Untuk ketiga kalinya, CareerCoach sekaligus penulis buku “Your Job is Not Your Career” Rene Suhardono menyambangi Pengajar Muda. Kini giliran Pengajar Muda III di di Modern Training Center, Ciawi, bertatap muka untuk mendapat pencerahan lain dalam Forum Kepemimpinan.
Kedatangan Rene di hari Rabu (21 September 2011) ini memberikan banyak inspirasi kepada para calon Pengajar Muda, khususnya mengenai pemahaman antara “Pekerjaan dan Karir”. Ia mengupas tuntas bukunya yang menegaskan pentingnya memahami perbedaan kerja dan karir.
Menurut Rene, Pekerjaan adalah milik perusahaan, sedangkan karir adalah milik kita sendiri, “Career is you. Karir merupakan sebuah perjalanan,” ujarnya. Dikatakannya, seseorang dapat memiliki banyak pekerjaan dalam karir, dan bisa juga mengalami banyak pergantian profesi di dalamnya. Sedangkan career itu erratic dengan pola yang tidak linear dan sulit ditebak.
“Karir sangat dipengaruhi oleh refleksi diri dan sudut pandang diri kita. Apabila kita menganggap karir kita adalah pundi-pundi uang yang masuk ke dalam rekening kita tiap bulannya, jabatan, pangkat ataupun gelar akademis, makalah itulah refleksi dari karir kita,” ujarnya seraya menambahkan bahwa hal tersebut hanyalah atribut, bukan esensi dari karir.
Menyinggung soal Passion, Rene menegaskan bahwa passion sedikit berbeda dengan hobi, “Passion bukanlah segala sesuatu yang kuasai, namun yang kita cintai. Passion adalah salah satu unsur karir. Karir haruslah melibatkan passion, tujuan hidup, values, ketercapaian, dan kebahagiaan.”
Rene menegaskan pentingnya kita menemukan passion pribadi sejak awal sebagai sarana untuk mencapai karir. “Ketika seseorang bekerja sesuai dengan passionnya, maka ia berada di jalur untuk mencapai karirnya. Menemukan passion ini adalah hal yang gampang-gampang susah karena sesungguhnya passion itu terdapat di dalam diri kita sendiri.”
Setelah menemukan passion, menurut Rene, penting bagi seseorang menentukan tujuan hidup (purpose of life). “Semakin jelas, tegas, dan mendetail tujuan hidup yang ditetapkan, semakin besar kemungkinan terealisasinya tujuan tersebut. Lalu, segera bertindak (aksi) dengan sikap atau attitude baik yang baik untuk mencapainya.”
Terkait pekerjaan dan karir, Rene memberikan ilustrasi figur nabi Muhammad SAW, “Nabi Muhammad mempunyai Job sebagai pedagang dan memiliki Career sebagai seorang nabi yang menyebarkan risalah Tuhan ke seluruh umat manusia.”
“Disentil” Rene, para calon Pengajar Muda terlihat terpacu untuk menemukan passion dan merumuskan tujuan hidupnya. Sentilan Rene ini berhasil membangun kekritisan mereka mengenai tujuan orang bekerja, memperoleh banyak harta, mengejar pangkat atau jabatan, atau bahkan untuk mencapai tujuan hidup yang mulia, yakni bahagia baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Menurut Rene, menjadi seorang guru adalah pekerjaan yang sangat mulia, “Seorang guru harus dapat memahami benar hakikat ia bekerja, apakah sekedar untuk memperoleh gaji dari pemerintah atau benar-benar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Apakah mendidik generasi bangsa merupakan “karir” atau sekedar “pekerjaan?”
Renungan menarik!
****
(Kontributor: Sarah Saskia, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta yang sedang mengikuti program magang di Gerakan Indonesia Mengajar)
http://indonesiamengajar.org/kabar-terbaru/rene-suhardono-temukan-passionmu-sejak-awal
Monday, December 12, 2011
Menumbuhkan Rasa Percaya di Perusahaan
KOMPAS.com - Kita sering kecewa karena tidak adanya sinergi. Padahal, begitu banyak hal yang harus dibenahi dan tantangan untuk memperbaiki kinerja terus digaungkan sebagai urgensi. Tidak jarang kita melihat pejabat atau orang-orang penting di satu perusahaan menolak untuk bicara lebih dalam mengenai konflik yang terjadi. Padahal, di sisi lain, mereka bisa dengan santainya makan siang bersama-sama. Keterbukaan yang digembar-gemborkan para atasan sebagai “my door is open” kerap berupa slogan saja, namun tidak serius dijalankan.
Ketika atasan menyadari bahwa ide-ide, protes-protes, bahkan kekecewaan tidak “mengalir” ke mereka, para atasan ini tidak berusaha memperbaiki situasi. Bila keterbukaan tidak tumbuh di dalam tim dan antar individu, jangan heran bila kemudian yang tumbuh adalah atmosfir sindir-menyindir, salah menyalahkan, kelelahan, "loneliness", apatis, bahkan hilangnya inisiatif. Padahal, kita sangat menyadari, bahwa perbaikan prosedur dan proses bisnis tercanggih di dunia pun tidak bisa lancar tanpa adanya "rasa percaya" antar tim yang berakar secara mendalam pada masing-masing individu
Dunia kita makin kompleks, di mana tim dituntut bersinergi dalam rangka globalisasi dan desentralisasi. Di dunia kerja, makin maraknya "outsourcing" dan posisi pada setiap fungsi organisasi yang kerap berjauhan menjadikan setiap manajer ditantang untuk memimpin tim dari jarak jauh. Alat-alat monitoring, komunikasi secara cyber, dan segala macam elektronik tetap tidak bisa menggantikan hubungan tatap muka, sehingga kita menyadari kemungkinan tidak terkuaknya masalah, adanya kesalahan, salah pengertian dan tercampur aduknya masalah yang ujung-ujungnya tidak gampang untuk mengurainya kembali. Di satu pihak ada atasan yang mengatakan, “Jangan terlalu percaya pada anak buah. Anda harus turun tangan dan melakukan inspeksi sendiri”. Namun sebaliknya, kita sangat menyadari bahwa rasa percaya harus kita tumbuhkan bila ingin mengembangkan tim virtual begini.
