Sunday, July 15, 2012

YAMAHA: Bangkit Inovasi Teknologi

Jika saja Seisuke Ueshima bersikukuh memegang "pakem" manajemen Jepang,
boleh jadi Yamaha Corporation sudah ambruk. Untunglah ia berani
bertindak
seperti koboi Amerika: Begitu diangkat sebagai orang nomor satu Yamaha
pada
1992, ia langsung menjuali aset-aset yang tak diperlukan, memakai
hasilnya
untuk memperkuat core competence, dan melakukan perampingan jumlah
karyawan.
Hanya satu hal yang tak dilakukannya: seperti umumnya manajer Jepang, ia
pantang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). "Kami tak bisa
merampingkan organisasi lewat PHK sebagaimana dilakukan
perusahaan-perusaha an Amerika Serikat," katanya. Karyawan yang dilepas
itu
ditampung di perusahaan lain yang masih bernaung di bawah Grup Yamaha.
Tidak tanggung-tanggung, 30% karyawan bagian administrasi diciutkan.
Unit-unit bisnis yang menggerogoti keuangan Yamaha, yakni divisi
olahraga
dan resor, dijual. Hanya satu tekad Ueshima: mengembalikan pamor Yamaha,
dan mendendangkan nada keuangan yang merdu ke para pemilik saham dan
pegawai
produsen alat musik terkemuka itu. Maklum, di bawah kepemimpinan
pendahulunya, Hiroshi - sejak 1982 - Yamaha selalu salah langkah.

Perusahaan yang didirikan pada 1927 itu dikenal sebagai produsen
intsrumen
musik terkemuka di dunia, omsetnya US$ 4,4 miliar. Sang pendiri, Kaiichi
Kawakami memulai usahanya dengan memproduksi organ merek Yamaha. Pada
dasawarsa 1930-an, Yamaha menggenggam 85% pangsa pasar instrumen musik
dijepang. Sayangnya perusahaan yang dibangun dengan susab payah itun
yaris
hancur di tangan putra dan cucu sang pendiri, Genichi dan Hiroshi - yang
menjadi pewaris tahta bisnis keluarga itu.

Genichi, yang doyan berlayar, berusaha memuaskan kegemarannya dengan
membangun kawasan resor di sebuah pulau di selatan Jepang. Pulau itu
sulit
dijangkau, kecuali oleh mereka yang gigih mengarungi samudra. Sedangkan
Hiroshi, yang gemar terbang, membangun salah satu kawasan resor paling
mahal
di dunia, di utara Pulau Hokaido. Proyek tersebut ternyata sangat
membebani
kinerja Yamaha, yang rugi US$ 40juta pada tahun fiskal 1993.
Banyak kesalahan lain dilakukan Hiroshi. Pada awal 1980- an, misalnya,
Yamaha Motor diizinkan bertarung habis-habisan dengan Honda dengan
akibat,
pembengkakan biaya dan kemerosotan margin keuntungan. Selain itu, gara-
gara salah perhitungan, tahun 1990 hampir 200 ribu instrumen musik tiup
teronggok di gudang karena tak terjual. Yamaha juga tersandung dalam
bisnis
komputer multimedia, yang dikembangkan divisi elektroniknya. Yang paling
merepotkan, tentu saja pembangunan kawasan resor yang mahal dan tak
produktif itu.
Hiroshi kemudian melakukan terobosan dengan merekrut eksekutif dari luar
Yamaha dan menggunakan konsultan manajemen tenar, McKinsey. Konsultan
manajemen ini kemudian menyarankan agar Yamaha menjadi perusahaan global
dengan membuka kantor megah di London dan Buena Park, Kalifornia.
Langkah
yang ditempuh Hiroshi tentu saja ganjil, karena bagi perusahaan Jepang,
tabu
merekrut eksekutif dari luar perusahaan. Kalau dilakukan, jelas akan
mengguncang harmoni organisasi. Penggunaan konsultan manajemen dari AS
juga
dipertanyakan: apa untungnya, bukankah saat itu perusahaan dan sistem
manajemen Jepang dianggap lebih mumpuni ketimbang yang berasal dari AS.

Berbagai mismanajemen dan langkah blunder itu pelan tapi pasti
menggerogoti
keperkasaan Yamaha. Apalagi tulang punggung bisnis Yamaha, piano,
pasarnya
mulai jenuh. Ditambah dengan serbuan piano buatan Korea Selatan yang
murah,
alat musik andalan Yamaha itu mulai keteter di pasar. Penjualannya
merosot
10% saban tahun. Padahal, Yamaha pemah sangat perkasa dengan menguasai
40%
pasar dunia.

Seiring dengan merosotnya penjualan, tingkat keuntungannya, dilihat dari
angka return on assets,juga anjlok dari 3,2% menjadi 0,4%. Demikian pula
return on equity-nya amblas dari 8, 1 % menjadi 1, I %. Serikat buruh
dan
pemilik saham berang. Tidak ada pilihan lain kecuali menendang Hiroshi.
Sebagai penggantinya, muncul Ueshima, mantan karyawan Grup Yamaha yang
pemah
mendidik Hiroshi.

