Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter@andrewenas)
“Dalam mempertahankan nasion, kita mempertahankan hari esok, bukan hari kemarin kita.” - Jose Ortega y Gasset, dalam “La Rebelion de las Masas”.
***
Sewaktu mencermati perusahaan semacam: Whole Foods Market, W.L. Gore, dan Google, seperti yang diceritakan Gary Hamel & Bill Breen (The Future of Management, HBS Press, 2007) kita laksana dibangunkan dari lamunan praksis manajemen konvensional selama ini. Inovasi bukan diperlukan dalam tataran produk atau offerings-nya saja. Tapi “manajemen” itu sendiri perlu direnovasi lewat inovasi-manajemen (bedakan dengan manajemen-inovasi, yang lebih menekankan inovasi produk barang atau jasa yang dihasilkan perusahaan). Inovasi-manajemen lebih menjangkau tataran paradigma, dan akhirnya perilaku manajemennya juga lahir-baru.
Memastikan terjadinya inovasi-manajemen perlu dekonstruksi paradigma. Istilah dekonstruksi ini mengandaikan penghancuran (destruksi) dan sekaligus pembangunan (konstruksi) paradigma. Sehingga Gary Hamel & Bill Breen kembali menegaskan: “History’s most consistently victorious armies and navies have been those that were able to break with the past and imagine new ways of motivating, staffing, training, and deploying warriors. They have been management innovators.”
Dalam kasus lain, kita juga kagum dengan paparan Victor Fung, William Fung & Jerry (Yoram) Wind, dalam publikasi mereka, Competing in a Flat World, 2007. Komprehensif mereka mendeskripsikan bagaimana perusahaan gurem di Hongkong akhirnya berjaya di pelataran global lantaran cerdas membaca gerak business-landscape dunia dan cerdik memanfaatkan pelbagai peluang yang muncul akibat semakin ratanya batasan bisnis global.
Kembali saya merenung, apa sih fondasinya sehingga mereka bisa tegar merambah dan menang secara kreatif inovatif dalam mengapitalisasi peluang bisnis global? Dalam konsep berpikirnya Kaplan & Norton (Balanced Scorecard) dimensi paling dasar adalah 'learning & growth' (biasanya aspek manusia, perspektif pembelajarannya). Dengan membereskan aspek 'learning & growth' maka dampaknya pada 'internal process' organisasi akan kondusif bagi keberhasilan di perspektif pelanggan yang pada gilirannya bakal menjamin 'business results' (biasanya aspek finansial). Jadi, bagaimana seharusnya isu pembangunan manusia ini didekati?
***
Simak ucapan Gajah Mada, CEO 'Majapahit Inc', suatu korporasi global tujuh abad yang lalu: "Untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara tak cukup dengan duduk di atas kursi di belakang meja sambil menyalurkan perintah. Aku tak percaya ada keberhasilan dengan cara itu. Aku amat yakin sampai mendarah daging, untuk mewujudkan mimpi besarku, tak ada pilihan lain kecuali menyingkirkan nafsu 'hamukti wiwaha'. 'Hamukti wiwaha' adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan nikmat duniawi. Menikmati tingginya derajat dan pangkat, menikmati hidup tiada hari tanpa 'bujang handrawina' (pesta makan minum) merupakan salah satu pilihan yang bisa kuambil mengingat aku adalah seorang mahapatih yang menjalankan pemerintahan mewakili raja. Akan tetapi bukan 'hamukti wiwaha' yang kuambil. Aku memilih lawan katanya, yaitu 'hamukti palapa'. Hanya semangat 'lara lapa' (hidup menderita) atau 'palapa' yang bisa mengantarku meraih apa yang aku impikan. Orang menyebut, aku tidak
akan makan buah palapa, tidak makan rempah-rempah. Apa pun kata mereka, pilihan 'hamukti palapa' yang kuambil adalah semata-mata berprihatin. Tanpa dilandasi prihatin, sebuah doa yang dipanjatkan kepada Hyang Widdi tak terkabulkan. Tanpa prihatin, sebuah kerja besar tidak membuahkan hasil." (dari pentalogi novel 'Gajah Mada', buku ke-5: Madakaripura Hamukti Moksa, karangan Langit Kresna Hariadi, 2007).
Zaman ini orang menyebutnya semangat asketis. Sayangnya etos macam ini sangat tidak populer di tengah budaya instan sekarang. Kalau Gajah Mada bisa, kita pun mampu. Menggali energi sejarah, demi mengembalikan percaya-diri menyongsong masa depan.
