Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter@andrewenas)
Kompleksitas lanskap bisnis yang digambar lewat survey The McKinsey Quarterly
pada bulan November 2007 memperlihatkan tiga kecenderungan global yang perlu
disikapi secara memadai oleh setiap pelaku usaha. Trend pertama adalah semakin
tajamnya persaingan perebutan talenta (baca: human capital) terbaik di dunia.
Kedua, terjadinya pergesaran pusat-pusat aktifitas ekonomi dunia. Kecenderungan
global ketiga, adalah makin maraknya lingkungan networked-business (ala Li &
Fung yang mampu mengorkestrasi puluhan bahkan ratusan anggota jaringannya secara
harmonis dan menguntungkan).
Selain itu, ada dua tema besar yang kerap muncul dan jadi concern dari hampir
setiap pelaku usaha disamping ketiga tantangan global tadi yang datang
bergulung-gulung. Pertama, bagaimana menggerakkan organisasi dengan lincah. Dan
kedua, bagaimana menyikapi dengan tepat kenyataan keanekaragaman geografis dan
regional.
Ironisnya, tatkala ditanya soal kesiapan menghadapi tantangan dan keprihatinan
global ini, lebih dari dua per tiga eksekutif mengatakan bahwa organisasinya
tidak (belum) punya pandangan jernih tentang perubahan apa yang perlu dilakukan
demi meyelaraskan diri dengan kebutuhan pelbagai pembangunan ekonomi dan sosial
yang menyeruak.
***
Pernah diprediksi oleh para pemikir di Yayasan Indonesia Forum, bahwa
Indonesia di tahun 2030 bakal menempati posisi kelima (dengan ukuran PDB sekitar
US$5.1 trilyun) setelah China ($28.2T), Amerika Serikat ($26.1T), Uni Eropa
($20.7T) dan India ($17.0T). Road-map menuju posisi 5 besar di tahun 2030 dibagi
menjadi 3 tahap.
Tahap 1, adalah perjalanan menuju tahun 2015 dengan laju pertumbuhan 5-7
persen per tahun. Ini disebut tahap Pembenahan (yang dibenahi adalah sistem dan
pola pembangunan), di mana kita belajar dengan mengadopsi teknologi luar negeri
sembari mengembangkan teknologi lokal. Tahap 2, adalah tahap Akselerasi (dengan
pertumbuhan sekitar 9-11 persen per tahun). Cirinya, pertumbuhan sektor jasa
lebih tinggi dibanding sektor industri. Tahap 3, adalah tahap Keberlanjutan, di
mana tingkat pertumbuhan dijaga pada kisaran 7-9 per sen per tahun. Sekedar
catatan bagi para professional Indonesia, di tahun 2030 perkiraannya PDB per
kapita kita sudah mencapai US$18,000 dengan jumlah penduduk berkisar 285 juta
orang. Dan perlu ingat, prestasi itu bisa tercapai jika rata-rata pertumbuhan
2006 – 2030 ada pada kisaran 8,5 persen per tahun, dengan rata-rata inflasi
sebesar 3 persen, dan laju pertambahan penduduk rata-rata 1,12 persen per tahun.
***
Dengan melihat ukuran-ukuran ekonomi sebagai lag-indicators (akibat), maka
perlu dipahami betul faktor-faktor apa saja yang merupakan lead-indicators-nya
(penyebab). Kerangka balanced-scorecard membantu kita untuk melihat cause &
effect dari asumsi-asumsi pertumbuhan itu. Urut-urutan dari faktor financial
yang disebabkan faktor customer, di mana customer ini pada gilirannya hanya
terjamin kepuasannya jika internal-process kita bisa menghasilkan produk atau
jasa yang paling bernilai tambah. Dan pada analisa berikutnya, proses-proses
bisnis (dan pembangunan) hanya bisa berjalan baik jika – pada ujungnya – faktor
modal manusia bisa optimal dalam dimensi learning & growth-nya.
Ini merupakan management-toolkit sederhana namun powerful bagi setiap kita
untuk secara sadar melihat dan mulai membangun kompetensi. Perlu sikap
pembelajaran sebagai profesional sejati yang berani hidup otentik agar
kontribusinya positif dan konstruktif bagi proses pengelolaan pembangunan.
Sehingga siapa pun yang dilayani oleh produk industri maupun jasa kita dapat
terpuaskan dan akhirnya target-target ekonomi bisa tercapai demi kemaslahatan
bangsa.
***
Di abad ke-14 China adalah negara paling maju di dunia, super-power. Gavin
Menzies (dalam bukunya: 1421, Saat China Menemukan Dunia, Pustaka Alvabet,
cetakan ke-3, 2007) mencatat: “Kapal yang paling kuat di dunia pada abad
keempatbelas dan awal abad kelimabelas, dan bahkan terbesar adalah kapal layar
China. Ibnu Battuta, pengelana dan penulis dari Maroko yang juga menjelajahi
Asia di abad keempatbelas, menulis bahwa perdagangan di seluruh dunia antara
pantai Malabar di India dan China dilakukan oleh kapal-kapal China.” Kunci
kemajuan mereka adalah faktor learning & growth bangsa China dan politik pintu
terbuka. Sehingga tersedia pelataran yang lebar bagi pelbagai diskursus
peradaban intelektual, sastra dan kebudayaan pada umumnya. Jangkar pembangunan
seyogianya dilego pada eksploitasi potensi dan optimalisasi kompetensi
human-capital yang otentik. Bukan disangkutkan pada artifisialitas, yang
menggiring orang pada budaya instan dengan kecenderungan
koruptif, kolutif dan nepotis.
(twitter@andrewenas)
----------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING edisi Mei 2008
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Sunday, September 16, 2012
Mendayagunakan Tim Penyelia
Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter@andrewenas)
Langsung bisa kita pahami bahwa peran penyelia ada dalam posisinya yang khas, yaitu di tengah antara manajer dengan buruh atau pekerja di pabrik atau dengan tim penjualan di lapangan. Ia adalah pemimpin (leader) sekaligus pengelola (manajer) yang menjembatani dua sisi kepentingan (sisi manajer dan sisi buruh atau pekerja). Ia juga kerap mewakili perusahaan dalam pelbagai interaksi sosial, maka ia wajib menjaga citra diri dan perusahaan.
Sebagai pemimpin perannya adalah untuk memberi arahan, menyemangati, membina dan sekaligus memberdayakan agar anak buah mampu bekerja sesuai dengan apa yang telah ditentukan. Sebagai pengelola ia mesti menjalankan prinsip-prinsip sistem manajemen dengan disiplin. Rumusan umumnya adalah POAC, planning-organizing-actuating-controlling. Atau PDCA, Plan-Do-Check-Act.
Kecakapan para penyelia (supervisors) berbanding lurus dengan kinerja
organisasi. Ketika para penyelia unjuk kerja secara optimal, perusahaan itu bisa dipastikan punya kinerja yang optimal juga. Namun sebaliknya pun bisa terjadi, manakalah kecakapan para supervisor buruk (disiplin & semangat belajar rendah) bisa diramalkan perusahaan pun bakal punya kinerja yang sebangun, alias rendah.
Secara sederhana, seperti yang ditulis dengan jelas oleh A.M. Lilik Agung dalam bukunya: Cara Cepat Menjadi Supervisor Unggul(Elex Media Komputindo, 2009), ada tiga ketrampilan dan tiga tugas yang dituntut dari seorang penyelia.
Pertama adalah ketrampilan, ada tiga yang utama, yaitu:
1. Ketrampilan teknis, oleh karena itu seorang penyelia yang ideal
seyogianya berangkat dari orang lapangan. Sehingga paham betul seluk beluk
praktek di lapangan. Pemahaman mengenai produk dan proses bisnis di areanya
haruslah memadai.
2. Ketrampilan konseptual, ini dituntut lantaran perannya sebagai penerjemah konsep dan strategi manajernya menjadi eksekusi nyata di lapangan. Ketrampilan ini adalah juga tentang kecakapan dalam menjalankan fungsi-fungsi manajerial. Yaitu meliputi: proses perencanaan, pengorganisasian, pendelegasian, pengontrolan pekerjaan hingga evaluasi dan pemecahan masalah dari pekerjaan
tersebut.
3. Ketrampilan hubungan manusia (human relations). Oleh karena posisi
perannya di tengah antara manajer dengan tim di lapangan, maka ia harus merawat suatu relasi komunikasi yang solid, artinya cepat, akurat serta menyemangati (memotivasi) timnya untuk bergerak di medan kerja. Ketrampilan hubungan manusia ini adalah sebentuk kemampuan dan kecerdasan untuk bersosialisasi dengan manusia lain. Termasuk di sini adalah: komunikasi, semangat memotivasi, menetapkan tujuan, dan memberdayakan anak buah (juga rekan kerja). Ketrampilan hubungan manusia ini lebih fokus pada wilayah perasaan (hati).
Sedangkan tugas penyelia, juga ada tiga, yaitu: mengelola diri sendiri,
mengelola pekerjaan, dan mengelola anak buah. Secara skematik penjelasannya
masing-masing tugas itu adalah:
1. Tugas mengelola diri sendiri, terdiri dari lima aspek, yaitu: disiplin, jujur dan berintegritas tinggi, semangat untuk terus belajar, pengelolaan waktu, dan memikirkan karier ke depan.
2. Tugas untuk mengelola pekerjaan, juga ada lima hal yang jadi konsentrasi: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi serta pemecahan masalah.
3. Tugas untuk mengelola anak buah, atau sering juga disebut kepemimpinan, menitikberatkan pada lima soal: komunikasi, sasaran-tujuan-visi, kerjasama kelompok, motivasi, dan pemberdayaan (empowering).
Memimpin artinya menunjukkan arah (visi), memotivasi dan menginspirasi dalam eksekusi strategi dan program. Sementara yang dikelola adalah semua jadwal waktu dan sumberdaya (resources)nya, sehingga tercapailah hasil penyelenggaraan program yang paling efektif serta efisien.
(twitter@andrewenas)
----------------------------------------------------------
Artikel terlampir, dari Maj.TudungNews, edisi Juli-Sept 2009
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
(twitter@andrewenas)
Langsung bisa kita pahami bahwa peran penyelia ada dalam posisinya yang khas, yaitu di tengah antara manajer dengan buruh atau pekerja di pabrik atau dengan tim penjualan di lapangan. Ia adalah pemimpin (leader) sekaligus pengelola (manajer) yang menjembatani dua sisi kepentingan (sisi manajer dan sisi buruh atau pekerja). Ia juga kerap mewakili perusahaan dalam pelbagai interaksi sosial, maka ia wajib menjaga citra diri dan perusahaan.
Sebagai pemimpin perannya adalah untuk memberi arahan, menyemangati, membina dan sekaligus memberdayakan agar anak buah mampu bekerja sesuai dengan apa yang telah ditentukan. Sebagai pengelola ia mesti menjalankan prinsip-prinsip sistem manajemen dengan disiplin. Rumusan umumnya adalah POAC, planning-organizing-actuating-controlling. Atau PDCA, Plan-Do-Check-Act.
Kecakapan para penyelia (supervisors) berbanding lurus dengan kinerja
organisasi. Ketika para penyelia unjuk kerja secara optimal, perusahaan itu bisa dipastikan punya kinerja yang optimal juga. Namun sebaliknya pun bisa terjadi, manakalah kecakapan para supervisor buruk (disiplin & semangat belajar rendah) bisa diramalkan perusahaan pun bakal punya kinerja yang sebangun, alias rendah.
Secara sederhana, seperti yang ditulis dengan jelas oleh A.M. Lilik Agung dalam bukunya: Cara Cepat Menjadi Supervisor Unggul(Elex Media Komputindo, 2009), ada tiga ketrampilan dan tiga tugas yang dituntut dari seorang penyelia.
Pertama adalah ketrampilan, ada tiga yang utama, yaitu:
1. Ketrampilan teknis, oleh karena itu seorang penyelia yang ideal
seyogianya berangkat dari orang lapangan. Sehingga paham betul seluk beluk
praktek di lapangan. Pemahaman mengenai produk dan proses bisnis di areanya
haruslah memadai.
2. Ketrampilan konseptual, ini dituntut lantaran perannya sebagai penerjemah konsep dan strategi manajernya menjadi eksekusi nyata di lapangan. Ketrampilan ini adalah juga tentang kecakapan dalam menjalankan fungsi-fungsi manajerial. Yaitu meliputi: proses perencanaan, pengorganisasian, pendelegasian, pengontrolan pekerjaan hingga evaluasi dan pemecahan masalah dari pekerjaan
tersebut.
3. Ketrampilan hubungan manusia (human relations). Oleh karena posisi
perannya di tengah antara manajer dengan tim di lapangan, maka ia harus merawat suatu relasi komunikasi yang solid, artinya cepat, akurat serta menyemangati (memotivasi) timnya untuk bergerak di medan kerja. Ketrampilan hubungan manusia ini adalah sebentuk kemampuan dan kecerdasan untuk bersosialisasi dengan manusia lain. Termasuk di sini adalah: komunikasi, semangat memotivasi, menetapkan tujuan, dan memberdayakan anak buah (juga rekan kerja). Ketrampilan hubungan manusia ini lebih fokus pada wilayah perasaan (hati).
Sedangkan tugas penyelia, juga ada tiga, yaitu: mengelola diri sendiri,
mengelola pekerjaan, dan mengelola anak buah. Secara skematik penjelasannya
masing-masing tugas itu adalah:
1. Tugas mengelola diri sendiri, terdiri dari lima aspek, yaitu: disiplin, jujur dan berintegritas tinggi, semangat untuk terus belajar, pengelolaan waktu, dan memikirkan karier ke depan.
2. Tugas untuk mengelola pekerjaan, juga ada lima hal yang jadi konsentrasi: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi serta pemecahan masalah.
3. Tugas untuk mengelola anak buah, atau sering juga disebut kepemimpinan, menitikberatkan pada lima soal: komunikasi, sasaran-tujuan-visi, kerjasama kelompok, motivasi, dan pemberdayaan (empowering).
Memimpin artinya menunjukkan arah (visi), memotivasi dan menginspirasi dalam eksekusi strategi dan program. Sementara yang dikelola adalah semua jadwal waktu dan sumberdaya (resources)nya, sehingga tercapailah hasil penyelenggaraan program yang paling efektif serta efisien.
(twitter@andrewenas)
----------------------------------------------------------
Artikel terlampir, dari Maj.TudungNews, edisi Juli-Sept 2009
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Membangun Keteraturan di Tengah Kekacauan
Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter@andrewenas)
“Semuanya dalam keadaan bergerak-mengalir, panta rei,” begitu ujar filsuf Herakleitos sekitar 2500 tahun lampau. Lalu, 1500 tahun kemudian(persisnya
tahun 1014), Uskup Agung Wulfstan dalam sebuah kotbahnya di York mengatakan, “Dunia bergerak dengan cepat dan tengah mendekati titik nadirnya.”
***
Yang ingin dikatakan, berita tentang perubahan itu sendiri bukanlah barang baru. Hal yang mungkin telah membuat banyak orang kaget dan terkesima oleh gerak perubahan yang ada sekarang adalah lantaran kondisi ketidaktahuan (ketidaksadaran)nya sendiri. Sejarah jika dikaji akan banyak memberi pelajaran dan hikmat untuk meniti masa kini menuju masa depan.
***
Manajemen, pada hakekatnya adalah ilmu sekaligus seni mengelola perubahan.
Artinya, pada tataran kelompok, bagaimana mentransformasikan organisasi dari suatu kondisi tertentu menuju kondisi ideal.
Jadi, sudah pada galibnya jika manajemen sebagai sistem dan para manajer sebagai agensinya senantiasa bergiat di tengah ketegangan-kreatif ini. Selalu mencari cara terbaik (paling efisien dan efektif) dalam rangka mencapai tujuannya. Tujuan itu sendiri, pada gilirannya, akan terus ditarik ke suatu arah yang lebih tinggi lagi. Inilah aspek dinamisnya.
Manajemen akan selalu bekerja seturut cara penalaran tertentu. Secara naluriah – di dalam ruang lingkup pengaruhnya – ia akan mengusahakan suatu kondisi keteraturan (order). Keteraturan adalah prasyarat, landasan untuk mencapai tingkat efisiensi dan efektifitas tertinggi. Dari situ bangunan konseptual perencanaan dibangun. Perencanaan diperlukan demi optimalisasi penggunaan sumber daya. Optimal artinya pemakaian yang minimal untuk mencapai hasil maksimal.
Akibat tuntutan pertumbuhan, dan tekanan lingkungan bisnis, maka realitas
manajemen organisasi menjadi dialektika yang kerap terkesan paradoksal. Ia mesti membangun suatu tingkat kestabilan tertentu di tengah guncangan yang ada, dan pada saatnya – jika diperlukan – merekayasa guncangan di tengah kondisi kestabilan (baca: kemapanan yang melenakan). Sintesisnya adalah perencanaan strategis.
Namun persoalannya, perencanaan strategis (model dulu) yang disusun dalam tahapan 1 tahun sampai 5 tahunan, bahkan 10 tahun atau 25 tahun ke depan, saat ini dirasa kurang kurang memadai lagi. Tantangannya, bagaimana perencanaan strategik bisa dibuat jika asumsi-asumsi yang jadi fundamentalnya kerap berubah secara cepat dan signifikan?
***
Dalam setiap kondisi turbulen akibat perubahan faktor eksternal yang tinggi intensitasnya, senantiasa mengakibatkan situasi kerawanan (lekas kena, tidak kebal). Kerawanan ini akibat tekanan kuat faktor eksternal, atau karena memang kondisi internalnya yang rapuh dan tidak siap lantaran tidak antisipatif sikapnya.
Di sinilah Philip Kotler, mahaguru manajemen pemasaran kaliber dunia yang kali ini berpasangan dengan John Caslione, konsultan manajemen, menawarkan sebuah model yang secara praktis bisa dipakai para manajer untuk menyiasati dan sekaligus mengambil kesempatan yang muncul dari kondisi kerawanan itu.
Intinya, demi menghindari organisasi terjebak dalam kondisi kerawanan,
diperlukan suatu daya-lenting (resiliency) yang cukup tinggi. Laksana seorang pesilat yang bisa melenting lincah keluar dari kepungan musuh dan bisa menyiasati kondisinya sedemikian rupa sehingga mampu bertahan dan bahkan keluar sebagai pemenang.
Model yang ditawarkan terdiri dari 3 tahap: Pertama, perlu dibangun sebuah
mekanisme peringatan-dini (Early-Warning System), yang intinya adalah sebuah sistem manajemen informasi yang bisa berfungsi sebagai radar yang cukup peka untuk menangkap sinyal-sinyal perubahan.
Kedua, dari informasi yang terus mengalir kemudian dikonstruksilah beberapa skenario kunci. Lalu yang terakhir, memilih skenario serta strateginya. Di tahap ini, dimensi kepemimpinan dan keberanian mengambil keputusan menjadi imperatif.
Model ini (Kotler & Caslione menyebutnya: the chaotic model) mesti diputar
dengan disiplin yang ketat. Dan untuk menerapkan model itu dipersyaratkan
perubahan perilaku tertentu dari para pimpinan:
Mereka harus mau melihat perubahan dengan mata kepalanya sendiri. Caranya bisa dengan mengunjungi tempat-tempat di mana perubahan itu sedang terjadi, bukan sekedar dengan membacanya dari majalah bisnis, atau mendengar dari konsultan, atau sekedar tahu dari laporan staf. Ini semua karena akselerasi perubahan yang terjadi berbanding lurus dengan tingkat komitment keterlibatan yang dituntut dari para pemimpinnya. Tingkat komitmen dan keterlibatan ini, pada gilirannya berbanding lurus dengan tingkat pemahaman realitas bisnisnya. Tingkat pemahaman inilah yang bakal menentukan kualitas keputusan yang diambil.
Para pembuat keputusan mesti menghilangkan saringan informasi yang bisa
mendistorsi kenyataan. Pastikan bahwa kejernihan pandangannya tidak disensor oleh laporan-laporan bergaya ABS yang pekat berlumur kepentingan.
Aksi terobosan sangat disarankan, seperti misalnya bicara langsung dengan mereka yang tidak jadi pelanggan Anda. Atau pergi makan malam dengan karyawan Anda yang paling berani berpikir-bebas. Free-thinkersini tidak terbebani kepentingan office-politics.
