Sulit Diperoleh
Namun umumnya sertifikasi profesi berstandar global, dan bahkan yang
nasional sekalipun, tak mudah didapat. Bahkan, papar Hari, dalam ujian
profesi, lebih banyak yang gagal daripada yang berhasil. Sinyalemen Hari
dibenarkan oleh Ario. Misalnya, persyaratan untuk ikut ujian CPM, seseorang
minimal sudah bekerja di bidang pemasaran selama lima tahun, dan
biasanya jarang yang sekali ujian bisa langsung lulus. Umumnya dua kali
ujian baru lulus. "Saya sendiri waktu itu ada yang satu modulnya
tidak lulus," ungkap Ario. Kesulitan makin tinggi kalau mereka tak
punya pengalaman dalam bidang pemasaran. Pasalnya, ujiannya hanya 20%-30%
yang bersifat teori, selebihnya bersifat praktis. Jadi, bagi yang belum
berpengalaman, pasti akan kesulitan.
Seorang penyandang gelar sertifikasi berstandar global tidak boleh hanya
piawai teori, tetapi juga harus mampu mengaplikasikan ilmunya. Misalnya di
bidang hukum, ia harus terampil berperkara di pengadilan. Kalau ia
manajer investasi, ia harus terampil mengelola dana triliunan rupiah.
"Kepandaian mengelola risiko seperti itu tidak gampang," papar Hari.
Walau kesejahteraan penyandang sertifikasi profesi berstandar global
meningkat, gelar itu juga menuntut tanggung jawab yang juga besar.
Menurut Hari, mereka tak bisa berlindung di bawah perusahaan atau
organisasi profesi. "Sebab, pekerjaan mereka kerap kali menyangkut nilai
yang besar," tuturnya. Mereka, lanjut Hari, secara pribadi harus bisa
bertanggung jawab di depan hukum supaya tidak ada malapraktek. "Profesi
yang sudah dilindungi hukum saja bisa malapraktek," cetus Hari.
Oleh karena itu, lanjut Hari, sertifikasi berstandar global bukanlah
lisensi seumur hidup, tetapi terus mendapat pengawasan ketat dari
institusi pemberi sertifikasi. Penyandang gelarnya wajib mengikuti
pendidikan dan ujian berkesinambungan (continual education) untuk terus
meningkatkan kualitas profesionalitasnya. "Bisa saja orangnya malas
mengikuti perkembangan terbaru, sehingga kualitas kerjanya turun dan
opininya tidak layak lagi," urai Hari. Mereka juga diwajibkan mematuhi
kode etik sertifikasi profesi. Kalau tidak, gelarnya bisa dicabut
sewaktu-waktu.
Surdiyanto membenarkan hal itu. Ia memaparkan, apabila pemegang gelar CISA
dalam setahun tak melakukan praktek apa pun yang terkait dengan gelarnya,
ia tidak akan mendapatkan poin kredit sehingga gelarnya bisa dicabut.
Gelarnya baru bisa diperpanjang kalau tiap tahun ia memberikan laporan yang
diakui. Ia juga harus mematuhi kode etik yang ada. "Setiap akhir tahun,
gelar CISA harus diperpanjang dan di-review, tidak bisa seumur hidup
memegang gelar CISA," paparnya.
Ferry Wong juga mengungkapkan bahwa gelar sertifikasi profesi seperti CFA
memang bisa dicabut kalau melanggar kode etik. "Jadi, seperti surat izin
mengemudi," tandasnya. Oleh karena itu, tambahnya, penyandang gelar CFA
cenderung tak berani mengambil risiko melakukan penyimpangan atau
penipuan. "Risiko dan tanggung jawabnya besar."
Biaya pendidikan dan ujian sertifikasi standar global juga terhitung
mahal. "Ini wajar karena kalau murah, isinya tentu tak bisa
dipertanggungjawabkan," papar Hari. Sampai di sini, Hari cemas dengan
makin menjamurnya institusi-institusi yang menawarkan fasilitas pendidikan
dan ujian keprofesian, baik berstandar global maupun lokal, seiring
tumbuhnya permintaan. Hari mencermati, ada gejala banyak orang memburu
sertifikasi sampai ke luar negeri sehingga kalau tidak diantisipasi,
disediakan forumnya, Indonesia akan kebanjiran orang yang bersertifikasi
profesi dari luar negeri yang tak diketahui seperti apa kualitasnya.
