Oleh : C. Latuconsina, SE, MSc.
Sejalan dengan migrasi ke sistem Enterprise Resource Planning (ERP) yang baru, sebuah perusahaan yang sebelumnya menerapkan system informasi yang belum terintegrasi antara production site, Head Office dan Marketing memperoleh sejumlah keuntungan, termasuk integrasi data dari mulai supplier bahan baku, barang dalam proses produksi, tenaga kerja, customer sampai dengan informasi penjualan, serta percepatan waktu dalam proses pelaporan keuangan. Namun, terlepas dari kemampuannya meng-handle database dalam jumlah besar, ternyata ERP yang digunakan oleh perusahaan menyimpan sedikit masalah yang dapat mempengaruhi analisa dan keputusan manajemen.
Sistem standard costing yang digunakan oleh ERP yang baru, menghasilkan sejumlah varians biaya produksi yang dihasilkan dari proses produksi. Standard cost yang dihitung melalui estimasi biaya dan aktivitas produksi untuk setahun produksi, dan di input dalam database, akan dijadikan patokan dalam sejumlah proses dalam production line. Standard cost ini termasuk material rate, labor rate, factory overhead (FOH) rate dan burden (variable FOH) rate. Beberapa varians yang dihasilkan dari proses produksi antara lain adalah purchase price variance, material rate variance, material usage variance, price revaluation variance, labor rate variance, labor usage variance, burden rate variance, account payable usage variance, dan account payable rate variance, yang terakumulasi pada akhir periode pelaporan.
Masalah yang muncul pada laporan keuangan akhir periode adalah nilai persediaan di neraca disajikan dengan nilai standar, sedangkan semua variance akan timbul pada laporan laba rugi. Tiba saatnya bagi manajemen untuk mengukur efisiensi dari biaya produksi secara total, berapakah sebenarnya biaya yang dikeluarkan dan termasuk dalam persediaan hasil produksi, yang terjual dan yang masih tersimpan di gudang pabrik. ERP yang ada saat ini tidak mempunyai fasilitas untuk menghitung dan mengalokasikan varians keluaran dari proses produksi ke masing-masing unit persediaan secara otomatis, sehingga alokasi varians harus dilakukan secara manual. Beberapa perusahaan yang menggunakan ERP sejenis tampaknya tidak menaruh perhatian terhadap alokasi varians ini, padahal, sebagaimana akan terlihat pada bagian akhir tulisan ini, pengalokasian varians yang tepat sebenarnya dapat memberikan masukan bagi manajemen dalam menganalisa, mengevaluasi dan
memperbaiki kinerja operasinya.
Sebagaimana lazimnya proses pabrikasi lainnya, dengan sedikit perbedaan, maka persediaan di PTEI juga akan terbagi menjadi beberapa unsur,yaitu raw material, packing material, work in process, half finished goods dan finished goods. Pembedaan terminologi work in process dan half finished goods hanya mencerminkan kondisi beberapa persediaan setengah jadi (half finished) yang bisa langsung dijual atau diproses lebih lanjut (work in process). Mengingat keinginan manajemen untuk mengidentifikasi besarnya biaya yang diserap oleh setiap unsur persediaan, sehingga proses estimasi penentuan laba per unit dari setiap item dan biaya produksi dapat dilakukan, maka masalah alokasi atas akumulasi varians yang muncul ke masing-masing jenis persedian harus diperhitungkan. Yang menjadi tantangan adalah PTEI bergerak dalam industri farmasi dan menghasilkan lebih dari 30 jenis obat dan masing masing jenis membutuhkan beragam bahan baku sebagai input, berdasarkan formulasi yang beragam, sehingga pengalokasian setiap varians yang berasal dari pembelian bahan baku, pemakaian bahan baku, tenaga kerja dan biaya overhead pabrik menjadi sebuah proses yang tidak sederhana.