***
Jose Ortega y Gasset (1883-1995) dianggap tokoh pelopor cendekiawan Spanyol menuju zaman modern. Eksistensinya dalam kancah wacana intelektual negaranya membawa pencerahan, kerena kolega cendekiawan saat itu masih terbelenggu ide-ide kolot yang butek dan menyesatkan. Gasset adalah seorang esais dan pemikir, ia terkenal karena spektrum aneka tulisan sosiologisnya menjangkau jauh ke masa depan.
Gajah Mada maupun Ortega y Gasset telah memainkan peran sejarahnya dengan baik. Anda para profesional (partikelir maupun pelat-merah) juga terpanggil menjawab panggilan sejarahnya masing-masing. John F. Kennedy yang legendaris bilang, "Man has to do what he mustm in spite of all consequences." Ada harga yang mesti dibayar, memang begitulah adanya. Pantun kuno kita pernah mengajarkan: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Tapi mengapa dalam tempo 3-4 dekade belakangan, etos ini sepertinya 'murca' dari sanubari bangsa, diganti semangat hedonis tanpa tedeng aling-aling?
(twitter@andrewenas)
------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING, edisi April 2008
Sunday, November 18, 2012
Simulakrum: Dunia Seolah-olah Kita
Oleh : Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(follow twitter: @andrewenas)
“…it is precisely through the evaluating process of the human mind that human behavior is distinguished from animal behavior, and that man, with his consciousness, enters an atmosphere of greater freedom.”– Sutan Takdir
Alisjahbana.
Begitulah yang diyakini St. Takdir Alisjahbana dalam disertasinya yang akhirnya diterbitkan di Kuala Lumpur tahun 1960 dengan judul: Values as Integrating Forces in Personality, Society, and Culture. Ia seorang pemikir strategis Indonesia yang otentik.
***
Terlebih dalam arus besar globalisasi saat ini, membangun daya kritis telah menjadi suatu imperatif, bahkan conditio sine qua non dalam upaya survival di tata dunia baru yang kaotik (memang terdengar rada oxymoron) karena tanpanya kita akan sangat disilaukan oleh komodifikasi pelbagai hal yang – dengan kekuatan daya hipnotis massa (advertising, integrated marketing communications, public relations) – telah menimbulkan keterpanaan, kemabukan, bahkan ekstasi.
Caveat yang dilansir Yasraf Amir Piliang (Dunia yang Dilipat, 1998, 2004) patut dicermati: “Begitu banyak yang ditawarkan oleh dunia baru ini, sehingga seakan-akan ia dapat menyalurkan segala dorongan hasrat dan segala desakan energi libido manusia. Akan tetapi, begitu banyak pula yang direnggutnya dari manusia, yang meninggalkan berbagai bercak luka, rasa kehilangan, dan duka kepedihan pada diri manusia. Begitu banyak yang dibangunnya, sehingga seakan-akan tidak ada lagi ruang kehidupan yang tersisa, sudut dunia yang tak terjamah, dan bagian dunia yang tak tersentuh. Akan tetapi, begitu banyak pula yang dihancurkannya, yang meninggalkan puing-puing dunia tak berbentuk, sisa-sisa alam yang merana, dan rongsokan jiwa yang kerontang.”
Kita, akibat program pemasaran global kontemporer sekarang, seakan terus diajak bertamasya ke dalam dunia fantasi (…Anda akan jadi seperti bintang film; …anak Anda akan jadi seperti Einstein, …”alumni” play-group pun “diwisuda” pakai toga di hotel berbintang, dll). Repotnya, dalam dunia semacam itu segala sesuatunya hanyalah alam seolah-olah (tidak asli, tidak otentik, tidak genuine), simulasi semata-mata, bahkan khayalan. Kita digiring masuk dalam simulakrum (dunia seolah-olah, tiruan). Diri Anda menjadi bukan diri Anda sendiri,melainkan: Anda adalah apa yang Anda kendarai (atau: …baju yang Anda kenakan; …model yang Anda ikuti; …Anda ditentukan oleh apartemen di mana Anda tinggal, dst.)
***
Dulu kita sering men-dikotomi-kan antara budaya Timur dan budaya Barat. Sesungguhnya hal ini pun juga menyesatkan, sebab jika ditelusuri jauh ke belakang, sejarah umat manusia adalah terus bergerak (tidak terlalu jelas dari arah mana: entah timur atau barat, entah selatan atau utara!) sehingga banyak unsur-unsurnya yang bercampur baur. Walau akhirnya, dalam studi sejarah pemikiran, pada jaman Yunani kuno kira-kira 2600 tahun yang lalu (sejak munculnya para intelektual seperti Thales, Pythagoras, Xenophanes, Herakleitos, Parmenides, sampai ke jaman Sokrates, Platon dan Aristoteles) barulah umat manusia mulai dianggap memasuki jaman rasional dan meninggalkan alam tahayul dewa-dewi. Jaman di mana daya kritis, kemampuan transendensi manusia mulai terang konturnya.