Begitu pentingnya rasa percaya, sehingga berbagai disiplin ilmu, baik para neuroeconomist, behavioral economists, dan para psikolog sosial mempelajari berbagai teknik dan cara untuk mempelajari tumbuhnya rasa percaya. Namun, kita bisa menemui individu yang walaupun sangat berniat untuk mengembangkan rasa percaya ini, tetap tidak mudah mempercayai orang di sekitarnya. Bisa saja ia tidak percaya pada fairness dan keterbukaan atasannya sendiri, maupun tidak mempercayai apa yang dilaporkan anak buahnya. Bila saja separuh karyawan di sebuah organisasi mempunyai perasaan yang sama, bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya atmosifr kerja di lingkungan tersebut.
To trust is human
Pada mahluk lain, rasa percaya itu beroperasi secara intuitif, namun manusia mengembangkan rasa percaya sebagai fungsi otak. Segera setelah dilahirkan, bayi sudah bisa membaca mimik pengasuh atau ibunya, bahkan sudah memalingkan muka ke arah suara yang dikeluarkan ibunya. Seorang psikolog sosial mengatakan: “We’re born to be engaged and to engage others, which is what trust is largely about.” Meskipun para ahli juga menemukan bahwa ada zat tertentu yang secara rutin di produksi kelenjar tubuh kita yang berfungsi menghubungkan kondisi emosional dengan hubungan sosial yang positif, yaitu oksitosin, para ahli tetap berkeyakinan bahwa rasa percaya memang tumbuh secara rasional.
Hal lain yang perlu kita pahami juga adalah dari sebuah penelitian terhadap sejumlah mahasiswa, didapatkan bahwa, manusia mempunyai kecenderungan untuk menganggap bahwa penilaiannya benar. Dengan demikian, setiap individu cenderung tidak mengkonfirmasi ulang penilaiannya. Selain itu, manusia juga sering didominasi oleh ilusi semacam unrealistic optimism di mana keyakinan bahwa semua hal yang baik-baik akan terjadi pada dirinya. Hal ini kadang menghambat pikiran kita untuk melakukan cek dan ricek terhadap penilaian yang kita buat.
Disadari atau tidak, kita memang sering mempunyai kecenderungan yang menetap. Apakah terlalu curiga atau sebaliknya terlalu percaya. Tantangan kita adalah secara sadar menjaga, mengevaluasi dan menuntut penilaian kita untuk mengolah, bekerja keras, dan tidak mengambang.
Kirimkan sinyal
Pada tahun 1980-an, ketika komputer masih dianggap barang mahal, Hewlett Packard membuat kebijakan, bahwa karyawannya diijinkan membawa pulang laptopnya masing-masing untuk bekerja di rumah. Pesannya jelas. Perusahaan percaya pada karyawannya. Sinyal ini langsung mewarnai keyakinan karyawan akan perusahaannya dan seketika berdampak pula pada keyakinan karyawan pada anggota tim lain, seperti atasan dan teman kerjanya.
Rasa percaya memang beresiko. Bila kita melancarkan kritik, kita malah bisa dipukul balik. Bila kita menyampaikan “brutal facts”, tak jarang malah bernasib: “messenger get killed”. Curhat pada teman yang salah bisa berakibat gosip beredar. Namun untuk maju, kita tidak punya pilihan kecuali menumbuhkan rasa percaya pada rekan, atasan, perusahaan, dan juga negara. Sikap menghindar dan menjauhi orang yang tidak kita percaya, hanya akan berakibat turunnya kinerja tim dan ketidaknyamanan situasi kerja.
John F. Kennedy pernah membuktikan bahwa mengembangkan sikap saling percaya berhasil menumbuhkan kolaborasi positif. Dalam pidatonya di sebuah universitas di Amerika pada tahun 1963, ia mengemukakan tentang sifat baik orang Rusia dan betapa ia ingin bekerja sama dengan pemerintah Rusia di bidang persenjataaan nuklir. Pernyataan ini membuat Nikita Khrushchev terkesan dan akhirnya membuka hubungan diplomatik. Dari sini kita belajar bahwa pesan dan sinyal bahwa kita bisa dipercaya dan bisa mempercayai orang lain perlu dilakukan secara sengaja dan juga penuh kesadaran sehingga pihak lain pun sadar bahwa kita tidak main-main ingin membangun rasa percaya.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Ketika atasan menyadari bahwa ide-ide, protes-protes, bahkan kekecewaan tidak “mengalir” ke mereka, para atasan ini tidak berusaha memperbaiki situasi. Bila keterbukaan tidak tumbuh di dalam tim dan antar individu, jangan heran bila kemudian yang tumbuh adalah atmosfir sindir-menyindir, salah menyalahkan, kelelahan, "loneliness", apatis, bahkan hilangnya inisiatif. Padahal, kita sangat menyadari, bahwa perbaikan prosedur dan proses bisnis tercanggih di dunia pun tidak bisa lancar tanpa adanya "rasa percaya" antar tim yang berakar secara mendalam pada masing-masing individu
Dunia kita makin kompleks, di mana tim dituntut bersinergi dalam rangka globalisasi dan desentralisasi. Di dunia kerja, makin maraknya "outsourcing" dan posisi pada setiap fungsi organisasi yang kerap berjauhan menjadikan setiap manajer ditantang untuk memimpin tim dari jarak jauh. Alat-alat monitoring, komunikasi secara cyber, dan segala macam elektronik tetap tidak bisa menggantikan hubungan tatap muka, sehingga kita menyadari kemungkinan tidak terkuaknya masalah, adanya kesalahan, salah pengertian dan tercampur aduknya masalah yang ujung-ujungnya tidak gampang untuk mengurainya kembali. Di satu pihak ada atasan yang mengatakan, “Jangan terlalu percaya pada anak buah. Anda harus turun tangan dan melakukan inspeksi sendiri”. Namun sebaliknya, kita sangat menyadari bahwa rasa percaya harus kita tumbuhkan bila ingin mengembangkan tim virtual begini.
Begitu pentingnya rasa percaya, sehingga berbagai disiplin ilmu, baik para neuroeconomist, behavioral economists, dan para psikolog sosial mempelajari berbagai teknik dan cara untuk mempelajari tumbuhnya rasa percaya. Namun, kita bisa menemui individu yang walaupun sangat berniat untuk mengembangkan rasa percaya ini, tetap tidak mudah mempercayai orang di sekitarnya. Bisa saja ia tidak percaya pada fairness dan keterbukaan atasannya sendiri, maupun tidak mempercayai apa yang dilaporkan anak buahnya. Bila saja separuh karyawan di sebuah organisasi mempunyai perasaan yang sama, bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya atmosifr kerja di lingkungan tersebut.