Setelah melalui pembahasan dan penghitungan yang detail, akhirnya dibuat rumusan untuk alokasi varians. Perhitungan alokasi varians belum dilakukan dengan metode activity based accounting, dengan alas an masih terdapat banyak aktivitas yang sulit ditelusuri cost drivernya. Namun dengan pendekatan serupa, serta dengan mempertimbangkan beberapa keterbatasan seperti sulitnya mengidentifikasi alokasi jumlah unit bahan baku yang digunakan untuk multi produk yang melewati beberapa proses di floor produksi, common cost yang muncul pada biaya tenaga kerja dan overhead yang tidak selalu terkait dengan jam kerja buruh dan mesin, atau penyimpangan yang terlalu jauh bila hanya menggunakan kuantitas sebagai dasar alokasi dan sebagainya, akhirnya diputuskan untuk mengalokasikan varians tersebut ke unit produksi dengan dasar alokasi pada table di bawah ini:
Jenis Varians Dasar Alokasi ke unit produksi
Purchase price variance Nilai Purchase Order (Issued PO)
Material rate variance Nilai Work Order (Issued WO)
Material usage variance Nilai Work Order (Issued WO)
Price revaluation variance Biaya revaluasi aktual
Labor rate variance Total biaya tenaga kerja
Labor usage variance Jumlah jam kerja buruh
Burden rate variance Jumlah jam kerja mesin
Account payable usage variance Biaya aktual
Account payable rate variance Biaya actual
Dalam menghitung alokasi ini, juga mempertimbangkan asumsi arus barang berdasarkan First In First Out (FIFO) yaitu asumsi bahwa barang pertama masuk ke dalam produksi merupakan barang yang pertama keluar sebagai output produksi. Dengan demikian varians yang melekat pada saldo awal persediaan finished goods, yang diperoleh melalui perhitungan saat migrasi sistem ke ERP dilakukan, bila ternyata pada akhir periode berdasarkan asumsi FIFO sudah tidak ada di persediaan akhir, maka seluruh varians dari saldo awal tersebut akan dibebankan ke Cost of Goods Sold (COGS) yaitu harga pokok penjualan. Sedangkan bila ternyata tidak semua persediaan finished goods yang ada di saldo awal bisa terjual, maka sebagian varians akan melekat di saldo akhir persediaan yang tidak terjual. Asumsi FIFO digunakan karena jauh lebih sederhana dibandingkan dengan metode Weighted Average (rata-rata tertimbang) yang menghitung rata-rata nilai persediaan setiap kali terdapat penambahan atau persediaan sepanjang proses produksi, dan mengikuti kemampuan ERP yang digunakan.
Cara pengalokasian varians juga menggunakan cara yang paling sederhana yaitu secara proporsional dengan menggunakan dasar alokasi pada tabel di atas. Sehingga suatu proses produksi yang melewati beberapa tahap proses akan melalui alokasi varians secara proposional ke dari satu proses ke proses berikutnya. Pada dasarnya, karena akumulasi dari varians baru diketahui pada akhir periode, maka pengalokasian ke unit produksi langsung pada saat terjadi varians tidak dilakukan. Hal ini menyebabkan pengalokasian varians dilakukan secara proporsional hanya pada akhir periode ke masing-masing unit produksi yang terjual dan yang tertinggal di persediaan akhir, juga meninggalkan distorsi dari nilai persediaan aktual setelah alokasi dilakukan.
Dengan menggunakan metode ini ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh:
1. Metode tidak terlalu rumit untuk diimplementasikan.
2. Analisa dari biaya aktual setelah alokasi untuk setiap jenis unit produksi dapat dilakukan dengan lebih baik.
3. Sebagai early warning sistem atas terjadinya proses produksi yang tidak baik.
4. Kemampuan manajemen dalam melakukan rencana produksi yang lebih baik dengan mengurangi varians yang berlebihan akibat proses produksi yang tidak favorable.
5. Memperbaiki secara periodik rate standard yang belum tepat sehingga selisih antara aktual dan standar tidak terlalu besar.
