Kasus Evergrande, Korban Aturan 'Three Red Lines' Xi Jinping?
1. Kasus Evergrande, Korban Aturan 'Three Red Lines' Xi Jinping?
Chinese President Xi Jinping arrives ahead of the Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Summit, in Port Moresby, Papua New Guinea, November 15, 2018. REUTERS/David Gray
Jakarta, CNBC Indonesia - Selama hampir tiga dekade, Evergrande Group - seperti puluhan pengembang properti China lainnya - bertaruh besar pada pembangunan infrastruktur China yang sedang booming akibat pesatnya pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai bambu.
Tanpa pikir panjang perusahaan properti mengambil pinjaman yang sering dipaketkan dengan suku bunga dua digit dan bertaruh bahwa penjualan apartemen yang belum dibangun akan cukup tinggi untuk membayar utang yang membengkak.
Sektor real estat China yang luas, yang menyumbang 29% dari produk domestik bruto negara itu, melakukan pembangunan dan pengembangan properti secara sangat berlebihan.
Hal ini mengancam perannya yang selama ini dipandang sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi China, sebaliknya berpotensi menjadi hambatan ke depannya.
Kelebihan pasokan telah menjadi masalah selama beberapa tahun, sehingga tahun lalu China memutuskan bahwa masalah tersebut telah menjadi sangat kronis sehingga perlu ditangani dengan tegas.
Presiden Xi Jinping juga sepertinya telah kehabisan kesabaran dengan ekses sektor properti yang bermuara pada rumusan 'three red lines' (tiga garis merah) yang dikeluarkan Beijing untuk mengurangi tingkat utang di sektor tersebut.
Evergrande pun terbukti menjadi 'korban' raksasa pertama.
Apa itu three red lines?
Secara singkat, three red lines merupakan pedoman bagi perusahaan properti untuk menentukan batas maksimal pertumbuhan utang tahunan.
Aturan ini terdiri dari tiga prasyarat yang mana jika perusahaan melewati batas yang ditentukan terdapat konsekuensi terkait pertumbuhan utang tahunan maksimal yang harus ditaati.
Three red lines atau tiga kriteria kondisi finansial yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut
Rasio utang terhadap aset (tidak termasuk penerimaan uang muka) kurang dari 70%
Net gearing ratio kurang dari 100% (gearing ratio: membandingkan ekuitas pemilik dengan peminjam)
Rasio kas terhadap hutang jangka pendek lebih dari 1x
China memberlakukan pedoman tersebut kepada beberapa pengembang terpilih setelah pertemuan Agustus 2020 di Beijing yang dilatarbelakangi oleh tingkat utang yang meningkat, kenaikan harga tanah, dan penjualan yang kian bertambah.
UBS dalam laporannya mengatakan sebagai bagian dari skema awal, 12 pengembang percontohan harus menyerahkan laporan terperinci tentang situasi pembiayaan mereka untuk dievaluasi oleh regulator yang dipimpin oleh People's Bank of China, bank sentral China, dan Kementerian Perumahan dan Pembangunan Perkotaan-Pedesaan, regulator konstruksi negara.
Dikutip dari laporan UBS, menurut perkiraan S&P hingga awal tahun ini, hanya 6,3% dari pengembang yang di-rating oleh mereka yang dapat sepenuhnya mematuhi ketiga kriteria yang diharapkan.
Akhir Maret lalu China Evergrande juga ikut berjanji untuk memenuhi 'tiga garis merah' Beijing pada tahun 2023 mendatang, tentu dengan asumsi perusahaan selamat dari krisis yang sedang dihadapi.
Tentu penerapan kebijakan baru ini datang dengan dampak positif maupun negatif baik bagi perusahaan maupun pemerintah China sendiri.
Jika berhasil diterapkan, peraturan ini tentu akan mampu mengontrol harga tanah dan properti di China, karena perusahaan tidak dapat dengan serta merta dengan bebas dan mudahnya memperoleh pinjaman sehingga dapat beradu harga dengan pengembang lain yang pada akhirnya mengganggu harga pasar, baik itu lahan maupun properti.
Pertumbuhan harga rumah hunian yang terjadi selama 15-20 tahun terakhir membuat properti menjadi sangat tidak terjangkau bagi jutaan penduduk China.
Aturan ini juga dapat membatasi kredit yang diserap oleh industri real estate. Pengekangan penyaluran kredit ke sektor real estate ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk menyalurkan kredit ke sektor perekonomian lain yang lebih produktif.
Penerapan kontrol yang lebih ketat oleh pemerintah China juga untuk memastikan masa depan yang lebih berkelanjutan. Real estate adalah bagian penting dari ekonomi China karena memiliki hubungan yang erat dan mata rantai ekonomi yang panjang baik dengan berbagai industri hulu maupun hilir.
Three red lines memang sejalan dengan slogan 'coomon prosperity' (kemakmuran bersama) yang dielu-elukan oleh Xi Jinping, akan tetapi aturan kepada pengembang untuk menjaga tingkat utang dalam batas yang wajar bisa juga memberikan dampak negatif.
Dilansir FT, Ting Lu, Kepala Ekonom China di bank investasi Nomura, mengatakan bahwa dia yakin upaya Beijing untuk beralih dari satu model pertumbuhan ke model lainnya dapat secara signifikan menekan pertumbuhan tahunan di masa depan.
Logan Wright, Direktur Rhodium Group yang berbasis di Hong Kong mengatakan sektor properti menjadi ancaman bagi stabilitas keuangan, ekonomi dan sosial - telah memicu protes di beberapa kota.
"Sangat sulit untuk memberikan narasi yang meyakinkan bahwa potensi pertumbuhan China akan melebihi 4 persen dalam dekade berikutnya," tambah Wright.
Jika proyeksi seperti itu terbukti benar, "keajaiban" pertumbuhan China berada dalam bahaya.
Dalam dekade 2000-2009, rata-rata pertumbuhan PDB China berkisar 10,4% per tahun. Kinerja fantastis ini sedikit mereda pada dekade berikutnya, meskipun demikian selama 2010 hingga 2019, PDB tahunan masih tumbuh rata-rata 7,68%.
Bagi perusahaan sendiri aturan ini jika diterapkan tentu akan membuat likuiditas perusahaan membaik dengan kondisi finansial yang dapat dikatakan sehat.
Akan tetapi secara bisnis ini bisa menjadi ancaman pertumbuhan yang mana perusahaan tidak lagi memiliki kekuasaan untuk menghasilkan pendapatan lebih dari pengelolaan utang, karena jumlahnya yang kini dibatasi.
Jika diterapkan di Indonesia bagaimana nasib emiten properti?
Untuk menjawab pertanyaan di atas Tim Riset CNBC Indonesia coba menghitung berbagai kriteria yang ditetapkan dalam pedoman three red lines China tersebut yang diaplikasikan pada emiten properti Indonesia menggunakan laporan keuangan tengah tahun atau akhir kuartal kedua dari masing-masing emiten properti Tanah Air di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Emiten-emiten yang dimaksud dalam simulasi sederhana ini adalah PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), PT Ciputra Development Tbk (CTRA), PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI).
Kemudian, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Sentul City Tbk (BKSL), dan PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK).
Terkait kode warna yang digunakan masing-masing menunjukkan indikasi berbeda, hijau menandakan kondisi finansial perusahaan telah sesuai dengan tiga aturan yang ditetapkan, kuning menandakan perusahaan melanggar satu kriteria, oranye mengindikasikan perusahaan tidak mematuhi dua kriteria dan merah berarti semua kriteria tidak terpenuhi sama sekali.
Berdasarkan simulasi yang dilakukan terlihat hanya terdapat satu perusahaan yang kondisi finansialnya sudah sesuai standar baru yang diterapkan di China.
Perusahaan tersebut adalah pengembang Mal Kota Kasablanka, PT Pakuwon Jati Tbk (PWON). PWON merupakan satu-satunya perusahaan yang memiliki cash rasio lebih dari satu kali utang jangka pendek, tepatnya 1,34 kali. Hal ini mengindikasikan PWON dapat melunasi seluruh utang jangka pendeknya secara cepat meski harus diambil dari kas perusahaan.
Artinya jika aturan ini diterapkan di Indonesia, pertumbuhan utang tahun PWON bisa mencapai maksimal 15%.
Simulasi sederhana ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perusahaan yang dilabel merah atau melanggar semua kriteria, di mana level utang terhadap aset seluruh emiten properti RI masih berada di angka kurang dari 70%, artinya perusahaan masih mampu melunasi kewajiban utang dengan aset yang dimiliki.
Tiga perusahaan tercatat telah sesuai dengan dua kriteria, hanya terjanggal pada aturan rasio kas terhadap utang jangka pendek, di mana kas atau setara kas dari ketiga perusahaan tersebut (BSDE, BKSL, LPCK) tidak mencapai 1 kali besar utang jangka pendek.
Hal ini menandakan perusahaan tidak mampu melunasi seluruh kewajiban jangka pendek secara cepat dengan hanya menggunakan kas perusahaan saja.
Sedangkan lima perusahaan sisanya hanya memenuhi persyaratan rasio liabilitas terhadap aset kurang dari 70%, atau dengan kata lain, jika aturan ini diterapkan di Indonesia, pertumbuhan utang tahun lima emiten ini dibatasi maksimal 5%.
Sumber :
https://www.cnbcindonesia.com/market/20210923194314-17-278759/kasus-evergrande-korban-aturan-three-red-lines-xi-jinping
No comments:
Post a Comment