Eniya Listiani Dewi: Ahli Rekayasa Teknologi Sel Bahan Bakar & Hidrogen
Peraih Mizuno Award, Koukenkai Award & Habibie Award 2010
"...Hidrogen bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan listrik, bahan bakar kendaraan dan lainnya. Dengan bahan bakar hidrogen, motor tidak mengeluarkan asap, tapi air murni....” jelas Eniya
Satu di antara empat penerima Habibie Award yang menerima penghargaannya di hari ulang tahun The Habibie Center, pada 30 November 2010 adalah Eniya Listiani Dewi, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Ia merupakan penerima Habibie award termuda sepanjang sejarah Habibie award.
Penghargaan ini dikantunginya bersama dengan 19 penghargaan lain, baik dari Indonesia maupun dari Jepang, karena keberhasilannya menemukan katalis baru untuk sel bahan bakar. Eniya mendapatkan penghargaan Habibie 2010 di bidang ilmu rekayasa.
Karya perempuan kelahiran 14 Juni 1974 ini berkisar pada lingkup elektrokimia, suatu cabang ilmu kimia yang berkaitan dengan potensi listrik dan energi. Penelitiannya adalah tentang sel bahan bakar berbasis hidrogen yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi baru yang ramah lingkungan.
Salah satu karya yang mengawali kiprahnya di bidang sel bahan bakar adalah penemuan katalis baru untuk sel bahan bakar. Penemuan tersebut menurutnya adalah sebuah inovasi yang ditemukan secara kebetulan.
“Saya kan kalau sedang eksperimen suka saya tinggal waktu makan siang. Saya pikir kan tidak masalah. Nah, waktu itu ketika saya melihat hasil eksperimen setelah saya tinggal, kok jadinya berbeda, ternyata perbedaan malah jadi inovasi,” terang Eniya. Polimer yang terbentuk menjadi terdiri dari 10 penyusun, padahal harusnya ada 2 penyusun.
Dari hasil karya yang kebetulan tersebut, perempuan yang menyelesaikan gelar doktor dari Fakultas Aplikasi Kimiawi, Polimer, Katalis dan Sel Bahan Bakar Waseda University, Jepang ini meraih beragam penghargaan, termasuk Mizuno Awards dan Koukenkai Awards dari Waseda University dan Polymer Society Japan pada tahun 2003.
Karya terbarunya adalah ThamriON, sebuah membran sel bahan bakar temuannya yang baru saja mendapatkan penghargaan Inovasi Paten dari Ditjen HKI 2010. “Prinsipnya, ThamriON tersebut adalah membran sel bahan bakar yang terbuat dari plastik yang direaksikan dengan asam sulfat. Karena telah direaksikan, maka plastik bisa menghantarkan listrik,” ungkapnya.
Nama ThamriON sendiri punya sejarah tersendiri. “Saya kan bekerja di Jalan MH Thamrin Jakarta jadi nama itu saya ambil untuk nama karya saya. Kalau ON sendiri berasal dari kata ion, karena plastiknya bisa jadi menghasilkan ion,” terangnya sambil tertawa mengenang penamaan hasil karyanya.
Teknologi sel bahan bakar dan bahan pendukung lain hasil risetnya di kembangkan 80 persen dari material lokal, sehingga biayanya lebih murah. Dengan proses manufaktur secara mandiri, sel bahan bakar yang tersebut telah diterapkan untuk menyalakan perangkat elektronik dan sepeda motor dengan kapasitas 500 Watt.
Untuk mengembangkan proses produksi dan penyimpanan bahan bakar, Eniya bekerja sama dengan berbagai pihak. “Ada Teknik Kimia UGM, Pusat Teknologi Bioindustri, industri polimer dan baterai,” ungkap Kepala Perekayasaan Sel Bahan Bakar di BPPT ini.
Eniya adalah putri pertama dari pasangan Hariyono (alm) dan Sri Ningsih, berasal dari kota Magelang, Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia teknologi dan lingkungan sudah ada sejak ia masih duduk di bangku SMA Negeri 1 Magelang.
“Sejak saya SMA, saya sudah tertarik pada hal-hal yang berbau sains dan ramah lingkungan. Waktu itu, kalau mengarang, saya selalu menulis tema-tema teknologi dan isu ramah lingkungan,” ujarnya yang sebenarnya lebih menyukai ilmu fisika daripada kimia.
Setelah lulus SMA, ia beruntung dapat memperoleh beasiswa lewat program Science and Technology Advance Industrial Development (STAID) Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Ia kemudian melanjutkan pendidikan S-1 ke Waseda University.
