Friday, August 17, 2012

Caveat bagi Indonesia Inc.!

Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter@andrewenas)


“Sapere aude! (beranilah berpikir mandiri!)” – semboyan abad pencerahan Eropa.

***

    Disaat sukubunga simpanan rata-rata di kawasan Eropa ada di kisaran titik 
nadir (sekitar 1%, bahkan kurang), maka – diduga – banyak “uang nganggur” dari 
para trilyuner Indonesia (juga pemodal asing) yang (kembali) diparkir di 
Indonesia yang nota bene masih menawarkan suku bunga deposito yang jauh lebih 
menawan (sekitar 5%-6%). Likuiditas yang tinggi ini seyogianya segera 
dimanfaatkan – terutama oleh pemerintah – lewat pelbagai instrumennya agar bisa 
disalurkan ke sektor riil.

    Derasnya capital-inflow ini mestilah segera “dijaga” dari bahaya pembalikan 
modal (capital-outflow). Deputi Gubernur BI, Halim Alamsyah, mengatakan bahwa 
capital-outflow ini, “… bisa ditangani dengan penyerapan dana ke pembangunan 
infrastruktur, misalnya pembangunan jalan tol, pembangkit listrik, dan 
lain-lain.” Rencana ini bisa direalisasi lewat instrumen SUN (surat utang 
negara) imbuhnya, yang kemudian bisa dimediasi untuk pembangunan proyek 
infrastruktur. Juga, dunia usaha perlu terus didorong agar mau mencari dana 
ekspansi usahanya lewat pasar modal (initial public offering). Sehingga, dengan 
maraknya obligasi pemerintah serta ramainya event IPO di pasar modal maka 
kapasitas penawaran instrumen investasi bakal meningkat, dan ini pada gilirannya 
akan meminimalkan gejala penggelembungan (bubble) aset. Dampak multiplikasinya 
akan sangat kondusif untuk kesempatan kerja, naiknya produktivitas dan 
pengendalian inflasi.

***

    Dikabarkan (Koran Jakarta, 23 Oktober 2010) bahwa Menkeu Agus DW 
Martowardojo bakal tidak menghadiri pertemuan kelompok G20 di Seoul Korsel 11-12 
November 2010 ini. Tentang ini dikatakan bahwa Menkeu telah menunjukkan sikapnya 
yang tegas dan berani. Apa pasal? Rupanya dalam pertemuan itu IMF diprediksi 
akan mendikte (lagi) negara-negara Asia agar membiarkan kurs mata uangnya 
terapresiasi. Kebijakan ini berpotensi merugikan pihak Indonesia lantaran nilai 
tukar rupiah bakal dibiarkan menguat secara semu tanpa support yang jelas dari 
perbaikan perekonomian yang adekuat. Gesture Menkeu ini disinyalir 
mengisyaratkan tekad yang kuat untuk membuat kebijakan ekonomi yang mandiri.

    Berkata Menkeu Agus, “Kita dapat memahami apabila beberapa negara maju 
merasa bahwa mata uang China yang terlalu lemah memang mempersulit. Namun, China 
juga tidak bisa begitu saja menaikkan mata uang mereka.” Menguatnya rupiah 
beberapa waktu belakangan ini telah dirasa berdampak kontraproduktif, di 
antaranya melonjaknya impor (terutama barang konsumsi!) yang diiringi dengan 
melemahnya ekspor.

***

    Kita tahu bahwa konsumsi (belanja) – di samping produksi – adalah daya 
pendorong pertumbuhan ekonomi. Dan pos belanja yang cukup signifikan adalah 
belanja negara. Namun apa yang terjadi? Akibat gurita birokrasi yang menjerat 
leher sendiri, pertumbuhan ekonomi bakal sulit mengandalkan konsumsi negara. 
Disinyalir bahwa salah satu masalah utama kelambanan belanja negara adalah soal 
pengadaan lahan. M.Chatib Basri (22 Oktober lalu) mengatakan bahwa per 15 
Oktober, realisasi belanja negara tercatat Rp 681,69 trilyun atau baru 60,5% 
dari pagu 2010.

    Selain kendala pembebasan lahan, isu realisasi penyerapan anggaran masih 
juga seret. Kualitas kepemimpinan di daerah yang memprihatinkan telah membuat 
daerahnya sendiri kesulitan membangun infrastruktur, lantaran sebagian besar 
dananya ditempatkan di SBI (serfikat Bank Indonesia), padahal – dengan 
desentralisasi fiskal – daerah adalah ujung tombak pembangunan. Akibat dipilih 
langsung, maka pemerintah daerah tidak bisa begitu saja diatur oleh pemerintah 
pusat. Diduga, cara main aman (simpan dana di SBI) adalah akibat dari  rasa 
ketakutan yang eksesif terhadap KPK dan BPK, sehingga akhirnya malah memacetkan 
programnya sendiri.

    Peliknya gurita birokrasi ini juga membuat Prof.Bambang PS Brodjonegoro 
pesimis, dikatakannya bahwa, “Pola belanja anggaran sulit berubah untuk 
menyesuaikan diri dengan kondisi krisis. Prosedur birokrasi masih terlalu rigid, 
cukup rumit… Perlu terobosan seputar pencairan dan penyerapan anggaran agar 
lebih optimal berfungsi sebagai stimulus fiskal.” 

***

    Di tengah tekanan IMF yang mendesak agar kurs mata uang kita dibiarkan 
menguat (yang konsekuensinya bakal melemahkan ekspor) serta derasnya aliran 
modal yang masuk ke Indonesia (yang seyogianya segera disiasati agar tersalur ke 
sektor riil) maka kita seolah sedang berpacu melawan waktu. 

    Seberapa besar magnitude konspirasi IMF untuk “menekan” kita serta seberapa 
cepat kita bisa segera – secara kompak – memecut seluruh tenaga kuda 
perekonomian Indonesia Inc. untuk berpacu dalam sirkuit global, inilah yang 
seyogianya menjadi agenda utama dalam diskursus para pemikir/pelaku pembangunan. 
Dalam situasi krisis, seperti telah dipicu oleh Menkeu Agus, beranikah kita 
menentukan sikap mandiri. Seperti dulu saat Eropa memasuki abad pencerahannya, 
sapere aude! Selamat hari pahlawan.




(twitter@andrewenas)
------------------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING edisi November 2010


STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Email: strategicmanagementservices@yahoo.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts