Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter@andrewenas)
“For a moment we are both silent. It’s as though we’re communing with a higher being. The god of shopping.”– Sophie Kinsela
***
Cukup menggegerkan “dunia persilatan” ketika ikon-ikon dunia bisnis macam Merck&Co (farmasi) mengumumkan penurunan penjualan sampai 57%, The New York Times Co (media) mengalami penurunan pendapatan iklan sebesar 27%, diikuti Yahoo Inc (internet) yang terpaksa mem-phk-kan 700 knowledge-workers-nya, itu semua terjadi pada kuartal pertama tahun ini (The Jakarta Post, Thursday, April 23, 2009). Kalau kita percaya teori gunung es, mereka bertiga adalah representasi puncak dari bongkahan gunung es yang sedang terapung-apung di tengah samudra. Artinya, di bawah mereka ada ribuan bahkan mungkin jutaan entitas bisnis yang saat ini sedang krisis bahkan tidak sedikit juga yang tengah meregang nyawa.
Gejala serta ekses ekonomi gelembung yang dipicu dan dipacu oleh keserakahan gelombang revolusi finansial (transaksi derivatives, mutual funds, futures, dan bentuk-bentuk uang virtual lainnya yang konstruksinya lebih rumit namun mobilitasnya sangat tinggi) telah menyeret banyak pelaku bisnis ke meja hijau, atau memilih jalan pintas langsung ke alam baka. Gara-gara ini semua, kredibilitas dunia bisnis dan tentu termasuk agensinya yaitu para profesional dan wirausahanya tengah berada di titik nadir. Tragis memang, sebab mereka yang seyogianya diharapkan menjadi soko-guru atau tiang penyangga perekonomian, malah menjadi rayap penggerogot dan dinistakan dalam tatanan peradaban.
***
Membaca novel Sophie Kinsela (The Confessions of a Shopaholic), kita dibuat tersenyum tersipu-sipu lantaran kita seperti disodorkan cermin diri kontemporer. Hidup yang glamour gemerlap dengan pelbagai merek dunia (semata demi menjaga status gengsi). Eksistensi diri seseorang habis-habisan ditentukan oleh aksesoris luaran, rasa percaya diri yang substantif diganti total dengan yang tempelan belaka. Walau di KTP dengan tegas kita mendeklarasikan iman tauhid kita, namun praksisnya kita malah memuja the god of shopping, kegiatan lainnya direlativir terhadap ritus pemujaan kepada dewa yang satu itu. Belanja bukan lagi menjadi aktivitas yang dilakukan seperlunya demi memenuhi kebutuhan, namun kegiatan belanja itu sendiri sudah menjadi ritus klimaks setiap jemaat the god of shopping.
Dalam refleksinya yang tajam terhadap konsumerisme, Haryanto Sudjatmiko (bukunya: Saya Berbelanja Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris, Jalasutra, 2008) mengajukan diagnosanya: “Bila berbelanja semula menjadi ‘perpanjangan’ manusia yang hendak mengonsumsi sesuatu, pada perkembangan berikutnya, belanja justru menjadi kegiatan mengonsumsi itu sendiri. Belanja berubah menjadi kebutuhan bagi manusia yang tak cukup diri. Di sinilah letak konsumerisme dalam arti mengubah ‘konsumsi yang seperlunya’ menjadi ‘konsumsi yang mengada-ada’. Dalam arti ini, motivasi seseorang untuk berbelanja tidak lagi guna memenuhi kebutuhan dasariah yang ia perlukan sebagai manusia, melainkan terkait dengan hal lain, yakni identitas.”
Akhir April lalu, tatkala Crocs (ini merek sandal) memberi kesempatan kepada para pemujanya untuk mendapatkan “relikui"nya dengan cuma membayar 30% dari harga biasa (alias diskon 70%!), maka hebohlah jemaat Crocs di Jakarta ini. Foto antrian super-panjang terpampang di media-media, menunjukkan orang-orang yang sangat antusias berbaris seperti sedang antri menyambut hosti dalam ritus komuni. Banyak yang antri dengan menggunakan atribut atau aksoris agamanya masing-masing, namun uniknya, realitas plural keagamaan ini nampak akur dan ceria saat bersama-sama memuja the god of shopping.
Kalau dulu Descartes – dalam upayanya untuk mencari kepastian yang paling dasariah telah meragukan segalanya – akhirnya menyadari bahwa ia sendiri yang sedang meragukan (berpikir) itu pastilah tidak bisa diragukan keberadaanya, sehingga ia berseru: Cogito Ergo Sum (saya berpikir maka saya ada), kini kita
bersama-sama menyerukan refrain: Emo Ergo Sum (saya belanja maka saya ada).
***
Gerakan mendunia, atau istilah yang lazim kita sebut globalisasi rupanya mensyaratkan infrastruktur mental dan cara-pikir baru dari semua aktor-aktornya. Dan, tuntutan ini tentunya terutama diarahkan kepada para role-models, para pemangku hegemoni, terutama pemegang tampuk kekuasaan formal (di dunia partikelir maupun pelat merah). Persisnya, siapakah mereka itu? ya tentu Anda semua yang telah mengalami proses konsientisasi terhadap tanggung jawab moral kepemimpinan yang Anda pegang. Disposisi etis yang imperatif-kategoris, percaya dan mau melakukan yang baik semata-mata karena itu baik. Selebihnya dari itu, bukan urusan kita.
(twitter@andrewenas)
-----------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING, edisi Mei 2009
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Email: strategicmanagementservices@yahoo.com
Tuesday, March 26, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Related Posts
-
Kamar mandi / toilet biasanya dilengkapi dengan perlengkapan untuk buang air kecil maupun besar. Kamar mandi yang dilengkapi dengan urina...
-
Salah satu senjata ampuh para eksekutif untuk meningkatkan kariernya kini adalah dengan menempuh jalur pendidikan keprofesian bersertifi...
-
Laporan Tracer Study ITB Sarjana yang dirilis tahun 2023 memberikan gambaran menarik mengenai bonus tahunan yang diterima oleh alumni ITB. D...
-
Di beberapa perusahaan, divisi penyimpanan (store) untuk mengelola persediaan (inventory) sering mempunyai beberapa nama, seperti divisi...
-
Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA. (twitter@andrewenas) Bisnis berkembang, organisasi bertumbuh alias karyawan tambah banyak, terjadi p...
No comments:
Post a Comment