To trust is human
Pada mahluk lain, rasa percaya itu beroperasi secara intuitif, namun manusia mengembangkan rasa percaya sebagai fungsi otak. Segera setelah dilahirkan, bayi sudah bisa membaca mimik pengasuh atau ibunya, bahkan sudah memalingkan muka ke arah suara yang dikeluarkan ibunya. Seorang psikolog sosial mengatakan: “We’re born to be engaged and to engage others, which is what trust is largely about.” Meskipun para ahli juga menemukan bahwa ada zat tertentu yang secara rutin di produksi kelenjar tubuh kita yang berfungsi menghubungkan kondisi emosional dengan hubungan sosial yang positif, yaitu oksitosin, para ahli tetap berkeyakinan bahwa rasa percaya memang tumbuh secara rasional.
Hal lain yang perlu kita pahami juga adalah dari sebuah penelitian terhadap sejumlah mahasiswa, didapatkan bahwa, manusia mempunyai kecenderungan untuk menganggap bahwa penilaiannya benar. Dengan demikian, setiap individu cenderung tidak mengkonfirmasi ulang penilaiannya. Selain itu, manusia juga sering didominasi oleh ilusi semacam unrealistic optimism di mana keyakinan bahwa semua hal yang baik-baik akan terjadi pada dirinya. Hal ini kadang menghambat pikiran kita untuk melakukan cek dan ricek terhadap penilaian yang kita buat.
Disadari atau tidak, kita memang sering mempunyai kecenderungan yang menetap. Apakah terlalu curiga atau sebaliknya terlalu percaya. Tantangan kita adalah secara sadar menjaga, mengevaluasi dan menuntut penilaian kita untuk mengolah, bekerja keras, dan tidak mengambang.
Kirimkan sinyal
Pada tahun 1980-an, ketika komputer masih dianggap barang mahal, Hewlett Packard membuat kebijakan, bahwa karyawannya diijinkan membawa pulang laptopnya masing-masing untuk bekerja di rumah. Pesannya jelas. Perusahaan percaya pada karyawannya. Sinyal ini langsung mewarnai keyakinan karyawan akan perusahaannya dan seketika berdampak pula pada keyakinan karyawan pada anggota tim lain, seperti atasan dan teman kerjanya.
Rasa percaya memang beresiko. Bila kita melancarkan kritik, kita malah bisa dipukul balik. Bila kita menyampaikan “brutal facts”, tak jarang malah bernasib: “messenger get killed”. Curhat pada teman yang salah bisa berakibat gosip beredar. Namun untuk maju, kita tidak punya pilihan kecuali menumbuhkan rasa percaya pada rekan, atasan, perusahaan, dan juga negara. Sikap menghindar dan menjauhi orang yang tidak kita percaya, hanya akan berakibat turunnya kinerja tim dan ketidaknyamanan situasi kerja.
John F. Kennedy pernah membuktikan bahwa mengembangkan sikap saling percaya berhasil menumbuhkan kolaborasi positif. Dalam pidatonya di sebuah universitas di Amerika pada tahun 1963, ia mengemukakan tentang sifat baik orang Rusia dan betapa ia ingin bekerja sama dengan pemerintah Rusia di bidang persenjataaan nuklir. Pernyataan ini membuat Nikita Khrushchev terkesan dan akhirnya membuka hubungan diplomatik. Dari sini kita belajar bahwa pesan dan sinyal bahwa kita bisa dipercaya dan bisa mempercayai orang lain perlu dilakukan secara sengaja dan juga penuh kesadaran sehingga pihak lain pun sadar bahwa kita tidak main-main ingin membangun rasa percaya.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
7 Profesi untuk Si "Penyendiri"
KOMPAS.com - Tak ada orang mampu bekerja sendiri, dalam arti, kita pasti membutuhkan orang lain untuk memberikan informasi bagaimana pekerjaan tersebut harus dilakukan. Namun, ada sebagian orang yang merasa lebih asyik bila bekerja sendiri. Tidak berarti mereka seorang pemalu, penyendiri, atau orang yang antisosial, namun mereka merasa lebih produktif bila bekerja tanpa gangguan dari orang lain.
Bila Anda termasuk orang yang kurang suka terlibat dengan orang lain saat sedang menekuni pekerjaan, beberapa profesi berikut bisa menjadi pilihan.
Akuntan
Rasanya setiap pekerjaan di kantor tentu membutuhkan tatap muka dengan rekan kerja atau klien. Namun seorang akuntan akan lebih sering membenamkan diri dengan spreadsheet ketimbang menerima telepon atau menemui klien. Maklum saja, data keuangan dan pajak yang harus ditangani membuat seorang akuntan kekurangan waktu untuk ngobrol dengan teman, baik melalui telepon maupun bertemu langsung.
Pendidikan yang diperlukan: akuntansi/finance, administrasi bisnis, MBA
Programer komputer
Jarang sekali Anda melihat programer komputer membuat pemrograman sambil mendengarkan musik. Telecommuting juga bisa jadi pilihan di beberapa perusahaan. Jika Anda menguasai pemrograman, manajer Anda pasti akan cukup respek untuk tidak mengganggu Anda dengan hal-hal lain.
Pendidikan yang diperlukan: programming & software, ilmu komputer, teknologi informasi
Penulis
Menulis membutuhkan konsentrasi. Penulis harus punya kemampuan menahan diri dari godaan di sekitarnya dan tetap fokus dengan apa yang dilakukannya. Jika ia mudah tergoda untuk nimbrung obrolan orang-orang di sekitarnya, dan menghentikan pekerjaannya sesaat, maka ia harus membangun kembali konsentrasi yang sudah susah-payah dibangunnya. Itu sebabnya banyak penulis yang baru "melek" menjelang tengah malam untuk mulai menulis, ketika keadaan sekitarnya mulai sunyi. Jika tidak, lebih baik menjadi penulis lepas sehingga bisa bekerja sendiri di rumah.
Pendidikan yang diperlukan: semua jurusan
Teknisi ilmu forensik
Meskipun seorang penyidik kasus kejahatan harus berhadapan dengan banyak orang, pada saat lain mereka hanya menemui rambut, jaringan tubuh, atau sampel DNA. Kemudian, seorang petugas forensik lebih banyak bekerja di dalam laboratorium untuk membuat diagnosa penyebab kematian, waktu kematian, dan lain sebagainya. Jika Anda pernah menonton serial CSI, tentu Anda dapat melihat bagaimana seorang ahli forensik tampak begitu asyik saat bekerja.
