Friday, November 25, 2022

Pengertian PHK dan Faktor Penyebabnya

Badai PHK Terjang Perusahaan Startup, Ketahui Pengertian PHK dan Faktor Penyebabnya 

Lutfan Faizi Minggu, 20 November 2022

Gelombang PHK karyawan tengah menerpa sejumlah perusahaan startup. Terbaru, ada PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) dan Ruangguru yang mengumumkan keputusan pahit PHK. Lantas, apa sebenarnya pengertian PHK dan apa sajakah faktor penyebabnya? 

Mengutip informasi dari jurnal berjudul ‘Aspek Hukum terhadap Pemutusan Hubungan Kerja yang Dilakukan oleh Pengusaha’ karya Sri Hidayani dan Riswan Munthe, PHK merupakan akronim dari Pemutusan Hubungan Kerja. 

Merujuk pada maknanya, PHK ini bisa diartikan sebagai pengakhiran hubungan kerja akibat hal tertentu yang menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban antara seorang karyawan dan perusahaan terkait. 

Sepintas, sebagian orang mungkin memaknai PHK dalam konotasi yang cenderung negatif. Biasanya mereka mengartikannya sebagai pemecatan sepihak dari perusahaan. Faktanya, hal tersebut sebenarnya kurang tepat. 

Berkaca pada Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disampaikan dengan jelas bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ini terjadi karena berbagai macam penyebab. Jadi, bukan karena pemecatan secara sepihak. 

Melihat kenyataannya, PHK ini sejatinya tak hanya bisa dilakukan oleh perusahaan saja. Melainkan, dari pihak karyawan pun juga bisa mengajukannya. PHK secara umum terbagi menjadi 3 jenis, yakni: 

  • -Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha/Perusahaan 
  • -Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja/Karyawan 
  • -Pemutusan Hubungan Kerja Batal Demi Hukum 

Adapun faktor-faktor yang bisa menyebabkan PHK antara lain sebagai berikut: 

1. Berakhirnya Hubungan Kerja 

Faktor berakhirnya hubungan kerja ini dimaksudkan seperti karyawan yang meninggal dunia, karyawan yang telah memasuki masa pensiun, hingga berakhirnya hubungan kerja sesuai perjanjian kerja waktu tertentu. 

2. Karyawan Terbukti Melakukan Kesalahan Berat 

Pada poin ini diartikan sebagai bentuk kesalahan karyawan yang telah terbukti merugikan perusahaan. Sebagai contoh adalah memberikan keterangan palsu atau membocorkan rahasia perusahaan. 

3. Karyawan Melanggar Ketentuan yang Disepakati 

Karyawan telah melakukan pelanggaran atas kesepakatan kerja, peraturan perusahaan, dan aturan lain yang sudah disepakati bersama. Selain itu, perusahaan juga sudah memberi surat peringatan sebanyak 3 kali berturut-turut kepada pekerja yang bersangkutan. 

4. Karyawan Terbukti Melakukan Tindak Pidana 

Pekerja ditahan oleh pihak berwajib karena melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha/perusahaan. 

5. Perubahan Status Perusahaan 

PHK karyawan juga bisa terjadi karena perubahan status, penggabungan, peleburan, hingga perubahan status kepemilikan perusahaan. 

6. Perusahaan Mengalami Kerugian 

Faktor ini biasanya menjadi salah satu penyebab paling umum dari PHK karyawan. Dalam hal ini, perusahaan yang mengalami kerugian bisa bangkrut dan membuatnya tak beroperasi secara normal seperti sedia kala. 

7. Perusahaan dalam Kondisi Pailit 

Kepailitan bisa disebut sebagai proses seorang debitur yang mengalami kesulitan untuk membayar utangnya dan dinyatakan pailit oleh pengadilan. 

8. Karyawan Mangkir 

Karyawan mangkir atau tidak bekerja tanpa izin selama 5 hari berturut-turut dan perusahaan telah melakukan pemanggilan secara tertulis sebanyak 2 kali. Namun, karyawan tidak bisa memberi alasan yang dapat diterima perusahaan.


