Salah satu yang diajarkan oleh JIT adalah permintaan pengiriman material secara parsial, sesuai yang dibutuhkan atau yang sudah diatur jadwal produksinya oleh customer. Jika bergaining posisition supplier lebih lemah, (entah itu karena skala bisnis yang lebih kecil, ketergantungan order yang besar, ataupun karena customer adalah perusahaan monopoli) maka dia akan tak berdaya dan mengikuti saja apa yang diinginkan oleh customernya,
walaupun
parsial delivery itu cenderung menyulitkan dia.
Apakah
SEMUA CUSTOMER MEMIKIRKAN KESULITAN SUPPLIERNYA ? Pendekatan primitif tentang
pemasok cenderung untuk berfikir secara zero sum (menang kalah). Sehingga hanya
memindahkan stock kepada suppliernya saja, agar si customer sendiri bisa zero
inventory dan just in time ?
Bagaimana
dengan si supplier, apakah dia bisa zero inventory juga, dan bisa just in time juga ? Banyak supplier
yang akhirnya harus menumpuk stock berlebih hanya agar bisa mensupplay material
yang diinginkan customernya (yang polanya belum tentu teratur, sesuai kanban
yang diatur customer) agar setiap saat bisa mengirimkan barang yang dinginkan
customer. Di sini justru malah si supplier yang melakukan tindakan yang tidak
menambah nilai yaitu over stock. Yang tentu saja ini salah satu bentuk Muda
(pemborosan).
Dengan
level stock yang tinggi, maka barang di supplier akan terancam kadaluarsa,
cepat rusak dan membebani cash flownya. Tinggal menunggu waktu saja, cepat atau
lambat, si supplier ini yang justru bermasalah. Jika supplier
bermasalah,
bisakah dia selalu on time dan just time mengirimkan barang ke customernya ?
Pengalaman di tempat saya mengatakan tidak akan selalu
berjalan
dengan smooth
Karenanya pendekatan terbaru terhadap supplier
bukan hanya selection dan valuation vendor, tapi juga pembinaan dan bantuan
kepada vendor untuk mengatasi segala kesulitannya dan memberikan segala
informasi yang dipunyai oleh customer untuk membantu vendor. bahkan dalam
pendekatan supply chain management, Customer tidak hanya mengurusi dan membantu
suppliernya, tapi juga suppliernya supplier... hingga sampai ke hulu supplier.
Ini dimaksudkan untuk menghindari kegagalan delivery oleh supplier. Sebab
kadang sebuah masalah bukan disebabkan oleh supplier, tapi justru oleh pihak lain
di luar supplier itu.
Suatu contoh, sebuah perusahaan sparepart
otomotif memiliki supplier karton box (corrugated carton box). Perusahan
otomotif ini minta kepada suppliernya untuk mengirim karton box secara parsial,
sesuai yang diminta oleh customer. Karena customer tidak pernah memberikan
informasi schedule produksi dan delivery dan informasi lainnya, akibatnya si
supplier tidak tahu berapa kira-kira dia harus menyipakan materialnya. Pilihan
logis yang diambilnya adalah menumpuk stock material sebanyak-banyaknya.
Namun
tiba-tiba keadaan berubah. Suppliernya perusahaan karton box, yang notabene
adalah
produsen kertas yang di Indonesia
keberadaannya masih monopoli (duopoli) menerapkan kebijakan agar semua pembeli
material untuk karton box membayar secara cash total dimuka (bukan advanced
payment), baru bisa mendapatkan material yang diminta. Akibatnya posisi
perusahaan karton box ini menjadi kelimpungan karena kesulitan cash flow
(likuiditas). Apalagi ketika customernya yang perusahaan sapreparts otomotif
itu berkehendak untuk mengganti spek material, sementara material dengan spek
lama masih menumpuk. Akibatnya perusahaan karton box ini terncam gulung tikar,
dan tidak bisa mengirim barang lagi.
Tidak
semudah membalikkan telapak tangan bukan ? Banyak perusahaan besar kemudian
mengambil langkah pintas dalam supply chain management ini dengan menerapkan
Keiretsu. Yaitu semua suppliernya dari hilir ke hulu adalah perusahaan dalam
grupnya sendiri. Tapi apakah itu mudah dilakukan oleh semua perusahaan di Indonesia
?
