Sunday, July 15, 2012

Banalitas dalam Arus Globalisasi

Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter@andrewenas)


“Da spatium tenuemque moram, male cuncta ministrant impetus.” (berilah ruang, 
kelapangan, dan jeda; yang serba tergesa-gesa menyebabkan semuanya menjadi 
buruk) – pepatah Latin.

***

  Di jaman serba instan di mana dunia nampak tergopoh-gopoh, melatih kebiasaan 
berpikir secara mendasar dan menghargai proses malah terlihat renta, tidak 
relevan dan ketinggalan jaman. Kiat-kiat praktis marak dipasarkan (supply) 
lantaran itu yang diminta orang (demand), walau tanpa disadari hidup yang 
digantungkan hanya pada kiat-kiat praktis pada gilirannya bakalan menjadi tidak 
praktis lagi nantinya. Banalitas adalah realitas kontemporer.

  Metode pemecahan masalah yang hanya menyisir tepian masalah (periferal) tanpa 
pernah menukik ke kedalaman (hakekat) segala sesuatu, pada galibnya tidaklah 
memahami masalah yang sesungguhnya alih-alih menyelesaikannya. Ia cuma 
menghilangkan symptom sakit kepala, tanpa sadar bahwa akar masalahnya ada di 
kanker yang perlu dibedah tuntas.

  Obyek pemikiran memang tidak pernah sederhana, maka “Dalam rangka untuk 
mengenal benar-benar obyek semacam itu, seseorang harus dengan rajin 
memperhatikan semua seginya, membanding-bandingkan apa yang telah dilihatnya, 
dan selalu melihat serta menganalisis obyek tersebut dari berbagai-bagai 
pendirian yang berbeda. Kesemuanya ini adalah berpikir.” (J.M. Bochenski, 1972).

***

  “Ekonomi-global” adalah realitas sosial kontemporer, sedangkan 
“globalisasi-ekonomi” adalah programa sistematis gerakan neoliberal. Dua konsep 
yang kedengarannya mirip tapi hakekatnya berbeda. Para pemasar yang berasal dari 
perusahaan nasional dan yang tergabung dalam perusahaan multinasional tentu 
punya paradigma berbeda meski keduanya sama-sama orang Indonesia. Struktur 
sosial di mana kedua agensi itu beroperasi berbeda, meskipun keduanya berada di 
satu negara yang sama. Globalisasi telah mengikis batas demarkasi teritori 
bangsa.

  Baiklah disadari bahwa ketika sistem perekonomian suatu bangsa terintegrasi 
dengan pasar global, maka ia tidak lagi steril terhadap pengaruh  maupun 
kepentingan politik dan ekonomi eksternal. Prof. Dr. Budi Winarno (bukunya: 
Globalisasi, Peluang atau Ancaman bagi Indonesia, 2008) dengan mengutip Geofrey 
Garret (Global Markets and National Politics, 2000) menyebutkan tiga mekanisme 
bagaimana pengaruh eksternal itu berdampak pada ekonomi nasional, yakni: 1) 
tekanan perdagangan yang semakin kompetitif, 2) multinasionalisasi produksi, dan 
3) integrasi pasar keuangan. 

  Mekanisme pertama, intensitas kompetisi perdagangan yang semakin meningkat 
adalah unsur pokok dari tesis globalisasi konvensional. Meskipun tesis 
meningginya intensitas perdagangan ini sudah diterima umum, sesungguhnya 
kompetisi global yang terjadi bukan hanya isu perdagangan, tapi juga soal 
memperebutkan investasi. MNC (multi-national corporations) dan global investment 
capital hanya akan mengalir ke wilayah yang menguntungkan (buat mereka) dan 
menawarkan (kepada mereka) insentif terbaik.

  Kedua, multinasionalisasi produksi. Termasuk di dalamnya resiko (ancaman) MNC 
yang dengan mudah bisa memindahkan lokasi produksi dari satu negara ke negara 
lain (dalam rangka optimalisasi profitabilitas, return on investment). Dalam 
konteks ekonomi global ini, pembedaan antara “kita” dan “mereka” tidak lagi 
terjadi antar-negara, tetapi lebih bersifat antar-warganegara dan MNC yang 
beroperasi di dalamnya, terlepas dari/di negara mana mereka berdiri. Konsekuensi 
bagi pemerintah adalah aplikasi kebijakan pasar bebas, sebagai prasyarat 
memenangkan kompetisi menggaet investasi MNC demi membuka lapangan kerja.

  Ketiga, integrasi pasar finansial global. Pasar dunia semakin terkoneksi dan 
terintegrasi satu sama lain. Akibatnya – seperti kita ketahui dan alami bersama 
– gejolak mata uang (dan ekonomi) di suatu negara akan mengimbas ke lain 
wilayah. Bencana sub-prime mortgage di AS sampai terjadinya krisis ekonomi dunia 
saat ini adalah verifikasi interdependensi ekonomi global.

  Akhirnya disimpulkan bahwa globalisasi berwajah plural dan tidak bisa dilihat 
secara fragmentaris. Sebagai sebuah fenomena sosial, ekonomi dan politik, 
globalisasi membawa hal positif sekaligus negatif, peluang sekaligus ancaman.

  Untuk menyikapi globalisasi secara adekuat niscaya dibutuhkan daya kritis yang 
tidak menggampangkan persoalan hanya dengan kiat-kiat manajemen praktis semata. 
Dibutuhkan reformasi cara berpikir dan cara bertindak. Yang jelas, banalitas 
bukanlah rutenya.

  Bulan Desember adalah saat kita melakukan retrospeksi dan introspeksi untuk 
mengambil pelajaran demi menyongsong tahun yang baru. 'Benedictus qui venit
in nomine domini' (diberkatilah yang datang atas nama Tuhan). Selamat
Natal, damai di bumi dan damai di hati.



(twitter@andrewenas)
-----------------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING, edisi Desember 2008

No comments:

Post a Comment

Related Posts