Sumber :

https://ekbis.sindonews.com/read/946285/34/badai-phk-terjang-perusahaan-startup-ketahui-pengertian-phk-dan-faktor-penyebabnya-1668899505?showpage=all

Monday, November 21, 2022

Recovery Rate Kepailitan di Indonesia

27 Maret 2007

Rendah, Pemulihan Aset dalam Kepailitan

Hasil penelitian menunjukkan recovery rate kepailitan di Indonesia kurang dari 15% dengan waktu pemberesan rata-rata mencapai 3,5 tahun sangat rendah. Profesionalisme kurator, kreditur, debitur dan hakim pengawas menjadi sorotan. 

Termasuk pula kepastian perolehan pembayaran maksimal atas tagihan sesuai dengan jumlah tagihannya (asset recovery). Sayang itu belum berjalan seperti yang kita harapkan, tandasnya. Keperihatinan Fred semakin membuncah tatkala mengetahui masih rendahnya tingkat pemulihan aset (asset recovery). 

Padahal itu merupakan indikator dasar berhasil atau tidaknya rejim hukum kepailitan di sebuah negara. Penelitian Pusat Pengkajian Hukum (PPH) bertajuk 'Temuan Awal Asset Recovery Dalam Kepailitan' mengungkapkan bahwa rata-rata penyelesaian kasus kepailitan rata-rata 41 bulan atau 3 tahun 5 bulan.

Sebelumnya, World Bank dalam surveinya bertajuk Doing Business 2006 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat recovery rate hanya 11,8%. Sedang waktu pemberesan rata-rata mencapai 5,5 tahun dengan tingkat biaya kepailitan 18% dari total budel alias harta pailit.

Walau belum jelas metodologi yang digunakan dalam survei itu, namun, figur tersebut, kata Aria Suyudi, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), merupakan lampu kuning bagi masyarakat internasional terhadap kinerja sistem hukum kepailitan di Indonesia. Keberadaan figur resmi tentang tingkat efisiensi kepailitan perlu dimiliki oleh Indonesia, ujarnya.

Hal ini penting, lanjut Aria, terutama untuk membantu pengambil kebijakan agar lebih terstruktur mempelajari fenomena yang mengemuka dalam proses kepailitan serta memformulasikan solusi yang dapat diambil untuk mengatasinya.

Dari hasil penelitian PPH ternyata setiap tahun masih banyak kasus yang belum terselesaikan. Untuk tahun 2005 saja ada 20 kasus, lalu 2004 (13 kasus), 2003 (9 kasus), 2002 (7 kasus), 2001 (11 kasus) dan 2000 (23 kasus). Dalam lima tahun terakhir, kecenderungannya meningkat terus, ujar Tri Harnowo salah satu anggota Tim Peneliti PPH.

Sedangkan dari sisi recovery rate, hasil wawancara PPH mencatat antara 0-60% pada umumnya. Para kreditur justru mendapat prosentase kecil, 14,45% bagi mereka yang memegang hak agunan dan 13,58% bagi yang tak memegang agunan. Sedangkan hak buruh maupun pajak bisa mencapai 100% jika negosiasinya lancar.

Selain itu, PPH juga mengungkapkan masih rendahnya integrasi antara hukum kepailitan dengan sistem hukum lainnya, misalnya Hukum Acara Perdata, Hukum Pidana dan hukum publik, sebagai penyebab rendahnya pencapaian asset recovery.

Dalam beberapa hal sifat dasar kepailitan sebagai sita umum dan konsekuensi yang timbul terhadap status debitur (khususnys debitur individu, red) cenderung tidak diindahkan. Akibatnya, muncul tindakan yang bisa masuk ke tindak pidana namun disamarkan dengan istilah debitur fiktif atau kreditur tidak kooperatif, yang selalu diklaim tidak dapat diselesaikan, papar Hernowo.