Karenanya – dalam provokasinya yang terkenal dengan ‘polemik kebudayaan’ – St.Takdir Alisjahbana tanpa tedeng aling-aling berseru: “Demikian saya
berkeyakinan, bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch. Hal itu bukan suatu kehinaan bagi suatu bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil dari luar: kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab. Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.”
Daya kritis, kemampuan transendensi, mengambil jarak terhadap dirinya sendiri, telah menjadi ciri kemanusiaan seorang manusia.
***
Kalau saat ini kita sering mengeluh tentang etos kerja para professional, termasuk para wakil rakyat kita (akhir-akhir ini banyak beredar di pelbagai milis perihal pendapatan para wakil rakyat yang dilampirkan foto mereka yang sedang nyenyak di ruang sidang!), sampai ekses para pelajar yang ingin segalanya serba instan tanpa mau bersusah payah meniti proses dengan tabah dan cermat (kedua kata ini: ketabahan dan kecermatan, telah menjadi kata asing dalam arus kehidupan yang serba instan), maka dunia korporasi ikut bertanggung jawab. Karena lewat programa sistematis yang telah menggiring massa ke dalam simulakrum ini sesungguhnya banya korporasi telah ikut memenjarakan kebebasan masyarakat untuk menjadi dirinya sendiri yang otentik. Komodifikasi di hampir segala hal adalah akibat ideologi pasar yang telah menentukan – apa yang disebut sebagai – kriteria kesuksesan.
Demikianlah kita hanya bisa membebaskan diri dari penjara simulakrum lewat pintu pembangunan daya kritis. Para pebisnis tetap dituntut disposisi etisnya terhadap program pembebasan (road to freedom) ini. Veritas vos liberat, kebenaran itu akan memerdekakan.
(twitter@andrewenas)
------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING, edisi April 2009
(follow twitter: @andrewenas)
“…it is precisely through the evaluating process of the human mind that human behavior is distinguished from animal behavior, and that man, with his consciousness, enters an atmosphere of greater freedom.”– Sutan Takdir
Alisjahbana.
Begitulah yang diyakini St. Takdir Alisjahbana dalam disertasinya yang akhirnya diterbitkan di Kuala Lumpur tahun 1960 dengan judul: Values as Integrating Forces in Personality, Society, and Culture. Ia seorang pemikir strategis Indonesia yang otentik.
***
Terlebih dalam arus besar globalisasi saat ini, membangun daya kritis telah menjadi suatu imperatif, bahkan conditio sine qua non dalam upaya survival di tata dunia baru yang kaotik (memang terdengar rada oxymoron) karena tanpanya kita akan sangat disilaukan oleh komodifikasi pelbagai hal yang – dengan kekuatan daya hipnotis massa (advertising, integrated marketing communications, public relations) – telah menimbulkan keterpanaan, kemabukan, bahkan ekstasi.
Caveat yang dilansir Yasraf Amir Piliang (Dunia yang Dilipat, 1998, 2004) patut dicermati: “Begitu banyak yang ditawarkan oleh dunia baru ini, sehingga seakan-akan ia dapat menyalurkan segala dorongan hasrat dan segala desakan energi libido manusia. Akan tetapi, begitu banyak pula yang direnggutnya dari manusia, yang meninggalkan berbagai bercak luka, rasa kehilangan, dan duka kepedihan pada diri manusia. Begitu banyak yang dibangunnya, sehingga seakan-akan tidak ada lagi ruang kehidupan yang tersisa, sudut dunia yang tak terjamah, dan bagian dunia yang tak tersentuh. Akan tetapi, begitu banyak pula yang dihancurkannya, yang meninggalkan puing-puing dunia tak berbentuk, sisa-sisa alam yang merana, dan rongsokan jiwa yang kerontang.”
Kita, akibat program pemasaran global kontemporer sekarang, seakan terus diajak bertamasya ke dalam dunia fantasi (…Anda akan jadi seperti bintang film; …anak Anda akan jadi seperti Einstein, …”alumni” play-group pun “diwisuda” pakai toga di hotel berbintang, dll). Repotnya, dalam dunia semacam itu segala sesuatunya hanyalah alam seolah-olah (tidak asli, tidak otentik, tidak genuine), simulasi semata-mata, bahkan khayalan. Kita digiring masuk dalam simulakrum (dunia seolah-olah, tiruan). Diri Anda menjadi bukan diri Anda sendiri,melainkan: Anda adalah apa yang Anda kendarai (atau: …baju yang Anda kenakan; …model yang Anda ikuti; …Anda ditentukan oleh apartemen di mana Anda tinggal, dst.)