Pendidikan yang diperlukan: kedokteran forensik
Analis biaya
Tak beda jauh dengan akuntan, seorang analis biaya membantu organisasi untuk meningkatkan keuntungan dengan memperbaiki efisiensi. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk bekerja secara independen sambil menyusun dan mengolah angka-angka. Kebutuhan akan tenaga analis biaya juga semakin meningkat. Menurut Departemen Tenaga Kerja, di Amerika akan ada kenaikan tuntutan tenaga analis biaya sebesar 15 persen pada 2018.
Pendidikan yang diperlukan: akuntansi/finance, bisnis
Desainer grafis/web
Sebelum mulai bekerja, mereka memang harus bertemu dengan klien untuk membahas apa yang diinginkan klien. Namun kebanyakan waktu kerja mereka digunakan untuk bekerja sendiri untuk mewujudkan keinginan klien dalam bentuk desain. Banyak yang memilih menjadi pekerja paruh waktu, dan tak sedikit yang memiliki perusahaan sendiri. Desainer grafis memang merupakan profesi yang berangkat dari passion, dan memungkinkan Anda untuk menciptakan sesuatu, dibayar, dan menikmati hasilnya sendiri. Pekerjaan ini juga memerlukan keahlian khusus, namun Anda yang berlatar pendidikan lain juga bisa menguasainya dengan belajar sendiri atau kursus.
Pendidikan yang diperlukan: desain komunikasi visual, advertising
Ahli perpustakaan
Seorang ahli perpustakaan bisa bekerja di sekolah, kampus, atau perusahaan pada umumnya. Sesekali ia akan bertemu orang yang berkaitan dengan peminjaman buku-buku atau pencarian informasi. Namun pada dasarnya seorang ahli perpustakaan akan bekerja sendiri untuk mengumpulkan, mengorganisasikan, dan menyebarluaskan sumber-sumber informasi yang ada di dalam perpustakaan.
Pendidikan yang diperlukan: ilmu perpustakaan, ilmu komputer
Anda punya alternatif profesi yang lain?
Sumber: Yahoo! Education
Bila Anda termasuk orang yang kurang suka terlibat dengan orang lain saat sedang menekuni pekerjaan, beberapa profesi berikut bisa menjadi pilihan.
Akuntan
Rasanya setiap pekerjaan di kantor tentu membutuhkan tatap muka dengan rekan kerja atau klien. Namun seorang akuntan akan lebih sering membenamkan diri dengan spreadsheet ketimbang menerima telepon atau menemui klien. Maklum saja, data keuangan dan pajak yang harus ditangani membuat seorang akuntan kekurangan waktu untuk ngobrol dengan teman, baik melalui telepon maupun bertemu langsung.
Pendidikan yang diperlukan: akuntansi/finance, administrasi bisnis, MBA
Programer komputer
Jarang sekali Anda melihat programer komputer membuat pemrograman sambil mendengarkan musik. Telecommuting juga bisa jadi pilihan di beberapa perusahaan. Jika Anda menguasai pemrograman, manajer Anda pasti akan cukup respek untuk tidak mengganggu Anda dengan hal-hal lain.
Pendidikan yang diperlukan: programming & software, ilmu komputer, teknologi informasi
Penulis
Menulis membutuhkan konsentrasi. Penulis harus punya kemampuan menahan diri dari godaan di sekitarnya dan tetap fokus dengan apa yang dilakukannya. Jika ia mudah tergoda untuk nimbrung obrolan orang-orang di sekitarnya, dan menghentikan pekerjaannya sesaat, maka ia harus membangun kembali konsentrasi yang sudah susah-payah dibangunnya. Itu sebabnya banyak penulis yang baru "melek" menjelang tengah malam untuk mulai menulis, ketika keadaan sekitarnya mulai sunyi. Jika tidak, lebih baik menjadi penulis lepas sehingga bisa bekerja sendiri di rumah.
Pendidikan yang diperlukan: semua jurusan
Teknisi ilmu forensik
Meskipun seorang penyidik kasus kejahatan harus berhadapan dengan banyak orang, pada saat lain mereka hanya menemui rambut, jaringan tubuh, atau sampel DNA. Kemudian, seorang petugas forensik lebih banyak bekerja di dalam laboratorium untuk membuat diagnosa penyebab kematian, waktu kematian, dan lain sebagainya. Jika Anda pernah menonton serial CSI, tentu Anda dapat melihat bagaimana seorang ahli forensik tampak begitu asyik saat bekerja.
Pendidikan yang diperlukan: kedokteran forensik
Analis biaya
Tak beda jauh dengan akuntan, seorang analis biaya membantu organisasi untuk meningkatkan keuntungan dengan memperbaiki efisiensi. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk bekerja secara independen sambil menyusun dan mengolah angka-angka. Kebutuhan akan tenaga analis biaya juga semakin meningkat. Menurut Departemen Tenaga Kerja, di Amerika akan ada kenaikan tuntutan tenaga analis biaya sebesar 15 persen pada 2018.
Pendidikan yang diperlukan: akuntansi/finance, bisnis
Desainer grafis/web
Sebelum mulai bekerja, mereka memang harus bertemu dengan klien untuk membahas apa yang diinginkan klien. Namun kebanyakan waktu kerja mereka digunakan untuk bekerja sendiri untuk mewujudkan keinginan klien dalam bentuk desain. Banyak yang memilih menjadi pekerja paruh waktu, dan tak sedikit yang memiliki perusahaan sendiri. Desainer grafis memang merupakan profesi yang berangkat dari passion, dan memungkinkan Anda untuk menciptakan sesuatu, dibayar, dan menikmati hasilnya sendiri. Pekerjaan ini juga memerlukan keahlian khusus, namun Anda yang berlatar pendidikan lain juga bisa menguasainya dengan belajar sendiri atau kursus.
Pendidikan yang diperlukan: desain komunikasi visual, advertising
Ahli perpustakaan
Seorang ahli perpustakaan bisa bekerja di sekolah, kampus, atau perusahaan pada umumnya. Sesekali ia akan bertemu orang yang berkaitan dengan peminjaman buku-buku atau pencarian informasi. Namun pada dasarnya seorang ahli perpustakaan akan bekerja sendiri untuk mengumpulkan, mengorganisasikan, dan menyebarluaskan sumber-sumber informasi yang ada di dalam perpustakaan.