Pendidikan strata dua dan tiga ia lanjutkan dengan beasiswa dari lembaga lain. Total masa pendidikan yang ia butuhkan untuk mencapai gelar doktor adalah 10 tahun, berawal dari tahun 1993 hingga tahun 2003.
Salah satu ambisi terbesarnya adalah mewujudkan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan dari bahan hidrogen. “Bahan hidrogen ini sangat berpotensi, bisa diproduksi dari berbagai macam sumber, termasuk biomassa,” terangnya. Ambisi tersebut diperoleh setelah melihat pengembangan kota Fukuoka, Jepang yang mengaplikasikan hidrogen sebagai sumber energi.
Hidrogen bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan listrik, bahan bakar kendaraan dan lainnya.“Dengan bahan bakar hidrogen, motor tidak mengeluarkan asap, tapi air murni,” jelas Eniya.
Ide Eniya dalam pemakaian hidrogen sebagai sumber bahan bakar juga dipresentasikan dalam 7th Biomass Asia Workshop yang berlangsung di gedung BPPT, 29 November 2010.
sumber : indonesiaproud.wordpress.com
Wanita di antara katoda dan anoda
Pekan lalu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menggelar seminar teknologi fuel cell yang didukung beberapa perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas serta agen tunggal pemegang merek (ATPM).
Fuel cell atau sel bahan bakar bukan hal yang baru karena sudah ditemukan ilmuwan Inggris, Francis Bacon, pada 1930. Secara sederhana, cara kerjanya mirip aki. Pada fuel cell terdapat dua lapis elektroda dan elektrolit (zat) yang akan membiarkan ion lewat, namun menahan elektron.
Pada anoda dialirkan H2 (hidrogen) kemudian logam platina (Pt) pada anoda bekerja sebagai katalis, ‘mengambil’ elektron dari atom hidrogen. Ion H+ yang terbentuk akan melewati elektrolit, sedangkan elektron tetap tertinggal di anoda.
Sementara itu, di katoda, oksigen dialirkan. Kemudian, ion H+ yang melewati elektrolit akan berikatan dengan oksigen menghasilkan air dengan bantuan platina yang terkandung pada katoda sebagai katalis.
Reaksi ini akan berlangsung jika ada elektron. Pada anoda, elektron tertinggal, sedang di katoda elektron dibutuhkan. Sehingga, jika anoda dan katoda dihubungkan, elektron akan mengalir. Limbah reaksi ini berupa air (H20) yang aman untuk langsung diteguk.
Sepintas sederhana, tapi untuk membuatnya butuh pengetahuan material mumpuni. Salah satunya adalah Eniya Listiani Dewi. Perempuan alumnus Departemen Kimia Terapan Universitas Waseda, Tokyo, yang mengepalai tim pengembangan fuel cell BPPT.
Dari tangannya lahir fuel cell dengan kandungan lokal 80% yang sudah mampu menghasilkan 20 Watt. Hingga akhir tahun ini dia menargetkan fuel cell ciptaannya bisa menghasilkan 50 Watt dengan ukuran makin kompak.
Sepintas memang masih jauh untuk berbicara soal produksi massal dari fuel cell itu. Misalnya untuk catu daya telepon genggam, komputer jinjing, apalagi mimpi memiliki mobil listrik dalam negeri secanggih mobil-mobil fuel cell luar negeri.
Namun, dari bisik-bisik tamu yang hadir, isi di dalam kotak sel bahan bakar itu sudah menerbitkan kekhawatiran dari negara lain. Sebab teknologi membran electrode assembly (MEA), yang merupakan kunci dalam proses konversi energi dari energi kimia menjadi energi listrik itu asli Indonesia dan sudah selangkah lebih maju dibandingkan teknologi negara lain.
Lebih murah
Kekhawatiran itu muncul sebab membran hidrokarbon bermaterial lokal itu itu dapat menurunkan biaya produksi hingga 85% dibandingkan membran komersial yang kini beredar di pasaran. Sekotak fuel cell ciptaan Eniya itu hanya berharga Rp25 juta.
“Kalau nanti bisa diproduksi secara massal, bisa ditekan hingga 80%-85% dari harga saat ini. Sekarang masih mahal tapi kita sudah menemukan sistemnya. Jadi bisa terus dipermurah,” tutur ibu empat anak ini.
Satu tantangan yang masih harus dicari solusi perempuan penerima grant dari Japan Society of Promotion of Science 2000-2003 ini adalah meningkatkan ketahanan membran polimer ciptaannya itu yang kini baru bisa dipakai seumur lampu pijar biasa atau 4.000 jam.