***
Dulu kita sering men-dikotomi-kan antara budaya Timur dan budaya Barat. Sesungguhnya hal ini pun juga menyesatkan, sebab jika ditelusuri jauh ke belakang, sejarah umat manusia adalah terus bergerak (tidak terlalu jelas dari arah mana: entah timur atau barat, entah selatan atau utara!) sehingga banyak unsur-unsurnya yang bercampur baur. Walau akhirnya, dalam studi sejarah pemikiran, pada jaman Yunani kuno kira-kira 2600 tahun yang lalu (sejak munculnya para intelektual seperti Thales, Pythagoras, Xenophanes, Herakleitos, Parmenides, sampai ke jaman Sokrates, Platon dan Aristoteles) barulah umat manusia mulai dianggap memasuki jaman rasional dan meninggalkan alam tahayul dewa-dewi. Jaman di mana daya kritis, kemampuan transendensi manusia mulai terang konturnya.
Karenanya – dalam provokasinya yang terkenal dengan ‘polemik kebudayaan’ – St.Takdir Alisjahbana tanpa tedeng aling-aling berseru: “Demikian saya
berkeyakinan, bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch. Hal itu bukan suatu kehinaan bagi suatu bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil dari luar: kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab. Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.”
Daya kritis, kemampuan transendensi, mengambil jarak terhadap dirinya sendiri, telah menjadi ciri kemanusiaan seorang manusia.
***
Kalau saat ini kita sering mengeluh tentang etos kerja para professional, termasuk para wakil rakyat kita (akhir-akhir ini banyak beredar di pelbagai milis perihal pendapatan para wakil rakyat yang dilampirkan foto mereka yang sedang nyenyak di ruang sidang!), sampai ekses para pelajar yang ingin segalanya serba instan tanpa mau bersusah payah meniti proses dengan tabah dan cermat (kedua kata ini: ketabahan dan kecermatan, telah menjadi kata asing dalam arus kehidupan yang serba instan), maka dunia korporasi ikut bertanggung jawab. Karena lewat programa sistematis yang telah menggiring massa ke dalam simulakrum ini sesungguhnya banya korporasi telah ikut memenjarakan kebebasan masyarakat untuk menjadi dirinya sendiri yang otentik. Komodifikasi di hampir segala hal adalah akibat ideologi pasar yang telah menentukan – apa yang disebut sebagai – kriteria kesuksesan.
Demikianlah kita hanya bisa membebaskan diri dari penjara simulakrum lewat pintu pembangunan daya kritis. Para pebisnis tetap dituntut disposisi etisnya terhadap program pembebasan (road to freedom) ini. Veritas vos liberat, kebenaran itu akan memerdekakan.
(twitter@andrewenas)
------------------------------------------------
Artikel dari Majalah MARKETING, edisi April 2009
Energi dan Nyali Kepemimpinan
Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(follow twitter: @andrewenas)
Setelah bisnis awal dirintis, Anda secara alamiah akan masuk dalam fase perkembangan. Persoalannya, bagaimana bisa mempertahankan fase perkembangan ini
selamanya?
Kebijaksanaan yang diperoleh Prof. Jim Collins dari hasil penelitian yang ditulis dalam karyanya, 'Good To Great, Why Some Companies Make The Leap... And
Others Don't', 2001, mengatakan: "First who... then what." Kurang lebih artinya: mulai dengan siapa, lalu apa. Maksudnya, para leaders (who) dalam organisasi inilah yang akan berpikir dan berkontribusi dalam pemecahan masalah (what) perusahaan untuk mencapai visi.
Sementara itu, Jeffrey A, Krames, dalam bukunya: 'Jack Welch And The 4Es Of Leadership', 2005, menyebutkan empat faktor unggulan dari formula kepemimpinan
Jack Welch, mantan CEO General Electric periode 1981 sampai 2001. Dua dasawarsa sangat dinamis yang berhasil membawa General Electric sebagai perusahaan paling
dikagumi di seantero dunia. Keempat faktor itu adalah:
.1. Energy. Orang yang punya energi akan suka sekali bergerak. Kita sering bertemu dengan orang seperti ini, yakni orang yang energi kepemimpinannya memancar terus seperti mata air. Yang bangun setiap pagi dan tidak sabaran untuk segera menuntaskan pekerjaan yang ada ditangannya.
Mereka ini adalah orang-orang yang berlari dengan kecepatan 150km/jam di tengah-tengah dunia yang berjalan 50km/jam.
2. Energizes. Orang yang punya energi cenderung menyulut energi orang lain. Ini disebut energizes, dan orangnya disebut energizers.
Para energizers ini tahu bagaimana membakar orang lain untuk juga menunjukkan kinerja optimalnya. Mereka mampu merumuskan pandangannya yang jauh ke depan.
(visi), dan mampu menginspirasi orang lain untuk bertindak searah dengan visi tersebut. Para energizers ini tahu bagaimana membuat orang lain excited (terkesima) untuk menempuh konsekuensinya, dan bahkan berkorban untuk itu.
Mereka murah dalam memberi kredit (penghargaan) pada orang lain saat meraih keberhasilan, namun sigap dalam mengambil alih tanggungjawab saat situasinya memburuk.
Kenapa begitu? Karena mereka tahu bahwa membagi penghargaan dan mengambil alih tanggungjawab dalam kegagalan akan meng-energize kolega-kolega kerjanya.
3. Edge. Yang dimaksud dengan edge di sini adalah nyali besar atau keberanian. Orang dengan nyali adalah tipe orang yang berani bersaing (competitive types). Dan, ini yang penting, tahu bagaimana membuat suatu keputusan yang sulit. Mereka tidak membiarkan derajat kesukaran yang tinggi menghalanginya tetap membuat keputusan.
Mereka ini adalah orang yang - seperti istilah Peter Drucker - berani memproses keputusan yang bersifat "hidup atau mati", yakni: merekrut orang, mempromosikannya, dan memecat orang.
4. Executes. Orang yang mengeksekusi secara efektif paham betul bahwa aktivitas dan produktivitas adalah dua hal yang berbeda. Para pemimpin terbaik piawai dalam mengonversikan energy dan edge kedalam suatu tindakan dan menghasilkan.
Mereka tahu bagaimana mengeksekusi. Ketiga "E" yang (energy, energize dan edge) sangatlah penting dan mendasar, namun tanpa hasil yang terukur (measurable results) tidak akan banyak berarti bagi organisasi.
Dengan keempat formula kepemimpinan bisnis tersebut, Anda tinggal bertanya seberapa jauhkah Anda mau membawa bisnis Anda? Seberapa besarkah Anda bisa membangun bisnis Anda? Dan, seberapa cepatkah Anda bisa sampai di tujuan?
Dengan membangun para pemimpin bisnis (business leaders) di dalam organisasi Anda, yakinlah mimpi (visi bisnis) Anda bisa diwujud-nyatakan.
How high can you go? Bersiaplah untuk sukses.
(twitter@andrewenas)
----------------------------------------------------------
Artikel terlampir, dari Tabloid Bisnis KONTAN, Minggu III, Juli 2007
(follow twitter: @andrewenas)
Setelah bisnis awal dirintis, Anda secara alamiah akan masuk dalam fase perkembangan. Persoalannya, bagaimana bisa mempertahankan fase perkembangan ini
selamanya?
Kebijaksanaan yang diperoleh Prof. Jim Collins dari hasil penelitian yang ditulis dalam karyanya, 'Good To Great, Why Some Companies Make The Leap... And
Others Don't', 2001, mengatakan: "First who... then what." Kurang lebih artinya: mulai dengan siapa, lalu apa. Maksudnya, para leaders (who) dalam organisasi inilah yang akan berpikir dan berkontribusi dalam pemecahan masalah (what) perusahaan untuk mencapai visi.
Sementara itu, Jeffrey A, Krames, dalam bukunya: 'Jack Welch And The 4Es Of Leadership', 2005, menyebutkan empat faktor unggulan dari formula kepemimpinan
Jack Welch, mantan CEO General Electric periode 1981 sampai 2001. Dua dasawarsa sangat dinamis yang berhasil membawa General Electric sebagai perusahaan paling
dikagumi di seantero dunia. Keempat faktor itu adalah:
.1. Energy. Orang yang punya energi akan suka sekali bergerak. Kita sering bertemu dengan orang seperti ini, yakni orang yang energi kepemimpinannya memancar terus seperti mata air. Yang bangun setiap pagi dan tidak sabaran untuk segera menuntaskan pekerjaan yang ada ditangannya.
Mereka ini adalah orang-orang yang berlari dengan kecepatan 150km/jam di tengah-tengah dunia yang berjalan 50km/jam.
2. Energizes. Orang yang punya energi cenderung menyulut energi orang lain. Ini disebut energizes, dan orangnya disebut energizers.
