Saturday, September 13, 2014

Problem Solver dan Mindset


Oleh: Rhenald Kasali

ANDA mungkin kenal dua nama ini: Larry Page dan Sergey Brin. Keduanya adalah pendiri Google, mesin pencari yang merevolusi dunia internet. Google kini menjadi perusahaan IT terbesar dengan nilai penjualan (2013) mencapai USD 59,83 miliar atau setara dengan Rp 688 triliun.

Apa artinya angka itu? Sebagai ilustrasi, pendapatan tahun yang sama Pertamina mencapai USD 70,9 miliar, sedangkan PT Astra International Tbk USD 16,6 miliar. Jadi, Google beberapa kali lebih besar daripada Astra, tetapi lebih kecil daripada Pertamina.

Meski begitu, tak ada yang menyangkal bahwa Google adalah perusahaan besar yang tak lepas dari peran dua pendirinya tadi. Nah, yang mungkin Anda belum tahu, di tahap awal, keduanya betul-betul bak Tom & Jerry. Ribut terus.

Ada saja pemicunya. Bahkan, hal-hal kecil sekalipun. Misalnya, lupa menutup pintu, mematikan kompor gas, meletakkan koran tidak pada tempatnya, dan sebagainya.

Pembentuk Kompetensi

Pada banyak organisasi, dengan mudah kita menemukan sosok-sosok seperti Larry dan Sergey yang bak air dan api. Sulit dipertemukan. Celakanya, pada taraf tertentu memicu terjadinya office politic, melahirkan kubu-kubu di dalam organisasi perusahaan.

Pada tingkat yang sangat parah, mereka mampu membuat organisasi perusahaan terbelah. Bukan hanya dua, tetapi bisa tiga, bahkan empat kubu.

Tapi, dunia ini adil. Ada hitam, ada putih. Ada gelap, ada terang. Maka, selain trouble maker, perusahaan memiliki problem solver. Mereka adalah orang-orang yang berperan mengatasi setiap masalah yang dipicu perilaku para biang onar.

Orang-orang seperti inilah yang kemudian membentuk kompetensi inti, menjaga agar tetap bersatu, mendorong lahirnya kinerja-kinerja unggul, dan memberikan inspirasi kepada karyawan lainnya untuk menghasilkan kinerja yang unggul juga.

Biasanya, jumlah mereka tidak banyak, tapi sangat powerful. Mereka termasuk orang-orang yang menduduki posisi-posisi kunci. Begitu pentingnya orang-orang seperti itu, Bill Gates mengatakan, ”Kalau Anda ambil 20 orang terbaik Microsoft, bisa saya pastikan Microsoft akan menjadi perusahaan yang sama sekali tidak penting lagi.”

Setiap organisasi layaknya memiliki problem solver, namun hendaknya disadari mereka selalu berhadapan dengan para pengacau. Dan, sebagaimana layaknya pertarungan, bisa saja suatu ketika mereka kalah.

Apa jadinya kalau mereka sampai kalah? Kinerja organisasi pasti amburadul. Pada tataran bisnis, kita sering mendengar perusahaan yang maju tidak, mundur juga tidak. Kinerjanya begitu-begitu saja. Stagnan. Tapi, kalau kekacauannya sudah begitu parah, perusahaan-perusahaan itu bakal bertumbangan, bangkrut, dan akhirnya ditutup.

Maka, penting bagi para CEO atau pemilik perusahaan mengenal siapa problem solver dan siapa pengacau. Lalu, penting pula memastikan dukungannya terhadap para problem solver. Jangan sampai mereka kalah.

Mindset

Para problem solver ini tidak lahir tiba-tiba, melainkan terbentuk melalui proses panjang. Jika diidentifikasi, mudah mengenali apa yang membuat mereka menjadi begitu berbeda. Perbedaannya adalah soal mindset.

Apa itu mindset?

Supaya mudah dipahami, saya pakai cerita Michael Jordan, pebasket terbesar yang pernah ada di bumi ini. Dalam sebuah wawancara TV, dia ditanya, ”Apa rahasianya sehingga Anda bisa menjadi pebasket yang hebat?”

Kata Jordan, dia selalu menanamkan kepada diri sendiri bahwa setiap kali bertanding, itu adalah pertandingan terakhirnya. Dengan keyakinan seperti itu, setiap kali bertanding, Jordan bermain habis-habisan. Keyakinan yang dimiliki Jordan itulah mindset. Maka, untuk membenahi para pengacau, kita mesti membereskan mindset mereka. Begitu pula kalau mau membenahi negeri ini, kita harus membenahi mindset kita. []

KORAN SINDO, 28 Agustus 2014
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali

2014 Tahun Transformasi Dunia Bisnis Indonesia


Oleh Bortiandy Tobing

Tahun 2014 segera kita jalani dengan berbagai peluang dan tantangan yang harus dihadapi. Berikut beberapa ulasan singkat yang semoga dapat berkenan dan bermanfaat bagi kita semua.

A.   Outlook Ekonomi Indonesia 2014
Beberapa catatan yang disampaikan oleh berbagai ahli dan lembaga untuk Negara Indonesia di tahun 2014 adalah:
1.    Tahun 2014 adalah tahun politik, dimana pada tanggal 9 April 2014 Pemilu Legislatif dan 09 Juli 2014 Pemilu Presiden dan rencana pelantikan Presiden 20 Oktober 2014. Dengan pelaksanaan agenda demokrasi 5 (lima) tahunan ini, sudah dapat dipastikan akan menggerus perhatian dan sumber daya yang cukup besar, termasuk logistik pemilu (baik kebutuhan kampanye caleg/partai maupun peralatan pemilu KPU) yang cukup besar.
2.    Asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di bawah 6% (proyeksi Bank Dunia 5.3%). Hal ini ditopang oleh belanja domestic yang meningkat seiring dengan pelaksanaan Pemilu yang membutuhkan berbagai alat peraga kampanye yang secara umum dikerjakan oleh UMKM.
3.    Laju Inflasi 4.5% plus minus 1 dengan deficit neraca perdagangan berkisar 2%
4.    Nilai tukar rupiah di semester 1 (1H 2014) yang masih bergerak di 11.000-an serta BI rate yang berada di 8%.

Berbagai pendapat optimis para ekonom dan lembaga memberikan angin segar peluang bisnis di tahun  2014 yang disertai dengan perubahan ekonomi dunia, khususnya Amerika dan Eropa yang membaik, sehingga berpeluang meningkatkan nilai ekspor berdasarkan volum.

B.    Catatan yang tidak dapat diabaikan
Pada kesempatan ini, saya sekedar mengingatkan akan beberapa hal:
1.    Pertumbuhan ekonomi 2014 tidak dibangun dari sektor riil. Dengan kenaikan UMK yang sangat tidak dapat diprediksi dan ugal-ugalan, justru semakin melemahkan industri UMKM dan padat karya yang justru sebagai penopang ekonomi nasional.
2.    Daya beli masyarakat yang masih lemah, sehingga mayoritas masyarakat masih membeli barang berdasarkan harga, tanpa melihat produksi dari mana. Hal ini sangat terlihat nyata jika kita melihat di Pasar ASEMKA Jakarta, atau di pulau Sumatera dan Kalimantan, dimana sekitar 30% barang FMCG adalah produk Malaysia, Thailand dan China
3.    Kenaikan UMK tahun 2014 masih belum dapat diprediksi, walau dengan pemerintahan baru nantinya kenaikan tidak akan seperti saat ini, namun gejolak penolakan buruh yang cukup kritis untuk diantisipasi, baik oleh dunia usaha maupun oleh pemerintah.
4.    Logistik Nasional yang masih jauh dari harapan. Tahun 2014 kita masih akan menghadapi diskusi, komentar, keluhan mengenai hal yang sama dan rencana solusi yang sama juga. Kondisi pelabuhan Tanjung Priok dan pelabuhan lain di Indonesia, Kondisi jalan yang rusak, Kemacetan, biaya logistik yang masih tinggi, dll.
5.    Perubahan Pemerintahan pasca Pemilu Legislatif 09 April 2014 dan Presiden 09 Juli 2014 serta pelantikan Presiden 20 Oktober 2014.

