Sunday, February 5, 2012

Melahirkan Peradaban Baru

Oleh: Andre Vincent Wenas


“Malam musim panas itu hangat. Bulan sedang purnama. Dengan muram Kaeso 
memandangi bayangannya – sesosok pincang yang berjalan di sepanjang jalan-jalan 
Palatine yang gelap dan sunyi.”– Bab VIII Bayang-bayang Scipio, novel Steven 
Saylor, ROMA: Kisah Epik dari Zaman Romawi Kuno, 2007.

***

Joe Rospars adalah seorang whizzkid, umur 28 tahun, baru-baru ini ia jadi 
key-note speaker di Personal Democracy Forum (PDF) di Barcelona. Dia bilang, 
“Internet lowers the barriers for people to participate in the political 
process.” Buat kita di Indonesia, demokrasi ala facebook telah membuktikan 
kedigdayaannya dalam kasus cicak vs buaya. Tatkala parlemen di Senayan dan 
pressure-groups lainnya impoten lantaran terkooptasi, maka segenap 
jamaah-fesbukiyah bersatu padu menggalang opini publik melawan kekuasaan yang 
semena-mena. Tsunami opini publik yang digalang itu sementara ini berhasil 
menggulung niatan kaum jahiliyah yang ingin merampok masa depan bangsa ini 
dengan konspirasi jahatnya.

Fenomena di atas tentu saja menarik. Selain dimungkinkannya seorang pemuda 
belia bisa berceloteh di fora internasional, pada kenyataannya ia pun fasih juga 

dalam menyampaikan pesannya. Arus komunikasi tidak lagi terlahangi tembok 
perbedaan usia. Pertukaran ide berada dalam jalur bebas hambatan (budaya, 
prasangka). Memang, dorongan kekuatan teknologi telah meruntuhkan banyak 
hambatan komunikasi yang irasional. Wacana komunikasi argumentatif antar-subyek 
seperti yang diadvokasi Juergen Habermas nampaknya mulai mendapatkan 
platform-nya. Atau dalam wacana Hegelian kita melihat gerak sejarah ke depan 
dalam proses dialektika (tesis-antitesis-sintesis) yang ‘mengalami percepatan’ 
lantaran di-booster teknologi informasi. Tiang pancang pembangunan negara global 

dari nalar-universal mulai ditancapkan.

Caveat buat kaum laggards yang telmi (telat mikir) demi memahami lebih 
dalam fenomena dunia-datar (Thomas Friedman, The World is Flat, 2005) ini. 
Kompresi dan ekstensi spatio-temporal telah mendorong perubahan, bukan sekedar 
aksidentalia bahkan sampai di tataran paradigmatik. 

***

Mayetika, berasal dari kata ‘maieutikos’ (Yunani) yang berarti seseorang 
yang bertindak sebagai bidan yang membantu proses kelahiran. Istilah ini 
diadopsi Sokrates sebagai metodenya, yakni membantu proses kelahiran juga, tapi 
bukan kelahiran bayi melainkan kelahiran pengetahuan, kesadaran, ide. Dalam 
maieutike-techne Sokrates, dikatakan bahwa orang sudah punya pengetahuan, tetapi 

pengetahuan itu perlu dikeluarkan, dilahirkan. Sebagaimana proses kelahiran, 
inheren di dalamnya rasa sakit, perlunya kesabaran dan perjuangan (hidup-mati), 
pengorbanan.

Proses melahirkan peradaban baru yang compatible dengan paradigma jaman 
yang baru memang bisa juga dirasa menyakitkan bagi sementara golongan. Ada 
ketidak-relaan yang mewujud dalam bentuk resistensi, mulai dari yang sifatnya 
kasat-mata sampai yang klandestin. Namun pilihannya sudah jelas, to be or not to 

be…

***

Pandangan di atas bisa dikatakan agak Neo-futuris sebagai oposisi pandangan 

Dystopian yang sangat kritis terhadap teknologi (Anthony G. Wilhelm, Democracy 
in the Digital Age, 2000). Alvin Toffler, yang merupakan pentolan neo-futuris 
bersama John Naisbitt, Jim Ruben, Richard Groper dan Nicholas Negroponte, telah 
mengingatkan bahwa untuk menghindari terjadinya ‘gegar masa-depan’ dalam arti 
ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan kemajuan (teknologi), maka manusia 
seharusnya terus menerus memperbaiki dan berpikir ulang (rethinking) mengenai 
tujuan sosial yang disebutnya dengan ‘demokrasi antisipatoris’. “Dengan 
meluncurkan sebuah proses besar pembelajaran sosial – sebuah eksperimen dalam 
demokrasi antisipatoris di banyak negara sekaligus – kita dapat menghadang 
tikaman totalitarian,” demikian Toffler.

Di lain pihak, kita juga mesti mempertimbangkan pandangan Dystopian 
(tokohnya: Husserl, Heidegger, Thoreau, Arendt dan Barber) yang sangat kritis 
terhadap aplikasi teknologi. Seperti diurai oleh Heru Nugroho dalam pengantar 
terjemahan buku Anthony G. Wilhelm, “Bagi Heidegger inti dari teknologi adalah 
cara untuk mengungkapkan atau menjadi suatu cara berpikir mengenai alam sebagai 
suatu cadangan tetap, sebagai suatu sumber untuk dipulihkan, ditata dan 
dikontrol. Sedang Thoreau menyindir bahwa teknologi hanya bersifat menolong. 
Namun Arendt menyesali hilangnya hubungan manusia karena pemusnahan ruang-ruang 
publik yang muncul secara bersama dalam rezim totalitarian (maksudnya rezim 
komunikasi modern). Dalam hal ini romantisme Arendt adalah ketika ia berfikir 
bahwa demokrasi politik yang ideal adalah model Yunani kuno. Sementara Barber 
melihat komunikasi politik bermedia dengan kecurigaan, sebab komunikasi politik 
di ruang cyber adalah sesuatu yang abstrak, tak berbentuk dan anonim sehingga 
mudah terjadi penyimpangan.”

No comments:

Post a Comment

Related Posts