Kerangka pemikiran matang diperlukan untuk menerima konsep-konsep
manajemen baru. Konsep apa saja yang sudah diterapkan perusahaan
Indonesia. Berhasilkah?
Di masa tuanya, Peter F. Drucker, 83 tahun, tetap saja kritis. Pakar
yang
diakui sebagai Bapak Manajemen selama beberapa dekade itu mengeluh bahwa
teori-teori manajemen banyak yang pudar khasiatnya. Buktinya, katanya,
tidak sedikit perusahaan besar penyandang bintang kelas
dimasalaluterpuruk.
Perusahaan-perusaha an tadi nyaris tak berkembang lagi. Sebagian lagi
dilanda frustrasi karena tak mampu mengatasi krisis yang timbul.
Mengapa bisa begitu? Menurut Drucker, masalahnya bukan manajemen
perusahaan
yang buruk. Tidak pula karena mereka melakukan kesalahan.
Perusahaan-perusaha an itu malahan telah berbuat maksimal. Sayangnya,
upaya
tersebut tak menghasilkan apapun.
Sebagai pemimpin industri komputer, misalnya, IBM telah melakukan banyak
langkah manajemen yang tak seorang ahli pun menyalahkannya waktu itu.
Namun, raksasa biru itu toh tak terhindar dari kejutan-kejutan dipasar
yang
merugikan bahkan akhirnya membuatnya bertekuk lutut. Dan IBM tidak
sendirian. Ada sederetan panjang perusahaan komputer lain di
belakangnya:
Control Data, Univac, Burroughs dan NCR di Amerika Serikat; Siemens,
Nixdorf, Machines Bulls dan ICL di Eropa; serta Hitachi dan Fujitsu di
Jepang.
Yang menjadi masalah, menurut Drucker, bukan manajemennya. la
berpendapat,
semua itu terjadi karena asumsi yang dipakai oleh organisasi-organisa si
bisnis di atas sudah tak sesuai lagi dengan lingkungan saat ini. Padahal
asumsi-asumsi itulah yang membentuk teori bisnis perusahaan. Setiap
organisasi memiliki teori bisnis masing-masing. Sebelumnya, teori bisnis
itu mampu bertahan lama. Tetapi, pesatnya perubahan teknologi, ekonomi,
maupun sosial belakangan ini membuat si teori cepat usang. Itu sebabnya,
Drucker kemudian mengajak agar perusahaan mulai memikirkan kembali teori
bisnisnya.
Drucker tidak sendirian. la bahkan tergolong ketinggalan Dalam
memberikan
saran seperti itu. Banyak ahli lain sudah
bersuara sama sebelumnya. Beberapa malah menyarankan tindakan yang lebih
radikal: tak hanya asumsi-asumsi dasar yang harus ditinjau kembali
tetapi
juga seluruh praktek manajemen yang selama ini dilakukan dan dianggap
baik.
Alasannya, paradigma bisnis sudah berganti. Hal-hal yang dulu dianggap
praktek baik telah terbukti salah. Strategic planning, management by
objective, BCG matrix dan pemikiran manajemen lainnya dipertanyakan
kembali
kesahihannya.
Henry Mintzberg, misalnya, menggugat validitas dan kegunanaan pendekatan
strategic planning yang selama 25 tahun sudah seperti "roti dan mentega"
itu. Alasan Mintzberg, strategic planning bukanlah strategic thinking.
"Strategi yang sukses merupakan visi bukan rencana," tulisnya di Harvard
Business Review.
Sementara itu, tokoh seperti Michael Hammer mempertanyakan keampuhan
banyak
upaya perbaikan manajemen operasional perusahaan seperti
restrukturisasi,
total quality management, dan yang semacamnya. Menurut dia, cara-cara
seperti itu tak cukup untuk menjawab tantangan baru yang inuncul akibat
berubahnya lingkungan bisnis. Perusahaan, kata dia, harus siap mendesain
ulang seluruh. proses bisnisnya, atau, dalam istilah dia, melakukan
business
process reengineering.