Para energizers ini tahu bagaimana membakar orang lain untuk juga menunjukkan kinerja optimalnya. Mereka mampu merumuskan pandangannya yang jauh ke depan.
(visi), dan mampu menginspirasi orang lain untuk bertindak searah dengan visi tersebut. Para energizers ini tahu bagaimana membuat orang lain excited (terkesima) untuk menempuh konsekuensinya, dan bahkan berkorban untuk itu.
Mereka murah dalam memberi kredit (penghargaan) pada orang lain saat meraih keberhasilan, namun sigap dalam mengambil alih tanggungjawab saat situasinya memburuk.
Kenapa begitu? Karena mereka tahu bahwa membagi penghargaan dan mengambil alih tanggungjawab dalam kegagalan akan meng-energize kolega-kolega kerjanya.
3. Edge. Yang dimaksud dengan edge di sini adalah nyali besar atau keberanian. Orang dengan nyali adalah tipe orang yang berani bersaing (competitive types). Dan, ini yang penting, tahu bagaimana membuat suatu keputusan yang sulit. Mereka tidak membiarkan derajat kesukaran yang tinggi menghalanginya tetap membuat keputusan.
Mereka ini adalah orang yang - seperti istilah Peter Drucker - berani memproses keputusan yang bersifat "hidup atau mati", yakni: merekrut orang, mempromosikannya, dan memecat orang.
4. Executes. Orang yang mengeksekusi secara efektif paham betul bahwa aktivitas dan produktivitas adalah dua hal yang berbeda. Para pemimpin terbaik piawai dalam mengonversikan energy dan edge kedalam suatu tindakan dan menghasilkan.
Mereka tahu bagaimana mengeksekusi. Ketiga "E" yang (energy, energize dan edge) sangatlah penting dan mendasar, namun tanpa hasil yang terukur (measurable results) tidak akan banyak berarti bagi organisasi.
Dengan keempat formula kepemimpinan bisnis tersebut, Anda tinggal bertanya seberapa jauhkah Anda mau membawa bisnis Anda? Seberapa besarkah Anda bisa membangun bisnis Anda? Dan, seberapa cepatkah Anda bisa sampai di tujuan?
Dengan membangun para pemimpin bisnis (business leaders) di dalam organisasi Anda, yakinlah mimpi (visi bisnis) Anda bisa diwujud-nyatakan.
How high can you go? Bersiaplah untuk sukses.
(twitter@andrewenas)
----------------------------------------------------------
Artikel terlampir, dari Tabloid Bisnis KONTAN, Minggu III, Juli 2007
Menggerakkan Perubahan
Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
(twitter@andrewenas)
Pada dasarnya setiap orang ingin kemajuan.Namun sayangnya tidak semua orang
menginginkan perubahan. Ini paradoksal tentu saja, karena tidak ada kemajuan
tanpa perubahan. Yang terakhir merupakan prasyarat bagi yang pertama. Untuk
bergerak maju, seseorang harus berpindah dari satu titik ke titik lain di
depannya. Begitu seterusnya dengan gerakan dinamis spiral ke atas.
Dalam menginisiasi perubahan organisasional, Kurt Lewin (Field Theory in
Social Science, 1951) mengusulkan 3 fase besar proses perubahan demi menggerakan
organisasi dari keadaan sekarang menuju masa depan, yakni: 1) Unfreezing
(Mencairkan/mengurai kebekuan), 2) Changing (Perubahan), 3) Refreezing
(Memantapkan/menyatukan kembali).
Dalam upaya mencairkan atau mengurai kebekuan organisasional, pertama-tama
adalah dengan membangkitkan kesadaran (awareness) dari orang-orang kunci
(biasanya 2 sampai 3 lapis di bawah Anda), lalu mempersiapkan mereka untuk
proses perubahan. Sosialisasi proses perubahan bisa terus dikomunikasikan dalam
tiap kesempatan, apakah itu pertemuan formal maupun informal. Biarkan inisiatif
perubahan itu menjadi buzzwords (sesuatu yang jadi bahan pembicaraan) di kantin
perusahaan maupun di koridor dan di dalam ruang rapat.
Setelah suasana relatif mulai mencair, proses perubahan mulai digerakkan ke
arah yang baru. Ini menyangkut perilaku (behavior) dari tim manajemen.