Masalah
kedua berkaitan dengan pengendalian stock ini adalah letak perusahaan supplier
yang berjauhan dengan pabrik customer. Jika dalam literatur Lean Manufacture
sering disebut istilah supplier yang letaknya di wilayah industri yang sama.
Apakah hal ini akan mudah diterapkan di Indonesia, atau paling tidak di
Jabodetabek ?
Jika
di Jepang, semua supplier utama Toyota ini
berada di area Toyota
City . Yang berarti semua supplier
utama Toyota letak pabriknya tidak jauh dari
pabrik Toyota . Sehingga
masalah kemacetan bukan menjadi kendala. Tapi bandingkan dengan di Jabodetabek.
Apakah semua supplier utama kita letaknya di sekitar pabrik kita ? Toyota Indonesia
yang pabriknya ada di Sunter dan Karawang, ternyata mempunyai supplier utama
seperti Sugity yang ada di Cikarang, Aisin di Bekasi, Abadi Barindo (Ex
Kadera-AR) di Gandamekar Cikarang Barat, GKD Group di Pegangsaan Dua Kelapa
Gading, dan lain-lain.
Apakah
lalu lintas antara Sunter, Karawang, Cikarang, Bekasi, dan Kelapa Gading selalu
lancar dan mudah terjangkau ? Bagaimana jika terjadi kemacetan yang panjang,
atau demo buruh seperti hari buruh kemarin ? Apakah semua supplier tetap bisa mengirimkan
barang on time, sehingga level stock perusahaan kita tetap terjaga ?
Di
negara yang blue print kebijakan manufakturnya masih tidak stabil seperti Indonesia ini,
mengharap semua supplier kita berda dalam kawasan industri yang sama tentu saja
merupakan sebuah harapan yang naif. Akibatnya tetap saja kita harus mencari
suuplier yang letaknya di luar kawasan industri pabrik kita. Jika demikian,
bagaimana dengan masalah kemacetan lalu lintas, hambatan transportasi, demo
buruh, dan sebagainya ?
Bisakah
kebijakan satu suppleir diterapkan ? Bagaimana dengan kebijakan dua atau lebih
supplier ? Ini berarti penyesuaian dong dengan konsep single suppliernya TPS.
Tapi kenapa tidak ?
Sementara
itu, jika semua material utama kita diperoleh melalu import, dapatkah kita
menerapkan kebijakan parsial delivery untuk mejaga level stock agar tetap
rendah ? Ini sangat sulit sekali, karena dengan import, kita harus mengikuti
aturan minimal import.
Jika
minimal import ini jauh dari kebutuhan per bulan kita, tentu saja membuat level
stock menjadi tinggi. Belum lagi harus menghadapi masalah pengurusan
adminidtrasi import yang lama dan panjang. Sehingga banyak perusahaan yang
kemudian mengecualikan barang importini dalam kebijakan level stock rendah
mereka.
Bahkan
sebuah perusahaan otomotif besar sekalipun akhirnya memberikan diskon yang cukup
besar untuk mobil yang diimportnya secara CBU (completly built up). Ini artinya
mobil ini tidak bisa diimport jumlahnya sesuai yang diminta oleh customer
(sesuai dengan konsep JIT)
Oleh
karena itu, jangan terlalu terpukau dengan satu konsep manufaktur semata, tapi
ambillah semangat dan intisari konsep itu yang bisa diterapkan sesuai dengan
kondisi perusahaan kita. Perlu ada proses dialektika dalam memahami dan
menerapkan suatu konsep manajemen manufaktur dengan kondisi dan kebutuhan nyata
perusahaan.
Salam,
Agus
Hendri - Bogor
thanks atas sharing informasi mengenai dunia logistik, sangat berguna.
ReplyDeleteSalam kenal,
Artha Nugraha Jonar
you're welcome...tapi kok salam kenal, kan sudah kenal sebelumnya...he3x
Deletesalam sukses
taufanyanuar