Usulan-usulan di atas sudah sangat radikal. Tetapi toh masih ada yang
melebihinya, yaitu yang muncul dari karya bersama C.K. Prahalad dan Gary
Hamel. Menurut mereka, perusahaan yang hanya mengejar menjadi rarnping
dan
lebih cepat lewat restrukturisasi, downsizing dan yang sebangsanya akan
tetap kalah. Demikian pula yang hanya mencoba mencari proses yang lebih
baik lewat reinjiniring. "Untuk survive Anda harus menjadi berbeda.
Untuk
menjadi berbeda, Anda harus menciptakancaradana turanmainyang
baru,"saranPrahalad dan Hamer kepada beberapa pimpinan perusahaan
terkemuka
di dunia.
Bagaimana cara memahami dengan baik begitu banyak konsep manajemen
tersebut?
Tentu saja diperlukan kerangka berpikir terlebih dulu. Menurut Charlo
Mamora, Senior Vice President PT Astra Intemational - satu dari sedikit
perusahaan Indonesia yang selalu mengikuti perkembangan ilmu manajemen
baru
- dalam memilih begitu banyak konsep manajemen peranan pimpinan besar
sekali. "Kalau tidak, perusahaan bisa terombang ambing oleh konsep
konsep
manajemen yang sebenamya sederhana tetapi karena sudut pandang dan
bahasa
yang dipakai berbeda seolah tampak baru," ujamya. Kita bisa memulai
penelaahan dengan memakai model 3C yang ditulis Kenichi Ohmae dalam
bukunya
The Mind of the Strategist sebagai titik tolak. Menurut Ohmae, dalam
dunia
bisnis , hubungan yang harus diperhatikan adalah tiga kekuatan:
perusahaan
.itu sendiri (company), pelanggan (customer) dan pesaing (competitor) .
Perusahaan harus menyadari bahwa untuk membangun C pertama (kekuatan
perusahaan) dibutuhkan waktu. Kemudian, dalam hubungan dengan pelanggan
(C
kedua) perusahaan harus menyadari bahwa setiap pelanggan memiliki
kebutuhan
yang berbeda. Terakhir, perusahaan juga harus sadar bahwa untuk meraih
keunggulan dalam bersaing (C ketiga) perbedaan produk dengan produk
pesaing
di benak konsumen harus jelas.
Meski telah menunjukkan hal-hal yang harus diperhatikan oleh perusahaan,
Ohmae belum memberi jalan yang jelas bagaimana perusahaan harus
memanfaatkannya. Michael E. Porter kemudian yang mengolahnya lebih
dalam.
la mempertanyakan bagaimana perusahaan dapat mempertahankan keunggulan
bersaing dalam jangka panjang.
Porter kemudian mengusulkan tiga strategi utama. Pertama, dengan pesaing
sebagai fokus, perusahaan harus berusaha untuk memiliki keunggulan biaya
secara penuh (overall cost leadership). Dengan cara ini, ia bisa menjual
dengan harga lebih murah' ketimbang pesaing.
Strategi kedua, dengan pelanggan sebagai titik perhatian utama,
perusahaan
harus menciptakan produk rang bagi konsumen tampak berbeda ketimbang
produk
lain yang sudah ada sehingga tampak unik (differentiation) . Metode ini
mengarah pada segmentasi pasar. Dengan memanfaatkan secara maksimal
sumber
dayanya untuk masuk sasaran pasar yang terpilih, pen!sahaan berupaya
mencapai keunggulan dalam bersaing.
Cara ketiga, kalau tingkat persaingan berat, baik pesaing maupun
konsumen
harus dijadikan titik tolak strategi. Dalam keadaan ini strategi overall
cost leadership maupun differentiation diterapkan.
Sumbangan lain Porter yang tak kalah penting berupa pemahaman proses
suatu
perusahaan melalui analisa rantai nilai (value chain). Keunggulan
bersaing
tidak dapat dipahami tanpa melihat rantai kegiatan perusahaan secara
keseluruhan, karena keunggulan itu berasal dari aneka kegiatan yang
dilakukan perusahaan, seperti mendesain, memproduksi, memasarkan,
mendistribusikan dan mendukung produknya. Keunggulan biaya, misalnya,
dapat
berasal dari satu atau lebih proses yang ada dalam perusahaan.Mulai dari
distribusi barang yang murah, proses perakitan yang efisien, atau
penggunaan
wiraniaga yang hebat. Diferensiasi, sementara itu, dapat berupa desain
produk yang istimewa, pelayanan yang cepat-tanggap, atau penggunaan
bahan
baku bermutu tinggi.
