Monday, December 3, 2012

Perjalanan Cahaya Pemimpin Sejati

Oleh : Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter@andrewenas)


“Perception is built up with states of consciousness as a house is built with 
bricks, and a mental chemistry is invoked which fuses these materials into a 
compact whole.” (Maurice Merleau-Ponty: Phenomenology of Perception, 1945).

***

  Kalau sudah sama-sama tahu bahwa sebagai bangsa sedang terpuruk (harga BBM 
meroket, korupsi-kolusi merajalela, tatanan sosial retak, dll) maka seharusnya 
burning-platform sudah tercipta untuk suatu perubahan. Change or Die, seperti 
judul buku Alan Deutschman (Change or Die, Could you change when change matters 
most?, Harper Collins, 2007).  Persoalannya, kesadaran-kesadaran bisa masuk dan 
tersusun menjadi kesatuan bangunan yang utuh lewat suatu rumusan mental yang 
bisa mencampur masukan-masukan tadi. Dan repotnya, studi yang dilakukan Alan 
Deutchman menyimpulkan bahwa reaksi “normal” terhadap saran perubahan adalah: 
denial (penolakan) dulu. “We all live in denial about many scary things.” 
Akibatnya situasi makin runyam.

  Ternyata orang enggan berubah cuma lantaran facts, fears & force (faktanya 
menakutkan plus tekanan). Kalau perubahan mau berkelanjutan, studi Alan 
Deutschman menyarankan 3R. Relate, Repeat, Reframe. Pada galibnya manusia mesti 
merasa terhubung (relate, “nyambung”, feel-connected) dengan manusia lainnya. 
Dalam konteks sosial, ya mesti ada pemimpin yang bisa jadi model, dimana setiap 
orang bisa melihat dan merasakan cita-cita serta harapannya sendiri terpantul 
dari kharisma orang itu. Dan di titik inilah persisnya letak persoalan bangsa 
kita: krisis kepemimpinan!

***

  Terhadap kebobrokan moral yang melanda Athena di mana korupsi merajalela, 
Sokrates meratap, “…kalau kondisi ini berlarut, tembok-tembok Athena akan roboh 
dilalap keserakahan manusia.”  Tak kalah tajamnya, Pramoedya Ananta Toer (“Saya 
Terbakar Amarah Sendirian”, wawancara yang dibukukan Andre Vltchek & Rossie 
Indira, 2006) juga meradang: “Secara geografis, sebagai negara Indonesia masih 
bersatu, tapi secara sosial memang terpecah-belah. Indonesia sekarang sedang 
sakit. Sakit parah…” Lalu lanjutnya, “…Indonesia sekarang ini dalam keadaan 
membusuk. Korupsi dan birokrasi di mana-mana, dan ini adalah dua sindrom utama 
dari penyakit kita. Dalam hal ekonomi, hampir tidak ada produksi tapi kita punya 
konsumsi yang sangat besar. Keluarga tidak mengajari anak-anak mereka bagaimana 
berproduksi...” Konklusinya, “Indonesia sudah tidak tertolong lagi, kecuali 
dengan melakukan perubahan yang radikal. Dan ini harus dipimpin oleh angkatan
muda…”

  Krisis kepemimpinan adalah lanskap saat ini. Kita perlu melahirkan 
pemimpin-pemimpin (bisnis & politik) yang otentik, berani, jujur, cerdas, 
bijaksana dan punya wawasan kebangsaan (ingat agenda Bung Karno: nation and 
character building!). 

  Perlu hati bening untuk mendeteksi pemimpin seperti itu, karena – terinspirasi 
oleh Arthur Schopenhauer (On the Suffering of the World, 1850) – bahwa calon 
pemimpin “…can be divided into meteors, planets and fixed stars. The first 
produce a momentary effect: you gaze up, cry: ‘Look!’ – and then they vanish 
forever. The second, the moving stars, endure for much longer. By virtue of 
their proximity they often shine more brightly than the fixed star, which the 
ignorant mistake them for. But they too must soon vacate their place, they shine 
moreover only with a borrowed light, and their sphere of influence is limited to 
their own fellow travelers (their contemporaries). The third alone are 
unchanging, stand firm in the firmament, shine by their own light and influence 
all ages equally, in that their aspects does not alter when our point of view 
alters since they have no parallax. Unlike the others, they do not belong to one 
system (nation) they belong to the Universe. But it is precisely because they 
are so high that their light usually takes so many years to reach the eyes of 
dwellers on earth.” 

***

  Di tataran korporasi global, para CEO-nya bisa berasal dari negara (bangsa) 
mana saja asalkan mumpuni. Mudah-mudahan fenomena ini belum perlu bagi Indonesia 
Incorporated. Walaupun Mahatma Gandhi memang pernah bilang, “My nationality is 
humanity.”

  Soalnya, ketika kebutuhan makin mendesak dan calon pemimpin itu tak kunjung 
tampak sinarnya dari blantika Indonesia, maka – dengan justifikasi globalisasi 
dan dengan sangat terpaksa – kita mulai berpikir untuk minta kesediaan Mahathir 
Mohammad, Lee Kuan Yeuw atau Nelson Mandela (mereka kebetulan sudah pensiun) 
agar mau dikontrak sebagai CEO Indonesia Inc! Bila ingin calon lebih muda, bisa 
tunggu hasil pertarungan Hillary Clinton versus Barack Obama. Wallahualam!

  Maka, panggilan bagi para professional Indonesia adalah menjadi fixed stars 
yang cahayanya genuine, bertahan menembus perjalanan sejarah.



(twitter@andrewenas)
-----------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING, edisi Juni 2008


STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Email: strategicmanagementservices@yahoo.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts