, tak
ada jalan lain kecuali mengusahakan terjadinya keseimbangan antara strategi dan
eksekusi. Artinya, mengintegrasikan pemasaran dan penjualan. Pemasaran condong
di sumbu strategi, sedangkan penjualan condong di sumbu eksekusi. Cuma lewat
integrasi keduanya maka konsistensi hantaran produk bisa terwujud.
Selain keempat alasan konflik di atas, cermati pula di mana konflik
penjualan dan pemasaran bisa muncul. Ada tiga: konflik eksekusi, konflik
strategi, dan konflik organisasi.
Konflik eksekusi atau konflik lapangan, muncul manakala penjual tidak
memakai strategi pemasaran saat menjual produk. Mereka cenderung menganut
filosofi “asal jual dan asal laku”, tidak peduli kecocokan prospek dengan
segmentasi, targeting dan positioning yang telah disusun.
Penjual yang tidak paham pemasaran tidak bakalan bisa menjual diferensiasi,
karena tidak kenal keunggulan produk secara fungsional maupun emosional, tidak
tahu produk pesaing, tidak tahu kebutuhan pelanggan, dan tidak tahu tren
perubahan pasar. Akibatnya, ketika bertemu pelanggan, tidak ada yang bisa
dikomunikasikan selain harga murah.
Ujungnya, karena tidak mampu menjual diferensiasi produk, para penjual
datang ke manajer pemasaran minta diskon lgi. Persoalannya, kalau penjual minta
harga murah (diskon melulu) lalu apa gunanya perusahaan menghabiskan anggaran
besar untuk membangun merek?
Konflik kedua adalah konflik strategi. Di sini konflik terjadi lantaran
orang pemasaran tidak mendengarkan masukan (insights) dari orang penjualan
ketika menyusun strategi pemasaran. Akibatnya strategi yang disusun terasa
dangkal dan tidak implementatif di lapangan.
Konflik ketiga adalah konflik organisasi yang terjadi akibat keduanya tidak
saling peduli. Orang pemasaran tidak mau tahu soal kondisi penjualan di
lapangan. Yang dipikirkan cuma bagaimana memaksimalkan pencapaiannya sendiri,
tercapainya brand awareness, brand image dan brand association setinggi mungkin.
Begitupun sebaliknya, penjual tidak mau tahu soal produk dan merek. Yang
penting target penjualannya tertutup, sebodo amat dengan dampak merek, misalnya
dengan mendiskon habis-habisan yang mengakibatkan terdilusinya ekuitas merek di
mata pelanggan.
Dalam buku ini, ditawarkan konsep pemasaran praktis yang bisa dipakai para
penjual yang ingin membekali dirinya dengan ketrampilan pemasaran. Ujungnya,
supaya hasil penjualan bisa berdampak jangka panjang dan premium dari hubungan
serta “cerita” tentang brand, servis dan proses yang berdampak emosional bisa
dikapitalisasi seoptimal mungkin.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Related Posts
-
Kamar mandi / toilet biasanya dilengkapi dengan perlengkapan untuk buang air kecil maupun besar. Kamar mandi yang dilengkapi dengan urina...
-
Cerita di Balik Penutupan Pabrik Panasonic dan Toshiba Penutupan tiga pabrik Toshiba dan Panasonic di Indonesia membawa dampak pemutusa...
-
Sebaiknya PPIC dibagi menjadi: PPIC Planner, bertugas untuk membuat perencanaan atau MPP (Master Production Plan) dan MRP (Material Req...
-
Di beberapa perusahaan, divisi penyimpanan (store) untuk mengelola persediaan (inventory) sering mempunyai beberapa nama, seperti divisi...
-
What exactly is 5S? Simply stated, a 5S is the structured method to organize the work place. As evidenced by its name, there are 5 steps ...
No comments:
Post a Comment