Sunday, September 16, 2012

Global Resources: Medan Perang Masa Depan?

Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter: @andrewenas)

“Food, water, energy, and metals: Keep up the supply of those four essentials, throw in some clean air and a peaceful disposition, and – short of a Hollywood-style ‘2012’ cataclysm – the world will run smoothly forever. That’s the theory, anyway, for the twenty-first century optimists. The reality is that a secure supply of the first four essentials is far from assured.” – Geoff Hiscock, Earth Wars: The Battle for Global Resources, 2012.

***

Gonjang-ganjing soal kedele, bahkan ada yang sampai bilang, “Masa sih negeri tempe masih mengimpor kedele?” Namun begitulah kenyataannya. Dalam pertimbangan strategis, pertanyaannya jadi: apakah saat ini Indonesia bisa menghentikan impor kedele? Dan dalam jangka panjang apakah Indonesia perlu swasembada kedele? Begini latar belakangnya: tahun ini konsumsi (demand) kedele kita sekitar 2,5 juta ton, sedangkan produksi kedele lokal (supply) hanya sekitar 700 – 800 ribu ton saja. Jadi ada defisit pasokan sebesar 1,7 – 1,8 juta ton per tahunnya. Jadi Indonesia memang perlu mengimpor kedele demi memenuhi kebutuhan konsumsi lokalnya. Lalu apakah kita bisa menghentikan impor kedele, jawabnya tentu bisa saja, asal seketika kita juga mau mengubah pola konsumsi dengan mengurangi secara drastis asupan yang mengandung kedele (tempe, tahu, dll). Lalu pemerintah memang mengunci impornya. 

Konsekuensinya, dalam masa transisi ini harga kedele lokal akan sangat mahal akibat kecilnya supply dibanding demand-nya. Apakah solusi ini realistis dan workable? Mengingat produk-produk turunan kedele (misalnya ampas kedele) juga dibutuhkan untuk pakan ternak yang daging dan susunya sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan asupan protein bagi rakyat. Kalau produk turunan ini jadi mahal, maka secara overall, ongkos asupan protein bagi bangsa juga naik tinggi sekali. Dampak inflatoir bakal melambung lepas kendali.

Soal swasembada kedele. Dengan produktivitas lahan di Indonesia yang ditanami kedele cuma sekitar 800 kg sampai 1 ton per hektarnya tentu tidak bakal bisa melawan efisiensi akibat produktivitas kedele yang ditanam di USA yang bisa mencapai 5 ton per hektar! Sehingga di titik ini seyogianya kita segera berpikir ulang menyusun blue-print ketahanan pangan bangsa. Bijaksana memilih komoditas-komoditas pangan utama yang memang memiliki nilai keekonomian tinggi untuk menang bersaing dalam konteks global. Pelaku usaha (swasta maupun BUMN) mesti didukung penuh ekstensifikasi maupun intensifikasinya.

***

Di bidang energi PR kita juga berjibun. Ketahanan bangsa di bidang energi masihlah sangat lemah. Keprihatinan ini sudah dibahas di pelbagai forum, media dan jurnal ilmiah.

Dalam ulasan kritisnya, Geoff Hiscock (Earth Wars: The Battle for Global Resources, 2012) menjelaskan, lantaran kemajuan pembangunan di India dan China yang jumlah kombinasi penduduknya mencapai 2,5 miliar orang, juga dengan kecepatan pertumbuhan ekonomi di kisaran 7% - 10% telah dan bakal terus makin menyedot sumber-sumber daya energi, pangan, metal, dan air bersih. Ini demi menjamin kelangsungan pertumbuhan tinggi (ekonomi berbasis industri dan agrikultur) mengejar kesetaraan posisi dengan negara-negara di Amerika Utara, Jepang dan Eropa (barat). Perlombaan untuk mengamankan pasokan mineral langka (rare-earth) misalnya, telah merambah ke kancah mondial. Perusahaan tambang dan mineral mereka telah menancapkan kukunya bahkan sampai ke Amerika.

Faktor lain yang memicu India dan China meningkat agresivitasnya di kancah perebutan sumber daya global adalah pertumbuhan kelas menengahnya. Ini menciptakan demand yang tinggi untuk kendaraan bermotor, ditambah lagi pertumbuhan cepat di negera-negara berkembang tier kedua seperti: Mexico, Brazil, Russia, Indonesia, Turki, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Thailand.

Ada ratusan juta orang juga yang telah berhasil dientaskan dari kemiskinan di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Pengentasan ini telah memampukan mereka bukan hanya membeli makanan primer (pokok), tapi juga makanan sekunder (tambahannya). Peningkatan taraf hidup di pelbagai negara ini juga berarti peningkatan konsumsi makanan dan air bersih. Akibatnya penggunaan pupuk juga naik, dan ini menambah kekhawatiran bahwa pangan dan air bakal semakin menjadi langka (scarcity).

Ditengarai bahwa konflik perbatasan dan ambisi teritorial di beberapa negara telah ditunggangi oleh kekuatan-kekuatan besar yang bermaksud menguasai cadangan-cadangan minyak. Negara pengguna sumber energi terbesar seperti China, USA, India, Russia dan Jepang sangatlah concern dengan keamanan jalur laut yang dilewati kapal-kapal penyuplai sumber energi mereka. Ada sekitar 70 persen perdagangan dunia melintas di samudera Hindia di antara Timur Tengah dan Asia Pasifik. Seperempat perdagangan minyak mentah dunia melewati Selat Malaka yang panjangnya 800 kilometer diantara Sumatera dan semenanjung Malaysia. Jalur ini lalu menyempit di Selat Singapura yang cuma berjarak 2,4 kilometer lebarnya, dan selat ini merupakan pintu masuk ke laut China Selatan.

Semua concern tentang keamanan jalur-jalur pasokan ini ikut mendorong upaya-upaya diversifikasi tempat dimana sumber daya ini diperoleh. Maka Indonesia, Afsel, negara-negara Asia Tengah seperti Kazakhstan, Tajikistan, Kyrgystan, Uzbekistan, Turkmenistan, sampai perairan Arctic merupakan sasaran kepentingan investasi perusahaan minyak dan pertambangan dunia.

***

Di tengah perlombaan pengamanan pasokan energi, pangan, metal dan air bersih global, kita berharap Indonesia Incorporated bisa segera mengentaskan dirinya dari urusan non (bahkan kontra) produktif seperti soal SARA, fundamentalisme agama, dan kesibukan di kantor KPK. Sehingga para perencana pembangunan, state apparatus, strategists dan eksekutif di korporasi swasta maupun BUMN bisa mengerahkan usahanya demi juga mengamankan sumber-sumber daya energi, pangan, metal dan air bersih di segala penjuru bumi. Ini yang bakal menjamin survival kita di medan perang masa depan.

(twitter@andrewenas)
---------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING edisi September 2012

STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES

No comments:

Post a Comment

Related Posts