Sunday, July 15, 2012

Keputusan Tiga Generasi

Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter@andrewenas)


  "Insta, opportune, importune: argue obsecra, increpa in omni patientia." Siap 
sedialah, baik atau pun tidak baik waktunya, nyatakan apa yang salah, tegurlah 
dan nasehatilah dengan segala kesabaran. Begitu nasihat cendekiawan bernama 
Paulus alias Saulus kepada santrinya Timotius di sebuah padepokan (pesantren) 
Yahudi di kawasan Timur Tengah, kira-kira 2000 tahun lalu.

***

  Konon katanya, bangsa Yahudi ini pandai, kohesif serta berdaya-tahan tinggi 
lantaran pikiran mereka tatkala mengambil keputusan selalu mengacu dan 
memperhitungkan dampaknya bagi 3 generasi ke depan (demi anak-cucu-cicit), 
sekaligus berefleksi kepada 3 generasi ke belakang mempertimbangkan warisan 
kebijaksanaan nenek moyang yang sangat dihormati dalam tradisi Yahudi.

  Terlepas dari betul tidaknya soal di atas, saya sempat tercenung. Kisah 
bobroknya moral bangsa lewat fenomena BLBI, KKN, skandal pejabat, lumpur 
Lapindo, pembalakan hutan, global-warming, banjir, dll, bukanlah peristiwa yang 
masing-masing eksklusif berdiri sendiri. Ada suatu pola umum yang jadi konteks 
bagi itu semua.

  Lantaran sempitnya cara pandang dan spektrum pemikiran yang pendek membawa 
konsekuensi gawat. Walaupun – celakanya – memang tidak mudah membedakan 
keputusan berdampak positif bagi 2 sampai 3 generasi ke depan. Seringkali 
keputusan berdampak positif dalam jangka panjang ini malahan sering tidak
popular di jangka pendek. Sebaliknya, keputusan-keputusan nyaman di jangka 
pendek bisa jadi sangat popular, walaupun pada galibnya ia menyimpan bom waktu 
bagi anak-cucu. Di sinilah ‘tantangan & ketegangan kepemimpinan sejati’ (the 
true leadership challenges & tensions) diuji. 

  Cara pandang, mind-set atau paradigma adalah seperti peta-mental, sehingga 
krusial dalam meniti perziarahan hidup. Di jaman serba instan ini (seminar kiat 
cepat kaya adalah yang paling laris!) maka caveat dari Al Gore patut kita simak, 
“Our perspective is badly foreshortened in another way as well. Too often we are 
unwilling to look beyond ourselves to see the effect of our action today on our 
children and grandchildren. I am convinced that many people have lost their 
faith in the future, because virtually every facet of our civilization we are 
beginning to act as if our future is now so much in doubt that it makes more 
sense to focus exclusively on our current needs and short term problems. This 
growing tendency to discount the value of investments made for the long term – 
whether of wealth, effort, or caution…” (Al Gore, Earth In The Balance, Ecology 
and The Human Spirit, 1992).

***

  Strategi sesungguhnya adalah soal komitmen. Donald N. Sull (bukunya: Why Good 
Companies Go Bad and How Great Managers Remake Them, 2005), merumuskan 
komitmen ke dalam 5 kategori: 1) Strategic frames. Inilah mental-models yang 
mempengaruhi cara pandang seorang dalam melihat dunianya. 2) Resources. Segala 
sumber daya mesti dijahit ke dalam strategi, sehingga bisa memastikan perusahaan 
bakal mampu melompat ke depan. 3) Processes. Setiap prosedur dan aktivitas yang 
menjamin pekerjaan beres. 4) Relationships. Relasi yang terbangun baik niscaya 
memperlancar organisasi mengakses segala sumber-daya yang dibutuhkan. 5) Values. 
Tatanan nilai adalah norma-norma yang mengikat sekaligus menginspirasi anggota 
organisasi.

  Kelima komitmen atau strategi berdaya tahan lama ini harus dibentang jauh ke 
depan namun tanpa kehilangan perspektif historisnya. Jangan sampai pembangunan 
dilakukan dengan “merampok” masa depan anak-cucu kita. Isu lingkungan hidup 
dalam peradaban global adalah cerminan paling gamblang, namun
dalam dunia korporasi hal ini pun relevan. Dunia dan korporasi macam apa yang 
akan kita warisi pada anak-cucu?

  Panggilan kepemimpinan yang sejati adalah panggilan kenabian (prophetic call). 
Kata prophet dalam bahasa Inggris rupanya berasal dari bahasa Yunani prophete, 
yang terdiri dari 2 suku kata: phemi (bicara) dan pro (sebelumnya). Jadi nabi 
bicara sebelum segala sesuatu terjadi! Tanpa tercerabut dari historisitasnya, 
pemimpin kelas dunia punya cara pandang visioner, tembus jaman. Spektrum 
pemikiran saat mengambil keputusan merentang jauh ke masa depan dan sekaligus 
bersauh jauh ke sejarah dan kekayaan tradisi.

  Konsekuensinya, terhadap mal-praktek kepemimpinan, Anda yang telah tercerahkan 
(berkat erudisi maupun fusi budaya) terpanggil untuk berani menyatakan apa yang 
salah, menegur dan menasehati dengan segala kesabaran. Maju menjelang tugas 
kepemimpinan Anda, baik atau pun tidak baik waktunya. Siap
sedia setiap saat, ini soal komitmen.



(twitter@andrewenas)
------------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING edisi Maret 2008

No comments:

Post a Comment

Related Posts