Menurut dia, mengetahui sistem jauh lebih penting daripada produksinya. Hal itu merujuk kasus sistem sel matahari (photovoltaic) yang sudah 25 tahun diterapkan di Tanah Air tapi tak dikuasai teknologinya. Hasilnya Indonesia hanya bisa terus menerus mengimpor.
Sayangnya, meski fuel cell berpotensi besar, pemerintah tak kunjung mengucurkan dana penelitian yang mencukupi. Dari dana ideal sebesar Rp50 miliar, tahun ini pemerintah hanya mengucurkan dana Rp1 miliar dan tahun depan Rp3 miliar.
Meski diberi modal seadanya dan cibiran peneliti BPPT lain, Eniyati tetap optimistis. Apalagi kini teknologi nano di Indonesia makin pesat sehingga perkakas fuel cell yang dihasilkannya bisa makin imut dan perkasa.
Menurut dia, pengembangan sel bahan bakar hidrogen dalam satu dekade ke depan sangat penting. Ini bisa dilihat dari keseriusan banyak industri otomotif dan generator yang makin terkonsentrasi pada teknologi ini.
Salah satu contohnya adalah perlombaan produsen kendaraan untuk mengaplikasikannya secara hibrid dengan mesin bakar atau bahkan 100% berbahan bakar hidrogen.
Eropa bahkan sudah berencana mengaplikasikannya untuk sarana transportasi massal mereka sementara Jepang pada kendaraan-kendaraan pribadi di perkotaan.
Malaysia pantas diberi tanda tebal. Jiran kita adalah satu negara Asean yang bernafsu mempercepat alih teknologi ini. Mereka bahkan sampai harus menggandeng raksasa Jerman Mercedes Benz yang melakukan riset dan penerapan fuel cell pada produk kendaraan masa depan mereka.
Meski kini Malaysia tertinggal namun Eniya mengingatkan semua pihak terkait kasus sel surya. Indonesia lebih dulu menggunakan tapi tertinggal dalam teknologi pembuatan. Hasilnya kini Malaysia sejajar dengan negara lain dan mengekspor sel matahari tersebut.
Rasanya kekhawatiran Eniya patut dicermati. Dulu Malaysia belajar perminyakan ke Indonesia, kini mereka mengekspornya pada mantan gurunya. Mereka juga tertinggal dalam urusan teknologi mobil, belakangan justru Proton yang melenggang di Tanah Air.
Bagaimana kemajuan rekayasa Indonesia? Setelah PT DI yang membuat Malaysia terperangah dipreteli, faktanya kini tinggal ‘teknologi’ pembantu rumah tangga murah saja yang masih bisa dibanggakan Indonesia pada Malaysia. Ironis!
sumber : *Bisnis Indonesia Edisi: 19/09/2007
Adapun Eniya Lestiyani Dewi, yang lahir di Magelang pada 1974, kini terus menyempurnakan motor fuel cell. Perangkat energi ini mampu menghasilkan 500 watt listrik dan dapat membawa lari sebuah sepeda motor hingga 60 kilometer per jam. Bahan bakarnya cuma 28 liter hidrogen dari tabung berukuran 20 sentimeter dengan diameter 10 cm, yang memadatkan hidrogen hingga 740 liter.
Eniya adalah perekayasa pada Pusat Teknologi Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Dia memimpin 40 ahli BPPT untuk proyek motor fuel cell. Pada 2003, dia masuk ke lembaga riset ini setelah 10 tahun kuliah di Departemen Kimia Terapan, Universitas Waseda, Jepang. Sebenarnya bisa saja dia menjadi pengusaha atau bekerja di perusahaan swasta. “Ketika itu BPPT membuat proyek fuel cell yang sesuai studi dan menarik perhatian saya,” kata penerima penghargaan The Japan Polymer Society 2009 dan ASEAN Outstanding Achievement Award 2006 ini.
Awalnya Eniya cuma mendapatkan dana Rp 80 juta untuk proyek tersebut. Proyek ini berhasil sehingga dana yang lebih besar mulai mengalir. Motor fuel cell yang menggunakan hidrogen sebagai bahan bakar utamanya itu telah terkandung muatan lokal hingga 80 persen. Eniya berupaya mematenkannya. Namun, dia menilai pemerintah belum serius mengembangkan energi alternatif.
“Di Jepang, pemerintah memberikan subsidi bagi warga yang memakai energi ini,” katanya
sumber : ppijepang.org
http://kickdahlan.wordpress.com/2012/08/13/eniya-listiani-dewi-ahli-rekayasa-teknologi-sel-bahan-bakar-hidrogen/