Dibandingkan dengan buku, “Marketing in Crisis: Marketing Therapy, Menyerang Pasar dan Mengambil Manfaat dari Krisis Ekonomi” ditulis oleh Dr. Rhenald Kasali (Penerbit Gramedia, 2009) yang dengan cara sangat menarik memberi penekanan pada dimensi kepemimpinan serta aspek OD (organization development) yang berangkat dari kondisi Indonesia untuk menyiasati kerawanan yang diakibatkan terpaan krisis global (yang dimulai dari Amerika), maka buku Kotler & Caslione ini bisa dianggap mewakili pandangan yang datang dari kawasan yang telah mengakibatkan krisis global itu terjadi.
Buku ini dilengkapi juga dengan pelbagai matriks dan tabel yang memuat perincian hal apa saja yang mesti diukur atau diperhatikan. Terhadap upaya Kotler & Caslione yang lewat buku ini menawarkan suatu kerangka-berpikir dan seperangkat konsep praktis menyiasati krisis, persis di saat guncangan itu sedang terjadi, jelas menunjukkan kepiawaian mereka dalam praksis ilmu manajemen pemasaran yang mereka ajarkan sendiri.
(twitter@andrewenas)
----------------------------------------------------------
Artikel dari Harian KOMPAS, Minggu 31 Mei 2009
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
(twitter@andrewenas)
“Semuanya dalam keadaan bergerak-mengalir, panta rei,” begitu ujar filsuf Herakleitos sekitar 2500 tahun lampau. Lalu, 1500 tahun kemudian(persisnya
tahun 1014), Uskup Agung Wulfstan dalam sebuah kotbahnya di York mengatakan, “Dunia bergerak dengan cepat dan tengah mendekati titik nadirnya.”
***
Yang ingin dikatakan, berita tentang perubahan itu sendiri bukanlah barang baru. Hal yang mungkin telah membuat banyak orang kaget dan terkesima oleh gerak perubahan yang ada sekarang adalah lantaran kondisi ketidaktahuan (ketidaksadaran)nya sendiri. Sejarah jika dikaji akan banyak memberi pelajaran dan hikmat untuk meniti masa kini menuju masa depan.
***
Manajemen, pada hakekatnya adalah ilmu sekaligus seni mengelola perubahan.
Artinya, pada tataran kelompok, bagaimana mentransformasikan organisasi dari suatu kondisi tertentu menuju kondisi ideal.
Jadi, sudah pada galibnya jika manajemen sebagai sistem dan para manajer sebagai agensinya senantiasa bergiat di tengah ketegangan-kreatif ini. Selalu mencari cara terbaik (paling efisien dan efektif) dalam rangka mencapai tujuannya. Tujuan itu sendiri, pada gilirannya, akan terus ditarik ke suatu arah yang lebih tinggi lagi. Inilah aspek dinamisnya.
Manajemen akan selalu bekerja seturut cara penalaran tertentu. Secara naluriah – di dalam ruang lingkup pengaruhnya – ia akan mengusahakan suatu kondisi keteraturan (order). Keteraturan adalah prasyarat, landasan untuk mencapai tingkat efisiensi dan efektifitas tertinggi. Dari situ bangunan konseptual perencanaan dibangun. Perencanaan diperlukan demi optimalisasi penggunaan sumber daya. Optimal artinya pemakaian yang minimal untuk mencapai hasil maksimal.
Akibat tuntutan pertumbuhan, dan tekanan lingkungan bisnis, maka realitas
manajemen organisasi menjadi dialektika yang kerap terkesan paradoksal. Ia mesti membangun suatu tingkat kestabilan tertentu di tengah guncangan yang ada, dan pada saatnya – jika diperlukan – merekayasa guncangan di tengah kondisi kestabilan (baca: kemapanan yang melenakan). Sintesisnya adalah perencanaan strategis.
Namun persoalannya, perencanaan strategis (model dulu) yang disusun dalam tahapan 1 tahun sampai 5 tahunan, bahkan 10 tahun atau 25 tahun ke depan, saat ini dirasa kurang kurang memadai lagi. Tantangannya, bagaimana perencanaan strategik bisa dibuat jika asumsi-asumsi yang jadi fundamentalnya kerap berubah secara cepat dan signifikan?
***
Dalam setiap kondisi turbulen akibat perubahan faktor eksternal yang tinggi intensitasnya, senantiasa mengakibatkan situasi kerawanan (lekas kena, tidak kebal). Kerawanan ini akibat tekanan kuat faktor eksternal, atau karena memang kondisi internalnya yang rapuh dan tidak siap lantaran tidak antisipatif sikapnya.
Di sinilah Philip Kotler, mahaguru manajemen pemasaran kaliber dunia yang kali ini berpasangan dengan John Caslione, konsultan manajemen, menawarkan sebuah model yang secara praktis bisa dipakai para manajer untuk menyiasati dan sekaligus mengambil kesempatan yang muncul dari kondisi kerawanan itu.
Intinya, demi menghindari organisasi terjebak dalam kondisi kerawanan,
diperlukan suatu daya-lenting (resiliency) yang cukup tinggi. Laksana seorang pesilat yang bisa melenting lincah keluar dari kepungan musuh dan bisa menyiasati kondisinya sedemikian rupa sehingga mampu bertahan dan bahkan keluar sebagai pemenang.
Model yang ditawarkan terdiri dari 3 tahap: Pertama, perlu dibangun sebuah
mekanisme peringatan-dini (Early-Warning System), yang intinya adalah sebuah sistem manajemen informasi yang bisa berfungsi sebagai radar yang cukup peka untuk menangkap sinyal-sinyal perubahan.
Kedua, dari informasi yang terus mengalir kemudian dikonstruksilah beberapa skenario kunci. Lalu yang terakhir, memilih skenario serta strateginya. Di tahap ini, dimensi kepemimpinan dan keberanian mengambil keputusan menjadi imperatif.
Model ini (Kotler & Caslione menyebutnya: the chaotic model) mesti diputar
dengan disiplin yang ketat. Dan untuk menerapkan model itu dipersyaratkan
perubahan perilaku tertentu dari para pimpinan:
Mereka harus mau melihat perubahan dengan mata kepalanya sendiri. Caranya bisa dengan mengunjungi tempat-tempat di mana perubahan itu sedang terjadi, bukan sekedar dengan membacanya dari majalah bisnis, atau mendengar dari konsultan, atau sekedar tahu dari laporan staf. Ini semua karena akselerasi perubahan yang terjadi berbanding lurus dengan tingkat komitment keterlibatan yang dituntut dari para pemimpinnya. Tingkat komitmen dan keterlibatan ini, pada gilirannya berbanding lurus dengan tingkat pemahaman realitas bisnisnya. Tingkat pemahaman inilah yang bakal menentukan kualitas keputusan yang diambil.
Para pembuat keputusan mesti menghilangkan saringan informasi yang bisa
mendistorsi kenyataan. Pastikan bahwa kejernihan pandangannya tidak disensor oleh laporan-laporan bergaya ABS yang pekat berlumur kepentingan.
Aksi terobosan sangat disarankan, seperti misalnya bicara langsung dengan mereka yang tidak jadi pelanggan Anda. Atau pergi makan malam dengan karyawan Anda yang paling berani berpikir-bebas. Free-thinkersini tidak terbebani kepentingan office-politics.