Kelima hal di atas (dan masih banyak hal lain), merupakan hal yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai dengan pertumbuhan sektor riil tentunya sangat mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia di tahun 2015, saat Negara ini memasuki Kawasan Ekonomi ASEAN. Dengan pondasi ekonomi yang lemah, maka bukan tidak mungkin pada tahun 2015 kita akan menghadapi gelombang kejut ekonomi yang jika tanpa persiapan yang cukup, maka industri nasional perlahan dan pasti akan menuju kebangkrutan.


C.    Penutup
Tahun 2014 adalah 365 hari dalam perhitungan mundur Indonesia menuju MEA/Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Siap atau tidak, setuju atau tidak, seluruh rakyat Indonesia akan memasuki era ekonomi terbuka untuk kawasan ASEAN, sesuai kesepakatan Declaration on the ASEAN Economic Community Blueprint, yang telah ditandatangani oleh seluruh pemimpin ASEAN pada tanggal 20 November 2007 di Singapore. Dengan jumlah penduduk yang terbesar, maka secara otomatis pula Negara kita akan menjadi pasar terbesar dan menjanjikan bagi produk-produk negera ASEAN lainnya. Disaat negera-negara ASEAN lainnya bersiap-siap untuk memasuki pasar nasional, kita masih sibuk dengan euphoria pesta demokrasi lima tahunan.

Dengan berbagai pandangan dan analisa di atas, maka tahun 2014 adalah Tahun TRANSFORMASI bagi seluruh dunia usaha nasional. Tidak hanya menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, tetapi juga Perubahan Pola Pemerintahan pasca Pemilu Presiden, dengan Presiden baru yang berintegritas dan memiliki keberanian dalam mengeluarkan kebijakan cerdas terhadap ekonomi nasional. Berbagai strategi perubahan harus segera disusun dan segera diterapkan agar dunia usaha terutama dunia logistik dapat dengan cepat beradaptasi dengan perubahan kondisi ekonomi nasional yang secara otomatis berdampak pada pola distribusi barang secara nasional.

Pandangan pesimistis ekonomi nasional pasca MEA 2015,industri Nasional akan mengalami goncangan, khususnya industri FMCG dan padat modal, sehingga dengan harga produk import yang lebih murah, para pelaku usaha khususnya pedagang perantara merubah orientasi pembelian produk dari barang lokal ke barang import yang lebih murah dan dibutuhkan masyarakat. Hal ini juga akan berdampak pada pola distribusi barang, yang selama ini terpusat dari pulau jawa, khususnya Jakarta, Banten dan Jawa Barat, maka akan beralih dari pelabuhan (barang import dengan biaya logistik yang lebih kompetitif) langsung ke grosir/toko.

Dan dalam kaitan milis logistik ini, belum terlambat juga untuk kembali merapatkan barisan dan melakukan langkah nyata dengan mengeluarkan rekomendasi Logistik Nasional menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yang tertunda di tahun 2013 sebagai acuan bagi pemerintah baru nantinya.

Selamat menyambut Tahun Baru 2014, Tahun Perubahan Negeri tercinta dan Tahun Transformasi dunia usaha.

“The graveyard of business littered with companies that failed to recognize the need to change.” - Unknown

Saatnya berubah menuju esok yang lebih baik.


Salam Sukses,
Bortiandy Tobing
"Hidup adalah karya dalam perubahan"
"Never give up, 1.000 years"


Sumber :
Milis APICS_ID

Thursday, September 4, 2014

Astra: Rekrut Karyawan Tidak Cuma Lihat IP


Indonesia punya pekerjaan rumah yang besar di bidang pembangunan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Pendidikan yang tinggi ternyata belum tentu mencerminkan kompetensi tenaga kerja.

PT Astra International Tbk (ASII) misalnya. Perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia ini harus memberikan pendidikan tambahan kepada ribuan tenaga kerja berpendidikan S1 yang direkrutnya setiap tahun. Perusahaan menganggap, indeks prestasi (IP) yang tinggi tidak mencerminkan kualitas sarjana yang direkrutnya.

"Setiap tahun kami merekrut 2.500-3.000 sarjana S1. Cari orang bagus itu sulit karena kita tidak bisa melihat cuma dengan IP," kata Direktur Astra International Paulus Bambang dalam dialog bertajuk 'Penguasaan SDM-Iptek Sebagai Kunci Kemajuan Indonesia di Masa Depan' dalam rangkaian seminar bertema Refleksi Tiga Tahun Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di JCC, Jakarta, Kamis (4/9/2014).