6. Memperbaiki analisa atas Cost of Goods Manufactured dan Cost of Goods Sold.
7. Masukan bagi strategi pemasaran untuk pricing strategy dan fokus atas segmen pasar yang menjadi target, berdasarkan perhitungan unit cost aktual.
8. Menjadi pertimbangan oleh Top Management dalam melakukan profit planning.
Namun metode ini juga tidak terlepas dari beberapa kelemahan mendasar:
1. Distorsi yang tidak bisa dihindari karena sistem ERP tidak melakukan alokasi langsung ke masing-masing unit produksi saat varians terjadi, dan terakumulasi hanya pada total varians di akhir periode.
2. Sulitnya menentukan cut-off dari timing alokasi varians dilakukan, terutama untuk varians yang terjadi pada level work in process pada routing awal yang kemudian tersebar pada beberapa routing di proses produksi level berikutnya. Mengingat terdapat puluhan production line yang harus dilakukan berbagai alokasi varians, pertanyaan seperti kapan suatu varians harus ditambahkan dulu oleh varians yang lain sebelum dialokasikan kembali akan sulit dijawab karena tidak adanya penentuan cut-off tersebut.
3. Simplifikasi alokasi varians yang menggunakan metode proporsional juga dapat menyebabkan distorsi dalam penilaian persediaan
Perusahaan yang menggunakan ERP dalam kegiatan operasinya sebaiknya mempertimbangkan hal-hal di atas, mengingat perbedaan perlakuan atas pentingnya alokasi varians antar perusahaan. Bila perusahaan Anda ternyata memiliki kepedulian tentang hal ini, ada baiknya sebelum Anda memilih implementasi ERP tertentu, Anda mempertimbangkan apakah ERP memiliki fasilitas yang memadai untuk melakukan alokasi varians, atau perusahaan Anda dengan keterbatasan dana yang ada, memiliki kompetensi yang cukup dan lebih cost efficient untuk mengembangkan ERP dalam mengantisipasi masalah varians tersebut.
Sejalan dengan migrasi ke sistem Enterprise Resource Planning (ERP) yang baru, sebuah perusahaan yang sebelumnya menerapkan system informasi yang belum terintegrasi antara production site, Head Office dan Marketing memperoleh sejumlah keuntungan, termasuk integrasi data dari mulai supplier bahan baku, barang dalam proses produksi, tenaga kerja, customer sampai dengan informasi penjualan, serta percepatan waktu dalam proses pelaporan keuangan. Namun, terlepas dari kemampuannya meng-handle database dalam jumlah besar, ternyata ERP yang digunakan oleh perusahaan menyimpan sedikit masalah yang dapat mempengaruhi analisa dan keputusan manajemen.
Sistem standard costing yang digunakan oleh ERP yang baru, menghasilkan sejumlah varians biaya produksi yang dihasilkan dari proses produksi. Standard cost yang dihitung melalui estimasi biaya dan aktivitas produksi untuk setahun produksi, dan di input dalam database, akan dijadikan patokan dalam sejumlah proses dalam production line. Standard cost ini termasuk material rate, labor rate, factory overhead (FOH) rate dan burden (variable FOH) rate. Beberapa varians yang dihasilkan dari proses produksi antara lain adalah purchase price variance, material rate variance, material usage variance, price revaluation variance, labor rate variance, labor usage variance, burden rate variance, account payable usage variance, dan account payable rate variance, yang terakumulasi pada akhir periode pelaporan.