Dalam waktu lama, prinsip dasar Ohmae dan Porter ini diakui keabsahannya
dan
banyak dijadikan patokan oleh perusahaanperusahaa n besar dunia. Tetapi,
setelah dunia bisnis mengalami banyak perubahan mendasar, belakangan
kritik
pun bermunculan. Kecuali sibuk dengan 3C itu, perusahaan menurut para
pemikir yang datang belakangan,jugaharu s mengikuti perkembangan yang
semakin
lama semakin cepat terjadinya .
Di antara para pemikir itu, bisa disebut Adizes dengan siklus kehidupan
perusahaan; Rosabeth Moss Kanter dengan dua bukunya, The ChangeMaster
dan
When Giant Learn to Dance; serta tak ketinggalan, pengarang In Search of
Excellence, Tom Peters dengan Thriving on Chaos dan Passion
forExcellence.
Inti pandangan mereka: perusahaan harus fleksibel agar.mampu mengikuti
kemungkinan perubahan yang terjadi. Karena munculnya pandangan-pandangan
baru inilah, Ohmae kemudian menambah C-nya sehingga menjadi 4. C
terakhir
pasti bisa Anda tebak - change alias perubahan.
Para ahli manajemen yang disebut di atas, meski sudah memasukkan unsur
perubahan, toh masih mempertahankan prinsip-prinsip lama. Mereka hanya
menyempumakannya. Yang membawa pandangan betul-betul radikal adalah Gary
Hamel dan C.K. Prahalad.
Menurut dua orang ini, hanya bersiap untuk menghadapi perubahan tak
cukup.
Mengapa? Karena seluruh asumsi dasar organisasi bisnis sudah berubah -
dan
akan terus berubah di masa depan. Kalau mau selamat, perusahaan harus
merombak cara berpikir dan cara beroperasinya.
Pertama, para eksekutif perusahaan harus mencurahkan lebih banyak waktu
untuk mengamati dan mendiskusikan perubahan perubahan yang bakal terjadi
di
masa depan: menurut mereka sekitar 60%. Artinya, hanya 40% waktu
keseluruhan eksekutif perusahaan yang dipakai untuk mengerjakan dan
memikirkan masalah~masalah internal seperti pemasaran, inventors dan
sebagainya. Kalau semua itu tak dilakukan, kata Hamel dan Prahalad,
perusahaan hisa tak sadar akan petubahan yang terjadi dan bemasib buruk.
Tuntutan itu saja sudah sangat berat untuk dipenuhi. Toh itu belum
semua.
Menurut Prahalad, perusahaan juga harus mendefinisikan perusahaannya
tidak
seperti yang sudah-sudah. Tidak sebagai sederetan proses, misalnya,
sekumpulan produk, atau sekelompok unit bisnis. Hakikat perusahaan
menurut
mereka, adalah kemampuan-kemampuan inti yang mereka miliki (core
competence). Dengan kemampuan-kemampuan inti itulah perusahaan bisa
berjalan, memiliki aneka produk, menciptakan serangkaian proses bisnis,
dan
sebagainya. Karena itulah, perusahaan harus mampu mendefinisikan
kemampuan
intinya dengan baik.
Untuk menerangkan core competence dengan lebih baik, Hamel dan Prahalad
memberi contoh sebuah pohon. Per-usahaan yang melakukan diversifikasi
adalah pohon yang besar. Batang pohon merupakan produk inti (core
product).
Cabang dan ranting adalah unit bisnis. Sementara daun, bunga dan buah
adalah produk akhir (end product). Meskipun merupakan bagian-bagian yang
kelihatan, menurut Prahalad sebenamya bagian bagian tersebut bukanlah
bagian
terpenting sebuah pohon. Bagian paling penting justru tak tampak karena
berada di dalam tanah: akar. Akar inilah yang diibaratkan Hamel dan
Prahalad sebagai kemampuan inti, sebab akarlah yang memberikan sari
makanan
pada pohon dan menjaga kelestariannya.