Tidak tergantung kurator

Aria menambahkan bahwa asset recovery tidak melulu tergantung pada kinerja kurator. Namun, juga tergantung pada keberadaan infrastruktur sistem hukum lainnya di antaranya registrasi hukum jaminan dan sistem lelang. Tanpa infrastruktur yang memadai, pencapaian asset recovery akan sangat sulit untuk dicapai, tuturnya.

Ia menambahkan, selama ini 'senjata' yang dimiliki kurator sebagai profesi untuk melaksanakan banyak hal terkait dengan kepailitan sangat minim. Misalnya, upaya paksa badan yang jarang dikabulkan konon karena tidak jelas prosedurnya, akses terhadap informasi perbankan yang terbentur ketentuan kerahasian bank, serta actio paulina jarang dikabulkan dan sulit pembuktiannya.

Pernyataan Aria ini diperkuat dengan pengakuan Denny Azani yang berprofesi sebagai advokat sekaligus kurator. Ia mengeluhkan buruknya kerjasama dengan pihak perbankan terkait dengan pemblokiran rekening milik debitur pailit. 

Alasan yang selalu didengungkan pihak bank adalah ketentuan kerahasian bank. Para kurator mengalami dilema. Jika kita tidak mengajukan pemblokiran, pasti akan ditegur Bank Indonesia dan terancam sanksi pidana. Kalau mengajukan, malah pihak bank mengacuhkan begitu saja permohonan kita. Kami minta peraturan ini diperjelas sehingga kurator bisa bekerja secara maksimal, keluhnya.

Keluhan Denny ini dijawab oleh Wulan Tulandaka, wakil dari Bank Niaga. Memang itu yang kami khawatirkan, UU Kerahasian Bank. Jika kami melanggarnya pasti akan terancam sanksi pidana. Jadi, kami harus hati-hati melaksanakan pemblokiran tersebut, ujarnya. Wulan juga setuju jika masalah ini dibawa ke pihak otoritas perbankan yakni BI guna memperjelas aturan mainnya.

Wulan juga menegaskan bahwa kepailitan bukanlah pranata hukum yang menjadi prioritas untuk mencapai asset recovery. Kami sebagai kreditur tidak terlalu melihat kepailitan ini sebagai suatu upaya untuk mendapatkan asset recovery. Pada dasarnya, bank itu sudah menjadi secured crediturs atau kreditur yang punya hak istimewa, tuturnya.

Terkait dengan masalah perbankan ini, Fred mencoba menengahi. Ia meminta agar pihak perbankan juga mentaati dan melaksanakan UU Kepailitan di samping UU Perbankan. Sebenarnya, kata Fred, diminta atau tidak, begitu ada debitur yang diumumkan secara terbuka dan luas di media massa dinyatakan pailit, pihak bank seharusnya responsif. Salah satunya, dengan memblokir rekening debitur pailit. Tujuannya agar si debitur pailit tidak bisa memindahkan uangnya atau membuat rekening baru.

Jika tidak menjalankan hal tersebut, pihak bank juga bisa dituntut secara pidana. Lihat di dalam ketentuan KUH Perdata dan KUHPidana yang mengatur masalah ini. Hukumannya tidak lama kok, hanya 7 tahun, ujarnya sambil tersenyum.


Ulah Debitur

Selain itu, GP Aji Wijaya, seorang advokat juga mengingatkan agar tidak lupa mengetahui kredibilitas atau karakter debitur dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur.

Tak jarang, katanya, begitu diketahui adanya permohonan pernyataan pailit, umumnnya debitur langsung memindahkan harta-harta bergerak termasuk rekening-rekeningnya yang ada di bank. Tujuannya untuk menghindari penguasaan harta oleh kurator.

Khusus untuk harta debitur yang berbentuk badan hukum yang pemilikannya atas nama pribadi (meski dibeli dengan uang perusahaan, red) tetap dipertahankan atas nama pemegang saham. Dan, dilakukan perikatan-perikatan tertentu dengan pihak lain secara back date.

Adanya kreasi transaksi-transaksi utang-piutang back date dengan pihak ketiga untuk menjadi 'teman kreditor' yang akan memberi dukungan kepada debitur dalam rapat-rapat kreditur maupun voting rapat kreditur.

