Sunday, July 15, 2012

Logistik, Realitas Geografis & Kepemimpinan

Oleh:Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter: @andrewenas)

“Don’t they know, if you take tough decisions, yes people will hate you today but they’ll thank you for generations…”– Margaret Tatcher, dalam film The Iron Lady, diperankan oleh Meryl Streep, Sony Pirctures, 2012.

***

     Kualitas kepemimpinan pada akhirnya memang ditentukan oleh kemampuan (sudah termasuk di dalamnya: keberanian, kecerdasan dan kebijaksanaan) mengambil keputusan yang dampaknya baru dirasakan beberapa generasi ke depan. Dan tantangannya, keputusan-keputusan yang mesti diambil sekarang kerap tidak popular di mata publik. Itulah hakikat kepemimpinan berpandangan visioner (penglihatan tembus jaman), dan mampu mengambil keputusan yang bahkan tidak popular pada jamannya.

***

     Salah satu kendala bisnis terbesar di Indonesia adalah soal logistik. Dalam bentuk negara kepulauan yang tersebar dalam jumlah ribuan, memang soal logistik jadi tantangan yang luar biasa bikin pening kepala para pemasar dan juga pemerintah. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia baru-baru ini melansir pernyataan bahwa biaya logistik di Indonesia mencapai 24 % dari total PDB atau senilai Rp.1.820 triliun per tahun. Ini merupakan biaya logistik tertinggi di dunia! Jumlah sebesar itu terbagi dalam tiga komponen: biaya transportasi Rp.1.092 triliun, biaya penyimpanan/gudang Rp.546 triliun, dan biaya
administrasi Rp.182 triliun.

     Sebagai perbandingan, terhadap PDB, biaya logistik di Malaysia hanya 15%, Amerika Serikat  dan Jepang hanya 10%. Biaya penanganan kontainer (container handling charge) juga paling tinggi  di antara negara-negara Asia Tenggara. Bahkan, ongkosnya pun mesti
dibayar dalam bentuk dollar AS.

     Disinyalir oleh Ina Primiana, anggota Lembaga Pengkajian Peneliti dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia, untuk kontainer 20 kaki di
pelabuhan Tanjung Priok tarifnya $95,- (sekitar Rp.858 ribu), sementara di Malaysia hanya $88,- (sekitar Rp.795 ribu). Di Thailand $63,- (sekitar Rp.587 ribu). Di Malaysia dan Thailand ongkosnya bisa dibayarkan dengan mata uang setempat, tapi anehnya di Indonesia mesti pakai dollar AS.

     Yang menarik tapi konyol juga, biaya pengapalan kontainer domestik misalnya dari Padang, Sumatera Barat, ke Jakarta mencapai $600,- (sekitar Rp.5,4 juta), sedangkan dari Singapura ke Jakarta hanya $185,- (sekitar Rp.1,6juta).

***

     Realitas geografi sosial ekonomi seperti inilah yang dialami para pemasar dan juga pengambil keputusan di pemerintahan. Memang kebijakan nasional mesti diambil di tingkat pusat, tapi lantaran kenyataan geografis sosial ekonomi negeri kepulauan seperti Nusantara ini, maka dibutuhkan kemampuan
segmentasi wilayah beserta kepentingannya masing-masing secara lebih membumi. Pembacaan segementasi realitas sosial dan relasinya dalam pengambilan keputusan menjadi sangat penting. Kenyataan ketersebaran lokasi yang dipisah oleh laut telah membentuk ciri yang khas bagi Indonesia sebagai suatu negara maritim yang juga sekaligus agraris.

     Salah satu contoh kasus saja, adalah kebijakan pemerintah di bidang pemasaran/tataniaga gula nasional. Saat ini konsumsi gula per tahun di Indonesia adalah sebesar 5,2 juta ton, dan produksi gula domestik yang berasal dari panenan tebu petani lokal adalah sebesar 2,1 juta ton, sehingga terjadi defisit pasokan sebesar 3,1 juta ton! Dan defisit supply ini terutama dialami oleh daerah di kawasan timur Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dll) yang memang boleh dibilang tidak punya petani tebu dan pabrik gula. Sehingga tentu – dalam jangka pendek sampai menengah – pilihan solusinya adalah impor. Dan impor ini pun bisa dipilih dalam bentuk gula jadi atau gula mentah (yang masih perlu dirafinasi, atau dimurnikan lewat proses di pabrikasi lokal). Tentu, jika ingin mengoptimalisasi nilai tambah lokal, pemerintah seyogianya memilih untuk mengimpor dalam bentuk gula mentah, yang proses rafinasi (refined)nya bisa memberi nilai
tambah dalam bentuk local-man-hour yang dibayarkan bagi tenaga kerja kita, serta pajak yang dibayarkan oleh para pabrikan rafinasi. Namun anehnya, lewat kebijakan tataniaga gula (biasa disebut dengan SK Menperindag No.527 tahun 2004) distribusi penjualan gula digebyah-uyah ke seluruh Indonesia bahwa gula rafinasi (yang nota bene berkualitas lebih tinggi) tidak oleh didistribusikan ke konsumen langsung (termasuk di wilayah timur Indonesia yang jelas-jelas mengalami defisit pasokan). Sehingga akibat pasokan yang kurang, maka harga menjadi meroket. Jika harga rata-rata gula di Pulau Jawa sekitar Rp.9ribu – Rp.10ribu, maka di kawasan timur Indonesia bisa sampai Rp.12ribu-Rp.15ribu per kilogram. 

     Fenomena sosial ekonomi seperti ini tentulah tidak mencerminkan keadilan sosial. Dimana kita tahu bahwa PDB per kapita penduduk di Jawa tentu lebih
tinggi dibanding saudara-saudaranya di kawasan timur, namun toh mereka di timur mesti berkorban lagi untuk membeli barang-barang kebutuhan pangannya dengan harga yang lebih tinggi. Ini hanya salah satu contoh kasus saja, masih ada banyak sektor kebijakan yang perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan kenyataan geografis-sosial-ekonomi negara kepulauan ini.

***

     Memang ada kemungkinan bahwa keputusan yang bakal diambil tidaklah popular di mata sementara pihak untuk saat ini. Misalnya untuk kasus gula tadi, maka beberapa pemangku kepentingan (seperti para pedagang gula, sementara oknum yang mengatasnamakan para petani tebu, dan beberapa pihak di pabrik gula BUMN) akan berpandangan minor terhadap kebijakan yang bisa menerobos persoalan yang sudah kronis dan makin akut ini. Namun justru disinilah perlu tampilnya pemimpin model The Iron Lady Margaret Tatcher yang bisa dengan afirmatif mengatakan bahwa keputusan yang saya ambil barulah bisa disyukuri oleh generasi-generasi mendatang. Semoga. 

(twitter: @andrewenas)
----------------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING edisi Maret 2012

No comments:

Post a Comment

Related Posts