Oleh : Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter@andrewenas)
“Perception is built up with states of consciousness as a house is built with
bricks, and a mental chemistry is invoked which fuses these materials into a
compact whole.” (Maurice Merleau-Ponty: Phenomenology of Perception, 1945).
***
Kalau sudah sama-sama tahu bahwa sebagai bangsa sedang terpuruk (harga BBM
meroket, korupsi-kolusi merajalela, tatanan sosial retak, dll) maka seharusnya
burning-platform sudah tercipta untuk suatu perubahan. Change or Die, seperti
judul buku Alan Deutschman (Change or Die, Could you change when change matters
most?, Harper Collins, 2007). Persoalannya, kesadaran-kesadaran bisa masuk dan
tersusun menjadi kesatuan bangunan yang utuh lewat suatu rumusan mental yang
bisa mencampur masukan-masukan tadi. Dan repotnya, studi yang dilakukan Alan
Deutchman menyimpulkan bahwa reaksi “normal” terhadap saran perubahan adalah:
denial (penolakan) dulu. “We all live in denial about many scary things.”
Akibatnya situasi makin runyam.
Ternyata orang enggan berubah cuma lantaran facts, fears & force (faktanya
menakutkan plus tekanan). Kalau perubahan mau berkelanjutan, studi Alan
Deutschman menyarankan 3R. Relate, Repeat, Reframe. Pada galibnya manusia mesti
merasa terhubung (relate, “nyambung”, feel-connected) dengan manusia lainnya.
Dalam konteks sosial, ya mesti ada pemimpin yang bisa jadi model, dimana setiap
orang bisa melihat dan merasakan cita-cita serta harapannya sendiri terpantul
dari kharisma orang itu. Dan di titik inilah persisnya letak persoalan bangsa
kita: krisis kepemimpinan!
***
Terhadap kebobrokan moral yang melanda Athena di mana korupsi merajalela,
Sokrates meratap, “…kalau kondisi ini berlarut, tembok-tembok Athena akan roboh
dilalap keserakahan manusia.” Tak kalah tajamnya, Pramoedya Ananta Toer (“Saya
Terbakar Amarah Sendirian”, wawancara yang dibukukan Andre Vltchek & Rossie
Indira, 2006) juga meradang: “Secara geografis, sebagai negara Indonesia masih
bersatu, tapi secara sosial memang terpecah-belah. Indonesia sekarang sedang
sakit. Sakit parah…” Lalu lanjutnya, “…Indonesia sekarang ini dalam keadaan
membusuk. Korupsi dan birokrasi di mana-mana, dan ini adalah dua sindrom utama
dari penyakit kita. Dalam hal ekonomi, hampir tidak ada produksi tapi kita punya
konsumsi yang sangat besar. Keluarga tidak mengajari anak-anak mereka bagaimana
berproduksi...” Konklusinya, “Indonesia sudah tidak tertolong lagi, kecuali
dengan melakukan perubahan yang radikal. Dan ini harus dipimpin oleh angkatan
muda…”
Krisis kepemimpinan adalah lanskap saat ini. Kita perlu melahirkan
pemimpin-pemimpin (bisnis & politik) yang otentik, berani, jujur, cerdas,
bijaksana dan punya wawasan kebangsaan (ingat agenda Bung Karno: nation and
character building!).
Perlu hati bening untuk mendeteksi pemimpin seperti itu, karena – terinspirasi
oleh Arthur Schopenhauer (On the Suffering of the World, 1850) – bahwa calon
pemimpin “…can be divided into meteors, planets and fixed stars. The first
produce a momentary effect: you gaze up, cry: ‘Look!’ – and then they vanish
forever. The second, the moving stars, endure for much longer. By virtue of
their proximity they often shine more brightly than the fixed star, which the
ignorant mistake them for. But they too must soon vacate their place, they shine
moreover only with a borrowed light, and their sphere of influence is limited to
their own fellow travelers (their contemporaries). The third alone are
unchanging, stand firm in the firmament, shine by their own light and influence
all ages equally, in that their aspects does not alter when our point of view
alters since they have no parallax. Unlike the others, they do not belong to one
system (nation) they belong to the Universe. But it is precisely because they
are so high that their light usually takes so many years to reach the eyes of
dwellers on earth.”
***
Di tataran korporasi global, para CEO-nya bisa berasal dari negara (bangsa)
mana saja asalkan mumpuni. Mudah-mudahan fenomena ini belum perlu bagi Indonesia
Incorporated. Walaupun Mahatma Gandhi memang pernah bilang, “My nationality is
humanity.”
Soalnya, ketika kebutuhan makin mendesak dan calon pemimpin itu tak kunjung
tampak sinarnya dari blantika Indonesia, maka – dengan justifikasi globalisasi
dan dengan sangat terpaksa – kita mulai berpikir untuk minta kesediaan Mahathir
Mohammad, Lee Kuan Yeuw atau Nelson Mandela (mereka kebetulan sudah pensiun)
agar mau dikontrak sebagai CEO Indonesia Inc! Bila ingin calon lebih muda, bisa
tunggu hasil pertarungan Hillary Clinton versus Barack Obama. Wallahualam!
Maka, panggilan bagi para professional Indonesia adalah menjadi fixed stars
yang cahayanya genuine, bertahan menembus perjalanan sejarah.
(twitter@andrewenas)
-----------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING, edisi Juni 2008
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Email: strategicmanagementservices@yahoo.com
Monday, December 3, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Related Posts
-
Kamar mandi / toilet biasanya dilengkapi dengan perlengkapan untuk buang air kecil maupun besar. Kamar mandi yang dilengkapi dengan urina...
-
Salah satu senjata ampuh para eksekutif untuk meningkatkan kariernya kini adalah dengan menempuh jalur pendidikan keprofesian bersertifi...
-
Problem di gudang biasanya bukan SOP-nya yang tidak ada, tapi pelaksanaan SOP di lapangan. Yang bisa membantu melacak kehilangan baran...
-
Laporan Tracer Study ITB Sarjana yang dirilis tahun 2023 memberikan gambaran menarik mengenai bonus tahunan yang diterima oleh alumni ITB. D...
-
Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA. (twitter@andrewenas) Bisnis berkembang, organisasi bertumbuh alias karyawan tambah banyak, terjadi p...
No comments:
Post a Comment