Menurut Hamel dan Prahalad, perusahaan bisa salah memandang pesaing jika
hanya memperhatikan produk akhimya. Sama halnya mengukur kekuatan pohon
tetapi hanya dengan melihat daunnya. Karena itu, mereka menganjurkan
agar
perusahaan jangan terpukau pada Pembeda yang terlihat (visible
difference) seperti kinerja keuangan, strategi Perusahaan dan definisi
bisnisnya. Yang perlu diperhatikan, Perbedaan yang tersembunyi (hidden
differences) seperti sumber daya, kompetensi, organizational
functioning,
dan strategic intent. Ha]-hal semacam itu mefiurut mereka lebih susah
ditiru pesaing. Untuk itu, perusahaan perlu meluaskan kemampuan mereka
metalui pengaturan lisensi, aliansi strategist dan hubungan yang erat
dengan
pemasok.
Dengan pandangan seperti itu tak aneh kalau Prahalad memandang dengan
sinis
perusahaan Yang melakukan restrukturisasi, ataupun langkah-langkah
pembenahan dan perampingan lain ketika menghadapi masalah. Menurut
mereka,
langkah-langkah semacam itu jarang membuahkan perbaikan fundamental bagi
perusahaan.
Meskipun demikian, menurut Prahalad dan Hamel, ada isu yang terlewatkan.
Meski berhasil mengerem kehilangan pangsa pasar lebih besar, nyatanya
Xerox
gagal merebut kembali pangsa pasarnya dari Jepang. Kini Canon tetap
memproduksi lebih banyak mesin fotokopi ketimbang perusahaan manapun di
dunia. Xerox juga gagal menciptakan bisnis baru selain mesin fotokopi,
karena tidak mengembangkan core comptence-nya. Canon, sementara itu,
merambah ke kamera, laser printer dan komputer, karena memiliki core
competence di bidang fine optic, mikroelektronik dan presisi mekanik.
Contoh yang baik Prahalad dan Hamel juga punya. Motorola, misalnya. Aset
paling berharga Motorola, kata mereka, adalah gagasan tentang "dunia
tanpa
kabel " di masa depan di mana tiap orang punya telepon genggam dengan
nomor
yang dipakai seumur hidup. Berkat pandangan itu, Motorola kini merupakan
sa]ah satu perusahaan terdepan dalam industri komunikasi meski
sebelumnya
mereka tak banyak menggeluti bidang itu.
Masalahnya kemudian, tentu saja,bagaimana meramalkan masa depan dengan
benar. "Salah satunya adalah dengan menggunakan teknik Delphi," tutur
Dr.Martani Huseini, pengajar Magister Manajemen Universitas Indonesia
yang
tekun mengikuti pemikiran Prahalad dan Hamel. Caranya? Sekumpulan Pakar
ditanya tentang produk-produk apa yang bakal ada di masa depan
berdasarkan
probabilitasnva. Selanjutnya, diadakan konfirmasi silang dengan pakar
bidang lain sebelum hasilnya digabungkan menjadi satu.
Sumber : SWA
Sunday, July 15, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Related Posts
-
Kamar mandi / toilet biasanya dilengkapi dengan perlengkapan untuk buang air kecil maupun besar. Kamar mandi yang dilengkapi dengan urina...
-
Performa Industri: Quality, Productivity, Safety, Cost. Manakah yang perlu diprioritaskan? Banyak sekali metode-metode yang dapat dipakai un...
-
Di beberapa perusahaan, divisi penyimpanan (store) untuk mengelola persediaan (inventory) sering mempunyai beberapa nama, seperti divisi...
-
Salah satu senjata ampuh para eksekutif untuk meningkatkan kariernya kini adalah dengan menempuh jalur pendidikan keprofesian bersertifi...
-
Sebaiknya PPIC dibagi menjadi: PPIC Planner, bertugas untuk membuat perencanaan atau MPP (Master Production Plan) dan MRP (Material Req...
No comments:
Post a Comment