"Tidak bisa sekadar menerima selembar ijazah tanpa jelas maksud
kriterianya," tegasnya.
Untuk itu Hari menilai pentingnya peran berbagai organisasi profesi dan
organisasi sertifikasi profesi, bersama dengan semua pihak yang terkait,
seperti pemerintah dan badan-badan independen lainnya, memberikan arah
terhadap perkembangan dunia keprofesian. Bentuknya bisa regulasi dan praktek
di lapangan. "Kalau pengaturan sertifikasi standar internasional sudah ada
di induknya, tapi kalau sertifikasinya berasal dari dalam negeri, saya pikir
memang perlu diatur," tukas Tri Djoko Santoso.
Ferry Wong juga khawatir jika sertifikasi profesi kemudian dianggap
seperti mainan, mudah didapat dan kualitasnya tak dapat
dipertanggungjawabkan. Ia melihat ada kecenderungan tumbuhnya institusi
pendidikan yang sekadar mencari uang dengan memanfaatkan momentum dan
bahkan membuat sertifikasi profesi yang tak jelas standarnya. Akan
tetapi ia yakin, orang akan tahu dengan sendirinya, sertifikasi mana yang
bagus dan layak dihargai.
Ferry mengemukakan, sertifikasi profesi yang bagus adalah yang standarnya
terus dipertahankan dan cenderung makin sulit didapat. Misalnya, gelar
CFA, yang tahun ini tingkat kelulusannya di seluruh dunia hanya 32% dari
total peserta, dan bahkan di Indonesia hanya 10%-15%. "Pokoknya kalau mau
mencari sertifikasi, cari yang susah karena itu yang akan dihargai. Kalau
sertifikasinya mudah didapat, lebih baik tidak usah," tandasnya.
Beberapa Sertifikasi Profesi Standar Global:
1. Chartered Financial Analyst (CFA)
2. Certified Financial Planner (CFP)
3. Financial Risk Manager (FRM)
4. Chartered Financial Consultant (ChFC)
5. Project Management Professional (PMP)
6. Certified Information Systems Auditor (CISA)
7. Certified in Production and Inventory Management (CPIM)
8. Certified in Integrated Resource Management (CIRM)
9. Certified Professional Marketing (CPM)
10. Senior Certified Valuers (SCV)
11. Certified Public Accountant (CPA)
12. Certified Internal Auditor (CIA)
13. Certified Information Systems Security Professional (CISSP)
14. Certified Professional Environmental Auditor (CPEA)
Profesi Termahal Masa Depan Tanpa Sertifikasi
Meski sertifikasi profesi menjadi syarat utama agar pelakunya berharga
mahal, tetapi itu bukan harga mati. Di luar profesi yang makin membutuhkan
sertifikasi profesi yang ketat, muncul beberapa profesi yang sebenarnya
tak membutuhkan sertifikasi khusus, tetapi juga langka sehingga harganya
pun tergolong mahal. Penyebabnya mungkin karena profesi-profesi itu
lebih mengandalkan bakat alam atau keahlian yang sulit didapat dari jalur
pendidikan formal, sehingga tak semua orang bisa melakukannya.
Misalnya, ahli pemeriksa ikan tuna segar. Setiap pagi tugasnya memeriksa
tingkat kesegaran ikan hasil tangkapan agar layak ekspor. "Dia
tugasnya hanya memegang dan membaui ikan tuna, seperti layaknya
menguji biji kopi atau daun teh," ujar Irham Dilmy, managing partner
perusahaan executive search Amrop Hever Indonesia.
Menurut Irham, pemeriksa ikan tuna yang notabene ekspatriat itu per
bulan bisa mendapatkan gaji US$20.000. Dia layak digaji tinggi karena
pabrik pengalengan ikan tak mau mengambil risiko produknya ditolak di
negara tujuan ekspor lantaran tak memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Ini
bisa mencoreng reputasi, dan merugikan perusahaan. Sebab, per hari
perusahaan itu mengekspor 100 ton lebih ikan tuna.
