27 Maret 2007
Rendah, Pemulihan Aset dalam Kepailitan
Hasil penelitian menunjukkan recovery rate kepailitan di Indonesia kurang dari 15% dengan waktu pemberesan rata-rata mencapai 3,5 tahun sangat rendah. Profesionalisme kurator, kreditur, debitur dan hakim pengawas menjadi sorotan.
Termasuk pula kepastian perolehan pembayaran maksimal atas tagihan sesuai dengan jumlah tagihannya (asset recovery). Sayang itu belum berjalan seperti yang kita harapkan, tandasnya. Keperihatinan Fred semakin membuncah tatkala mengetahui masih rendahnya tingkat pemulihan aset (asset recovery).
Padahal itu merupakan indikator dasar berhasil atau tidaknya rejim hukum kepailitan di sebuah negara. Penelitian Pusat Pengkajian Hukum (PPH) bertajuk 'Temuan Awal Asset Recovery Dalam Kepailitan' mengungkapkan bahwa rata-rata penyelesaian kasus kepailitan rata-rata 41 bulan atau 3 tahun 5 bulan.
Sebelumnya, World Bank dalam surveinya bertajuk Doing Business 2006 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat recovery rate hanya 11,8%. Sedang waktu pemberesan rata-rata mencapai 5,5 tahun dengan tingkat biaya kepailitan 18% dari total budel alias harta pailit.
Walau belum jelas metodologi yang digunakan dalam survei itu, namun, figur tersebut, kata Aria Suyudi, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), merupakan lampu kuning bagi masyarakat internasional terhadap kinerja sistem hukum kepailitan di Indonesia. Keberadaan figur resmi tentang tingkat efisiensi kepailitan perlu dimiliki oleh Indonesia, ujarnya.
Hal ini penting, lanjut Aria, terutama untuk membantu pengambil kebijakan agar lebih terstruktur mempelajari fenomena yang mengemuka dalam proses kepailitan serta memformulasikan solusi yang dapat diambil untuk mengatasinya.
Dari hasil penelitian PPH ternyata setiap tahun masih banyak kasus yang belum terselesaikan. Untuk tahun 2005 saja ada 20 kasus, lalu 2004 (13 kasus), 2003 (9 kasus), 2002 (7 kasus), 2001 (11 kasus) dan 2000 (23 kasus). Dalam lima tahun terakhir, kecenderungannya meningkat terus, ujar Tri Harnowo salah satu anggota Tim Peneliti PPH.
Sedangkan dari sisi recovery rate, hasil wawancara PPH mencatat antara 0-60% pada umumnya. Para kreditur justru mendapat prosentase kecil, 14,45% bagi mereka yang memegang hak agunan dan 13,58% bagi yang tak memegang agunan. Sedangkan hak buruh maupun pajak bisa mencapai 100% jika negosiasinya lancar.
Selain itu, PPH juga mengungkapkan masih rendahnya integrasi antara hukum kepailitan dengan sistem hukum lainnya, misalnya Hukum Acara Perdata, Hukum Pidana dan hukum publik, sebagai penyebab rendahnya pencapaian asset recovery.
Dalam beberapa hal sifat dasar kepailitan sebagai sita umum dan konsekuensi yang timbul terhadap status debitur (khususnys debitur individu, red) cenderung tidak diindahkan. Akibatnya, muncul tindakan yang bisa masuk ke tindak pidana namun disamarkan dengan istilah debitur fiktif atau kreditur tidak kooperatif, yang selalu diklaim tidak dapat diselesaikan, papar Hernowo.
Tidak tergantung kurator
Aria menambahkan bahwa asset recovery tidak melulu tergantung pada kinerja kurator. Namun, juga tergantung pada keberadaan infrastruktur sistem hukum lainnya di antaranya registrasi hukum jaminan dan sistem lelang. Tanpa infrastruktur yang memadai, pencapaian asset recovery akan sangat sulit untuk dicapai, tuturnya.
Ia menambahkan, selama ini 'senjata' yang dimiliki kurator sebagai profesi untuk melaksanakan banyak hal terkait dengan kepailitan sangat minim. Misalnya, upaya paksa badan yang jarang dikabulkan konon karena tidak jelas prosedurnya, akses terhadap informasi perbankan yang terbentur ketentuan kerahasian bank, serta actio paulina jarang dikabulkan dan sulit pembuktiannya.
Pernyataan Aria ini diperkuat dengan pengakuan Denny Azani yang berprofesi sebagai advokat sekaligus kurator. Ia mengeluhkan buruknya kerjasama dengan pihak perbankan terkait dengan pemblokiran rekening milik debitur pailit.
Alasan yang selalu didengungkan pihak bank adalah ketentuan kerahasian bank. Para kurator mengalami dilema. Jika kita tidak mengajukan pemblokiran, pasti akan ditegur Bank Indonesia dan terancam sanksi pidana. Kalau mengajukan, malah pihak bank mengacuhkan begitu saja permohonan kita. Kami minta peraturan ini diperjelas sehingga kurator bisa bekerja secara maksimal, keluhnya.
Keluhan Denny ini dijawab oleh Wulan Tulandaka, wakil dari Bank Niaga. Memang itu yang kami khawatirkan, UU Kerahasian Bank. Jika kami melanggarnya pasti akan terancam sanksi pidana. Jadi, kami harus hati-hati melaksanakan pemblokiran tersebut, ujarnya. Wulan juga setuju jika masalah ini dibawa ke pihak otoritas perbankan yakni BI guna memperjelas aturan mainnya.
Wulan juga menegaskan bahwa kepailitan bukanlah pranata hukum yang menjadi prioritas untuk mencapai asset recovery. Kami sebagai kreditur tidak terlalu melihat kepailitan ini sebagai suatu upaya untuk mendapatkan asset recovery. Pada dasarnya, bank itu sudah menjadi secured crediturs atau kreditur yang punya hak istimewa, tuturnya.
Terkait dengan masalah perbankan ini, Fred mencoba menengahi. Ia meminta agar pihak perbankan juga mentaati dan melaksanakan UU Kepailitan di samping UU Perbankan. Sebenarnya, kata Fred, diminta atau tidak, begitu ada debitur yang diumumkan secara terbuka dan luas di media massa dinyatakan pailit, pihak bank seharusnya responsif. Salah satunya, dengan memblokir rekening debitur pailit. Tujuannya agar si debitur pailit tidak bisa memindahkan uangnya atau membuat rekening baru.
Jika tidak menjalankan hal tersebut, pihak bank juga bisa dituntut secara pidana. Lihat di dalam ketentuan KUH Perdata dan KUHPidana yang mengatur masalah ini. Hukumannya tidak lama kok, hanya 7 tahun, ujarnya sambil tersenyum.
Ulah Debitur
Selain itu, GP Aji Wijaya, seorang advokat juga mengingatkan agar tidak lupa mengetahui kredibilitas atau karakter debitur dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur.
Tak jarang, katanya, begitu diketahui adanya permohonan pernyataan pailit, umumnnya debitur langsung memindahkan harta-harta bergerak termasuk rekening-rekeningnya yang ada di bank. Tujuannya untuk menghindari penguasaan harta oleh kurator.
Khusus untuk harta debitur yang berbentuk badan hukum yang pemilikannya atas nama pribadi (meski dibeli dengan uang perusahaan, red) tetap dipertahankan atas nama pemegang saham. Dan, dilakukan perikatan-perikatan tertentu dengan pihak lain secara back date.
Adanya kreasi transaksi-transaksi utang-piutang back date dengan pihak ketiga untuk menjadi 'teman kreditor' yang akan memberi dukungan kepada debitur dalam rapat-rapat kreditur maupun voting rapat kreditur.
Menurut Aji, transaksi semacam ini mudah terjadi karena lemahnya law enforcement ketentuan UU Wajib Daftar Perusahaan, khususnya kewajiban penyampaian laporan keuangan audit tahunan.
Sangat mudah bagi debitur melakukan 'kreasi teman-teman debitur' dengan memecah tagihan 'inter company loan' dengan menggunakan ketentuan cessie dari Pasal 613 KUH Perdata, tuturnya. Selanjutnya, tambah Aji jika itu sudah dilaksanakan, pihak advokat debitur akan bersikap over protected terhadap debitur dan harta debitur.
Cara lain yang biasa dilakukan, yakni debitur melakukan pendekatan kepada kreditur-kreditur tertentu dengan kompensasi tertentu. Misalnya, pembayaran sebagian utang atau tagihannya akan diambil alih oleh perusahaan terafiliasi. Tujuannya agar memberikan dukungan dalam rapat-rapat kreditur maupun voting rapat kreditur.
Selain itu, debitur juga tak jarang meminta kreditur atau pemegang sahamnya atau afiliasinya agar membeli tagihan-tagihan kreditur melalui special purpose vehicle (SPV) dengan harga tertentu. Selanjutnya SPV tersebut akan menjadi kreditur 'baru' yang akan hadir dalam rapat-rapat kreditur. Cara-cara seperti ini terjadi atas tagihan-tagihan yang timbul dari surat berharga atas unjuk yang tentunya tidak akan tercatat dalam pembukuan debitur, ujar Aji.
Cara-cara di atas akan menyulitkan pembentukan Panitia Kreditur. Kalau pun terbentuk, pasti tidak akan efektif mengingat Panitia Kreditur diisi oleh 'teman-teman kreditur' dari debitur, ujarnya.
Di sampung itu, tambah Aji, cara di atas sulit dideteksi oleh pihak kurator. Kalau pun kuratior mengetahuinya, terdapat keengganan kurator untuk melakukan actio pauliana. Padahal, UU Kepailitan memberikan sarana bagi kurator untuk mencegah atau pun membatalkan tindakan-tindakan sebagaimana dipaparkan di atas.
Di akhir diskusi, Fred kembali mengingatkan agar masing-masing pelaku dalam kepailitan baik itu kurator, debitur, kreditur maupun hakim pengawas agar mengedepankan proses kepailitan secara 'elegan' guna memperoleh pemulihan aset secara maksimal.
Menyedihkan dan mengenaskan. Dua kata itulah yang digunakan Fred B.G. Tumbuan, konsultan hukum senior, untuk mengungkapkan keprihatinannya terhadap implementasi rejim hukum kepailitan di Indonesia selama ini.
Bukannya bertambah baik, malah yang terjadi justru masing-masing pihak, baik kurator, debitor, kreditor maupun pengadilan (hakim pengawas, red) mengklaim dirinya yang paling benar. Jadi, tak mengherankan kalau hukum kepailitan di Indonesia belum berjalan secara efektif, ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum pekan lalu di Jakarta.
Fred menambahkan, UU Kepailitan yang ada saat ini telah memberikan perangkat dan pranata yang diperlukan dalam proses kepailitan secara adil, cepat, terbuka dan efektif. UU Kepailitan, lanjut Fred, memberikan fasilitas bagi kurator dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kreditor untuk mempertahankan hak-haknya serta debitor pailit untuk memperoleh keadilan dalam memenuhi kewajiban pembayaran utangnya.
Selengkapnya klik https://www.hukumonline.com/berita/a/rendah-pemulihan-aset-dalam-kepailitan-hol16408?page=all