Ueshima pun segera beraksi. Penciutan karyawan dilakukan secara
besar-besaran, termasuk mendepak McKinsey. Ueshima kembali ke khitah:
mempertajam keunggulan Yamaha di instrumen musik dan teknologi yang
sudah
dikembangkan sebelumnya. "Perlu waktu dua tahun untuk membuat rencana
yang
bisa merealisasikan potensi Yamaha. Kondisi keuangan kita sudah payah,"
kata
Ueshima. Berkat langkah Ueshima memperkuat kemampuan inti, perbaikan
dalam
performa divisi alat musik Yamaha meningkat. la memangkas produksi piano
konvensional, produk yang penjualannya stagnan, persaingannya berat dan
stoknya banyak. Sebagai gantinya, ia mengeluarkdn pelbagai produk
inovatif.
Misalnya, pada akhir 1993, Yamaha meluncurkan piano sunyi. Inilah solusi
yang lama dinanti oleh para penggemar musik Jepang. Orang Jepang senang
bennain musik, tapi para tetangga - karena di Jepang jarak antara rumah
sangat rapat - kerap merasa terganggu, betapapun merdunya suara yang
terdengar. Dengan piano sunyi gangguan semacam ini bisa dihilangkan.
Piano
elektrik itu bentuknya sama persis dengan piano akustik. Cara
memainkannya
juga tak berbeda. Tapi, suaranya "dipasung", hanya terdengar oleh yang
memainkan piano atau orang yang menggunakan headphone. Tak ada lagi
polusi
suara yang rnenjadi masalah serius bagi warga Jepang. Dalam tempo
setahun,
17 ribu lebih piano bisu tersebut terjual. Pasar Eropa pun diterobos
dengan
membangun pabrik perakitan di sana.

Berkat inovasi teknologi itu, pangsa pasar Yamaha kembali rneningkat,
menjadi 30% belum seperti di masa lalu, tetapi lumayan. Fokus pada
kemampuan inti juga memungkinkan Yamaha membuat aneka produk lain di
luar
alat musik- bisnis yang, menurut Ueshima, sudah senja. Yamaha memiliki
keahlian tinggi dalam teknologi elektronik, terutama semikonduktor, yang
berhubungan dengan suara. Sudah 25 tahun Yamaha bergulat dengan
teknologi
itu. Ueshima ingin memanfaatkan keahlian ini. Produk pertama yang muncul
dari situ adalah head magnetic terbuat dari film tipis, yang biasa
dipergunakan untuk penggerak disk berkapasitas besar bagi komputer
pribadi
(PC) multimedia. Untuk produk itu, Yamaha menguasai 20% pangsa pasar
dunia.
Memang masih di bawah bayang-bayang sang pemimpin pasar, Read-Rite
(Amerika
Serikat). Tapi, Ueshima yakin Yamaha akan mampu menyalipnya. "Saya ingin
mengembangkan bisnis ini ke seluruh dunia. Kami mempunyai teknologi
terbaik.
Tak akan ada yang mampu mengejar karena kami sudah sampai pada generasi
berikutnya," kata Ueshima. Yamahajuga memiliki chip khusus pengolah
suara
yang dipakai di alat-alat musik elektroniknya. Ketika PC mulai
dilengkapi
dengan papan suara (sound board), Ueshima pun segera memasarkan chip-nya
ke
para pembuat peralatan itu. Kini merek-merek papan suara temama seperti
Soundblaster memakai chip Yamaha yang menguasai sekurangnya 90% pasar.

Produk yang diberi nama FM Sound itu terus dikembangkan, agar Yamaha
tetap
bisa memimpin di depan. Kapasitas industri chip Yamaha dikatrol dua kali
lipat. Dan pada 1993, omset divisi produk elektronik naik 18% menjadi
US$
646 juta. Margin keuntungan operasinya 11,3%, jauh di atas margin
instrumen
musik yang cuma 2,3%. Dengan memanfaatkan keunggulan
teknologi,Ueshimate rusmengibarkanpa njiYamaha di bisnis-bisnis yang
tengah
tumbuh. Pasar karaoke yangg emuk di Jepang dimasuki dengan mengandalkan
kemampuan Yamaha dalam teknologi grafik, suara dan perang lunak. Karaoke
memang sudah bertebaran di bar, rumah dan mobil-mobil. Yamaha menerobos
lewat sistem baru, yang memungkinkan orang mendendangkan lagu yang
diterima
dari komputer lewat saluran telepon. Penggemar karaoke bisa leluasa
memilih
lagu favoritnya, termasuk lagu yang baru dirilis. Bekerjasama dengan
Sega,
produsen mainan anak saingan berat Nintendo,Yamaha mengembangkan produk
lain, komputer yang sangat keeil. Lewat komputer Copera itu, yang
disarnbungkan ke pesawat televisi, para bocah bisa mendengar dan
menyirnak
cerita bersama alunan musik. Hasrat untuk betul-betul memperkuat dan
mernanfaatkan kemampuan inti itu pula yang membuat Ueshima tanpa ragu
memindahkan pabrik ski Yamaha dari Thailand ke Austria, sekaligus
melakukan
riset dan pengembangan ski di Eropa. Pengusaha lain tentu akan geleng-
geleng kepala. Mana mungikin keuntungan bisa membesar jika upah buruh di
Thailand jauh lebih murah ketimbang di Eropa. Toh, Ueshima tak
mempedulikan
hal itu. Memang upah burh di Thailand cukup murah, tapi mereka tidak
mahir
dalam membuat ski. Itulah alasan Ueshima mengambil keputusan berani
seperti
itu. Dengan pelbagai langkah penyelamatan itu, citra Yamaha yang sempat
tercoren sehingga karyawannya banyak yang enggan untuk tetap bergabung
akhirnya pulih. Survey yang dilakukan terhadap para eksekutif oleh
Diamond
Weekly, majalah bisnis Jepang, pada 1994, mencuatkan Yamaha sebagai
perusahaan yang maju pesat. Keuntungan Yamaha Corporation kembali
meningkat.
Industri instrumen musiknya makin pintar menggelar produk-produk
unggulan.
Synthesizer yang ditopang komputer, misalnya, merupakan yang pertama di
dunia. Demikian pula Disklavir, piano yang memadukan teknologi optik dan
digital, dan sukses di pasar.

sumber : SWA

No comments:

Post a Comment

Related Posts