Pendidikan yang diperlukan: ilmu perpustakaan, ilmu komputer
Anda punya alternatif profesi yang lain?
Sumber: Yahoo! Education
Thursday, December 1, 2011
Bersinar Saat Rapat
KOMPAS.com - Bagi sebagian orang, rapat adalah momen mengerikan yang selalu ingin dihindari. Namun sebenarnya, rapat justru ajang yang paling tepat untuk menunjukkan potensi, belajar dan mengembangkan diri. "Di sinilah kita dapat belajar cara menganalisis masalah. Rapat juga membuat kita bisa mempelajari cara berpikir orang lain, termasuk yang lebih senior," demikian alasan Rudy Arief, psikolog.
Rapat menjadi suatu hal yang penting dan tak boleh dilewatkan, karena tujuannya adalah untuk kemajuan perusahaan. Umumnya, dalam sebuah rapat dibahas evaluasi tentang kinerja yang telah dilakukan, analisis kekurangan dan kelemahan, strategi perencanaan, dan lain sebagainya. Untuk itu dibutuhkan ide dan pemikiran seputar langkah yang akan diambil oleh perusahaan, baik untuk jangka panjang ataupun jangka pendek.
Ide dan pemikiran dalam rapat inilah yang menurut Rudy, demikian ia biasa disapa, menjadi nilai tambah seorang karyawan di mata pimpinan. "Salah satu cara paling efektif untuk menunjukkan kemampuan kita agar diakui oleh perusahaan, ya, melalui meeting. Pada saat itulah biasanya pimpinan dapat mendengarkan dan mengamati langsung pola pikir kita," ujarnya.
Dengan berperan aktif saat rapat, kapasitas dan kualitas seorang karyawan dapat terlihat. Jika kapasitas tersebut dapat membantu perusahaan dalam mencapai tujuannya, tentu saja karier karyawan bersangkutan juga akan terdongkrak. Seorang karyawan yang memang memiliki kapasitas dan kualitas akan dianggap sebagai aset berharga perusahaan.
Untuk dapat bersinar dalam meeting, pria yang aktif di ADR Advisory ini mengatakan bahwa karyawan harus dapat mengemas dan mempresentasikan diri dengan baik. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut ini:
* Penampilan saat meeting. Jika memang rapat yang akan diadakan bersifat formal, sebisa mungkin berpenampilanlah yang rapi dan menarik. Selain dapat membuat peserta rapat terkesan, penampilan yang menarik juga akan menambah kepercayaan diri Anda saat mengemukakan pendapat atau mempresentasikan sesuatu. Penampilan yang baik juga akan menunjukkan bahwa Anda pekerja yang profesional, mampu memahami situasi, dan peduli pada citra perusahaan.
* Persiapkan dan pelajari materi, serta pahami permasalahan yang akan dibahas. Berbicara di depan umum dan berhadapan dengan banyak orang, apalagi ada pimpinan, buat sebagian orang mungkin sesuatu yang menakutkan dan butuh keberanian yang besar. Tetapi, tentu saja kewajiban untuk berperan aktif di dalam acara rapat kerap tidak dapat dihindari. Salah satu cara untuk meminimalkan ketakutan dan menambah kepercayaan diri adalah dengan menguasai semua topik pembicaraan yang akan dibahas.
Sebelumnya, lakukan persiapan dengan membuat bahan presentasi yang menarik, membuat catatan kecil yang berisi poin-poin yang ingin disampaikan, serta mempelajari semua bahan yang akan dipresentasikan. Sebelumnya analisis juga permasalahan yang ada, dan buat usulan strategi untuk pemecahan masalah. Dengan begitu, Anda akan lebih yakin karena benar-benar paham dengan topik yang sedang dibicarakan.
* Gunakan bahasa yang baik, lugas dan tidak bertele-tele. Saat rapat, jangan menjadi orang yang terlalu pendiam atau sebaliknya, terlalu bertele-tele. Utarakanlah ide dan pemikiran Anda dengan kalimat yang sistematis dan mudah dimengerti. Sampaikan sesuatu langsung pada inti atau pokok permasalahan. Jangan berbicara berputar-putar sehingga membuat orang bosan dan memakan banyak waktu. Jadilah orang yang konsisten pada perkataan, dan tetap fokus pada pokok pembicaraan.
Jika ingin menyampaikan sesuatu yang rumit dan membutuhkan penjelasan yang panjang, gunakan sistem poin-poin. Contohnya, "Saya akan menjelaskan hal berikut dalam lima poin. Pertama, ..., kedua ...," dan seterusnya. Hal ini akan mempermudah orang lain memahami yang Anda sampaikan, sekaligus mencegah interupsi dari peserta rapat lain sebelum penjelasan tersebut selesai diutarakan.
* Gunakan intonasi dan bahasa tubuh yang baik. Pahami benar situasi rapat. Gunakan bahasa tubuh dan intonasi yang mantap agar meyakinkan. Tetapi, jangan sampai terlihat terlalu percaya diri sehingga terkesan sombong. Berdiri atau duduklah dalam posisi tepat dan nyaman. Saat berbicara, jangan lupa melakukan kontak mata dengan setiap orang yang berada dalam ruangan.
*Berikan pemikiran, ide, atau solusi yang jelas dan dapat dilakukan. Hindari memberikan solusi atau ide yang abstrak. Kualitas dan kemampuan seseorang dilihat dari idenya yang cemerlang dan konkret. Artinya dapat diaplikasikan dan sesuai dengan kondisi perusahaan. Menyampaikan gagasan yang tidak masuk akal justru akan memperburuk citra. Ketika kita berbicara lagi, orang akan malas mendengarkan apa dikatakan. Jadi, perhatikan dan pertimbangkan dengan benar setiap gagasan. Jangan sekadar asal bicara agar terlihat aktif di dalam meeting.
Simak dan dengarkan pendapat orang lain dengan baik. Jika ingin orang lain mendengarkan ketika kita berbicara, jangan lupa untuk mendengarkan dan memberi perhatian juga pada orang lain yang sedang berbicara di depan. Dalam sebuah rapat kerja, Anda tak hanya dituntut untuk menjadi seorang pembicara yang baik, tapi juga seorang pendengar yang baik. Dengan menjadi pendengar yang baik, Anda akan lebih banyak mendapat masukan sebagai bahan tambahan untuk solusi atau ide.