Dibandingkan dengan buku, “Marketing in Crisis: Marketing Therapy, Menyerang Pasar dan Mengambil Manfaat dari Krisis Ekonomi” ditulis oleh Dr. Rhenald Kasali (Penerbit Gramedia, 2009) yang dengan cara sangat menarik memberi penekanan pada dimensi kepemimpinan serta aspek OD (organization development) yang berangkat dari kondisi Indonesia untuk menyiasati kerawanan yang diakibatkan terpaan krisis global (yang dimulai dari Amerika), maka buku Kotler & Caslione ini bisa dianggap mewakili pandangan yang datang dari kawasan yang telah mengakibatkan krisis global itu terjadi.
Buku ini dilengkapi juga dengan pelbagai matriks dan tabel yang memuat perincian hal apa saja yang mesti diukur atau diperhatikan. Terhadap upaya Kotler & Caslione yang lewat buku ini menawarkan suatu kerangka-berpikir dan seperangkat konsep praktis menyiasati krisis, persis di saat guncangan itu sedang terjadi, jelas menunjukkan kepiawaian mereka dalam praksis ilmu manajemen pemasaran yang mereka ajarkan sendiri.
(twitter@andrewenas)
----------------------------------------------------------
Artikel dari Harian KOMPAS, Minggu 31 Mei 2009
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Kelompok Kerja Efektif
Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter@andrewenas)
Bisnis berkembang, organisasi bertumbuh alias karyawan tambah banyak, terjadi pembagian kelompok kerja. Persoalannya bagaimana bisa mengelola efektivitas setiap kelompok kerja sehingga akhirnya organisasi secara total bisa efektif pula.
Pertanyaan pertama yang perlu dijawab adalah, apa sih yang disebut kelompok kerja efektif?
Kelompok efektif adalah kelompok kerja yang berhasil mencapai performa tingkat tinggi, dalam hal: 1) kinerja tugas (task performance). 2) perawatan sumberdaya manusia (human resources maintenance). Kedua hal ini adalah dua sisi dari kepingan yang sama.
Bagaimana kita bisa memantau apakah suatu kelompok bakalan efektif dalam kedua dimensi (task performance & people maintenance) itu?
Prof.Jack Maxwell Wood, dkk., dalam bukunya 'Organizational Behaviour, An Asia-Pacific Perspective', 1998, menyebutkan delapan aspek yang perlu kita cermati, yakni:
1. Setiap anggota kelompok loyal terhadap anggota lainnya dan terhadap pemimpinnya. Loyal artinya tetap setia - pada tugas, kewajiban, janji - meskipun rekan atau pemimpinnya sedang tidak bersama mereka. Tidak ada gosip di belakang punggung.
2. Anggota kelompok dan para pemimpinnya punya rasa percaya diri tinggi dan menaruh kepercayaan satu terhadap lainnya.
Orang yang percaya diri akan berani mendelegasikan dan melakukan pemberdayaan alias empowerment.
Sebaliknya, orang yang tidak percaya diri juga tidak akan mempercayai orang lain. Dan, biasanya hampir semua aspek pekerjaan akan dikuasainya sendirian secara semena-mena. Takut nanti anak-buahnya lebih maju.
3. Setiap anggota kelompok punya keinginan kuat untuk saling membantu demi mengembangkan potensi masing-masing secara optimal.
Tadi, pemimpin yang berhasil membangun rasa percaya diri anggota kelompoknya, maka anggota akan mempunyai mentalitas limpah-ruah (abundance mentality).
Pemimpin itu melihat bahwa kesempatan untuk berkembang di dunia ini terbuka lebar dan tidak akan habis dikonsumsi sendirian dalam masa hidupnya yang hanya sekelebat ini.
4. Setiap anggota tahu kapan ia mesti meminta persetujuan atasan dan kapan ia sendiri bisa mengambil keputusan secara bertanggungjawab sesuai sasaran-sasaran yang telah disepakati.
5. Setiap anggota kelompok berkomunikasi secara intensif dan jujur-terbuka satu sama lainnya akan setiap masalah yang relevan.
6. Anggota merasa aman saat memutuskan sesuatu hal yang pantas bagi mereka (dalam lingkup posisi/jabatan dan tanggungjawabnya).
7. Nilai-nilai kelompok (group values) dan tujuan kelompok sesuai (match) dengan kebutuhan anggota kelompok.
8. Setiap aktivitas berada dalam lingkungan (group atmosphere) yang mendukung (supportive).
Perlu juga diketahui, bahwa pelbagai organisasi terbaik di dunia adalah yang sungguh serius mengeksploitasi secara positif-optimal potensi dari kelompok kerja sebagai sumber daya manusia yang penting.
Komposisi karakter dan kompetensi dalam suatu kelompok kerja bisa menciptakan daya sinergi manakala faktor kepemimpinan mampu memicu dan merawatnya.
Jadi, keefektifan organisasi bicara 2 dimensi: dimensai tugas (task) dan dimensi orang (people). Kalau cuma sukses di satu sisi - dimensi tugas/orang saja misalnya - maka keefektifannya cuma 50%.
Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah soal efisiensi. Jika keefektifan bicara soal pencapaian tujuan - yang ada dua dimensinya, yakni tugas dan orang - maka aspek efisiensi bicara soal segala sumberdaya yang dimanfaatkan sesedikit mungkin dalam upaya mencapai tujuan.
Biasanya orang menyebutnya dengan 5M (man, money, machine, materials & method).
Walaupun salah satu aspek efisiensi adalah man (manusia), namun itu dipakai dalam konteks sebagai faktor sumber daya yang - misalnya - tidak perlu merekrut melebihi rencana bisnisnya.
Memang faktor menusia bisa dilihat dari kedua sisi, yakni efekttifitas dan efisiensi.
Tujuan bisnis, adalah demi kemaslahatan manusia itu sendiri lewat optimalisasi manfaat talenta setiap orang dalam organisasi. Bahkan juga yang berada di luar organisasi.
Bersiaplah untuk sukses.
(twitter@andrewenas)
--------------------------------------------------------
Artikel dari Tabloid Bisnis KONTAN, Minggu III, Mei 2007
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Siapa Berani Jadi Entrepreneur?
Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter@andrewenas)
Kebetulan saya baru saja membaca buku Helmy Yahya judulnya: 'Siapa Berani Jadi Entrepreneur". Rasanya pengalaman Helmy bisa jadi inspirasi.
Helmy awalnya seorang pegawai. Sekarang dia memimpin perusahaan dengan ratusan karyawan. Apa yang bisa kita ambil dari pelajaran entrepreneurship para pebisnis itu sendiri:
Pertama, seorang wirausaha tidak tergantung dari keturunan, sekolah, atau persiapan yang rumit, sehingga saking rumitnya justru menunda realisasi.
Kedua, untuk jadi entrepreneur diperlukan spirit, semangat mengubah nasib. Atau, seperti Helmy yang kepepet karena dipecat dari pekerjaan di suatu rumah produksi. Bisa juga karena keinginan berbuat bagi orang lain dengan menghasilkan jasa, karya, produk, atau lapangan kerja.
