Wednesday, December 24, 2014

Merek Sebagai Ideologi

Oleh: Andre Vincent Wenas


“Ideologies are patterned clusters of normatively imbued ideas and concepts, including particular representations of power relations. These conceptual maps help people navigate the complexity of their political universe and carry claims to social truth.” -  Paul James & Manfred Steger, Globalization and Culture, Vol.4: Ideologies of Globalism, Sage Publications, 2010.
***
     Gerak anomali di tengah anjloknya bursa saham global awal Oktober lalu, saham Coca-Cola justru terdongkrak naik. Bahkan mencatat rekor tertinggi sejak 16 tahun terakhir, yaitu US$ 44,47 per lembar saham (Jumat 10/10). Fenomena naiknya harga saham ini tambah menarik lantaran secara fundamental kinerja Coca-Cola sendiri rada melempem. PER (price to earning ratio) nya ‘cuma’ 22,8 kali, ini lebih rendah dibanding PER di tahun 1998 yang 59 kali.

     Tak luput jadi sasaran tembak, Muhtar Kent, sang CEO Coca-Cola pun dituduh lamban dalam melakukan efisiensi, ia pun akhirnya dipecat. Pemecatan ini rupanya membawa angin segar bagi kalangan investor yang masih fanatik (percaya) dengan brand Coca-Cola yang reputasinya tercatat senantiasa mampu memberi return secara konsisten dalam jangka panjang. Misalnya Ali Dibadj, seorang analis dari Sanford C. Bernstein yang memberi pernyataannya via Bloomberg, “Kepercayaan diri investor terhadap Coca-Cola telah kembali. Mereka memanfaatkan situasi pasar sekaligus percaya bahwa Coca-Cola bisa melakukan penghematan.”

     Sementara itu rival abadinya, Pepsi-Cola, tercatat bisa membukukan performa fundamental yang lebih baik. Sejak akhir tahun lalu (year to date)  harga saham Pepsi sudah naik 14%, atau dua kali lipat dibanding harga saham Coca-Cola yang juga naik sebesar 7,6%. Adu program efisiensi sementara dimenangkan Pepsi, yang telah mencanangkan rencana penghematan US$ 5 milyar (untuk kurun 2015 – 2020). Sedangkan Coca-Cola baru menyatakan akan menghemat US$ 1 milyar di tahun 2016 nanti.
***
     Sebagai nilai utama pemasaran, brand memainkan peran imperatif dalam bisnis. Jangkar merek yang kuat ekuitasnya bersauh di kedalaman batu karang emosi manusia. Dari studi psikologi kita tahu bahwa kebanyakan keputusan konsumen pada akhirnya diambil berdasarkan dorongan emosional. “Image is reality. It is the result of our actions. If the image is false and our performance is good, it’s our fault being bad communicators. If the image is true and reflects our bad performance, it’s our fault for being bad managers. Unless we know our image we can neither communicate nor manage,” begitu ujar David Bernstein yang menekankan pentingnya pengelolaan merek dengan baik dan serius.

     Sebagai indikator nilai, brand mencuat ke permukaan. Namun indikator nilai ini tidaklah berdiri sendiri di ruang vakum, ia sebetulnya dengan kokoh ditopang oleh setiap perilaku organisasi yang kinerjanya ditentukan oleh totalitas orang (agent) yang berada di dalam dinamika strukturnya. Tiang penyangga ini adalah jalinan pelbagai proses organisasi yang menghasilkan setiap moment-of-truth layanan (service) kepada pelanggan. Setiap erosi pada tiang penyangga ini pada akhirnya akan berujung pada robohnya kekuatan merek.

     Merek pada instansi terakhirnya bukan lagi berperan sebagai tanda pengenal saja, ia juga berfungsi sebagai tanda pembeda dan bahkan berujung sebagai ideologi bagi konsumen. Diterima ‘kebenaran’nya tanpa perlu dipertanyakan lagi asumsi-asumsi (QCD: Quality, Cost, Delivery) yang mendasarinya. Itulah yang berlaku pada para loyalis merek tertentu. Merek berperan sebagai peta konseptual yang membantu orang bernavigasi dalam kompleksitas persaingan di dunia pemasaran. Loyalis merek bisa meng-klaim kebenaran sosialnya sebagai yang paling benar, dan itu memudahkan dirinya dalam menentukan pilihan.

***

     Coca-Cola dan Pepsi-Cola adalah dua merek global yang perseteruan abadinya telah membuat keduanya terus menerus menjadi waspada, kedalam untuk selalu melakukan efisiensi, dan keluar untuk senantiasa memastikan bahwa dinamika organisasinya bisa menciptakan moment-of-truth yang positif dengan para konsumen di pasar komersial, dan juga dengan para investornya di pasar finansial.

     Dari kedua raksasa merek ini, dunia pemasaran telah belajar banyak sekali. Indonesia yang baru saja memasuki era baru, yaitu era ‘Kerja Keras & Proses’, meninggalkan era lama, yaitu era ‘Pencitraan’. Karena kita sadar sekarang sepenuhnya bahwa merek yang kuat citranya hanya bisa dibangun jika ditopang oleh tiang penyangga yang kokoh, yakni jalinan kerja keras di pelbagai proses organisasi yang menghasilkan moment-of-truth layanan (service) kepada pelanggan (rakyat). Setiap erosi pada tiang penyangga ini, atau pencitraan yang palsu pada akhirnya akan berujung pada robohnya atau rusaknya merek itu sendiri.

     Selamat memasuki era ‘Kerja Keras dan Proses’ membangun Indonesia Raya menjadi Indonesia Hebat.


(twitter@andrewenas)
-------------------------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING edisi Desember 2014

STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Emai: strategicmanagementservices@yahoo.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts