Sunday, September 16, 2012

The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo

Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada kegetiran yang
mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang disana. Industri
elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam, pelan-pelan memasuki
lorong kegelapan yang terasa begitu perih.
Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian
trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo bahkan
harus rela menjual dirinya lantaran sudah hampir kolaps. Sharp berencana menutup
divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK ribuan karyawan
mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya mungkin akan bangkrut
(setelah produk televisi mereka juga mati).

Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa kegagalan demi
kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa Jepang itu? Di Senin pagi
ini, kita akan coba menelisiknya.
Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang Jepang,
kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah meremuk-redamkan
mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk elektronika dari China dan
produk domestik dengan harga yang amat murah juga terus menggerus pasar produk
Jepang. Lalu, dalam kategori digital gadgets, Apple telah membuat Sony tampak
seperti robot yang bodoh dan tolol.

What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi seperti
pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita petik sebagai
pelajaran.
Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini, kecepatan
adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product development. Speed in
product launch. Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang termehek-mehek
lantaran budaya mereka yang mengangungkan harmoni dan konsensus.

Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja yang
sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat berminggu-minggu
sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan. Dan
begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG sudah keluar dengan produk baru,
dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa melongo.
Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang lamban
mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal nyaris
tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan tumbal demi
menjaga "keindahan budaya harmoni". Ouch.
Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen. Inovasi
adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel
dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada
atasan.
Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas.
Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan
Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah Rising Stars dan Young
Creative Guy adalah keanehan.
Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Yang
tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di perusahaan Jepang,
loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai
pensiun adalah kelaziman.
Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam budaya
senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu, dan
kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya dengan
faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah negeri yang menua.
Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia diatas 50 tahun.

Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang masuk dalam
kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.
Disini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun bekerja
pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan yang
berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga manajer-manajer
senior dan tua itu.
Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas inovasi akan
selalu berjalan dengan tersengal-sengal.
Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa
raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal pada
tiga elemen diatas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada dalam
bayang-bayang kematian.

sumber :
http://strategimanajemen.net/2012/09/03/the-death-of-samurai-robohnya-sony-panasonic-sharp-dan-sanyo/

No comments:

Post a Comment

Related Posts