Padahal, kata Palus, bila pendidikan yang diterimanya tepat, SDM Indonesia mampu bersaing bahkan mengungguli SDM terlatih sekalipun di negara maju seperti Jepang dan Prancis.

"Kami punya pengalaman mengirim SDM untuk mendapat pendidikan di Jepang. Ternyata setelah mendapat pendidikan, mereka bisa produksi mobil dengan standar Jepang yang nggak kalah. Pernah kita ikutkan lomba, hasil desain mereka kita lombakan dengan Jepang dan Prancis dan ternyata menang. Kesimpulannya, orang Indonesia kalau dikasih kesempatan, nggak akan kalah," paparnya.

Paparan Paulus tersebut senada dengan pemikiran Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto. Menurutnya, selain dukungan dari sisi kebijakan, penyediaan SDM berkualitas juga menjadi hal yang mutlak untuk dipenuhi. "Inovasi teknologi tidak lepas dari kualitas manusia yang menguasai iptek," tegasnya.

Namun, lanjut Unggul, saat ini keberpihakan terhadap penguasaan iptek justru terlihat memudar. Ini tercermin dari anggaran iptek yang semakin minim, bukannya bertambah.

Unggul menyebutkan, saat ini anggaran untuk riset hanya mendapat porsi sekitar 2% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "Pada masa Orde Baru, anggaran riset 3,4% dari APBN. Sekarang turun terus," ungkapnya.

Minimnya penguasaan iptek di dalam negeri menyebabkan Indonesia masih tergantung pada produk-produk impor. Misalnya kala PT PLN (Persero) ingin membangun pembangkit listrik senilai Rp 100 triliun. Sebagian dananya habis dibelanjakan untuk membeli komponen dari luar negeri.

"Padahal, kalau kita bisa meningkatkan kualitas SDM, kita bisa membuat industri yang bernilai tambah. Dengan adanya industri dengan nilai tambah maka diharapakan indonesia bisa mengurangi impor barang modal," jelas Unggul.

Sebagai solusi dari permasalahan ini, pemerintah telah melakukan beberapa upaya. Salah satunya dengan membangun Sekolah Menengah Kejuruan dan institut-institut yang fokus pada pengembangan teknologi.

"Sekarang sudah belasan community college yang dibangun. Pemerintah juga akan membangun banyak politeknik serta membangun institut teknologi baru. Kemendikbud akan membangun dua institut teknologi baru di Sumatera dan Kalimantan," papar Rektor Institut Pertanian Bogor Ahmaloka dalam kesempatan yang sama.

Ahmaloka yang sore ini hadir menggantikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh ini menuturkan, dengan pembangunan ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat usia produktif dalam memperoleh pendidikan yang memadai dalam menghadapi persaingan global.

Sebagai gambaran, ia memaparkan, dibanding dengan negara lain partisipasi masyarakat Indonesia usia 18-24 tahun dalam pendidikan tinggi masih sangat rendah. "Jumlah mahasiswa Indonesia ada 6 juta. Kalau distatistikkan, angka partisipasi kasarnya baru 20%," kata Ahmaloka.

Artinya, dari setiap 100 orang penduduk Indonesia usia 18-24 tahun, hanya 20 orang yang bisa menikmati bangku kuliah. Angka ini sangat jauh bila dibandingkan dengan negara lain seperti Korea Selatan yang tingkat partisipasinya sudah 90%.

Ahmaloka melanjutkan, dengan adanya penambahan fasilitas-fasilitas pendidikan yang fokus pada bidang teknik khusus tersebut diharapkan bukan hanya partisipasi masyarakat terhadap pendidikan yang meningkat, tetapi dari sisi pengembangan SDM-nya juga semakin terarah.

"Harapannya, apa yang baik dan sudah tercapai saat ini dapat dilanjutkan apa yang belum baik dicarikan solusinya. Kesimpulannya, butuh satu usaha selain dari sisi kebijakan agar Indonesia memiliki daya saing yaitu dengan peningkatan riset dan inovasi. Dan inovasi teknologi tidak lepas dari sumber daya manusia yang berkualitas," paparnya.


Sumber :
http://finance.detik.com

Related Posts