Mengubah Pikiran dengan Mengubah Pertanyaan menjadi Pernyataan
Mungkinkah dengan hanya mengubah pertanyaan dan pernyataan mampu mengubah pikiran kita ?
Pikiran tempat berkumpulnya motivasi, emosi positif dan negatif, tidak lah selalu dalam kondisi yang prima. Terkadang emosi negatif mendominasi sehingga menghasilkan perilaku yang kurang baik seperti tidak percaya diri, merasa sulit mendapatkan solusi dari setiap permasalahan, kinerja menjadi buruk, dan perilaku perilaku kurang baik lainnya.
Para pakar motivasi menyatakan bahwa dengan mengubah pertanyaan ataupun pernyataan diri akan suatu hal akan mengubah kondisi pikiran menuju kehidupan yang lebih berkualitas.
Berikut ini adalah 3 Pola ajaib yang bisa kita mainkan untuk merubah pertanyaan dan pernyataan diri sehingga berdampak pada perubahan menuju pikiran dan perilaku yang positif atau lebih baik.
1. Pola: "Kenapa…." diubah menjadi "Bagaimana caranya….(lawan kalimat pertama)"
Contoh pertanyaan:
"Kenapa saya malas bekerja?" diubah menjadi "Bagaiman caranya agar saya semangat bekerja ?"
"Kenapa hidup saya selalu gagal?" diubah menjadi "Bagaiman caranya agar hidup saya selalu sukses ?"
"Kenapa mereka selalu mengabaikan kampanye K3 ?" diubah menjadi "Bagaimana caranya agar mereka selalu memperhatikan dan menjalankan pesan dalam kampanye K3 saya ?"
(Sekarang giliran Anda untuk bermain main dengan pertanyaan tersebut)
Catatan: Pola pertanyaan "Bagaimana caranya" akan merangsang pikiran untuk langsung mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi.
2. Pola: Seharusnya saya… diubah menjadi Saya akan….
"Seharusnya saya bisa berprestasi?" diubah menjadi "Saya akan selalu berprestasi"
"Seharusnya saya bertindak cepat" diubah menjadi "Saya akan selalu bertindak cepat"
"Seharusnya mereka mengerti kalau tindakan itu berbahaya diubah menjadi "Saya yakin mereka akan mengerti kalau tindakan itu berbahaya"
(Sekarang giliran Anda untu bermain main dengan pernyataan tersebut)
Catatan: Pola pernyataan "Saya akan…" akan merangsang pikiran untuk optimis dan dengan sendirinya akan menacari solusi dari permasalahan yang dihadapi serta membiasakan solusi tersebut dalam kehidupan.
3. Pola: Jangan…. diubah menjadi …(lawan kata sesudah kata jangan)
"Jangan Telat" diubah menjadi "Datang Tepat Waktu ya..."
"Jangan Takut" diubah menjadi "Berani ya..."
"Jangan Buang sampah sembarangan" diubah menjadi "Buanglah Sampah pada Tempatnya"
(Sekarang giliran Anda untu bermain main dengan pernyataan tersebut)
Catatan: Pola pernyataan "…(lawan kata sesudah kata jangan)" memberikan instruksi langsung ke pikiran terhadap pesan yang ingin disampaikan. Pikiran tidak mengenal kata tidak atau jangan, yang ditangkap adalah kata sesudah jangan tersebut. Sama halnya ketika ada yang berkata pada kita "Jangan membayangkan seekor monyet", justru malah pikiran kita membayangkan seekor monyet.
Semoga dengan mengubah pertanyaan dan pernyataan diri dapat mengubah pikiran kita hingga menghasilkan perilaku yang selalu positif.
Salam Safety
Sumber: www.lorco.co.id
by Widi Safari
Wednesday, August 25, 2010
Thursday, August 19, 2010
Just in Time
Mengenal Sistem Produksi Tepat Waktu (Just In Time System)
Mohammad Syarwani
I. Sistem Produksi Barat
Sistem produksi yang paling banyak dipakai saat ini adalah yang berasal dari Eropa dan Amerika. Sistem produksi tersebut dikenal sebagai sistem produksi western. Ciri-ciri dari sistem produksi ini antara lain:
* melakukan peramalan dalam menentukan kuantitas produksi,
* melakukan optimasi dalam penjadwalan produksi, penentuan kebutuhan bahan,penentuan kebutuhan mesin, pekerja, dll.
* terdapatnya departemen pengendalian kualitas,
* terdapatnya gudang receiver dan gudang warehouse sebagai
penyimpan persediaan, dll.
Secara garis besarnya adalah masih terdapatnya unsur- unsur probabilistik dalam melakukan keputusan untuk masalah-masalah sistem produksi. Filosofi dasar dari sistem produksi western adalah bagaimana mengoptimalkan unsur-unsur sistem produksi yang tersedia. Hal ini memungkinkan karena negara-negara barat waktu itu masih memiliki resourcess yang cukup banyak.
Pada tahun 1970-an terjadi krisis minyak bumi yang sangat mempengaruhi industri-industri barat sebagai consumer terbesar. Sedangkan Jepang tidak begitu terpengaruh krisis tersebut karena Jepang sudah biasa hemat dalam menggunakan resources khususnya minyak bumi. Akibatnya industri-industri barat mengalami kemerosotan sedangkan sebaliknya di Jepang justru mulai muncul.
Pada tahun 1980-an sistem produksi jepang mulai menunjukkan keunggulan-keunggulannya sedangkan barat justru baru mulai merekonstruksi dan merestrukturisasi sistem produksinya baik melalui teknik-teknik produksinya maupun manajemennya. Pada tahun 1990-an Jepang nampak berkembang pesat dan jauh meninggalkan Eropa ataupun Amerika.
II. Sistem Produksi Jepang
Sistem produksi Jepang dikenal dengan nama Sistem Produksi Tepat-Waktu (Just In Time). Filosofi dasar dari sistem produksi jepang (JIT)adalah memperkecil kemubadziran (Eliminate of Waste). Bentuk kemubadziran antara lain adalah
Kemubadziran dalam Waktu, misalnya ada pekerja yang menganggur (idle time), mesin yang menganggur, waktu transport dalam pabrik tidak efisien, jadwal produksi yang tidak ditepati, keterlambatan material, lintasan produksi yang tidak seimbang sehingga terjadi bottle-neck, terlambatnya pengiriman barang, banyak-nya karyawan yang absen, dsb.
Kemubadziran dalam Material, misalnya terlalu banyak buangan (scraps, chips) akibat proses produksi, banyak terjadi kerusakan material atau material dalam proses, banyaknya material yang hilang, material yang usang, nilai material yang menurun akibat terlalu lama disimpan, dll.
Kemubadziran dalam Manajemen, misalnya terlalu banyak karyawan kantor, banyak terjadi mis-informasi antar departemen, banyaknya overlapping dalam penugasan, pelaksanaan tugas yang tidak efektif, sulit dalam koordinasi, dll. Jepang melakukan eliminate of waste karena jepang tidak punya resources yang cukup. Jadi dalam setiap melakukan pengambilan keputusan terutama untuk masalah produksi selalu menganut kepada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas.
Untuk dapat melaksanakan eliminate waste Jepang melakukan strategi sebagai berikut :
- Hanya memproduksi jenis produk yang diperlukan.
- Hanya memproduksi produk sejumlah yang dibutuhkan.
- Hanya memproduksi produk pada saat diperlukan.
Tujuan utama dari sistem produksi JIT adalah untuk dapat memproduksi produk dengan Kualitas (quality) terbaik, Ongkos (cost) termurah, dan Pengiriman (delivery) pada saat yang tepat, dan disingkat QCD. Tujuan utama ini bisa dicapai jika ketiga unsur berikut dapat dilaksanakan secara terpadu, yaitu Melakukan pengendalian kuantitas dengan baik.
Untuk dapat menentukan kuantitas yang tepat maka diperlukan sistem informasi yang baik. Sistem informasi untuk memproses produk tersebut di Jepang dikenal dengan istilah Kanban (kartu berjalan). Pelaksanakan pengendalian kuantitas akan berjalan dengan baik jika didukung oleh suplier dan consumer yang pasti dan tepat waktu. Jika hal ini dapat dilakukan maka kita akan dapat mengeliminir waste dalam material
sehingga konsep Zerro Inventory dapat dilaksanakan.
Melakukan pengendalian kualitas dengan baik.
Dalam melakukan pengendalian kualitas di Jepang dikenal dengan istilah TQC (Total Quality Control). Tujuannya adalah untuk dapat memenuhi konsep Zero Defect. Didalam sistem produksi di jepang tidak ada departemen pengendalian kualitas, tetapi yang ada adalah Quality Assurance (jaminan kualitas).
Konsep zero defect tersebut akan dapat berjalan dengan baik jika para pekerja diberi kewenangan (otonomi), agar tidak memberikan hasil produk yang tidak baik ke rekan kerja berikutnya sehingga tidak menyusahkan pekerja lainnya.
Menjunjung tinggi harkat kemanusiaan karyawan. Didalam sistem produksi dikenal 5 faktor produksi yang penting agar produksi dapat berjalan dengan baik yang dikenal dengan istilah Lima M, yaitu Man, Machine, Material, Money, dan Method. JIT tidak ingin menganggap Man hanya sebagai salah satu faktor produksi saja, tetapi lebih dari itu yakni ingin mengangkat harkat karyawan sehingga karyawan tersebut merasa
memiliki sebagian dari perusahaan. Untuk dapat melakukan ini ada 3 cara, yaitu :
a. Otonomi (kewenangan).
Karena karyawan sebagai pelaku dan penentu dalam proses produksi maka perlu kewenangan sehingga dapat mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan batasan tugas dan tanggungjawabnya.
b. Flexibility
Karyawan perlu mengetahui dan bisa melakukan pekerjaan- pekerjaan lain diluar pekerjaannya. Hal ini dilakukan agar dapat mengurangi kebosanan (boredom) atau kejenuhan dan dapat melakukan subtitusi kerja lainnya jika karyawan yang ber-sangkutan absen.