Ekspor ikan tuna membutuhkan perlakuan khusus karena tak boleh dibekukan
dan tidak boleh ditangkap dengan jaring agar pembuluh darahnya tidak
pecah. Orang Jepang tak suka mengkonsumsi ikan tuna yang pembuluh
darahnya sudah pecah karena rasanya menjadi tidak enak.
"Jumlah pemeriksa ikan tuna ini cuma segelintir, mungkin tidak sampai 10
orang," papar Irham. Yang menarik, lanjut Irham, mereka itu tak perlu
sekolah tinggi-tinggi agar harganya mahal. "Derajat kesulitan pekerjaan
mereka sebenarnya relatif sama dengan pembau tembakau, tapi bayarannya jauh
lebih mahal," ungkap Irham.
Sertifikasi Profesi dan Profesi Termahal Masa Depan
Kini kian banyak profesi baru bermunculan. Misalnya, profesi di bidang
perencanaan keuangan, audit penerapan TI, audit manajemen mutu, manajemen
lingkungan, manajemen risiko, manajemen proyek, pemasaran, manajemen
pabrik, dan lain-lain. Profesi-profesi itu relatif belum banyak disentuh
orang, dan makin membutuhkan sertifikasi karena profesi-profesi baru itu
umumnya spesifik dan membutuhkan keahlian khusus. Di sinilah
sertifikasi profesi, terutama yang berstandar global, berhubungan erat
dengan prediksi profesi-profesi termahal di masa depan.
Sertifikasi profesi berstandar global makin diperlukan untuk menegaskan
bahwa pelakunya layak diakui, memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
pengalaman dengan kualitas internasional. Misalnya, bidang audit
penerapan TI dibutuhkan pelaku yang bersertifikasi CISA. Mereka ini
diprediksi bakal mahal harganya di masa depan.
Pelaku profesi bersertifikasi standar global diprediksi "mahal"
karena beberapa sebab. Pertama, belum banyak orang yang menekuninya.
Kedua, tak semua orang bisa menjadi pelaku profesi ini bisa memiliki
sertifikasi berstandar global. Ketiga, permintaannya yang kian tinggi belum
diimbangi dengan banyaknya pelakunya. Ini otomatis membuat "harga" mereka naik.
Keempat, mereka mahal karena sertifikasinya diakui secara global.
Artinya, di mana pun ia bekerja, standar keahlian atau kompetensinya
diakui, sehingga bisa bekerja di negara mana pun. Sertifikasi standar
global menegaskan bahwa penyandangnya memang memiliki keahlian khusus,
sehingga pantas mendapat bayaran tinggi.
Kelima, keberadaan mereka juga ikut menaikkan nilai perusahaan (corporate
value). Perusahaan yang mampu mempekerjakan karyawan bersertifikasi
standar global tentu dianggap memiliki nilai lebih. Itu sebabnya
perusahaan pun tak segan-segan membayar mahal gaji mereka.
FADJAR ADRIANTO DAN HENDARU
Source :
wartaekonomi.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Related Posts
-
Kamar mandi / toilet biasanya dilengkapi dengan perlengkapan untuk buang air kecil maupun besar. Kamar mandi yang dilengkapi dengan urina...
-
Di beberapa perusahaan, divisi penyimpanan (store) untuk mengelola persediaan (inventory) sering mempunyai beberapa nama, seperti divisi...
-
Salah satu senjata ampuh para eksekutif untuk meningkatkan kariernya kini adalah dengan menempuh jalur pendidikan keprofesian bersertifi...
-
Sebaiknya PPIC dibagi menjadi: PPIC Planner, bertugas untuk membuat perencanaan atau MPP (Master Production Plan) dan MRP (Material Req...
-
Performa Industri: Quality, Productivity, Safety, Cost. Manakah yang perlu diprioritaskan? Banyak sekali metode-metode yang dapat dipakai un...
No comments:
Post a Comment