Masalah yang muncul pada laporan keuangan akhir periode adalah nilai persediaan di neraca disajikan dengan nilai standar, sedangkan semua variance akan timbul pada laporan laba rugi. Tiba saatnya bagi manajemen untuk mengukur efisiensi dari biaya produksi secara total, berapakah sebenarnya biaya yang dikeluarkan dan termasuk dalam persediaan hasil produksi, yang terjual dan yang masih tersimpan di gudang pabrik. ERP yang ada saat ini tidak mempunyai fasilitas untuk menghitung dan mengalokasikan varians keluaran dari proses produksi ke masing-masing unit persediaan secara otomatis, sehingga alokasi varians harus dilakukan secara manual. Beberapa perusahaan yang menggunakan ERP sejenis tampaknya tidak menaruh perhatian terhadap alokasi varians ini, padahal, sebagaimana akan terlihat pada bagian akhir tulisan ini, pengalokasian varians yang tepat sebenarnya dapat memberikan masukan bagi manajemen dalam menganalisa, mengevaluasi dan
memperbaiki kinerja operasinya.
Sebagaimana lazimnya proses pabrikasi lainnya, dengan sedikit perbedaan, maka persediaan di PTEI juga akan terbagi menjadi beberapa unsur,yaitu raw material, packing material, work in process, half finished goods dan finished goods. Pembedaan terminologi work in process dan half finished goods hanya mencerminkan kondisi beberapa persediaan setengah jadi (half finished) yang bisa langsung dijual atau diproses lebih lanjut (work in process). Mengingat keinginan manajemen untuk mengidentifikasi besarnya biaya yang diserap oleh setiap unsur persediaan, sehingga proses estimasi penentuan laba per unit dari setiap item dan biaya produksi dapat dilakukan, maka masalah alokasi atas akumulasi varians yang muncul ke masing-masing jenis persedian harus diperhitungkan. Yang menjadi tantangan adalah PTEI bergerak dalam industri farmasi dan menghasilkan lebih dari 30 jenis obat dan masing masing jenis membutuhkan beragam bahan baku sebagai input, berdasarkan formulasi yang beragam, sehingga pengalokasian setiap varians yang berasal dari pembelian bahan baku, pemakaian bahan baku, tenaga kerja dan biaya overhead pabrik menjadi sebuah proses yang tidak sederhana.
Setelah melalui pembahasan dan penghitungan yang detail, akhirnya dibuat rumusan untuk alokasi varians. Perhitungan alokasi varians belum dilakukan dengan metode activity based accounting, dengan alas an masih terdapat banyak aktivitas yang sulit ditelusuri cost drivernya. Namun dengan pendekatan serupa, serta dengan mempertimbangkan beberapa keterbatasan seperti sulitnya mengidentifikasi alokasi jumlah unit bahan baku yang digunakan untuk multi produk yang melewati beberapa proses di floor produksi, common cost yang muncul pada biaya tenaga kerja dan overhead yang tidak selalu terkait dengan jam kerja buruh dan mesin, atau penyimpangan yang terlalu jauh bila hanya menggunakan kuantitas sebagai dasar alokasi dan sebagainya, akhirnya diputuskan untuk mengalokasikan varians tersebut ke unit produksi dengan dasar alokasi pada table di bawah ini:
Jenis Varians Dasar Alokasi ke unit produksi
Purchase price variance Nilai Purchase Order (Issued PO)
Material rate variance Nilai Work Order (Issued WO)
Material usage variance Nilai Work Order (Issued WO)
Price revaluation variance Biaya revaluasi aktual
Labor rate variance Total biaya tenaga kerja
Labor usage variance Jumlah jam kerja buruh
Burden rate variance Jumlah jam kerja mesin
Account payable usage variance Biaya aktual
Account payable rate variance Biaya actual
Dalam menghitung alokasi ini, juga mempertimbangkan asumsi arus barang berdasarkan First In First Out (FIFO) yaitu asumsi bahwa barang pertama masuk ke dalam produksi merupakan barang yang pertama keluar sebagai output produksi. Dengan demikian varians yang melekat pada saldo awal persediaan finished goods, yang diperoleh melalui perhitungan saat migrasi sistem ke ERP dilakukan, bila ternyata pada akhir periode berdasarkan asumsi FIFO sudah tidak ada di persediaan akhir, maka seluruh varians dari saldo awal tersebut akan dibebankan ke Cost of Goods Sold (COGS) yaitu harga pokok penjualan. Sedangkan bila ternyata tidak semua persediaan finished goods yang ada di saldo awal bisa terjual, maka sebagian varians akan melekat di saldo akhir persediaan yang tidak terjual. Asumsi FIFO digunakan karena jauh lebih sederhana dibandingkan dengan metode Weighted Average (rata-rata tertimbang) yang menghitung rata-rata nilai persediaan setiap kali terdapat penambahan atau persediaan sepanjang proses produksi, dan mengikuti kemampuan ERP yang digunakan.