Ditinjau dari segi manajemen adalah menguntungkan dalam segi pengkoordinasian karena setiap karyawan mengerti akan keterkaitannya dan tugas-tugas rekan kerjanya yang lain. Dengan cara tersebut akan didapat karyawan yang bersifat multifungsi. Jika karyawan diarahkan kepada pekerjaan yang bersifat Spesialisasi saja maka akan muncul
hal-hal negatif antara lain adalah kesulitan dalam mengkoordinasi karena timbulnya blok-blok atau pengkotakan antar job-nya masing-masing, tidak ada sifat gotong-royong dalam bekerja, antara karyawan tidak ada sifat kepedulian, dll.
c. Creativity
Jika wewenang, tanggung-jawab, job, dan flexibility sudah dimiliki setiap karyawan tetapi kreativitas belum tersalurkan maka akan muncul kejengkelan atau unek-unek dari karyawan tersebut. Untuk itu perlu adanya penyaluran kretivitas apakah dalam bentuk Urun rembug, brainstorming, atau yang lainnya. Dengan demikian akan terbentuk suatu Demokrasi dalam sistem produksi.
Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa JIT sebenarnya berakar pada ilmu-ilmu barat. JIT dapat berjalan dan berhasil di Jepang karena didukung oleh budaya jepang yang sesuai. Jadi secara tidak langsung Jepang dapat memilih dan membudidayakan budaya asing yang baik untuk disesuaikan dan dikembangkan menjadi budayanya.
===
Pusat Studi ERP Indonesia
http://www.ERPweaver.com
Mohammad Syarwani
I. Sistem Produksi Barat
Sistem produksi yang paling banyak dipakai saat ini adalah yang berasal dari Eropa dan Amerika. Sistem produksi tersebut dikenal sebagai sistem produksi western. Ciri-ciri dari sistem produksi ini antara lain:
* melakukan peramalan dalam menentukan kuantitas produksi,
* melakukan optimasi dalam penjadwalan produksi, penentuan kebutuhan bahan,penentuan kebutuhan mesin, pekerja, dll.
* terdapatnya departemen pengendalian kualitas,
* terdapatnya gudang receiver dan gudang warehouse sebagai
penyimpan persediaan, dll.
Secara garis besarnya adalah masih terdapatnya unsur- unsur probabilistik dalam melakukan keputusan untuk masalah-masalah sistem produksi. Filosofi dasar dari sistem produksi western adalah bagaimana mengoptimalkan unsur-unsur sistem produksi yang tersedia. Hal ini memungkinkan karena negara-negara barat waktu itu masih memiliki resourcess yang cukup banyak.
Pada tahun 1970-an terjadi krisis minyak bumi yang sangat mempengaruhi industri-industri barat sebagai consumer terbesar. Sedangkan Jepang tidak begitu terpengaruh krisis tersebut karena Jepang sudah biasa hemat dalam menggunakan resources khususnya minyak bumi. Akibatnya industri-industri barat mengalami kemerosotan sedangkan sebaliknya di Jepang justru mulai muncul.
Pada tahun 1980-an sistem produksi jepang mulai menunjukkan keunggulan-keunggulannya sedangkan barat justru baru mulai merekonstruksi dan merestrukturisasi sistem produksinya baik melalui teknik-teknik produksinya maupun manajemennya. Pada tahun 1990-an Jepang nampak berkembang pesat dan jauh meninggalkan Eropa ataupun Amerika.
II. Sistem Produksi Jepang
Sistem produksi Jepang dikenal dengan nama Sistem Produksi Tepat-Waktu (Just In Time). Filosofi dasar dari sistem produksi jepang (JIT)adalah memperkecil kemubadziran (Eliminate of Waste). Bentuk kemubadziran antara lain adalah
Kemubadziran dalam Waktu, misalnya ada pekerja yang menganggur (idle time), mesin yang menganggur, waktu transport dalam pabrik tidak efisien, jadwal produksi yang tidak ditepati, keterlambatan material, lintasan produksi yang tidak seimbang sehingga terjadi bottle-neck, terlambatnya pengiriman barang, banyak-nya karyawan yang absen, dsb.
Kemubadziran dalam Material, misalnya terlalu banyak buangan (scraps, chips) akibat proses produksi, banyak terjadi kerusakan material atau material dalam proses, banyaknya material yang hilang, material yang usang, nilai material yang menurun akibat terlalu lama disimpan, dll.
Kemubadziran dalam Manajemen, misalnya terlalu banyak karyawan kantor, banyak terjadi mis-informasi antar departemen, banyaknya overlapping dalam penugasan, pelaksanaan tugas yang tidak efektif, sulit dalam koordinasi, dll. Jepang melakukan eliminate of waste karena jepang tidak punya resources yang cukup. Jadi dalam setiap melakukan pengambilan keputusan terutama untuk masalah produksi selalu menganut kepada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas.
Untuk dapat melaksanakan eliminate waste Jepang melakukan strategi sebagai berikut :
- Hanya memproduksi jenis produk yang diperlukan.
- Hanya memproduksi produk sejumlah yang dibutuhkan.
- Hanya memproduksi produk pada saat diperlukan.
Tujuan utama dari sistem produksi JIT adalah untuk dapat memproduksi produk dengan Kualitas (quality) terbaik, Ongkos (cost) termurah, dan Pengiriman (delivery) pada saat yang tepat, dan disingkat QCD. Tujuan utama ini bisa dicapai jika ketiga unsur berikut dapat dilaksanakan secara terpadu, yaitu Melakukan pengendalian kuantitas dengan baik.
Untuk dapat menentukan kuantitas yang tepat maka diperlukan sistem informasi yang baik. Sistem informasi untuk memproses produk tersebut di Jepang dikenal dengan istilah Kanban (kartu berjalan). Pelaksanakan pengendalian kuantitas akan berjalan dengan baik jika didukung oleh suplier dan consumer yang pasti dan tepat waktu. Jika hal ini dapat dilakukan maka kita akan dapat mengeliminir waste dalam material
sehingga konsep Zerro Inventory dapat dilaksanakan.
Melakukan pengendalian kualitas dengan baik.
Dalam melakukan pengendalian kualitas di Jepang dikenal dengan istilah TQC (Total Quality Control). Tujuannya adalah untuk dapat memenuhi konsep Zero Defect. Didalam sistem produksi di jepang tidak ada departemen pengendalian kualitas, tetapi yang ada adalah Quality Assurance (jaminan kualitas).
Konsep zero defect tersebut akan dapat berjalan dengan baik jika para pekerja diberi kewenangan (otonomi), agar tidak memberikan hasil produk yang tidak baik ke rekan kerja berikutnya sehingga tidak menyusahkan pekerja lainnya.
Menjunjung tinggi harkat kemanusiaan karyawan. Didalam sistem produksi dikenal 5 faktor produksi yang penting agar produksi dapat berjalan dengan baik yang dikenal dengan istilah Lima M, yaitu Man, Machine, Material, Money, dan Method. JIT tidak ingin menganggap Man hanya sebagai salah satu faktor produksi saja, tetapi lebih dari itu yakni ingin mengangkat harkat karyawan sehingga karyawan tersebut merasa
memiliki sebagian dari perusahaan. Untuk dapat melakukan ini ada 3 cara, yaitu :
a. Otonomi (kewenangan).
Karena karyawan sebagai pelaku dan penentu dalam proses produksi maka perlu kewenangan sehingga dapat mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan batasan tugas dan tanggungjawabnya.
b. Flexibility
Karyawan perlu mengetahui dan bisa melakukan pekerjaan- pekerjaan lain diluar pekerjaannya. Hal ini dilakukan agar dapat mengurangi kebosanan (boredom) atau kejenuhan dan dapat melakukan subtitusi kerja lainnya jika karyawan yang ber-sangkutan absen.
Ditinjau dari segi manajemen adalah menguntungkan dalam segi pengkoordinasian karena setiap karyawan mengerti akan keterkaitannya dan tugas-tugas rekan kerjanya yang lain. Dengan cara tersebut akan didapat karyawan yang bersifat multifungsi. Jika karyawan diarahkan kepada pekerjaan yang bersifat Spesialisasi saja maka akan muncul
hal-hal negatif antara lain adalah kesulitan dalam mengkoordinasi karena timbulnya blok-blok atau pengkotakan antar job-nya masing-masing, tidak ada sifat gotong-royong dalam bekerja, antara karyawan tidak ada sifat kepedulian, dll.
c. Creativity
Jika wewenang, tanggung-jawab, job, dan flexibility sudah dimiliki setiap karyawan tetapi kreativitas belum tersalurkan maka akan muncul kejengkelan atau unek-unek dari karyawan tersebut. Untuk itu perlu adanya penyaluran kretivitas apakah dalam bentuk Urun rembug, brainstorming, atau yang lainnya. Dengan demikian akan terbentuk suatu Demokrasi dalam sistem produksi.
Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa JIT sebenarnya berakar pada ilmu-ilmu barat. JIT dapat berjalan dan berhasil di Jepang karena didukung oleh budaya jepang yang sesuai. Jadi secara tidak langsung Jepang dapat memilih dan membudidayakan budaya asing yang baik untuk disesuaikan dan dikembangkan menjadi budayanya.
===
Pusat Studi ERP Indonesia
http://www.ERPweaver.com
Sunday, August 15, 2010
Baju Bayi Lucu
Lebaran akan tiba, kunjungi website untuk koleksi baju si kecil
http://www.kiranakirani.com/
-----------------------------------------
Mohon maaf, website diatas sudah terminated
Sebagai gantinya silahkan buka http://multiafebriani.blogspot.com/
http://www.kiranakirani.com/
-----------------------------------------
Mohon maaf, website diatas sudah terminated
Sebagai gantinya silahkan buka http://multiafebriani.blogspot.com/
Thursday, August 12, 2010
Integrasi Data Rantai Pasokan, Kunci dari Profit
Dalam supply chain management, data yang berdiri sendiri dari masing masing rantai akan menimbulkan biaya yang tinggi, membuat tidak fleksibel, dan akibatnya profitpun terancam. Bagaimana mengubahnya, berikut risalah tulisan dari F John Reh, About.com.
Integrasi Data.
Ketika perusahaan mulai berdiri, tidak banyak data yang diperlukan. Hampir semua data disimpan dalam kepala seorang pemilik perusahaan, pemasok atau pelanggan mendapatkan data dengan bicara panjang lebar.
Kemudian dengan berkembangnya perusahaan, maka mulailah data dibuat di beberapa tempat oleh beberapa orang, misalnya data produksi, data finansial, dan data marketing. Dan bicara panjang lebarpun sudah tidak bisa membuat data terkumpul dengan cepat, akibatnya proses finansial perusahaan jadi melambat, marketing jadi menurun, dan produksi jadi bulan bulanan. Akhirnya tumbuhlah kebutuhan untuk merangkum data data tersebut secara periodik, mingguan atau harian. Dan saat ini, dunia bisnis sudah membutuhkan lebih dari rangkuman periodik, dunia bisnis saat ini membutuhkan data yang saling terikat setiap saat, saling terhubung setiap saat, dan data yang akurat setiap saat. Real Time Visibility sudah dimulai.