Ada lima pertanyaan yang kerap jadi perenungan Bung Helmy yang juga bisa jadi pembelajaran kita.
1. Apa yang dipikirkan wirausahawan sukses soal uang? Uang adalah alat mencapai tujuan, dan bukan tujuan itu sendiri. Tujuan lebih penting dari uang.
2. Apa yang membantu mereka mengambil keputusan? Wirausahawan sukses tahu apa yang harus dilakukan dalam waktu cepat. Ia punya kecepatan, walau tidak selalu akurat. Kecepatan kadang lebih penting dari akurasi. Apa pun keputusannya, pasti ada bekal pengetahuan tentang konsekuensinya.
3. Bagaimana mereka memotivasi diri sendiri? Berpikir positif adalah bahan bakar semangatnya. Tidak memberikan ruang pesimistis terhadap apa yang sudah dilakukan maupun harapannya.
4. Strategi apa yang digunakan untuk bangkit dari kegagalan? Bagi mereka, sukses dan gagal adalah satu paket dalam proses kemajuannya.
5. Apa yang mereka lakukan - yang juga bisa Anda lakukan - untuk sukses? Ada tiga hal: kemauan belajar terus-menerus, bertindak mewujudkan harapan, dan bersikap benar terhadap kesalahan.
Setelah menjawan pertanyaan itu, tinggal mendeteksi peluang bisnis. Ada tujuh saran untuk itu:
1. Deteksi keluarga. Ini bukan soal KKN, tapi hubungan bisnis profesional dan sekaligus membangun silaturahmi keluarga.
2. Deteksi riwayat karier profesional. Keterampilan yang diperoleh selama menempuh jalur sebagai karyawan.
3. Deteksi jaringan bisnis. Coba evaluasi kumpulan kartu nama di laci Anda, adakah yang bisa mendukung gagasan Anda, sebagai pemasok, mitra usaha, atau mungkin sebagai calon pelanggan.
4. Deteksi hobi. Fokus pada kepuasan dan terbangunnya komunitas yang memiliki hobi dan selera yang sama.
5. Deteksi keunikan. Misalnya, bakat musik, kemampuan mengobati, atau lainnya. Eksplorasi keunikan Anda dan ubah jadi peluang.
6. Deteksi kesuksesan idola. Idola adalah sumber inspirasi sekaligus peluang. Pelajari apa yang mereka lakukan.
7. Deteksi manajemen waktu selama ini. Cari celah di sela istirahat atau saat pulang kerja. Banyak bisnis dimulai dari obrolan ringan sepulang kerja atau waktu istirahat.
Mulai kerjakan, dan bersiaplah untuk sukses!
(twitter@andrewenas)
----------------------------------------------------------
Artikel dari Tabloid Bisnis KONTAN, edisi Minggu IV Mei 2007
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
(twitter@andrewenas)
Kebetulan saya baru saja membaca buku Helmy Yahya judulnya: 'Siapa Berani Jadi Entrepreneur". Rasanya pengalaman Helmy bisa jadi inspirasi.
Helmy awalnya seorang pegawai. Sekarang dia memimpin perusahaan dengan ratusan karyawan. Apa yang bisa kita ambil dari pelajaran entrepreneurship para pebisnis itu sendiri:
Pertama, seorang wirausaha tidak tergantung dari keturunan, sekolah, atau persiapan yang rumit, sehingga saking rumitnya justru menunda realisasi.
Kedua, untuk jadi entrepreneur diperlukan spirit, semangat mengubah nasib. Atau, seperti Helmy yang kepepet karena dipecat dari pekerjaan di suatu rumah produksi. Bisa juga karena keinginan berbuat bagi orang lain dengan menghasilkan jasa, karya, produk, atau lapangan kerja.
Ada lima pertanyaan yang kerap jadi perenungan Bung Helmy yang juga bisa jadi pembelajaran kita.
1. Apa yang dipikirkan wirausahawan sukses soal uang? Uang adalah alat mencapai tujuan, dan bukan tujuan itu sendiri. Tujuan lebih penting dari uang.
2. Apa yang membantu mereka mengambil keputusan? Wirausahawan sukses tahu apa yang harus dilakukan dalam waktu cepat. Ia punya kecepatan, walau tidak selalu akurat. Kecepatan kadang lebih penting dari akurasi. Apa pun keputusannya, pasti ada bekal pengetahuan tentang konsekuensinya.
3. Bagaimana mereka memotivasi diri sendiri? Berpikir positif adalah bahan bakar semangatnya. Tidak memberikan ruang pesimistis terhadap apa yang sudah dilakukan maupun harapannya.
4. Strategi apa yang digunakan untuk bangkit dari kegagalan? Bagi mereka, sukses dan gagal adalah satu paket dalam proses kemajuannya.
5. Apa yang mereka lakukan - yang juga bisa Anda lakukan - untuk sukses? Ada tiga hal: kemauan belajar terus-menerus, bertindak mewujudkan harapan, dan bersikap benar terhadap kesalahan.
Setelah menjawan pertanyaan itu, tinggal mendeteksi peluang bisnis. Ada tujuh saran untuk itu:
1. Deteksi keluarga. Ini bukan soal KKN, tapi hubungan bisnis profesional dan sekaligus membangun silaturahmi keluarga.
2. Deteksi riwayat karier profesional. Keterampilan yang diperoleh selama menempuh jalur sebagai karyawan.
3. Deteksi jaringan bisnis. Coba evaluasi kumpulan kartu nama di laci Anda, adakah yang bisa mendukung gagasan Anda, sebagai pemasok, mitra usaha, atau mungkin sebagai calon pelanggan.
4. Deteksi hobi. Fokus pada kepuasan dan terbangunnya komunitas yang memiliki hobi dan selera yang sama.
5. Deteksi keunikan. Misalnya, bakat musik, kemampuan mengobati, atau lainnya. Eksplorasi keunikan Anda dan ubah jadi peluang.
6. Deteksi kesuksesan idola. Idola adalah sumber inspirasi sekaligus peluang. Pelajari apa yang mereka lakukan.
7. Deteksi manajemen waktu selama ini. Cari celah di sela istirahat atau saat pulang kerja. Banyak bisnis dimulai dari obrolan ringan sepulang kerja atau waktu istirahat.
Mulai kerjakan, dan bersiaplah untuk sukses!
(twitter@andrewenas)
----------------------------------------------------------
Artikel dari Tabloid Bisnis KONTAN, edisi Minggu IV Mei 2007
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Global Resources: Medan Perang Masa Depan?
Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter: @andrewenas)
“Food, water, energy, and metals: Keep up the supply of those four essentials, throw in some clean air and a peaceful disposition, and – short of a Hollywood-style ‘2012’ cataclysm – the world will run smoothly forever. That’s the theory, anyway, for the twenty-first century optimists. The reality is that a secure supply of the first four essentials is far from assured.” – Geoff Hiscock, Earth Wars: The Battle for Global Resources, 2012.