(Ajeng Pinto)
Rapat menjadi suatu hal yang penting dan tak boleh dilewatkan, karena tujuannya adalah untuk kemajuan perusahaan. Umumnya, dalam sebuah rapat dibahas evaluasi tentang kinerja yang telah dilakukan, analisis kekurangan dan kelemahan, strategi perencanaan, dan lain sebagainya. Untuk itu dibutuhkan ide dan pemikiran seputar langkah yang akan diambil oleh perusahaan, baik untuk jangka panjang ataupun jangka pendek.
Ide dan pemikiran dalam rapat inilah yang menurut Rudy, demikian ia biasa disapa, menjadi nilai tambah seorang karyawan di mata pimpinan. "Salah satu cara paling efektif untuk menunjukkan kemampuan kita agar diakui oleh perusahaan, ya, melalui meeting. Pada saat itulah biasanya pimpinan dapat mendengarkan dan mengamati langsung pola pikir kita," ujarnya.
Dengan berperan aktif saat rapat, kapasitas dan kualitas seorang karyawan dapat terlihat. Jika kapasitas tersebut dapat membantu perusahaan dalam mencapai tujuannya, tentu saja karier karyawan bersangkutan juga akan terdongkrak. Seorang karyawan yang memang memiliki kapasitas dan kualitas akan dianggap sebagai aset berharga perusahaan.
Untuk dapat bersinar dalam meeting, pria yang aktif di ADR Advisory ini mengatakan bahwa karyawan harus dapat mengemas dan mempresentasikan diri dengan baik. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut ini:
* Penampilan saat meeting. Jika memang rapat yang akan diadakan bersifat formal, sebisa mungkin berpenampilanlah yang rapi dan menarik. Selain dapat membuat peserta rapat terkesan, penampilan yang menarik juga akan menambah kepercayaan diri Anda saat mengemukakan pendapat atau mempresentasikan sesuatu. Penampilan yang baik juga akan menunjukkan bahwa Anda pekerja yang profesional, mampu memahami situasi, dan peduli pada citra perusahaan.
* Persiapkan dan pelajari materi, serta pahami permasalahan yang akan dibahas. Berbicara di depan umum dan berhadapan dengan banyak orang, apalagi ada pimpinan, buat sebagian orang mungkin sesuatu yang menakutkan dan butuh keberanian yang besar. Tetapi, tentu saja kewajiban untuk berperan aktif di dalam acara rapat kerap tidak dapat dihindari. Salah satu cara untuk meminimalkan ketakutan dan menambah kepercayaan diri adalah dengan menguasai semua topik pembicaraan yang akan dibahas.
Sebelumnya, lakukan persiapan dengan membuat bahan presentasi yang menarik, membuat catatan kecil yang berisi poin-poin yang ingin disampaikan, serta mempelajari semua bahan yang akan dipresentasikan. Sebelumnya analisis juga permasalahan yang ada, dan buat usulan strategi untuk pemecahan masalah. Dengan begitu, Anda akan lebih yakin karena benar-benar paham dengan topik yang sedang dibicarakan.
* Gunakan bahasa yang baik, lugas dan tidak bertele-tele. Saat rapat, jangan menjadi orang yang terlalu pendiam atau sebaliknya, terlalu bertele-tele. Utarakanlah ide dan pemikiran Anda dengan kalimat yang sistematis dan mudah dimengerti. Sampaikan sesuatu langsung pada inti atau pokok permasalahan. Jangan berbicara berputar-putar sehingga membuat orang bosan dan memakan banyak waktu. Jadilah orang yang konsisten pada perkataan, dan tetap fokus pada pokok pembicaraan.
Jika ingin menyampaikan sesuatu yang rumit dan membutuhkan penjelasan yang panjang, gunakan sistem poin-poin. Contohnya, "Saya akan menjelaskan hal berikut dalam lima poin. Pertama, ..., kedua ...," dan seterusnya. Hal ini akan mempermudah orang lain memahami yang Anda sampaikan, sekaligus mencegah interupsi dari peserta rapat lain sebelum penjelasan tersebut selesai diutarakan.
* Gunakan intonasi dan bahasa tubuh yang baik. Pahami benar situasi rapat. Gunakan bahasa tubuh dan intonasi yang mantap agar meyakinkan. Tetapi, jangan sampai terlihat terlalu percaya diri sehingga terkesan sombong. Berdiri atau duduklah dalam posisi tepat dan nyaman. Saat berbicara, jangan lupa melakukan kontak mata dengan setiap orang yang berada dalam ruangan.
*Berikan pemikiran, ide, atau solusi yang jelas dan dapat dilakukan. Hindari memberikan solusi atau ide yang abstrak. Kualitas dan kemampuan seseorang dilihat dari idenya yang cemerlang dan konkret. Artinya dapat diaplikasikan dan sesuai dengan kondisi perusahaan. Menyampaikan gagasan yang tidak masuk akal justru akan memperburuk citra. Ketika kita berbicara lagi, orang akan malas mendengarkan apa dikatakan. Jadi, perhatikan dan pertimbangkan dengan benar setiap gagasan. Jangan sekadar asal bicara agar terlihat aktif di dalam meeting.
Simak dan dengarkan pendapat orang lain dengan baik. Jika ingin orang lain mendengarkan ketika kita berbicara, jangan lupa untuk mendengarkan dan memberi perhatian juga pada orang lain yang sedang berbicara di depan. Dalam sebuah rapat kerja, Anda tak hanya dituntut untuk menjadi seorang pembicara yang baik, tapi juga seorang pendengar yang baik. Dengan menjadi pendengar yang baik, Anda akan lebih banyak mendapat masukan sebagai bahan tambahan untuk solusi atau ide.
(Ajeng Pinto)
Menumbuhkan Rasa Percaya di Perusahaan
KOMPAS.com - Kita sering kecewa karena tidak adanya sinergi. Padahal, begitu banyak hal yang harus dibenahi dan tantangan untuk memperbaiki kinerja terus digaungkan sebagai urgensi. Tidak jarang kita melihat pejabat atau orang-orang penting di satu perusahaan menolak untuk bicara lebih dalam mengenai konflik yang terjadi. Padahal, di sisi lain, mereka bisa dengan santainya makan siang bersama-sama. Keterbukaan yang digembar-gemborkan para atasan sebagai “my door is open” kerap berupa slogan saja, namun tidak serius dijalankan.