Kunci sukses dan profit perusahaan perusahaan saat ini dan dimasa mendatang adalah seberapa cepat data terintegrasi dan seberapa akurat data tersebut. Dan itu melalui penguasaan teknologi informasi.
Langkah langkah integrasi data.
Untuk menata data data memang terdengar mudah, namun sangat besar tantangannya. Selain penguasaan teknologi informasi, dibutuhkan visi yang kuat, kemauan baja, kesabaran biksu, dan kedewasaan untuk mencapainya. Namun begitu berikut langkah langkah menuju data yang terintegrasi
1. Tentukan data data apa yang perlu di integrasikan [misal: finansial, purchasing, produksi, dan customer service].
2, Tunjuk siapa yang mengumpulkan dan mengolah data data tersebut.
3. Tentukan siapa pemilik data hasil integrasi tersebut, sebagai penanggungjawab atas kualitasnya.
4. Diskusi dengan pemilik data tersebut tentang apa yang diinginkan dari data integrasi itu, bukan hanya apa yang bisa didapatkan.
5. Tentukan bahasa standard, dan tempat dimana data itu akan diproses, diolah dan disimpan.
6. Adakan proses pengadaan berdasarkan hasil hasil spesifikasi diatas.
7. Terus satukan persepsi bahwa data itu nantinya adalah data integrasi dari perusahaan bukan lagi data masing masing bagian.
8. Aktifkan sistem integrasi data yang baru dan segera matikan sistem yang lama.
9. Saatnya memperhatikan dan mengevaluasi, apakah finansial status membaik.
Dengan integrasi data ini kita akan mengurangi biaya biaya produksi, meningkatkan produktifitas, dan profit akan terkontrol.
Tosan S
http://thepurchaser .blogspot. com
Integrasi Data.
Ketika perusahaan mulai berdiri, tidak banyak data yang diperlukan. Hampir semua data disimpan dalam kepala seorang pemilik perusahaan, pemasok atau pelanggan mendapatkan data dengan bicara panjang lebar.
Kemudian dengan berkembangnya perusahaan, maka mulailah data dibuat di beberapa tempat oleh beberapa orang, misalnya data produksi, data finansial, dan data marketing. Dan bicara panjang lebarpun sudah tidak bisa membuat data terkumpul dengan cepat, akibatnya proses finansial perusahaan jadi melambat, marketing jadi menurun, dan produksi jadi bulan bulanan. Akhirnya tumbuhlah kebutuhan untuk merangkum data data tersebut secara periodik, mingguan atau harian. Dan saat ini, dunia bisnis sudah membutuhkan lebih dari rangkuman periodik, dunia bisnis saat ini membutuhkan data yang saling terikat setiap saat, saling terhubung setiap saat, dan data yang akurat setiap saat. Real Time Visibility sudah dimulai.
Kunci sukses dan profit perusahaan perusahaan saat ini dan dimasa mendatang adalah seberapa cepat data terintegrasi dan seberapa akurat data tersebut. Dan itu melalui penguasaan teknologi informasi.
Langkah langkah integrasi data.
Untuk menata data data memang terdengar mudah, namun sangat besar tantangannya. Selain penguasaan teknologi informasi, dibutuhkan visi yang kuat, kemauan baja, kesabaran biksu, dan kedewasaan untuk mencapainya. Namun begitu berikut langkah langkah menuju data yang terintegrasi
1. Tentukan data data apa yang perlu di integrasikan [misal: finansial, purchasing, produksi, dan customer service].
2, Tunjuk siapa yang mengumpulkan dan mengolah data data tersebut.
3. Tentukan siapa pemilik data hasil integrasi tersebut, sebagai penanggungjawab atas kualitasnya.
4. Diskusi dengan pemilik data tersebut tentang apa yang diinginkan dari data integrasi itu, bukan hanya apa yang bisa didapatkan.
5. Tentukan bahasa standard, dan tempat dimana data itu akan diproses, diolah dan disimpan.
6. Adakan proses pengadaan berdasarkan hasil hasil spesifikasi diatas.
7. Terus satukan persepsi bahwa data itu nantinya adalah data integrasi dari perusahaan bukan lagi data masing masing bagian.
8. Aktifkan sistem integrasi data yang baru dan segera matikan sistem yang lama.
9. Saatnya memperhatikan dan mengevaluasi, apakah finansial status membaik.
Dengan integrasi data ini kita akan mengurangi biaya biaya produksi, meningkatkan produktifitas, dan profit akan terkontrol.
Tosan S
http://thepurchaser .blogspot. com
Monday, August 9, 2010
How to be a best in class Logistics customer
WEEKLY LINK
Published: 14/10/2009 at 12:00 AM
Newspaper section: Business
Knowing how to be a good customer is just as important as knowing how to treat customers well. Manufacturers, distributors and retailers often reward their best supply chain vendors, especially those that perform logistics services. Now what if the logistics service providers were to turn the tables and nominate their best customers? What would be the criteria for winning such an award? Robert J. Bowman of Global Logistics & Supply Chain Strategies highlights some tips for companies on how to be a "best-in-class" customer of a logistics provider in a poor economy.
Think in terms of the big picture: Companies on both sides of a contractual relationship need to align with the overall supply chain and business objectives of a particular category and its end consumers. For example a good relationship will give the provider some leeway in determining where to cut inventory or reduce overall service costs, whereas a traditional storage contractor would want a full warehouse.
Don't fixate on transactional pricing: Enlightened customers don't let the draw of a low-cost freight rate (with doubtful service levels) place the larger chain at risk. A good logistics provider can often help its customers save cost, as long as it's given the freedom to look at more than individual links in the chain. A reasonable approach to price must be preceded by a look at all the costs.
Set realistic expectations for outsourcing results: Going into a relationship, the customer's buying organisation might have failed to detail exactly what benefits the provider is expected to deliver. After that, poor communication between various levels of both organisations only serves to make things worse, leading to misunderstandings and finger-pointing. Putting the full details of the deal into writing can help to avoid the danger of "scope creep", whereby the provider's responsibilities range well beyond what was anticipated, without any clear intent behind the change.
Emphasise accurate data and automation: Lack of good data shouldn't be used as an excuse for failing to drive improvements in the customer's supply chain. The more accurate the data given to a service provider, the better the business case will be. Data integrity on the customer side is vital to establishing metrics to track ongoing performance, and crafting a relationship that benefits both parties over the long run.
Clear procedures and concise metrics: A series of key performance measurements and standardised procedures are essential to identifying and tracking the success of those programmes. If a service provider can highlight to its customer the exact amount spent on moving raw materials for each item produced, then costs can be reduced without eroding margin.
Focus on collaboration: In today's uncertain economy, it's only natural for companies to feel uncomfortable about committing themselves to an ironclad, multi-year contract. However, real collaboration involves the sharing of both risk and reward. That's especially crucial in rough economic times, when the provider can get stuck with excess transport and warehouse capacity if the customer opts out of a contract, changes its supply chain strategy or goes out of business.
Meet regularly with the service provider: There's no rule about how often partners should talk about major issues, but it should be monthly. Topics should include the state of the relationship, project plans, expectations of return on investment, and whether desired results are being achieved. The best-in-class logistics provider is usually ready to respond to unanticipated changes in the marketplace, economy or distribution network and will continually offer ideas for improving the customer's supply chain.
Get senior leadership involved: Senior-level reviews tend to occur once or twice a year, with quarterly reviews taking place at the general-manager level. The latter can involve individuals from various logistics or supply chain disciplines. The high-level talks will focus on how the parties are meeting their strategic objective, with a particular emphasis on any changes in facilities or distribution networks.
Pay your bills on time: For all that high-flown talk of collaboration and trust, outsourced logistics remains a low-margin business. In this economic climate people are looking to stretch out their payables, slow-paying clients can make or break a relationship, jeopardising the provider's profitability.
In Summary: The current economic crisis has providers thinking hard, not only about holding on to their customers, but selecting the right ones. A nervous or reactive client who demands across-the-board rate cuts but won't commit to a long-term engagement isn't going to attract many high-quality logistics entities, no matter how bad things are. Furthermore, any customer that fails to meet a provider halfway isn't going to derive full value from the relationship.
Weekly Link is co-ordinated by Barry Elliott and Chris Catto-Smith CMC of the Institute of Management Consultants Thailand . It is intended to be an interactive forum for industry professionals
Published: 14/10/2009 at 12:00 AM
Newspaper section: Business
Knowing how to be a good customer is just as important as knowing how to treat customers well. Manufacturers, distributors and retailers often reward their best supply chain vendors, especially those that perform logistics services. Now what if the logistics service providers were to turn the tables and nominate their best customers? What would be the criteria for winning such an award? Robert J. Bowman of Global Logistics & Supply Chain Strategies highlights some tips for companies on how to be a "best-in-class" customer of a logistics provider in a poor economy.
Think in terms of the big picture: Companies on both sides of a contractual relationship need to align with the overall supply chain and business objectives of a particular category and its end consumers. For example a good relationship will give the provider some leeway in determining where to cut inventory or reduce overall service costs, whereas a traditional storage contractor would want a full warehouse.
Don't fixate on transactional pricing: Enlightened customers don't let the draw of a low-cost freight rate (with doubtful service levels) place the larger chain at risk. A good logistics provider can often help its customers save cost, as long as it's given the freedom to look at more than individual links in the chain. A reasonable approach to price must be preceded by a look at all the costs.
Set realistic expectations for outsourcing results: Going into a relationship, the customer's buying organisation might have failed to detail exactly what benefits the provider is expected to deliver. After that, poor communication between various levels of both organisations only serves to make things worse, leading to misunderstandings and finger-pointing. Putting the full details of the deal into writing can help to avoid the danger of "scope creep", whereby the provider's responsibilities range well beyond what was anticipated, without any clear intent behind the change.
Emphasise accurate data and automation: Lack of good data shouldn't be used as an excuse for failing to drive improvements in the customer's supply chain. The more accurate the data given to a service provider, the better the business case will be. Data integrity on the customer side is vital to establishing metrics to track ongoing performance, and crafting a relationship that benefits both parties over the long run.