***
Gonjang-ganjing soal kedele, bahkan ada yang sampai bilang, “Masa sih negeri tempe masih mengimpor kedele?” Namun begitulah kenyataannya. Dalam pertimbangan strategis, pertanyaannya jadi: apakah saat ini Indonesia bisa menghentikan impor kedele? Dan dalam jangka panjang apakah Indonesia perlu swasembada kedele? Begini latar belakangnya: tahun ini konsumsi (demand) kedele kita sekitar 2,5 juta ton, sedangkan produksi kedele lokal (supply) hanya sekitar 700 – 800 ribu ton saja. Jadi ada defisit pasokan sebesar 1,7 – 1,8 juta ton per tahunnya. Jadi Indonesia memang perlu mengimpor kedele demi memenuhi kebutuhan konsumsi lokalnya. Lalu apakah kita bisa menghentikan impor kedele, jawabnya tentu bisa saja, asal seketika kita juga mau mengubah pola konsumsi dengan mengurangi secara drastis asupan yang mengandung kedele (tempe, tahu, dll). Lalu pemerintah memang mengunci impornya.
Konsekuensinya, dalam masa transisi ini harga kedele lokal akan sangat mahal akibat kecilnya supply dibanding demand-nya. Apakah solusi ini realistis dan workable? Mengingat produk-produk turunan kedele (misalnya ampas kedele) juga dibutuhkan untuk pakan ternak yang daging dan susunya sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan asupan protein bagi rakyat. Kalau produk turunan ini jadi mahal, maka secara overall, ongkos asupan protein bagi bangsa juga naik tinggi sekali. Dampak inflatoir bakal melambung lepas kendali.
Soal swasembada kedele. Dengan produktivitas lahan di Indonesia yang ditanami kedele cuma sekitar 800 kg sampai 1 ton per hektarnya tentu tidak bakal bisa melawan efisiensi akibat produktivitas kedele yang ditanam di USA yang bisa mencapai 5 ton per hektar! Sehingga di titik ini seyogianya kita segera berpikir ulang menyusun blue-print ketahanan pangan bangsa. Bijaksana memilih komoditas-komoditas pangan utama yang memang memiliki nilai keekonomian tinggi untuk menang bersaing dalam konteks global. Pelaku usaha (swasta maupun BUMN) mesti didukung penuh ekstensifikasi maupun intensifikasinya.
***
Di bidang energi PR kita juga berjibun. Ketahanan bangsa di bidang energi masihlah sangat lemah. Keprihatinan ini sudah dibahas di pelbagai forum, media dan jurnal ilmiah.
Dalam ulasan kritisnya, Geoff Hiscock (Earth Wars: The Battle for Global Resources, 2012) menjelaskan, lantaran kemajuan pembangunan di India dan China yang jumlah kombinasi penduduknya mencapai 2,5 miliar orang, juga dengan kecepatan pertumbuhan ekonomi di kisaran 7% - 10% telah dan bakal terus makin menyedot sumber-sumber daya energi, pangan, metal, dan air bersih. Ini demi menjamin kelangsungan pertumbuhan tinggi (ekonomi berbasis industri dan agrikultur) mengejar kesetaraan posisi dengan negara-negara di Amerika Utara, Jepang dan Eropa (barat). Perlombaan untuk mengamankan pasokan mineral langka (rare-earth) misalnya, telah merambah ke kancah mondial. Perusahaan tambang dan mineral mereka telah menancapkan kukunya bahkan sampai ke Amerika.
Faktor lain yang memicu India dan China meningkat agresivitasnya di kancah perebutan sumber daya global adalah pertumbuhan kelas menengahnya. Ini menciptakan demand yang tinggi untuk kendaraan bermotor, ditambah lagi pertumbuhan cepat di negera-negara berkembang tier kedua seperti: Mexico, Brazil, Russia, Indonesia, Turki, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Thailand.
Ada ratusan juta orang juga yang telah berhasil dientaskan dari kemiskinan di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Pengentasan ini telah memampukan mereka bukan hanya membeli makanan primer (pokok), tapi juga makanan sekunder (tambahannya). Peningkatan taraf hidup di pelbagai negara ini juga berarti peningkatan konsumsi makanan dan air bersih. Akibatnya penggunaan pupuk juga naik, dan ini menambah kekhawatiran bahwa pangan dan air bakal semakin menjadi langka (scarcity).
Ditengarai bahwa konflik perbatasan dan ambisi teritorial di beberapa negara telah ditunggangi oleh kekuatan-kekuatan besar yang bermaksud menguasai cadangan-cadangan minyak. Negara pengguna sumber energi terbesar seperti China, USA, India, Russia dan Jepang sangatlah concern dengan keamanan jalur laut yang dilewati kapal-kapal penyuplai sumber energi mereka. Ada sekitar 70 persen perdagangan dunia melintas di samudera Hindia di antara Timur Tengah dan Asia Pasifik. Seperempat perdagangan minyak mentah dunia melewati Selat Malaka yang panjangnya 800 kilometer diantara Sumatera dan semenanjung Malaysia. Jalur ini lalu menyempit di Selat Singapura yang cuma berjarak 2,4 kilometer lebarnya, dan selat ini merupakan pintu masuk ke laut China Selatan.
Semua concern tentang keamanan jalur-jalur pasokan ini ikut mendorong upaya-upaya diversifikasi tempat dimana sumber daya ini diperoleh. Maka Indonesia, Afsel, negara-negara Asia Tengah seperti Kazakhstan, Tajikistan, Kyrgystan, Uzbekistan, Turkmenistan, sampai perairan Arctic merupakan sasaran kepentingan investasi perusahaan minyak dan pertambangan dunia.
***
Di tengah perlombaan pengamanan pasokan energi, pangan, metal dan air bersih global, kita berharap Indonesia Incorporated bisa segera mengentaskan dirinya dari urusan non (bahkan kontra) produktif seperti soal SARA, fundamentalisme agama, dan kesibukan di kantor KPK. Sehingga para perencana pembangunan, state apparatus, strategists dan eksekutif di korporasi swasta maupun BUMN bisa mengerahkan usahanya demi juga mengamankan sumber-sumber daya energi, pangan, metal dan air bersih di segala penjuru bumi. Ini yang bakal menjamin survival kita di medan perang masa depan.
(twitter@andrewenas)
---------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING edisi September 2012
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
(twitter: @andrewenas)
“Food, water, energy, and metals: Keep up the supply of those four essentials, throw in some clean air and a peaceful disposition, and – short of a Hollywood-style ‘2012’ cataclysm – the world will run smoothly forever. That’s the theory, anyway, for the twenty-first century optimists. The reality is that a secure supply of the first four essentials is far from assured.” – Geoff Hiscock, Earth Wars: The Battle for Global Resources, 2012.