Ketika atasan menyadari bahwa ide-ide, protes-protes, bahkan kekecewaan tidak “mengalir” ke mereka, para atasan ini tidak berusaha memperbaiki situasi. Bila keterbukaan tidak tumbuh di dalam tim dan antar individu, jangan heran bila kemudian yang tumbuh adalah atmosfir sindir-menyindir, salah menyalahkan, kelelahan, "loneliness", apatis, bahkan hilangnya inisiatif. Padahal, kita sangat menyadari, bahwa perbaikan prosedur dan proses bisnis tercanggih di dunia pun tidak bisa lancar tanpa adanya "rasa percaya" antar tim yang berakar secara mendalam pada masing-masing individu
Dunia kita makin kompleks, di mana tim dituntut bersinergi dalam rangka globalisasi dan desentralisasi. Di dunia kerja, makin maraknya "outsourcing" dan posisi pada setiap fungsi organisasi yang kerap berjauhan menjadikan setiap manajer ditantang untuk memimpin tim dari jarak jauh. Alat-alat monitoring, komunikasi secara cyber, dan segala macam elektronik tetap tidak bisa menggantikan hubungan tatap muka, sehingga kita menyadari kemungkinan tidak terkuaknya masalah, adanya kesalahan, salah pengertian dan tercampur aduknya masalah yang ujung-ujungnya tidak gampang untuk mengurainya kembali. Di satu pihak ada atasan yang mengatakan, “Jangan terlalu percaya pada anak buah. Anda harus turun tangan dan melakukan inspeksi sendiri”. Namun sebaliknya, kita sangat menyadari bahwa rasa percaya harus kita tumbuhkan bila ingin mengembangkan tim virtual begini.
Begitu pentingnya rasa percaya, sehingga berbagai disiplin ilmu, baik para neuroeconomist, behavioral economists, dan para psikolog sosial mempelajari berbagai teknik dan cara untuk mempelajari tumbuhnya rasa percaya. Namun, kita bisa menemui individu yang walaupun sangat berniat untuk mengembangkan rasa percaya ini, tetap tidak mudah mempercayai orang di sekitarnya. Bisa saja ia tidak percaya pada fairness dan keterbukaan atasannya sendiri, maupun tidak mempercayai apa yang dilaporkan anak buahnya. Bila saja separuh karyawan di sebuah organisasi mempunyai perasaan yang sama, bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya atmosifr kerja di lingkungan tersebut.
To trust is human
Pada mahluk lain, rasa percaya itu beroperasi secara intuitif, namun manusia mengembangkan rasa percaya sebagai fungsi otak. Segera setelah dilahirkan, bayi sudah bisa membaca mimik pengasuh atau ibunya, bahkan sudah memalingkan muka ke arah suara yang dikeluarkan ibunya. Seorang psikolog sosial mengatakan: “We’re born to be engaged and to engage others, which is what trust is largely about.” Meskipun para ahli juga menemukan bahwa ada zat tertentu yang secara rutin di produksi kelenjar tubuh kita yang berfungsi menghubungkan kondisi emosional dengan hubungan sosial yang positif, yaitu oksitosin, para ahli tetap berkeyakinan bahwa rasa percaya memang tumbuh secara rasional.
Hal lain yang perlu kita pahami juga adalah dari sebuah penelitian terhadap sejumlah mahasiswa, didapatkan bahwa, manusia mempunyai kecenderungan untuk menganggap bahwa penilaiannya benar. Dengan demikian, setiap individu cenderung tidak mengkonfirmasi ulang penilaiannya. Selain itu, manusia juga sering didominasi oleh ilusi semacam unrealistic optimism di mana keyakinan bahwa semua hal yang baik-baik akan terjadi pada dirinya. Hal ini kadang menghambat pikiran kita untuk melakukan cek dan ricek terhadap penilaian yang kita buat.
Disadari atau tidak, kita memang sering mempunyai kecenderungan yang menetap. Apakah terlalu curiga atau sebaliknya terlalu percaya. Tantangan kita adalah secara sadar menjaga, mengevaluasi dan menuntut penilaian kita untuk mengolah, bekerja keras, dan tidak mengambang.
Kirimkan sinyal
Pada tahun 1980-an, ketika komputer masih dianggap barang mahal, Hewlett Packard membuat kebijakan, bahwa karyawannya diijinkan membawa pulang laptopnya masing-masing untuk bekerja di rumah. Pesannya jelas. Perusahaan percaya pada karyawannya. Sinyal ini langsung mewarnai keyakinan karyawan akan perusahaannya dan seketika berdampak pula pada keyakinan karyawan pada anggota tim lain, seperti atasan dan teman kerjanya.
Rasa percaya memang beresiko. Bila kita melancarkan kritik, kita malah bisa dipukul balik. Bila kita menyampaikan “brutal facts”, tak jarang malah bernasib: “messenger get killed”. Curhat pada teman yang salah bisa berakibat gosip beredar. Namun untuk maju, kita tidak punya pilihan kecuali menumbuhkan rasa percaya pada rekan, atasan, perusahaan, dan juga negara. Sikap menghindar dan menjauhi orang yang tidak kita percaya, hanya akan berakibat turunnya kinerja tim dan ketidaknyamanan situasi kerja.
John F. Kennedy pernah membuktikan bahwa mengembangkan sikap saling percaya berhasil menumbuhkan kolaborasi positif. Dalam pidatonya di sebuah universitas di Amerika pada tahun 1963, ia mengemukakan tentang sifat baik orang Rusia dan betapa ia ingin bekerja sama dengan pemerintah Rusia di bidang persenjataaan nuklir. Pernyataan ini membuat Nikita Khrushchev terkesan dan akhirnya membuka hubungan diplomatik. Dari sini kita belajar bahwa pesan dan sinyal bahwa kita bisa dipercaya dan bisa mempercayai orang lain perlu dilakukan secara sengaja dan juga penuh kesadaran sehingga pihak lain pun sadar bahwa kita tidak main-main ingin membangun rasa percaya.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Ketika atasan menyadari bahwa ide-ide, protes-protes, bahkan kekecewaan tidak “mengalir” ke mereka, para atasan ini tidak berusaha memperbaiki situasi. Bila keterbukaan tidak tumbuh di dalam tim dan antar individu, jangan heran bila kemudian yang tumbuh adalah atmosfir sindir-menyindir, salah menyalahkan, kelelahan, "loneliness", apatis, bahkan hilangnya inisiatif. Padahal, kita sangat menyadari, bahwa perbaikan prosedur dan proses bisnis tercanggih di dunia pun tidak bisa lancar tanpa adanya "rasa percaya" antar tim yang berakar secara mendalam pada masing-masing individu
Dunia kita makin kompleks, di mana tim dituntut bersinergi dalam rangka globalisasi dan desentralisasi. Di dunia kerja, makin maraknya "outsourcing" dan posisi pada setiap fungsi organisasi yang kerap berjauhan menjadikan setiap manajer ditantang untuk memimpin tim dari jarak jauh. Alat-alat monitoring, komunikasi secara cyber, dan segala macam elektronik tetap tidak bisa menggantikan hubungan tatap muka, sehingga kita menyadari kemungkinan tidak terkuaknya masalah, adanya kesalahan, salah pengertian dan tercampur aduknya masalah yang ujung-ujungnya tidak gampang untuk mengurainya kembali. Di satu pihak ada atasan yang mengatakan, “Jangan terlalu percaya pada anak buah. Anda harus turun tangan dan melakukan inspeksi sendiri”. Namun sebaliknya, kita sangat menyadari bahwa rasa percaya harus kita tumbuhkan bila ingin mengembangkan tim virtual begini.
Begitu pentingnya rasa percaya, sehingga berbagai disiplin ilmu, baik para neuroeconomist, behavioral economists, dan para psikolog sosial mempelajari berbagai teknik dan cara untuk mempelajari tumbuhnya rasa percaya. Namun, kita bisa menemui individu yang walaupun sangat berniat untuk mengembangkan rasa percaya ini, tetap tidak mudah mempercayai orang di sekitarnya. Bisa saja ia tidak percaya pada fairness dan keterbukaan atasannya sendiri, maupun tidak mempercayai apa yang dilaporkan anak buahnya. Bila saja separuh karyawan di sebuah organisasi mempunyai perasaan yang sama, bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya atmosifr kerja di lingkungan tersebut.
To trust is human
Pada mahluk lain, rasa percaya itu beroperasi secara intuitif, namun manusia mengembangkan rasa percaya sebagai fungsi otak. Segera setelah dilahirkan, bayi sudah bisa membaca mimik pengasuh atau ibunya, bahkan sudah memalingkan muka ke arah suara yang dikeluarkan ibunya. Seorang psikolog sosial mengatakan: “We’re born to be engaged and to engage others, which is what trust is largely about.” Meskipun para ahli juga menemukan bahwa ada zat tertentu yang secara rutin di produksi kelenjar tubuh kita yang berfungsi menghubungkan kondisi emosional dengan hubungan sosial yang positif, yaitu oksitosin, para ahli tetap berkeyakinan bahwa rasa percaya memang tumbuh secara rasional.
Hal lain yang perlu kita pahami juga adalah dari sebuah penelitian terhadap sejumlah mahasiswa, didapatkan bahwa, manusia mempunyai kecenderungan untuk menganggap bahwa penilaiannya benar. Dengan demikian, setiap individu cenderung tidak mengkonfirmasi ulang penilaiannya. Selain itu, manusia juga sering didominasi oleh ilusi semacam unrealistic optimism di mana keyakinan bahwa semua hal yang baik-baik akan terjadi pada dirinya. Hal ini kadang menghambat pikiran kita untuk melakukan cek dan ricek terhadap penilaian yang kita buat.
Disadari atau tidak, kita memang sering mempunyai kecenderungan yang menetap. Apakah terlalu curiga atau sebaliknya terlalu percaya. Tantangan kita adalah secara sadar menjaga, mengevaluasi dan menuntut penilaian kita untuk mengolah, bekerja keras, dan tidak mengambang.
Kirimkan sinyal
Pada tahun 1980-an, ketika komputer masih dianggap barang mahal, Hewlett Packard membuat kebijakan, bahwa karyawannya diijinkan membawa pulang laptopnya masing-masing untuk bekerja di rumah. Pesannya jelas. Perusahaan percaya pada karyawannya. Sinyal ini langsung mewarnai keyakinan karyawan akan perusahaannya dan seketika berdampak pula pada keyakinan karyawan pada anggota tim lain, seperti atasan dan teman kerjanya.
Rasa percaya memang beresiko. Bila kita melancarkan kritik, kita malah bisa dipukul balik. Bila kita menyampaikan “brutal facts”, tak jarang malah bernasib: “messenger get killed”. Curhat pada teman yang salah bisa berakibat gosip beredar. Namun untuk maju, kita tidak punya pilihan kecuali menumbuhkan rasa percaya pada rekan, atasan, perusahaan, dan juga negara. Sikap menghindar dan menjauhi orang yang tidak kita percaya, hanya akan berakibat turunnya kinerja tim dan ketidaknyamanan situasi kerja.
John F. Kennedy pernah membuktikan bahwa mengembangkan sikap saling percaya berhasil menumbuhkan kolaborasi positif. Dalam pidatonya di sebuah universitas di Amerika pada tahun 1963, ia mengemukakan tentang sifat baik orang Rusia dan betapa ia ingin bekerja sama dengan pemerintah Rusia di bidang persenjataaan nuklir. Pernyataan ini membuat Nikita Khrushchev terkesan dan akhirnya membuka hubungan diplomatik. Dari sini kita belajar bahwa pesan dan sinyal bahwa kita bisa dipercaya dan bisa mempercayai orang lain perlu dilakukan secara sengaja dan juga penuh kesadaran sehingga pihak lain pun sadar bahwa kita tidak main-main ingin membangun rasa percaya.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Subscribe to:
Posts (Atom)
Related Posts
-
Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA. (twitter@andrewenas) Bisnis berkembang, organisasi bertumbuh alias karyawan tambah banyak, terjadi p...
-
Kamar mandi / toilet biasanya dilengkapi dengan perlengkapan untuk buang air kecil maupun besar. Kamar mandi yang dilengkapi dengan urina...
-
Laporan Tracer Study ITB Sarjana yang dirilis tahun 2023 memberikan gambaran menarik mengenai bonus tahunan yang diterima oleh alumni ITB. D...
-
Performa Industri: Quality, Productivity, Safety, Cost. Manakah yang perlu diprioritaskan? Banyak sekali metode-metode yang dapat dipakai un...
-
Salah satu senjata ampuh para eksekutif untuk meningkatkan kariernya kini adalah dengan menempuh jalur pendidikan keprofesian bersertifi...