Clear procedures and concise metrics: A series of key performance measurements and standardised procedures are essential to identifying and tracking the success of those programmes. If a service provider can highlight to its customer the exact amount spent on moving raw materials for each item produced, then costs can be reduced without eroding margin.
Focus on collaboration: In today's uncertain economy, it's only natural for companies to feel uncomfortable about committing themselves to an ironclad, multi-year contract. However, real collaboration involves the sharing of both risk and reward. That's especially crucial in rough economic times, when the provider can get stuck with excess transport and warehouse capacity if the customer opts out of a contract, changes its supply chain strategy or goes out of business.
Meet regularly with the service provider: There's no rule about how often partners should talk about major issues, but it should be monthly. Topics should include the state of the relationship, project plans, expectations of return on investment, and whether desired results are being achieved. The best-in-class logistics provider is usually ready to respond to unanticipated changes in the marketplace, economy or distribution network and will continually offer ideas for improving the customer's supply chain.
Get senior leadership involved: Senior-level reviews tend to occur once or twice a year, with quarterly reviews taking place at the general-manager level. The latter can involve individuals from various logistics or supply chain disciplines. The high-level talks will focus on how the parties are meeting their strategic objective, with a particular emphasis on any changes in facilities or distribution networks.
Pay your bills on time: For all that high-flown talk of collaboration and trust, outsourced logistics remains a low-margin business. In this economic climate people are looking to stretch out their payables, slow-paying clients can make or break a relationship, jeopardising the provider's profitability.
In Summary: The current economic crisis has providers thinking hard, not only about holding on to their customers, but selecting the right ones. A nervous or reactive client who demands across-the-board rate cuts but won't commit to a long-term engagement isn't going to attract many high-quality logistics entities, no matter how bad things are. Furthermore, any customer that fails to meet a provider halfway isn't going to derive full value from the relationship.
Weekly Link is co-ordinated by Barry Elliott and Chris Catto-Smith CMC of the Institute of Management Consultants Thailand . It is intended to be an interactive forum for industry professionals
Friday, August 6, 2010
Peti kemas Tanjung Perak naik
SURABAYA: Arus peti kemas yang dibongkar muat melalui sejumlah dermaga di Pelabuhan Tanjung Perak pada semester I/2010 mencapai 1,63 juta twenty foot equivalent units (TEUs) atau naik sekitar 16% dari capaian pada periode sama 2009 yang mencapai 1,38 juta TEUs.
Kepala Humas PT Pelabuhan Indonesia III Iwan Sabatini mengakui bila handling peti kemas yang dilakukan beberapa dermaga di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya selama periode 6 bulan pertama 2010 meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
"Ada peningkatan sekitar 16%. Volume peti kemas semester I/2009 hanya 1,38 juta TEUs naik menjadi 1,63 juta TEUs pada semester I/2010. Itu merupakan hasil kontribusi PT Terminal Peti kemas Surabaya, PT Berlian Jasa Terminal Indonesia dan dermaga Nilam yang baru direvitalisasi," katanya kepada Bisnis kemarin.
Sumber: Bisnis Indonesia
Berita lengkapnya dapat anda baca pada link ini: http://web.bisnis.com/ecetak/135/transportasi-logistik/1id198397.html
Kepala Humas PT Pelabuhan Indonesia III Iwan Sabatini mengakui bila handling peti kemas yang dilakukan beberapa dermaga di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya selama periode 6 bulan pertama 2010 meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
"Ada peningkatan sekitar 16%. Volume peti kemas semester I/2009 hanya 1,38 juta TEUs naik menjadi 1,63 juta TEUs pada semester I/2010. Itu merupakan hasil kontribusi PT Terminal Peti kemas Surabaya, PT Berlian Jasa Terminal Indonesia dan dermaga Nilam yang baru direvitalisasi," katanya kepada Bisnis kemarin.
Sumber: Bisnis Indonesia
Berita lengkapnya dapat anda baca pada link ini: http://web.bisnis.com/ecetak/135/transportasi-logistik/1id198397.html
Thursday, August 5, 2010
Changing Supply Chain Thinking
The supply chain is changing both domestically and internationally because of pressure to cut costs and increase efficiency and productivity. According to a recent Fleet Owner article, all people involved in making supply chain decisions will face shifts in their transportation strategies.
Shippers are trying to streamline their supply chains, while truckers are attempting to diversify their service offerings to meet transportation needs. Truckers also are trying to make their equipment as efficient as possible and are lowering travel expenses to improve their cost structure. The need for more efficient processes has formed at a time when there is increased pressure across supply chains. Customers now can demand supplies at any time and from anywhere, and suppliers must have the insight and execution to keep up.
“After the experience of the last 18 to 24 months, we know we need to be much more nimble in the future to drive efficiencies through a multidivisional company like ours while enabling us … to more rapidly respond to changing business dynamics,” says Charlie Chesnutt, senior vice president at Genuine Parts. He argues that purchased product should not matter because it depends on how the warehouses, trucks, and technology get it to the end customer. Their plans can be different, but the software should be the same. “It’s all about more precisely establishing the ‘what, when, how much, and why’ of the shipment and storage goods so our business as a whole can benefit from this supply chain shift,” says Chesnutt.
Source: APICS e-News
URL: http://www.apics.org/sitefiles/enews/enews_2010_05_18_full_version.html?utm_source=enews&utm_medium=email&utm_campaign=enews_100518#2
Shippers are trying to streamline their supply chains, while truckers are attempting to diversify their service offerings to meet transportation needs. Truckers also are trying to make their equipment as efficient as possible and are lowering travel expenses to improve their cost structure. The need for more efficient processes has formed at a time when there is increased pressure across supply chains. Customers now can demand supplies at any time and from anywhere, and suppliers must have the insight and execution to keep up.
“After the experience of the last 18 to 24 months, we know we need to be much more nimble in the future to drive efficiencies through a multidivisional company like ours while enabling us … to more rapidly respond to changing business dynamics,” says Charlie Chesnutt, senior vice president at Genuine Parts. He argues that purchased product should not matter because it depends on how the warehouses, trucks, and technology get it to the end customer. Their plans can be different, but the software should be the same. “It’s all about more precisely establishing the ‘what, when, how much, and why’ of the shipment and storage goods so our business as a whole can benefit from this supply chain shift,” says Chesnutt.
Source: APICS e-News
URL: http://www.apics.org/sitefiles/enews/enews_2010_05_18_full_version.html?utm_source=enews&utm_medium=email&utm_campaign=enews_100518#2
Wednesday, August 4, 2010
Cara Jembrana Menjadi Digital City
Monday, July 5th, 2010
oleh : A. Mohammad BS
Meski relatif miskin sumber daya alam, Kabupaten Jembrana mampu menjadi digital city yang kini menjadi rujukan daerah lain. Berbagai layanan canggih — seperti yang dirasakan warga negara-negara maju — sudah bisa dinikmati warga Jembrana. Salah satu kunci utama keberhasilannya: gotong-royong.
"Biar tidak kaya, yang penting inovatif dan kreatif." Prinsip ini sepertinya dipegang oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana. Betapa tidak, hingga tahun 2000, Jembrana tak lebih dari sebuah perlintasan arus wisatawan domestik dari Pulau Jawa menuju Denpasar. Jembrana tak memiliki sumber daya alam dan objek wisata yang menonjol. Tak mengherankan, dengan PAD Rp 2,3 miliar per tahun beberapa tahun lalu itu, Jembrana merupakan kabupaten dengan PAD terendah di antara 8 kabupaten dan kota di Bali.
Akan tetapi, dengan segala keterbatasannya, Jembrana justru kini bisa dibilang sebagai salah satu kabupaten paling modern di Indonesia — dibandingkan DKI Jakarta sekalipun. Jembrana juga bisa menjadi pionir dalam hal pemanfaatan teknologi informasi bagi peningkatan pelayanan kepada masyakaratnya.
Contohnya, sementara di DKI Jakarta para pegawai pemerintah dan warganya memiliki beberapa kartu (KTP, kartu pegawai, kartu Jamsostek/kartu asuransi, NPWP, dan sejumlah kartu lainnya), di Jembrana tidak seperti itu. Di kabupaten ini, setiap pegawai pemerintah dan siswa sekolah cukup menyimpan satu kartu yang memiliki beragam fungsi: sebagai KTP, kartu pegawai atau kartu pelajar yang merangkap kartu absen, kartu ATM hingga kartu untuk pembayaran belanja di kantin sekolah. Hebatnya lagi, kartu itu berisi data rekam medis dan berfungsi sebagai kartu berobat ke dokter atau rumah sakit. Kartu multifungsi itu disebut Jembrana Smart Card (J-Smart). Kartu ini boleh dibilang sebagai terobosan dari Pemkab Jembrana dalam rangka meningkatkan kinerja layanan publiknya dengan memanfaatkan TI.
Tak hanya itu. Ketika konsep digital city atau cyber city masih diwacanakan di seantero Indonesia, Jembrana sudah menerapkannya. Kabupaten yang terletak di bagian paling barat Pulau Bali itu merupakan contoh sukses dan dijadikan rujukan dalam pewujudan digital city.Dalam hal pemanfaatan TI, Jembrana memang selalu terdepan dan inovatif. Dan, keberanian Jembrana dalam mengadopsi solusi TI tersebut tidak lepas dari sosok Prof. Dr. drg. I Gede Winasa, sang bupati. "Kami ini miskin, tapi sombong," ucap Winasa dengan nada canda.
Maklumlah, sebagai daerah minus, Winasa malah berani-beraninya memutuskan memanfaatkan TI, yang tentu saja biayanya tidak murah. Sang bupati intelek ini memiliki keyakinan TI akan sangat membantu kemajuan daerahnya. Di sisi lain, pembenahan birokrasi dan SDM pun gencar dilakukan. Apa saja inovasi Jembrana dalam mempraktikkan e-government (e-gov) menuju kota digital guna memberikan pelayanan sebaiknya-baiknya kepada masyakaratnya?
Salah satu gebrakan awal Winasa adalah pengembangan website 2001. Tujuannya, mempermudah interaksi dengan warga. Namun, terbatasnya warga Jembrana dalam mengakses Internet menyebabkan hasil yang diharapkan tidak maksimal. Meski demikian, Pemkab Jembrana tak putus asa. Seiring dengan maraknya pemakaian telepon seluler, Pemkab menyiasatinya dengan mengembangkan layanan SMS gateway. , respons terhadap layanan SMSgatewayini cukup bagus. Setiap hari ratusan SMS berisi pengaduan hingga permohonan masuk ke Pemkab — yang dijawab dan ditindaklanjuti dalam waktu maksimum tiga hari.