Perilakuya mesti sesuai dengan pola yang baru: 1) Compliance, tindakan tim
manajemen sesuai dengan arah kebijakan yang baru. 2) Identification, di mana
para anggota organisasi bisa melihat para pimpinan sebagai acuan (role-model)
dari gerakan perubahan. Sehingga mereka bisa mengadopsi hal yang baru dan
mencoba menjadi seperti yang dicontohkan. 3) Internalization, di sini
konsistensi sikap dan perilaku jadi kata kunci. Menginisiasi proses perubahan
jangan sekedar panas-panas tahi ayam saja.
Lalu fase terakhir adalah pemantapan kembali (refreezing). Fase ini mulai
tatkala perilaku yang baru telah mulai menjadi suatu kebiasaan hidup organisasi
yang normal.
Beberapa kiat untuk memulai dan mengelola suatu proses perubahan: 1)
Kembangkan sasaran atau tujuan yang baru, libatkan orang-orang kunci (bahkan
seluruh anggota organisasi) dalam prosesnya. 2) Pilih agen-agen perubahan dalam
organisasi yang bisa menciptakan suasana kondusif. 3) Diagnosa masalah yang
muncul, identifikasi apa masalah kuncinya. 4) Pilih cara (metodologi) manajemen
perubahan yang paling pas dengan situasi organisasi Anda sendiri. 5) Susun
sebuah rencana (unsurnya: tujuan, target antara, sumber-daya yang dibutuhkan,
dan rencana waktunya). 6) Yang dekat dengan rencana adalah penentun strategi
perubahan. Ini soal kapan, di mana, dan bagaimana rencananya. Waktu yang tepat
(timing) sangat berperan dalam keberhasilan, bagaimana pesan perubahan itu
dikomunikasikan dan bagaimana kemajuan dalam implementasi akan dimonitor juga
perlu ditentukan secara bijaksana. 7) Implementasi.
Sebagai inisiator perubahan, Anda mesti menyadari adanya faktor-faktor yang
bakal menghalangi. Ini adalah faktor resistensi (penolakan) yang disebabkan
oleh: a) rasa tidak aman yang ditimbulkan akibat perubahan (kehilangan posisi,
berkurangnya kuasa, dll), b) komunikasi yang tidak memadai, c) kecepatan dan
luasnya bidang perubahan, semakin besar cakupan perubahan semakin besar faktor
resistensinya, d) penolakan kelompok, misalnya seperti penolakan serikat buruh
terhadap suatu inisiatif tim manajemen, e) faktor emosional yang diakibatkan
reputasi jelek tim manajemen di masa lalu.
Oleh karena itu, agar proses pengelolaan perubahan bisa berjalan mulus, Anda
perlu memastikan adanya:
1. Partisipasi dan keterlibatan, yang bisa memperlihatkan ketulusan Anda dan
tim manajemen.
2. Komunikasi dan edukasi, untuk memastikan bahwa setiap orang mempunyai
informasi dan pemahaman yang memadai tentang arah dan cara yang akan ditempuh.
3. Kepemimpinan kuat, punya komitmen dan kredibilitas.
4. Negosiasi dan kesepakatan, terutama jika Anda berurusan juga dengan
serikat-serikat pekerja yang ada.
5. Sikap mementingkan kepentingan bersama.
6. Waktu yang tepat untuk melakukan perubahan (timing).
Faktor-faktor ini akan membantu Anda mengurangi resistensi terhadap perubahan.
Bersiaplah untuk sukses.
(twitter@andrewenas)
Pada dasarnya setiap orang ingin kemajuan.Namun sayangnya tidak semua orang
menginginkan perubahan. Ini paradoksal tentu saja, karena tidak ada kemajuan
tanpa perubahan. Yang terakhir merupakan prasyarat bagi yang pertama. Untuk
bergerak maju, seseorang harus berpindah dari satu titik ke titik lain di
depannya. Begitu seterusnya dengan gerakan dinamis spiral ke atas.
Dalam menginisiasi perubahan organisasional, Kurt Lewin (Field Theory in
Social Science, 1951) mengusulkan 3 fase besar proses perubahan demi menggerakan
organisasi dari keadaan sekarang menuju masa depan, yakni: 1) Unfreezing
(Mencairkan/mengurai kebekuan), 2) Changing (Perubahan), 3) Refreezing
(Memantapkan/menyatukan kembali).
Dalam upaya mencairkan atau mengurai kebekuan organisasional, pertama-tama
adalah dengan membangkitkan kesadaran (awareness) dari orang-orang kunci
(biasanya 2 sampai 3 lapis di bawah Anda), lalu mempersiapkan mereka untuk
proses perubahan. Sosialisasi proses perubahan bisa terus dikomunikasikan dalam
tiap kesempatan, apakah itu pertemuan formal maupun informal. Biarkan inisiatif
perubahan itu menjadi buzzwords (sesuatu yang jadi bahan pembicaraan) di kantin
perusahaan maupun di koridor dan di dalam ruang rapat.