Menurut Aji, transaksi semacam ini mudah terjadi karena lemahnya law enforcement ketentuan UU Wajib Daftar Perusahaan, khususnya kewajiban penyampaian laporan keuangan audit tahunan.

Sangat mudah bagi debitur melakukan 'kreasi teman-teman debitur' dengan memecah tagihan 'inter company loan' dengan menggunakan ketentuan cessie dari Pasal 613 KUH Perdata, tuturnya. Selanjutnya, tambah Aji jika itu sudah dilaksanakan, pihak advokat debitur akan bersikap over protected terhadap debitur dan harta debitur.

Cara lain yang biasa dilakukan, yakni debitur melakukan pendekatan kepada kreditur-kreditur tertentu dengan kompensasi tertentu. Misalnya, pembayaran sebagian utang atau tagihannya akan diambil alih oleh perusahaan terafiliasi. Tujuannya agar memberikan dukungan dalam rapat-rapat kreditur maupun voting rapat kreditur.

Selain itu, debitur juga tak jarang meminta kreditur atau pemegang sahamnya atau afiliasinya agar membeli tagihan-tagihan kreditur melalui special purpose vehicle (SPV) dengan harga tertentu. Selanjutnya SPV tersebut akan menjadi kreditur 'baru' yang akan hadir dalam rapat-rapat kreditur. Cara-cara seperti ini terjadi atas tagihan-tagihan yang timbul dari surat berharga atas unjuk yang tentunya tidak akan tercatat dalam pembukuan debitur, ujar Aji.

Cara-cara di atas akan menyulitkan pembentukan Panitia Kreditur. Kalau pun terbentuk, pasti tidak akan efektif mengingat Panitia Kreditur diisi oleh 'teman-teman kreditur' dari debitur, ujarnya.

Di sampung itu, tambah Aji, cara di atas sulit dideteksi oleh pihak kurator. Kalau pun kuratior mengetahuinya, terdapat keengganan kurator untuk melakukan actio pauliana. Padahal, UU Kepailitan memberikan sarana bagi kurator untuk mencegah atau pun membatalkan tindakan-tindakan sebagaimana dipaparkan di atas.

Di akhir diskusi, Fred kembali mengingatkan agar masing-masing pelaku dalam kepailitan baik itu kurator, debitur, kreditur maupun hakim pengawas agar mengedepankan proses kepailitan secara 'elegan' guna memperoleh pemulihan aset secara maksimal.

Menyedihkan dan mengenaskan. Dua kata itulah yang digunakan Fred B.G. Tumbuan, konsultan hukum senior, untuk mengungkapkan keprihatinannya terhadap implementasi rejim hukum kepailitan di Indonesia selama ini.

Bukannya bertambah baik, malah yang terjadi justru masing-masing pihak, baik kurator, debitor, kreditor maupun pengadilan (hakim pengawas, red) mengklaim dirinya yang paling benar. Jadi, tak mengherankan kalau hukum kepailitan di Indonesia belum berjalan secara efektif, ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum pekan lalu di Jakarta.

Fred menambahkan, UU Kepailitan yang ada saat ini telah memberikan perangkat dan pranata yang diperlukan dalam proses kepailitan secara adil, cepat, terbuka dan efektif. UU Kepailitan, lanjut Fred, memberikan fasilitas bagi kurator dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kreditor untuk mempertahankan hak-haknya serta debitor pailit untuk memperoleh keadilan dalam memenuhi kewajiban pembayaran utangnya.

Selengkapnya klik https://www.hukumonline.com/berita/a/rendah-pemulihan-aset-dalam-kepailitan-hol16408?page=all

Sunday, November 20, 2022

PHK di GoTo dan Ruangguru

Badai PHK di Startup Belum Usai, Kini Giliran GoTo dan Ruangguru

20 November 2022 7:09

·

Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) masih melanda negeri ini, terutama terjadi di perusahaan rintisan atau startup. Kali ini, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) dan PT Ruang Raya Indonesia (Ruangguru) melakukan PHK besar-besaran.