Menurut I Komang Wiasa, Kepala Dinas Hubungan Komunikasi dan Informasi Kab. Jembrana, cepatnya respons terhadap SMS yang masuk, karena SMS itu langsung dilkomunikasikan ke bagian-bagian terkait secara elektronik sesuai dengan konsep "kantaya" (kantor maya). "Padahal, ketika mengawali menerapkan TI, Pemkab Jembrana tidak mempunyai SDM TI. Untuk itu, pada 2001 kami menjalin kerja sama dengan Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT untuk mendapatkan teknologi dan dukungan teknis dengan anggaran terbatas," ujar Wiasa.
Salah satu megaproyek pengembangan TI yang dilakukan Pemkab Jembrana adalah Jimbarwana Network (J-Net) — infrastruktur jaringan yang mengintegrasikan kecamatan, desa dan sekolah-sekolah se-Kabupaten Jembrana — pada Maret 2007. Tujuan pengembangan J-Net adalah meningkatkan kualitas layanan publik, menjalankan kelola pemerintahan yang baik, meningkatkan kualitas pendidikan (e-learning), dan memasyarakatkan TI. "Konsep pengembangan TI Jembrana adalah e-development. tidak sekadar ingin menjadikan Jembrana sebagai daerah yang menjalankan e-government, melainkan perpaduan penerapan e-leadership, e-government, e-society, e-businessyang terhubung dalam infrastruktur, " Wiasa menuturkan.
Dijelaskan Wiasa, pembangunan backboneJ-Net dimulai dari pusat pemerintahan kabupaten yang berhubungan dengan Network Operating Center (NOC). Dari pusat jaringan backbonedipancarkan sinyal ke dua arah yang berbeda. Ke timur mengarah ke Kantor Camat Mendoyo dan Camat Pekutatan. Lalu, ke barat mengarah ke Kantor Camat Melaya. Diklaim Wiasa, jaringan backboneKab. Jembrana ini ditopang oleh perangkat teknologi tinggi Speed LAN (local area network)yang menjadi standar militer Amerika Serikat.
Dijelaskan Wiasa, pembuatan infrastruktur jaringan komputer di Jembrana menggunakan konsep De Militerized Zone (DMZ):semua server utama diletakkan pada daerah bebas gangguan keamanan yang diapit dua firewall. Firewall merupakan exterior firewallyang menggunakan perangkat bridge firewall(diletakkan pada NOC). Pada gatewaydiberikan fasilitas Virtual Private Network (VPN) untuk menjaga kerahasiaan pengiriman data, baik voicemaupun non-voicedari dan ke luar jaringan Kab. Jembrana. Adapun komputer clientdiberi softwareVPN Client. Firewallkedua diletakkan pada sisi intranet yang dilengkapi juga dengan VPN serveryang dipasang pada router. Fungsi VPN ini untuk menjamin kerahasiaan pengiriman data. Sebab, antara NOC dan clientmasih menggunakan wireless — keamanannya masih sangat rendah.
Pengembangan jaringan infrastruktur (backbone) J-Net ini menghabiskan biaya Rp 5 miliar. J-Net mempunyai kapasitas bandwidthhingga 11 Mbps — cukup besar dan cepat untuk mengirim data teks, data suara, ataupun data gambar/video. Bahkan, J-Net juga bisa digunakan untuk layanan VoIP dan video conference.
Diakui Wiasa, bagi Jembrana investasi untuk membangun J-Net ini sangat besar. Pendanaannya, selain dari APBD, juga dari sumbangan warga. Antara lain, tiap sekolah menyumbang Rp 30 juta, sumbangan tiap desa sebesar Rp 40 juta, dan kecamatan mengeluarkan Rp 60 juta. "Menjadikan Jembrana sebagai cyber citybenar-benar dilakukan secara gotong-royong, " ujar Wiasa bangga.
Hasilnya? Kini, J-Net bisa menghubungkan kantor kabupaten dengan lima kantor kecamatan, 51 kantor desa, 10 kantor kelurahan, 240 sekolah, puskesmas, rumah sakit dan telecenteryang ada di Jembrana. Hingga tahun ini ditargetkan jumlah titik jaringan berbasis Internet ini bisa mencapai 253.
Kehadiran J-Net pun telah memicu pengembangan dan implementasi sistem TI yang baru. Antara lain, Jembrana Satu Identitas Kesehatan (J-Sidik) yang mengintegrasikan Sistem Informasi Manajemen Pemerintah Daerah dengan sistem Jaminan Kesehatan Jembrana. Pengembangan terbaru yang digagas Winasa adalah Millenium Development Goals (MDGs) di mana pencapaian MDGs ditampilkan dalam bentuk peta digital yang menggambarkan kondisi MDGs di seluruh banjar di Kab. Jembrana. Mappingini dapat dimonitor oleh petugas posyandu, aparat desa, camat hingga bupati, dengan mengakses situs web yang terhubung dengan J-Net.
Selain itu, Pemkab Jembrana mulai memperkenalkan layanan e-ticket untuk keperluan transportasi massal dengan tarif murah — walaupun untuk sementara layanan ini baru bisa dinikmati pegawai negeri sipil (PNS). Melalui layanan e-ticket, setiap bus sudah dilengkapi komputer untuk membaca KTP SIAK milik PNS yang menumpang dan telah terintegrasi dengan rekening masing-masing sehingga langsung memotong Rp 1.000 untuk satu perjalanan.
Tidak hanya itu, sekarang masyarakat Jembrana bisa memanfaatkan komputer layar sentuh yang terpasang di Kantor Pemkab untuk mendapatkan informasi tentang layanan. Termasuk, biaya layanan sebelum mengajukan permintaan layanan. "Praktik calo dan korupsi sudah bisa diberantas," kata Wiasa.
Sekolah-sekolah di Jembrana pun sudah terhubung dengan program jaringan pendidikan nasional (jardiknas). Bahkan, J-Net juga dimanfaatkan sekolah untuk absensi, perpustakaan, kantin, video edukasi hingga saat pemilihan ketua OSIS (melalui cara e-voting).
Gebrakan terbaru Winasa adalah memanfaatkan TI untuk melakukan e-voting pemilihan kepala dusun dan kepala desa. Penerapan e-voting untuk menghemat biaya serta mempersingkat dan memudahkan proses pemilihan. Selain itu, dengan menggunakan kartu chipsebagai kartu identitas penduduk dan bagian dari sistem verifikasi, penyimpangan proses pemilihan dapat dihindari. Dengan sistem ini, calon pemilih hanya menggunakan kartu tanda penduduk yang sudah dilengkapi chip data untuk mendaftar, kemudian menuju bilik suara dan menyentuh gambar calon yang tertera pada layar monitor. Prosesi itu dilakukan tidak sampai setengah menit untuk satu pemilih. Hasil dari sistem ini bisa segera terpampang di layar monitor dan bisa dihitung seketika, sehingga siapa pemenangnya dan jumlah suara yang diperoleh bisa diketahui. "Menuju e-government harga mati yang dicanangkan Pemkab. Walaupun tidak sedikit kendala yang harus dihadapi, seperti keterbatasan dana, pengetahuan, infrastruktur serta budaya kerja," ujar Wiasa. "Jembrana sudah mencanangkan diri menuju cyber citydengan menempatkan TI sebagai tulang punggung dalam memberikan pelayanan agar menjadi lebih efektif dan efisien," Winasa menambahkan.
Menariknya, untuk mempraktikkan e-govdan menuju kota digital ini masyakarat Jembrana tidak dipungut biaya. Misalnya, untuk mengurus e-KTP dilengkapi chip, tidak ada biaya alias gratis. Saat ini 71% penduduk Jembrana telah memiliki e-KTP bisa difungsikan sebagai kartu berobat gratis, baik ke rumah sakit umum maupun swasta, pelayanan ambulan hingga ke rumah sakit rujukan di Denpasar juga digratiskan. Bahkan, di Denpasar, Pemkab menyediakan rumah singgah berkapasitas 20 kamar bagi masyarakat Jembrana dengan hanya menunjukkan KTP. Tidak hanya pembuatan KTP yang digratiskan, akta kelahiran dan akta perkawinan juga bisa didapatkan secara gratis.
Di sisi lain, perekonomian Jembrana pun mulai bergerak naik, yang diiringi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Ketika mulai menjabat, Winasa mewarisi PAD sebesar Rp 2,3 miliar, tetapi belum habis masa jabatan pertamanya ia telah berhasil mendongkrak PAD Jembrana menjadi Rp 8,5 miliar. Sekarang, di akhir masa jabatan keduanya PAD Jembrana telah mencapai Rp 20 miliar. Tak mengherankan, ketika diadakan survei kepuasan rakyat terhadap pemerintah, nilainya 90,08%. Diklaim Winasa, dari 270.795 jiwa penduduk pada 2009, tercatat hanya 4.800 orang yang masih termasuk keluarga miskin. "Tahun 2010 ini Jembrana bisa bebas dari keluarga miskin," ujar Winasa menegaskan.
Selain itu, sekarang Pemkab Jembrana bisa memasok sendiri SDM TI yang dibutuhkan, dengan mendirikan Sekolah Tinggi Teknik Jembrana. Pada 2006 Pemkab hanya punya satu tenaga sarjana komputer, sedangkan pada 2009 meningkat menjadi 78 sarjana S-1, dua orang lulusan S-2, dan 14 tamatan D-3, serta dibantu juga oleh 200 mahasiswa dan 150 siswa dari SMK TI. Dengan SDM ini, Pemkab mulai bisa mengembangkan aplikasi sistem kepegawaian dan sistem informasi untuk Jaminan Kesehatan Jembrana. Memanfaatkan tenaga ini juga, Pemkab sukses melakukan sistem pelayanan satu atap, yang benar-benar hanya satu loket tanpa ada tatap muka karena semua dilakukan dengan komputer yagn menggunakan free open source software.
Pemanfaatan TI oleh Pemkab Jembrana dirasakan benar oleh Putu Suardika, warga Jembrana yang saat ini melanjutkan kuliah di Denpasar. Hanya dengan menunjukkan KTP SIAK, Putu dibebaskan dari seluruh biaya saat berobat di Nita Klinik, Denpasar. Sebagai mahasiswa di perantauan, Putu merasa sangat terbantu dengan adanya program digital cityini. "Saya harap Pemkab Jembrana bisa mengembangkan kerja sama dengan lebih banyak klinik swasta di seluruh kabupaten di Bali," katanya. "Selain itu," ia menambahkan, "saya bangga sekarang Jembrana banyak dilirik dunia karena keberhasilannya memanfaatkan TI, sehingga menjadi cyber citypertama di Indonesia."
Menurut catatan Wiasa, selama Januari hingga pertengahan Juni 2010 saja Pemkab sudah menerima 1.837 rombongan, baik pemerintah maupun swasta, yang ingin tahu bagaimana pemanfaatan TI di Jembrana. Agar tidak mengganggu kinerja, Pemkab terpaksa membatasi hanya bisa menerima tamu setiap Selasa, sesuai dengan jadwal bupati melakukan teleconferencedengan masyarakat umum dan aparat bawahannya di dusun-dusun.
Kehebatan Jembrana dalam pemanfaatan TI bagi kemaslahatan warganya diakui praktisi TI Gatot Santoso. Bahkan, Gatot berani menilai bahwa pemkab kabupaten ini sudah layak dijadikan contoh sebagai pemkab yang mempraktikkan e-gov daerahnya telah menjadi digital city. , secara umum, ia menilai penerapan e-gov sejumlah pemkab/pemkot di Indonesia belum merata. Masyarakat masih relatif sulit mengakses informasi, serta mengurus pembuatan kartu pengenal dan pencatatan lainnya (KTP, paspor, SIM, akta kelahiran, pindah alamat, pernikahan, dan sebagainya). Begitu pula, bila para investor ingin melakukan investasi di suatu daerah. Lain halnya di Kab. Jembrana. "level pemerintahan, Kab. Jembrana merupakan salah satu yang sudah leadingdalam penerapan digital city,"ujar Senior VP Wilayah Usaha Tengah PT Aplikanusa Lintasarta itu.
Menurut Gatot, ada beberapa kendala yang dihadapi pemkab/pemkot guna menuju kota digital. Pertama, perencanaan dan implementasinya biasanya masih dilakukan sendiri-sendiri. Padahal dalam konsep digital cityini, teknologi sifatnya standar. "Gunakan saja teknologi yang sudah standar di pasar, baik software, hardware sistem komunikasinya. Kunci utama adalah di sistem prosedur dan standardisasi, " Gatot mengingatkan. Dari sisi perencanaan, saat ini di beberapa tempat masih tergantung pada visi dan urgensi kepala daerahnya. Jika kepala daerahnya kurang mendukung ke arah ICT dan digital city, tentunya anggaran yang disediakan dan bisa dipakai menjadi nomor sekian. Selain itu, pelaksanaannya masih diberlakukan seperti proyek tahunan. Padahal, menurutnya, konsep digital cityseharusnya adalah proyek multi-yearsdan selalu berkesinambungan.
Kendala kedua, standardisasi yang berbeda menyebabkan interkoneksi antarsektor menjadi sulit. Misalnya, interkoneksi pemerintah dengan perbankan, sistem asuransi, rumah sakit dan institusi pendidikan. Perbedaan ini bisa dalam sistem prosedurnya, jumlah digit nomor penduduk/nasabah, interfacingsistem, dan sebagainya. "Untuk aspek perencanaan, seharusnya dilakukan pemerintah pusat. Dipimpin Kominfo dan melibatkan departemen-departem en terkait. Dalam pelaksanaannya, kembali ke konsep focus your own business," Gatot menyarankan.
Reportase: Silawati, Moh. Husni Mubarak/Riset: Rachmanto Aris D.
Sumber: Swa
oleh : A. Mohammad BS
Meski relatif miskin sumber daya alam, Kabupaten Jembrana mampu menjadi digital city yang kini menjadi rujukan daerah lain. Berbagai layanan canggih — seperti yang dirasakan warga negara-negara maju — sudah bisa dinikmati warga Jembrana. Salah satu kunci utama keberhasilannya: gotong-royong.
"Biar tidak kaya, yang penting inovatif dan kreatif." Prinsip ini sepertinya dipegang oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana. Betapa tidak, hingga tahun 2000, Jembrana tak lebih dari sebuah perlintasan arus wisatawan domestik dari Pulau Jawa menuju Denpasar. Jembrana tak memiliki sumber daya alam dan objek wisata yang menonjol. Tak mengherankan, dengan PAD Rp 2,3 miliar per tahun beberapa tahun lalu itu, Jembrana merupakan kabupaten dengan PAD terendah di antara 8 kabupaten dan kota di Bali.
Akan tetapi, dengan segala keterbatasannya, Jembrana justru kini bisa dibilang sebagai salah satu kabupaten paling modern di Indonesia — dibandingkan DKI Jakarta sekalipun. Jembrana juga bisa menjadi pionir dalam hal pemanfaatan teknologi informasi bagi peningkatan pelayanan kepada masyakaratnya.
Contohnya, sementara di DKI Jakarta para pegawai pemerintah dan warganya memiliki beberapa kartu (KTP, kartu pegawai, kartu Jamsostek/kartu asuransi, NPWP, dan sejumlah kartu lainnya), di Jembrana tidak seperti itu. Di kabupaten ini, setiap pegawai pemerintah dan siswa sekolah cukup menyimpan satu kartu yang memiliki beragam fungsi: sebagai KTP, kartu pegawai atau kartu pelajar yang merangkap kartu absen, kartu ATM hingga kartu untuk pembayaran belanja di kantin sekolah. Hebatnya lagi, kartu itu berisi data rekam medis dan berfungsi sebagai kartu berobat ke dokter atau rumah sakit. Kartu multifungsi itu disebut Jembrana Smart Card (J-Smart). Kartu ini boleh dibilang sebagai terobosan dari Pemkab Jembrana dalam rangka meningkatkan kinerja layanan publiknya dengan memanfaatkan TI.
Tak hanya itu. Ketika konsep digital city atau cyber city masih diwacanakan di seantero Indonesia, Jembrana sudah menerapkannya. Kabupaten yang terletak di bagian paling barat Pulau Bali itu merupakan contoh sukses dan dijadikan rujukan dalam pewujudan digital city.Dalam hal pemanfaatan TI, Jembrana memang selalu terdepan dan inovatif. Dan, keberanian Jembrana dalam mengadopsi solusi TI tersebut tidak lepas dari sosok Prof. Dr. drg. I Gede Winasa, sang bupati. "Kami ini miskin, tapi sombong," ucap Winasa dengan nada canda.
Maklumlah, sebagai daerah minus, Winasa malah berani-beraninya memutuskan memanfaatkan TI, yang tentu saja biayanya tidak murah. Sang bupati intelek ini memiliki keyakinan TI akan sangat membantu kemajuan daerahnya. Di sisi lain, pembenahan birokrasi dan SDM pun gencar dilakukan. Apa saja inovasi Jembrana dalam mempraktikkan e-government (e-gov) menuju kota digital guna memberikan pelayanan sebaiknya-baiknya kepada masyakaratnya?
Salah satu gebrakan awal Winasa adalah pengembangan website 2001. Tujuannya, mempermudah interaksi dengan warga. Namun, terbatasnya warga Jembrana dalam mengakses Internet menyebabkan hasil yang diharapkan tidak maksimal. Meski demikian, Pemkab Jembrana tak putus asa. Seiring dengan maraknya pemakaian telepon seluler, Pemkab menyiasatinya dengan mengembangkan layanan SMS gateway. , respons terhadap layanan SMSgatewayini cukup bagus. Setiap hari ratusan SMS berisi pengaduan hingga permohonan masuk ke Pemkab — yang dijawab dan ditindaklanjuti dalam waktu maksimum tiga hari.
Menurut I Komang Wiasa, Kepala Dinas Hubungan Komunikasi dan Informasi Kab. Jembrana, cepatnya respons terhadap SMS yang masuk, karena SMS itu langsung dilkomunikasikan ke bagian-bagian terkait secara elektronik sesuai dengan konsep "kantaya" (kantor maya). "Padahal, ketika mengawali menerapkan TI, Pemkab Jembrana tidak mempunyai SDM TI. Untuk itu, pada 2001 kami menjalin kerja sama dengan Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT untuk mendapatkan teknologi dan dukungan teknis dengan anggaran terbatas," ujar Wiasa.
Salah satu megaproyek pengembangan TI yang dilakukan Pemkab Jembrana adalah Jimbarwana Network (J-Net) — infrastruktur jaringan yang mengintegrasikan kecamatan, desa dan sekolah-sekolah se-Kabupaten Jembrana — pada Maret 2007. Tujuan pengembangan J-Net adalah meningkatkan kualitas layanan publik, menjalankan kelola pemerintahan yang baik, meningkatkan kualitas pendidikan (e-learning), dan memasyarakatkan TI. "Konsep pengembangan TI Jembrana adalah e-development. tidak sekadar ingin menjadikan Jembrana sebagai daerah yang menjalankan e-government, melainkan perpaduan penerapan e-leadership, e-government, e-society, e-businessyang terhubung dalam infrastruktur, " Wiasa menuturkan.
Dijelaskan Wiasa, pembangunan backboneJ-Net dimulai dari pusat pemerintahan kabupaten yang berhubungan dengan Network Operating Center (NOC). Dari pusat jaringan backbonedipancarkan sinyal ke dua arah yang berbeda. Ke timur mengarah ke Kantor Camat Mendoyo dan Camat Pekutatan. Lalu, ke barat mengarah ke Kantor Camat Melaya. Diklaim Wiasa, jaringan backboneKab. Jembrana ini ditopang oleh perangkat teknologi tinggi Speed LAN (local area network)yang menjadi standar militer Amerika Serikat.
Dijelaskan Wiasa, pembuatan infrastruktur jaringan komputer di Jembrana menggunakan konsep De Militerized Zone (DMZ):semua server utama diletakkan pada daerah bebas gangguan keamanan yang diapit dua firewall. Firewall merupakan exterior firewallyang menggunakan perangkat bridge firewall(diletakkan pada NOC). Pada gatewaydiberikan fasilitas Virtual Private Network (VPN) untuk menjaga kerahasiaan pengiriman data, baik voicemaupun non-voicedari dan ke luar jaringan Kab. Jembrana. Adapun komputer clientdiberi softwareVPN Client. Firewallkedua diletakkan pada sisi intranet yang dilengkapi juga dengan VPN serveryang dipasang pada router. Fungsi VPN ini untuk menjamin kerahasiaan pengiriman data. Sebab, antara NOC dan clientmasih menggunakan wireless — keamanannya masih sangat rendah.