Cara pengalokasian varians juga menggunakan cara yang paling sederhana yaitu secara proporsional dengan menggunakan dasar alokasi pada tabel di atas. Sehingga suatu proses produksi yang melewati beberapa tahap proses akan melalui alokasi varians secara proposional ke dari satu proses ke proses berikutnya. Pada dasarnya, karena akumulasi dari varians baru diketahui pada akhir periode, maka pengalokasian ke unit produksi langsung pada saat terjadi varians tidak dilakukan. Hal ini menyebabkan pengalokasian varians dilakukan secara proporsional hanya pada akhir periode ke masing-masing unit produksi yang terjual dan yang tertinggal di persediaan akhir, juga meninggalkan distorsi dari nilai persediaan aktual setelah alokasi dilakukan.
Dengan menggunakan metode ini ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh:
1. Metode tidak terlalu rumit untuk diimplementasikan.
2. Analisa dari biaya aktual setelah alokasi untuk setiap jenis unit produksi dapat dilakukan dengan lebih baik.
3. Sebagai early warning sistem atas terjadinya proses produksi yang tidak baik.
4. Kemampuan manajemen dalam melakukan rencana produksi yang lebih baik dengan mengurangi varians yang berlebihan akibat proses produksi yang tidak favorable.
5. Memperbaiki secara periodik rate standard yang belum tepat sehingga selisih antara aktual dan standar tidak terlalu besar.
6. Memperbaiki analisa atas Cost of Goods Manufactured dan Cost of Goods Sold.
7. Masukan bagi strategi pemasaran untuk pricing strategy dan fokus atas segmen pasar yang menjadi target, berdasarkan perhitungan unit cost aktual.
8. Menjadi pertimbangan oleh Top Management dalam melakukan profit planning.
Namun metode ini juga tidak terlepas dari beberapa kelemahan mendasar:
1. Distorsi yang tidak bisa dihindari karena sistem ERP tidak melakukan alokasi langsung ke masing-masing unit produksi saat varians terjadi, dan terakumulasi hanya pada total varians di akhir periode.
2. Sulitnya menentukan cut-off dari timing alokasi varians dilakukan, terutama untuk varians yang terjadi pada level work in process pada routing awal yang kemudian tersebar pada beberapa routing di proses produksi level berikutnya. Mengingat terdapat puluhan production line yang harus dilakukan berbagai alokasi varians, pertanyaan seperti kapan suatu varians harus ditambahkan dulu oleh varians yang lain sebelum dialokasikan kembali akan sulit dijawab karena tidak adanya penentuan cut-off tersebut.
3. Simplifikasi alokasi varians yang menggunakan metode proporsional juga dapat menyebabkan distorsi dalam penilaian persediaan
Perusahaan yang menggunakan ERP dalam kegiatan operasinya sebaiknya mempertimbangkan hal-hal di atas, mengingat perbedaan perlakuan atas pentingnya alokasi varians antar perusahaan. Bila perusahaan Anda ternyata memiliki kepedulian tentang hal ini, ada baiknya sebelum Anda memilih implementasi ERP tertentu, Anda mempertimbangkan apakah ERP memiliki fasilitas yang memadai untuk melakukan alokasi varians, atau perusahaan Anda dengan keterbatasan dana yang ada, memiliki kompetensi yang cukup dan lebih cost efficient untuk mengembangkan ERP dalam mengantisipasi masalah varians tersebut.
Sumber :
Milis APICS-ID
S__._,_.___
No comments:
Post a Comment