Perampingan jumlah karyawan GoTo dan Ruangguru terjadi di saat yang bersamaan pada Jumat (18/11) kemarin. Jumlah karyawan yang di-PHK terdampak tidak tanggung-tanggung, yakni hingga ribuan.

Pihak GoTo memutuskan untuk melakukan perampingan karyawan sejumlah 1.300 orang atau sekitar 12 persen dari total karyawan tetap Grup GoTo. Hal tersebut berdasarkan keterbukaan informasi perusahaan.

Manajemen GoTo mengatakan, tantangan makro ekonomi global berdampak signifikan bagi para pelaku usaha di seluruh dunia. GoTo, seperti layaknya perusahaan besar lainnya, perlu beradaptasi untuk memastikan kesiapan Perusahaan menghadapi tantangan ke depan.

“Karenanya, Perusahaan harus mengakselerasi upaya untuk menjadi bisnis yang mandiri secara finansial dan tumbuh secara sustainable dalam jangka panjang. Hal ini dilakukan antara lain dengan memfokuskan diri pada layanan inti, yaitu on-demand, e-commerce dan financial technology,” tulis manajemen GoTo, Jumat (18/11).

Karyawan GoTo yang terdampak akan memperoleh paket kompensasi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan di tiap negara di mana GoTo beroperasi. Lebih dari itu, GoTo juga memberikan sejumlah dukungan finansial, antara lain berupa tambahan satu bulan gaji, serta kompensasi pengganti periode pemberitahuan (notice in-lieu).

GoTo juga memberikan dukungan pencarian kerja serta layanan konseling. Karyawan terdampak berhak memiliki laptop yang saat ini mereka gunakan, mengakses berbagai program pelatihan, serta dapat bergabung ke direktori alumni GoTo, di mana Perusahaan dapat memberikan rekomendasi kepada berbagai perusahaan dalam jaringan rekanan bisnis Grup GoTo. Selanjutnya, fasilitas konseling karier, keuangan, dan psikologi akan tersedia sampai akhir bulan Mei 2023.


Penjelasan Manajemen Ruangguru soal PHK Pekerja

Sementara itu, startup yang memberikan layanan bimbingan belajar secara online ini melakukan PHK terhadap ratusan karyawannya. Meski demikian, pihak manajemen Ruangguru tidak menyebutkan jumlah pastinya.

External Communications Associate Manager Ruangguru, Gwendolyn Betsy, membenarkan bahwa pihaknya telah melakukan PHK. Menurut dia, keputusan tersebut terpaksa diambil mengingat situasi pasar global yang memburuk secara drastis.

"Hari ini Ruangguru melakukan PHK dengan sebagian pegawai Ruangguru. Terdapat ratusan pegawai Ruangguru yang terdampak dari pemutusan hubungan kerja ini. Keputusan sulit ini diambil karena situasi pasar global yang memburuk secara drastis," ujar Gwendolyn kepada kumparan, Jumat (18/11).

Ia mengeklaim seluruh karyawan yang terkena PHK telah mendapatkan pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan penggantian hak apabila masih memiliki sisa cuti.

Pembayaran pesangon telah sesuai dengan ketentuan Undang-undang (UU) untuk dibayarkan secara penuh tanpa potongan dan gaji bulan terakhir bekerja dibayarkan penuh, serta memperpanjang asuransi.

Gwendolyn mengatakan Ruangguru berkomitmen membantu karyawannya yang terdampak PHK agar mendapatkan pekerjaan baru. Untuk itu, pihaknya mengalokasikan tim rekrutmen Ruangguru secara khusus dengan memberikan dukungan konsultasi karier, psikologis, dan akses kelas pengembangan karier jika dibutuhkan.


Sumber :

https://kumparan.com/kumparanbisnis/badai-phk-di-startup-belum-usai-kini-giliran-goto-dan-ruangguru-1zHahncwGFh/full?

Related Posts