Pengembangan jaringan infrastruktur (backbone) J-Net ini menghabiskan biaya Rp 5 miliar. J-Net mempunyai kapasitas bandwidthhingga 11 Mbps — cukup besar dan cepat untuk mengirim data teks, data suara, ataupun data gambar/video. Bahkan, J-Net juga bisa digunakan untuk layanan VoIP dan video conference.
Diakui Wiasa, bagi Jembrana investasi untuk membangun J-Net ini sangat besar. Pendanaannya, selain dari APBD, juga dari sumbangan warga. Antara lain, tiap sekolah menyumbang Rp 30 juta, sumbangan tiap desa sebesar Rp 40 juta, dan kecamatan mengeluarkan Rp 60 juta. "Menjadikan Jembrana sebagai cyber citybenar-benar dilakukan secara gotong-royong, " ujar Wiasa bangga.
Hasilnya? Kini, J-Net bisa menghubungkan kantor kabupaten dengan lima kantor kecamatan, 51 kantor desa, 10 kantor kelurahan, 240 sekolah, puskesmas, rumah sakit dan telecenteryang ada di Jembrana. Hingga tahun ini ditargetkan jumlah titik jaringan berbasis Internet ini bisa mencapai 253.
Kehadiran J-Net pun telah memicu pengembangan dan implementasi sistem TI yang baru. Antara lain, Jembrana Satu Identitas Kesehatan (J-Sidik) yang mengintegrasikan Sistem Informasi Manajemen Pemerintah Daerah dengan sistem Jaminan Kesehatan Jembrana. Pengembangan terbaru yang digagas Winasa adalah Millenium Development Goals (MDGs) di mana pencapaian MDGs ditampilkan dalam bentuk peta digital yang menggambarkan kondisi MDGs di seluruh banjar di Kab. Jembrana. Mappingini dapat dimonitor oleh petugas posyandu, aparat desa, camat hingga bupati, dengan mengakses situs web yang terhubung dengan J-Net.
Selain itu, Pemkab Jembrana mulai memperkenalkan layanan e-ticket untuk keperluan transportasi massal dengan tarif murah — walaupun untuk sementara layanan ini baru bisa dinikmati pegawai negeri sipil (PNS). Melalui layanan e-ticket, setiap bus sudah dilengkapi komputer untuk membaca KTP SIAK milik PNS yang menumpang dan telah terintegrasi dengan rekening masing-masing sehingga langsung memotong Rp 1.000 untuk satu perjalanan.
Tidak hanya itu, sekarang masyarakat Jembrana bisa memanfaatkan komputer layar sentuh yang terpasang di Kantor Pemkab untuk mendapatkan informasi tentang layanan. Termasuk, biaya layanan sebelum mengajukan permintaan layanan. "Praktik calo dan korupsi sudah bisa diberantas," kata Wiasa.
Sekolah-sekolah di Jembrana pun sudah terhubung dengan program jaringan pendidikan nasional (jardiknas). Bahkan, J-Net juga dimanfaatkan sekolah untuk absensi, perpustakaan, kantin, video edukasi hingga saat pemilihan ketua OSIS (melalui cara e-voting).
Gebrakan terbaru Winasa adalah memanfaatkan TI untuk melakukan e-voting pemilihan kepala dusun dan kepala desa. Penerapan e-voting untuk menghemat biaya serta mempersingkat dan memudahkan proses pemilihan. Selain itu, dengan menggunakan kartu chipsebagai kartu identitas penduduk dan bagian dari sistem verifikasi, penyimpangan proses pemilihan dapat dihindari. Dengan sistem ini, calon pemilih hanya menggunakan kartu tanda penduduk yang sudah dilengkapi chip data untuk mendaftar, kemudian menuju bilik suara dan menyentuh gambar calon yang tertera pada layar monitor. Prosesi itu dilakukan tidak sampai setengah menit untuk satu pemilih. Hasil dari sistem ini bisa segera terpampang di layar monitor dan bisa dihitung seketika, sehingga siapa pemenangnya dan jumlah suara yang diperoleh bisa diketahui. "Menuju e-government harga mati yang dicanangkan Pemkab. Walaupun tidak sedikit kendala yang harus dihadapi, seperti keterbatasan dana, pengetahuan, infrastruktur serta budaya kerja," ujar Wiasa. "Jembrana sudah mencanangkan diri menuju cyber citydengan menempatkan TI sebagai tulang punggung dalam memberikan pelayanan agar menjadi lebih efektif dan efisien," Winasa menambahkan.
Menariknya, untuk mempraktikkan e-govdan menuju kota digital ini masyakarat Jembrana tidak dipungut biaya. Misalnya, untuk mengurus e-KTP dilengkapi chip, tidak ada biaya alias gratis. Saat ini 71% penduduk Jembrana telah memiliki e-KTP bisa difungsikan sebagai kartu berobat gratis, baik ke rumah sakit umum maupun swasta, pelayanan ambulan hingga ke rumah sakit rujukan di Denpasar juga digratiskan. Bahkan, di Denpasar, Pemkab menyediakan rumah singgah berkapasitas 20 kamar bagi masyarakat Jembrana dengan hanya menunjukkan KTP. Tidak hanya pembuatan KTP yang digratiskan, akta kelahiran dan akta perkawinan juga bisa didapatkan secara gratis.
Di sisi lain, perekonomian Jembrana pun mulai bergerak naik, yang diiringi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Ketika mulai menjabat, Winasa mewarisi PAD sebesar Rp 2,3 miliar, tetapi belum habis masa jabatan pertamanya ia telah berhasil mendongkrak PAD Jembrana menjadi Rp 8,5 miliar. Sekarang, di akhir masa jabatan keduanya PAD Jembrana telah mencapai Rp 20 miliar. Tak mengherankan, ketika diadakan survei kepuasan rakyat terhadap pemerintah, nilainya 90,08%. Diklaim Winasa, dari 270.795 jiwa penduduk pada 2009, tercatat hanya 4.800 orang yang masih termasuk keluarga miskin. "Tahun 2010 ini Jembrana bisa bebas dari keluarga miskin," ujar Winasa menegaskan.
Selain itu, sekarang Pemkab Jembrana bisa memasok sendiri SDM TI yang dibutuhkan, dengan mendirikan Sekolah Tinggi Teknik Jembrana. Pada 2006 Pemkab hanya punya satu tenaga sarjana komputer, sedangkan pada 2009 meningkat menjadi 78 sarjana S-1, dua orang lulusan S-2, dan 14 tamatan D-3, serta dibantu juga oleh 200 mahasiswa dan 150 siswa dari SMK TI. Dengan SDM ini, Pemkab mulai bisa mengembangkan aplikasi sistem kepegawaian dan sistem informasi untuk Jaminan Kesehatan Jembrana. Memanfaatkan tenaga ini juga, Pemkab sukses melakukan sistem pelayanan satu atap, yang benar-benar hanya satu loket tanpa ada tatap muka karena semua dilakukan dengan komputer yagn menggunakan free open source software.
Pemanfaatan TI oleh Pemkab Jembrana dirasakan benar oleh Putu Suardika, warga Jembrana yang saat ini melanjutkan kuliah di Denpasar. Hanya dengan menunjukkan KTP SIAK, Putu dibebaskan dari seluruh biaya saat berobat di Nita Klinik, Denpasar. Sebagai mahasiswa di perantauan, Putu merasa sangat terbantu dengan adanya program digital cityini. "Saya harap Pemkab Jembrana bisa mengembangkan kerja sama dengan lebih banyak klinik swasta di seluruh kabupaten di Bali," katanya. "Selain itu," ia menambahkan, "saya bangga sekarang Jembrana banyak dilirik dunia karena keberhasilannya memanfaatkan TI, sehingga menjadi cyber citypertama di Indonesia."
Menurut catatan Wiasa, selama Januari hingga pertengahan Juni 2010 saja Pemkab sudah menerima 1.837 rombongan, baik pemerintah maupun swasta, yang ingin tahu bagaimana pemanfaatan TI di Jembrana. Agar tidak mengganggu kinerja, Pemkab terpaksa membatasi hanya bisa menerima tamu setiap Selasa, sesuai dengan jadwal bupati melakukan teleconferencedengan masyarakat umum dan aparat bawahannya di dusun-dusun.
Kehebatan Jembrana dalam pemanfaatan TI bagi kemaslahatan warganya diakui praktisi TI Gatot Santoso. Bahkan, Gatot berani menilai bahwa pemkab kabupaten ini sudah layak dijadikan contoh sebagai pemkab yang mempraktikkan e-gov daerahnya telah menjadi digital city. , secara umum, ia menilai penerapan e-gov sejumlah pemkab/pemkot di Indonesia belum merata. Masyarakat masih relatif sulit mengakses informasi, serta mengurus pembuatan kartu pengenal dan pencatatan lainnya (KTP, paspor, SIM, akta kelahiran, pindah alamat, pernikahan, dan sebagainya). Begitu pula, bila para investor ingin melakukan investasi di suatu daerah. Lain halnya di Kab. Jembrana. "level pemerintahan, Kab. Jembrana merupakan salah satu yang sudah leadingdalam penerapan digital city,"ujar Senior VP Wilayah Usaha Tengah PT Aplikanusa Lintasarta itu.
Menurut Gatot, ada beberapa kendala yang dihadapi pemkab/pemkot guna menuju kota digital. Pertama, perencanaan dan implementasinya biasanya masih dilakukan sendiri-sendiri. Padahal dalam konsep digital cityini, teknologi sifatnya standar. "Gunakan saja teknologi yang sudah standar di pasar, baik software, hardware sistem komunikasinya. Kunci utama adalah di sistem prosedur dan standardisasi, " Gatot mengingatkan. Dari sisi perencanaan, saat ini di beberapa tempat masih tergantung pada visi dan urgensi kepala daerahnya. Jika kepala daerahnya kurang mendukung ke arah ICT dan digital city, tentunya anggaran yang disediakan dan bisa dipakai menjadi nomor sekian. Selain itu, pelaksanaannya masih diberlakukan seperti proyek tahunan. Padahal, menurutnya, konsep digital cityseharusnya adalah proyek multi-yearsdan selalu berkesinambungan.
Kendala kedua, standardisasi yang berbeda menyebabkan interkoneksi antarsektor menjadi sulit. Misalnya, interkoneksi pemerintah dengan perbankan, sistem asuransi, rumah sakit dan institusi pendidikan. Perbedaan ini bisa dalam sistem prosedurnya, jumlah digit nomor penduduk/nasabah, interfacingsistem, dan sebagainya. "Untuk aspek perencanaan, seharusnya dilakukan pemerintah pusat. Dipimpin Kominfo dan melibatkan departemen-departem en terkait. Dalam pelaksanaannya, kembali ke konsep focus your own business," Gatot menyarankan.