***
Gonjang-ganjing soal kedele, bahkan ada yang sampai bilang, “Masa sih negeri tempe masih mengimpor kedele?” Namun begitulah kenyataannya. Dalam pertimbangan strategis, pertanyaannya jadi: apakah saat ini Indonesia bisa menghentikan impor kedele? Dan dalam jangka panjang apakah Indonesia perlu swasembada kedele? Begini latar belakangnya: tahun ini konsumsi (demand) kedele kita sekitar 2,5 juta ton, sedangkan produksi kedele lokal (supply) hanya sekitar 700 – 800 ribu ton saja. Jadi ada defisit pasokan sebesar 1,7 – 1,8 juta ton per tahunnya. Jadi Indonesia memang perlu mengimpor kedele demi memenuhi kebutuhan konsumsi lokalnya. Lalu apakah kita bisa menghentikan impor kedele, jawabnya tentu bisa saja, asal seketika kita juga mau mengubah pola konsumsi dengan mengurangi secara drastis asupan yang mengandung kedele (tempe, tahu, dll). Lalu pemerintah memang mengunci impornya.
Konsekuensinya, dalam masa transisi ini harga kedele lokal akan sangat mahal akibat kecilnya supply dibanding demand-nya. Apakah solusi ini realistis dan workable? Mengingat produk-produk turunan kedele (misalnya ampas kedele) juga dibutuhkan untuk pakan ternak yang daging dan susunya sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan asupan protein bagi rakyat. Kalau produk turunan ini jadi mahal, maka secara overall, ongkos asupan protein bagi bangsa juga naik tinggi sekali. Dampak inflatoir bakal melambung lepas kendali.
Soal swasembada kedele. Dengan produktivitas lahan di Indonesia yang ditanami kedele cuma sekitar 800 kg sampai 1 ton per hektarnya tentu tidak bakal bisa melawan efisiensi akibat produktivitas kedele yang ditanam di USA yang bisa mencapai 5 ton per hektar! Sehingga di titik ini seyogianya kita segera berpikir ulang menyusun blue-print ketahanan pangan bangsa. Bijaksana memilih komoditas-komoditas pangan utama yang memang memiliki nilai keekonomian tinggi untuk menang bersaing dalam konteks global. Pelaku usaha (swasta maupun BUMN) mesti didukung penuh ekstensifikasi maupun intensifikasinya.
***
Di bidang energi PR kita juga berjibun. Ketahanan bangsa di bidang energi masihlah sangat lemah. Keprihatinan ini sudah dibahas di pelbagai forum, media dan jurnal ilmiah.
Dalam ulasan kritisnya, Geoff Hiscock (Earth Wars: The Battle for Global Resources, 2012) menjelaskan, lantaran kemajuan pembangunan di India dan China yang jumlah kombinasi penduduknya mencapai 2,5 miliar orang, juga dengan kecepatan pertumbuhan ekonomi di kisaran 7% - 10% telah dan bakal terus makin menyedot sumber-sumber daya energi, pangan, metal, dan air bersih. Ini demi menjamin kelangsungan pertumbuhan tinggi (ekonomi berbasis industri dan agrikultur) mengejar kesetaraan posisi dengan negara-negara di Amerika Utara, Jepang dan Eropa (barat). Perlombaan untuk mengamankan pasokan mineral langka (rare-earth) misalnya, telah merambah ke kancah mondial. Perusahaan tambang dan mineral mereka telah menancapkan kukunya bahkan sampai ke Amerika.
Faktor lain yang memicu India dan China meningkat agresivitasnya di kancah perebutan sumber daya global adalah pertumbuhan kelas menengahnya. Ini menciptakan demand yang tinggi untuk kendaraan bermotor, ditambah lagi pertumbuhan cepat di negera-negara berkembang tier kedua seperti: Mexico, Brazil, Russia, Indonesia, Turki, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Thailand.
Ada ratusan juta orang juga yang telah berhasil dientaskan dari kemiskinan di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Pengentasan ini telah memampukan mereka bukan hanya membeli makanan primer (pokok), tapi juga makanan sekunder (tambahannya). Peningkatan taraf hidup di pelbagai negara ini juga berarti peningkatan konsumsi makanan dan air bersih. Akibatnya penggunaan pupuk juga naik, dan ini menambah kekhawatiran bahwa pangan dan air bakal semakin menjadi langka (scarcity).
Ditengarai bahwa konflik perbatasan dan ambisi teritorial di beberapa negara telah ditunggangi oleh kekuatan-kekuatan besar yang bermaksud menguasai cadangan-cadangan minyak. Negara pengguna sumber energi terbesar seperti China, USA, India, Russia dan Jepang sangatlah concern dengan keamanan jalur laut yang dilewati kapal-kapal penyuplai sumber energi mereka. Ada sekitar 70 persen perdagangan dunia melintas di samudera Hindia di antara Timur Tengah dan Asia Pasifik. Seperempat perdagangan minyak mentah dunia melewati Selat Malaka yang panjangnya 800 kilometer diantara Sumatera dan semenanjung Malaysia. Jalur ini lalu menyempit di Selat Singapura yang cuma berjarak 2,4 kilometer lebarnya, dan selat ini merupakan pintu masuk ke laut China Selatan.
Semua concern tentang keamanan jalur-jalur pasokan ini ikut mendorong upaya-upaya diversifikasi tempat dimana sumber daya ini diperoleh. Maka Indonesia, Afsel, negara-negara Asia Tengah seperti Kazakhstan, Tajikistan, Kyrgystan, Uzbekistan, Turkmenistan, sampai perairan Arctic merupakan sasaran kepentingan investasi perusahaan minyak dan pertambangan dunia.
***
Di tengah perlombaan pengamanan pasokan energi, pangan, metal dan air bersih global, kita berharap Indonesia Incorporated bisa segera mengentaskan dirinya dari urusan non (bahkan kontra) produktif seperti soal SARA, fundamentalisme agama, dan kesibukan di kantor KPK. Sehingga para perencana pembangunan, state apparatus, strategists dan eksekutif di korporasi swasta maupun BUMN bisa mengerahkan usahanya demi juga mengamankan sumber-sumber daya energi, pangan, metal dan air bersih di segala penjuru bumi. Ini yang bakal menjamin survival kita di medan perang masa depan.
(twitter@andrewenas)
---------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING edisi September 2012
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Subscribe to:
Posts (Atom)
Related Posts
-
Kamar mandi / toilet biasanya dilengkapi dengan perlengkapan untuk buang air kecil maupun besar. Kamar mandi yang dilengkapi dengan urina...
-
Performa Industri: Quality, Productivity, Safety, Cost. Manakah yang perlu diprioritaskan? Banyak sekali metode-metode yang dapat dipakai un...
-
Problem di gudang biasanya bukan SOP-nya yang tidak ada, tapi pelaksanaan SOP di lapangan. Yang bisa membantu melacak kehilangan baran...
-
10 Alasan Kenapa Promosi Keselamatan Kerja Anda Wajib Menggunakan Gambar Visual Kenapa setiap Promosi Kesehatan dan Keselamatan K...
-
Ada 7 Poin Penting seputar "Good WareHouse Practice" yang wajb diketahui. Kesehatan dan Keselamatan Kerka atau K3 di ruang ...