Setelah suasana relatif mulai mencair, proses perubahan mulai digerakkan ke
arah yang baru. Ini menyangkut perilaku (behavior) dari tim manajemen.
Perilakuya mesti sesuai dengan pola yang baru: 1) Compliance, tindakan tim
manajemen sesuai dengan arah kebijakan yang baru. 2) Identification, di mana
para anggota organisasi bisa melihat para pimpinan sebagai acuan (role-model)
dari gerakan perubahan. Sehingga mereka bisa mengadopsi hal yang baru dan
mencoba menjadi seperti yang dicontohkan. 3) Internalization, di sini
konsistensi sikap dan perilaku jadi kata kunci. Menginisiasi proses perubahan
jangan sekedar panas-panas tahi ayam saja.
Lalu fase terakhir adalah pemantapan kembali (refreezing). Fase ini mulai
tatkala perilaku yang baru telah mulai menjadi suatu kebiasaan hidup organisasi
yang normal.
Beberapa kiat untuk memulai dan mengelola suatu proses perubahan: 1)
Kembangkan sasaran atau tujuan yang baru, libatkan orang-orang kunci (bahkan
seluruh anggota organisasi) dalam prosesnya. 2) Pilih agen-agen perubahan dalam
organisasi yang bisa menciptakan suasana kondusif. 3) Diagnosa masalah yang
muncul, identifikasi apa masalah kuncinya. 4) Pilih cara (metodologi) manajemen
perubahan yang paling pas dengan situasi organisasi Anda sendiri. 5) Susun
sebuah rencana (unsurnya: tujuan, target antara, sumber-daya yang dibutuhkan,
dan rencana waktunya). 6) Yang dekat dengan rencana adalah penentun strategi
perubahan. Ini soal kapan, di mana, dan bagaimana rencananya. Waktu yang tepat
(timing) sangat berperan dalam keberhasilan, bagaimana pesan perubahan itu
dikomunikasikan dan bagaimana kemajuan dalam implementasi akan dimonitor juga
perlu ditentukan secara bijaksana. 7) Implementasi.
Sebagai inisiator perubahan, Anda mesti menyadari adanya faktor-faktor yang
bakal menghalangi. Ini adalah faktor resistensi (penolakan) yang disebabkan
oleh: a) rasa tidak aman yang ditimbulkan akibat perubahan (kehilangan posisi,
berkurangnya kuasa, dll), b) komunikasi yang tidak memadai, c) kecepatan dan
luasnya bidang perubahan, semakin besar cakupan perubahan semakin besar faktor
resistensinya, d) penolakan kelompok, misalnya seperti penolakan serikat buruh
terhadap suatu inisiatif tim manajemen, e) faktor emosional yang diakibatkan
reputasi jelek tim manajemen di masa lalu.
Oleh karena itu, agar proses pengelolaan perubahan bisa berjalan mulus, Anda
perlu memastikan adanya:
1. Partisipasi dan keterlibatan, yang bisa memperlihatkan ketulusan Anda dan
tim manajemen.
2. Komunikasi dan edukasi, untuk memastikan bahwa setiap orang mempunyai
informasi dan pemahaman yang memadai tentang arah dan cara yang akan ditempuh.
3. Kepemimpinan kuat, punya komitmen dan kredibilitas.
4. Negosiasi dan kesepakatan, terutama jika Anda berurusan juga dengan
serikat-serikat pekerja yang ada.
5. Sikap mementingkan kepentingan bersama.
6. Waktu yang tepat untuk melakukan perubahan (timing).
Faktor-faktor ini akan membantu Anda mengurangi resistensi terhadap perubahan.
Bersiaplah untuk sukses.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Related Posts
-
Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA. (twitter@andrewenas) Bisnis berkembang, organisasi bertumbuh alias karyawan tambah banyak, terjadi p...
-
Kamar mandi / toilet biasanya dilengkapi dengan perlengkapan untuk buang air kecil maupun besar. Kamar mandi yang dilengkapi dengan urina...
-
Salah satu senjata ampuh para eksekutif untuk meningkatkan kariernya kini adalah dengan menempuh jalur pendidikan keprofesian bersertifi...
-
Performa Industri: Quality, Productivity, Safety, Cost. Manakah yang perlu diprioritaskan? Banyak sekali metode-metode yang dapat dipakai un...
-
Akurasi inventory atau akurasi pada bagian warehouse salah satu kuncinya terletak pada sistem WMS yang dipakai. Terutama benturannya dengan...