Reportase: Silawati, Moh. Husni Mubarak/Riset: Rachmanto Aris D.
Sumber: Swa
Tuesday, August 3, 2010
Lean Supply Chain Management
By Martin Murray,
Introduction
Lean supply chain management is not exclusively for those companies who manufacture products, but by businesses who want to streamline their processes by eliminating waste and non-value added activities. Companies have a number of areas in their supply chain where waste can be identified as time, costs or inventory. To create a leaner supply chain companies must examine each area of the supply chain.
Procurement
Many businesses have complex purchasing operations. Large companies often have corporate purchasing groups as well as local purchasing. This can lead to vendors being given multiple contracts leading to variations in prices depending on location. Companies that practice lean supply chain management reduce their procurement function so that each vendor has one point of contact, one contract and offers one price for all locations. Businesses are looking to new technologies to assist them in improving procurement processes. These include internet based purchasing that allows requisitioners to purchase items from vendor’s catalogs containing company wide contract prices. Changes in payment options to vendors can also streamline processes. Companies that use a two-way match, which is payment on receipt rather than payment on invoice, will reduce resources in their purchasing department as well as improve supplier relationships.
Manufacturing
Lean supply chain management gained popularity in the manufacturing area as this is where significant improvement can be achieved. Manufacturing processes can be improved to reduce waste and resources while maintaining operational performance. Companies who have adopted lean supply chain practices have examined each of their routings, bill of materials and equipment to identify where improvements can be achieved.
Warehousing
Warehouse processes should be examined to find areas of eliminating waste of resources and non-value added steps. One area the companies should always be working on is the reduction of unnecessary inventory. The accumulation of inventory requires resources to store and maintain it. By reducing unnecessary inventory, a company can minimize warehousing space and handling, in turn reducing overall costs.
Transportation
Businesses who want to implement lean processes often look to their transportation procedures to see where they can be streamlined. In many instances companies find that their efforts to improve customer satisfaction leads to poor shipping decisions. Orders are shipped without combining additional orders to minimize costs or expensive shipping options are selected because of a customer request. Businesses often find that they are using a number of shippers unnecessarily when they could be reducing their shipping options and reduce overall costs.
Conclusion
Lean supply chain management requires businesses to examine every process in their supply chain and identify areas that are using unnecessary resources, which can be measured in dollars, time or raw materials. This will improve the company’s competitiveness as well as improve the company’s overall profitability.
Source: http://logistics.about.com/od/supplychainintroduction/a/Lean_SCM.htm
Introduction
Lean supply chain management is not exclusively for those companies who manufacture products, but by businesses who want to streamline their processes by eliminating waste and non-value added activities. Companies have a number of areas in their supply chain where waste can be identified as time, costs or inventory. To create a leaner supply chain companies must examine each area of the supply chain.
Procurement
Many businesses have complex purchasing operations. Large companies often have corporate purchasing groups as well as local purchasing. This can lead to vendors being given multiple contracts leading to variations in prices depending on location. Companies that practice lean supply chain management reduce their procurement function so that each vendor has one point of contact, one contract and offers one price for all locations. Businesses are looking to new technologies to assist them in improving procurement processes. These include internet based purchasing that allows requisitioners to purchase items from vendor’s catalogs containing company wide contract prices. Changes in payment options to vendors can also streamline processes. Companies that use a two-way match, which is payment on receipt rather than payment on invoice, will reduce resources in their purchasing department as well as improve supplier relationships.
Manufacturing
Lean supply chain management gained popularity in the manufacturing area as this is where significant improvement can be achieved. Manufacturing processes can be improved to reduce waste and resources while maintaining operational performance. Companies who have adopted lean supply chain practices have examined each of their routings, bill of materials and equipment to identify where improvements can be achieved.
Warehousing
Warehouse processes should be examined to find areas of eliminating waste of resources and non-value added steps. One area the companies should always be working on is the reduction of unnecessary inventory. The accumulation of inventory requires resources to store and maintain it. By reducing unnecessary inventory, a company can minimize warehousing space and handling, in turn reducing overall costs.
Transportation
Businesses who want to implement lean processes often look to their transportation procedures to see where they can be streamlined. In many instances companies find that their efforts to improve customer satisfaction leads to poor shipping decisions. Orders are shipped without combining additional orders to minimize costs or expensive shipping options are selected because of a customer request. Businesses often find that they are using a number of shippers unnecessarily when they could be reducing their shipping options and reduce overall costs.
Conclusion
Lean supply chain management requires businesses to examine every process in their supply chain and identify areas that are using unnecessary resources, which can be measured in dollars, time or raw materials. This will improve the company’s competitiveness as well as improve the company’s overall profitability.
Source: http://logistics.about.com/od/supplychainintroduction/a/Lean_SCM.htm
Monday, August 2, 2010
Creating a Logistics Strategy
By Martin Murray,
What Is a Logistics Strategy?
When a company creates a logistics strategy it is defining the service levels at which its logistics organization is at its most cost effective. Because supply chains are constantly changing and evolving, a company may develop a number of logistics strategies for specific product lines, specific countries or specific customers.
Why Implement a Logistics Strategy?
The supply chain constantly changes and that will affect any logistics organization. To adapt to the flexibility of the supply chain, companies should develop and implement a formal logistics strategy. This will allow a company to identify the impact of imminent changes and make organizational or functional changes to ensure service levels are not reduced.
What Is Involved in Developing a Logistic Strategy?
A company can start to develop a logistics strategy by looking at four distinct levels of their logistics organization.
Strategic:
By examining the company’s objectives and strategic supply chain decisions, the logistics strategy should review how the logistics organization contributes to those high-level objectives.
Structural:
The logistics strategy should examine the structural issues of the logistics organization, such as the optimum number of warehouses and distribution centers or what products should be produced at a specific manufacturing plant.
Functional:
Any strategy should review how each separate function in the logistics organization is to achieve functional excellence.
Implementation:
The key to developing a successful logistics strategy is how it is to be implemented across the organization. The plan for implementation will include development or configuration of an information system, introduction of new policies and procedures and the development of a change management plan.
Components to Examine when Developing a Logistics Strategy
When examining the four levels of logistics organization, all components of the operation should be examined to ascertain whether any potential cost benefits can be achieved. There are different component areas for each company but the list should at least include the following:
Transportation:
Does the current transportation strategies help service levels?
Outsourcing:
What outsourcing is used in the logistics function? Would a partnership with a third party logistics company improve service levels?
Logistics Systems:
Do the current logistics systems provide the level of data that is required to successfully implement a logistics strategy or are new systems required?
Competitors:
Review what the competitors offer. Can changes to the company’s customer service improve service levels?
Information:
Is the information that drives the logistics organization real-time and accurate? If the data is inaccurate then the decisions that are made will be in error.
Strategy Review:
Are the objectives of the logistics organization in line with company objectives and strategies.
A successfully implemented logistics strategy is important for companies who are dedicated to keeping service levels at the highest levels possible despite changes that occur in the supply chain.
Source: http://logistics.about.com/od/supplychainintroduction/a/strategy.htm
What Is a Logistics Strategy?
When a company creates a logistics strategy it is defining the service levels at which its logistics organization is at its most cost effective. Because supply chains are constantly changing and evolving, a company may develop a number of logistics strategies for specific product lines, specific countries or specific customers.
Why Implement a Logistics Strategy?
The supply chain constantly changes and that will affect any logistics organization. To adapt to the flexibility of the supply chain, companies should develop and implement a formal logistics strategy. This will allow a company to identify the impact of imminent changes and make organizational or functional changes to ensure service levels are not reduced.
What Is Involved in Developing a Logistic Strategy?
A company can start to develop a logistics strategy by looking at four distinct levels of their logistics organization.
Strategic:
By examining the company’s objectives and strategic supply chain decisions, the logistics strategy should review how the logistics organization contributes to those high-level objectives.
Structural:
The logistics strategy should examine the structural issues of the logistics organization, such as the optimum number of warehouses and distribution centers or what products should be produced at a specific manufacturing plant.
Functional:
Any strategy should review how each separate function in the logistics organization is to achieve functional excellence.
Implementation:
The key to developing a successful logistics strategy is how it is to be implemented across the organization. The plan for implementation will include development or configuration of an information system, introduction of new policies and procedures and the development of a change management plan.
Components to Examine when Developing a Logistics Strategy
When examining the four levels of logistics organization, all components of the operation should be examined to ascertain whether any potential cost benefits can be achieved. There are different component areas for each company but the list should at least include the following:
Transportation:
Does the current transportation strategies help service levels?
Outsourcing:
What outsourcing is used in the logistics function? Would a partnership with a third party logistics company improve service levels?
Logistics Systems:
Do the current logistics systems provide the level of data that is required to successfully implement a logistics strategy or are new systems required?
Competitors:
Review what the competitors offer. Can changes to the company’s customer service improve service levels?
Information:
Is the information that drives the logistics organization real-time and accurate? If the data is inaccurate then the decisions that are made will be in error.
Strategy Review:
Are the objectives of the logistics organization in line with company objectives and strategies.
A successfully implemented logistics strategy is important for companies who are dedicated to keeping service levels at the highest levels possible despite changes that occur in the supply chain.
Source: http://logistics.about.com/od/supplychainintroduction/a/strategy.htm
Subscribe to:
Posts (Atom)
Related Posts
-
Kamar mandi / toilet biasanya dilengkapi dengan perlengkapan untuk buang air kecil maupun besar. Kamar mandi yang dilengkapi dengan urina...
-
Performa Industri: Quality, Productivity, Safety, Cost. Manakah yang perlu diprioritaskan? Banyak sekali metode-metode yang dapat dipakai un...
-
Problem di gudang biasanya bukan SOP-nya yang tidak ada, tapi pelaksanaan SOP di lapangan. Yang bisa membantu melacak kehilangan baran...
-
10 Alasan Kenapa Promosi Keselamatan Kerja Anda Wajib Menggunakan Gambar Visual Kenapa setiap Promosi Kesehatan dan Keselamatan K...
-
Ada 7 Poin Penting seputar "Good WareHouse Practice" yang wajb diketahui. Kesehatan dan Keselamatan Kerka atau K3 di ruang ...