Sunday, December 23, 2012

Niat Bisnis


“Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niatnya”.
Saya pernah meremehkan kalimat ini. Tapi setelah mengalaminya sendiri, saya harus mengamini. Kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Hal ini berlaku dalam segala aspek kehidupan. Mulai dari pekerjaan, asmara, kehidupan social, sampai hubungan transcendental dengan Tuhan.

Saya tidak berbicara ala the secret-nya Rhonda Byrne, tetapi dalam bisnis, saya sudah merasakan sendiri. Niat dalam menjalankan usaha akan menentukan apa yang kita dapatkan. Contohnya niat bisnis ibu saya. Setelah pensiun tahun lalu, Ibu saya lalu mendirikan rumah makan. Menyewa kios dan sempat menyewa cabang.

Kelihatan maju? Tapi Ibu saya hanya meniatkan untuk mengisi waktu dan sedikit-sedikit menambah uang sisa pensiun. Dan Ibu saya mendapatkan apa yang ia dapatkan. Usaha kateringnya cenderung stagnan dan bahkan mengalami penurunan (kedua cabang itu sudah tutup). Sekarang, Ibu menggunakan system delivery order. Kerja juga nggak ngoyo (menggebu-gebu). Yang penting cukup dan bisa mengisi kegiatan di hari tua.

Niat Baik = Hasil Baik
Pelajarannya: niat usaha itu penting. Beberapa hari lalu saya berkenalan dengan Ricky. Seorang pengusaha pupuk di Surabaya. Umurnya masih muda, baru 28 tahun. Baru saja lulus S-2 dari ITS. Ketika saya bertanya, bagaimana dia bisa menjadi pemilik pabrik, ternyata ada lagi tentang kekuatan dibalik niat.

Ricky sempat membeberkan sejarah bisnisnya. Jadi setelah ia lulus kuliah, Ricky lalu bekerja di sebuah perusahaan distributor pupuk. Selama bekerja 4 tahun, ia mempelajari bisnis ini dari hulu hingga hilir. Dari mulai produksi hingga pemasaran ke petani. Dari situ, dia memiliki pengetahuan A sampai Z tentang bisnis pupuk. Tak lupa ia juga membangun relasi dengan pabrik-pabrik besar dan berbagai distributor. Pokoknya, Pupuk dicinta, ulampun tiba. Hehehe.

Karena ingin fokus melanjutkan S-2, dia nekat resign. Ilmunya sudah mentok. Tak ada yang bisa dipelajari lagi. Menjelang lulus S-2, dia pernah diminta untuk menjadi konsultan sebuah pabrik pupuk. Dan dalam sebulan, pabrik yang tidak beroperasi tadi dapat berproduksi dan langsung mencetak omset 300 juta. Dia mengaku hanya memperbaiki system pemasaran yang ada.
Pemilik pabrik yang puas ternyata memiliki kenalan yang juga punya pabrik. Tapi mangkrak. Alias bertahun-tahun tidak terpakai. Dia meminta Ricky untuk menjualkan pabrik itu. Hanya 9 milyar. Bukannya menjual, Ricky justru membawa pabrik itu sebagai agunan kredit di bank. Dan coba tebak berapa nilai taksiran pihak bank? 55 milyar!.

Dengan dana sebesar itu, ia berencana menghidupkan kembali pabrik itu dan melakukan diversifikasi usaha dengan mendirikan pabrik pengolahan singkong untuk etanol dan juga menanam kayu sengon. Sungguh tidak disangka-sangka. Seorang penjual pupuk, bisa memiliki pabrik pupuk. Dia mengaku tidak pernah punya impian menjadi pengusaha pupuk. Ketika saya tanya apa rahasianya, dia Cuma berkata,

“Yang penting itu doa Mas. Saya Cuma niatin pingin mendirikan sekolah gratis. Untuk urusan jalannya, saya pasrahkan sama Allah”.

Not just profit
Tuhan memang punya jalan yang tak disangka-sangka untuk hambanya. Dan ternyata, banyak perusahaan yang mampu bertahan selama ratusan tahun karena mereka berbicara beyond profit. Mereka berpikir tentang kesejahteraan manusia, bagaimana membuat kehidupan menjadi lebih manusiawi.

Seperti pesan George Merck II:
“Kami mencoba mengingat bahwa obat adalah untuk pasien.. obat bukan untuk laba. Laba mengikuti, dan bila kita mengingat hal ini, laba tidak pernah gagal untuk muncul. Semakin baik kita mengingatnya, laba akan semakin besar”

Hal ini diamini oleh David Packard, pendiri HP:
“Laba bukan tujuan akhir dan tujuan dari manajemen-tetepi apa yang membuat tujuan akhir dan tujuan manajemen tercapai”

Dan disimpulkan oleh Jim Collins:
“Berlawanan dengan doktrin dalam sekolah bisnis, kami tidak menganggap “memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham” atau “memaksimumkan laba” sebagai tenaga pendorong yang dominan atau tujuan utama dari perusahaan-perusahaan visioner sebagai terlibat dalam sejarahnya… (mereka) menunjukkan bahwa bisnis lebih dari sekedar kegiatan ekonomi, lebih dari sekedar mencari uang… kami melihat bahwa ideology inti lebih penting daripada pertimbangan masalah ekonomi. Dan inilah kunci utamanya, perusahaan-perusahaan visioner mempunyai ideology inti yang mengangkat mereka ke derajat yang lebih tinggi”

Perusahaan yang mampu bertahan ratusan tahun adalah perusahaan dengan corporate shared value. Nilai-nilai untuk kebaikan kemanusiaan. Dan ini bukan hanya dalam bentuk corporate social responsibility. Menurut Michael Porter dalam Harvard Business Review edisi Jan-Feb 2011, corporate social responsibility tidaklah cukup. CSR seringkali hanya gimmick pemasaran dan menjadi kedok pengurang pajak.

Perusahaan masa depan adalah perusahaan yang memiliki shared value kepada masyarakat. Mereka yang tidak hanya memandang konsumen sebagai kantong uang yang bisa disedot, tapi sebagai manusia yang harus dibantu dan dimudahkan hidupnya untuk menjadkan dunia menjadi sedikit lebih baik.

Ricky tidak pernah bermimpi mendirikan pabrik pupuk. Dia hanya berniat baik, berdoa baik, dan berikhtiar dengan baik. Tapi itulah kuncinya. Niat baik disertai usaha yang baik pasti akan menemukan jalan baik. Pastikan saja niat kita sudah benar. Karena mereka yang berniat baik saja hasilnya belum tentu baik, apalagi jika berniat tidak baik. Kita hanya perlu berdoa, berusaha, dan bersabar. Sisanya? Serahkan saja kepada Tuhan.

disadur dari EG

No comments:

Post a Comment

Related Posts