Mengatasi Persoalan Daging Sapi dengan Membangun Rantai Pasok Nasional
Menjelang Idul Fitri 1434 H terjadi kenaikan dan lonjakan harga beberapa komoditas, terutama daging sapi, daging ayam, telur ayam, dan cabai. Harga daging sapi, misalnya, mengalami kenaikan yang signifikan menjadi sekitar Rp95.000-140.000/kg.
Untuk meredam kenaikan harga daging sapi, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah sejak April 2013, antara lain: melonggarkan impor daging, mempercepat realisasi impor, menyederhanakan mekanisme impor daging, stabilisasi daging sapi oleh Bulog, menambah pasokan daging sapi dengan impor, dan bekerja sama dengan swasta menjual daging sapi murah ke pasar tradisional. Namun, persoalan tidak dapat terselesaikan dan harga daging sapi di tingkat konsumen tetap tinggi.
Fenomena kenaikan dan lonjakan harga komoditas, termasuk yang disertai dengan kelangkaan, berulang kali terjadi. Kedua fenomena ini semakin kuat ketika terjadi lonjakan permintaan, misalnya, berkaitan hari-hari besar keagamaan.
Fenomena yang berulang kali terjadi tersebut semestinya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk merancang suatu program yang bersifat strategis dan sistematis untuk mengantisipasi kelangkaan dan fluktuasi harga berbagai komoditas penting. Langkah-langkah yang bersifat taktis dan operasional, seperti impor, terbukti tidak bisa mengatasi persoalan tersebut.
Salah satu upaya pemecahan masalah yang bisa dilakukan adalah dengan pendekatan manajemen rantai pasok (supply chain management/SCM). Pemerintah perlu merencanakan, membangun, dan mengintegrasikan aspek-aspek “produksi-distribusi-konsumsi”, antara lain dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pemetaan rantai pasok. Pemetaan dilakukan secara nasional dengan mengidentifikasi para pelaku (pemasok/produsen, pelaku distribusi, pengecer/pedagang, dan konsumen), termasuk wilayah dan aliran distribusinya.
Pembuatan basis data. Basis data mencakup: pemasok/produsen (jumlah pemasok, jumlah sapi), pelaku distribusi (jenis dan jumlah pelaku), pengecer/pedagang (jumlah), dan konsumen (jumlah, segmen, tingkat konsumsi, wilayah).
Perencanaan rantai pasok. Dilakukan terutama untuk mengintegrasikan aspek produksi-distribusi-konsumsi yang selama ini saling terpisah. Para peternak pada tingkat produksi, misalnya, “terpisah” dengan pelaku distribusi yang dilakukan oleh pihak lain. Pelaku distribusi dan pedagang pun saling “terpisah”. Hubungan antar pihak terjadi secara transaksional, tanpa ada kerja sama jangka panjang yang memberikan manfaat bagi para pihak. Selain mengakibatkan rantai pasok tidak efisien, kondisi ini membuka peluang pihak tertentu dalam rantai pasok itu untuk mengambil keuntungan secara tidak proporsional.
Perencanaan rantai pasok mencakup pula perencanaan produksi sesuai permintaan/kebutuhan konsumen, termasuk mempertimbangkan peningkatan permintaan berkaitan dengan hari besar keagamaan dan sebagainya.
Menata dan membangun produksi. Penataan perlu dilakukan terutama agar produksi dilakukan pada skala ekonomis, mengingat pada saat ini para peternak kebanyakan melakukan penggemukan sapi pada jumlah kecil. Skala ekonomis dapat dicapai dengan mengembangkan peternakan sebagai industri besar atau mengintegrasikan para peternak kecil.
Membangun sistem distribusi. Pelaku distribusi sapi potong terdiri dari banyak pihak yang bisa berbeda-beda sesuai daerahnya. Para pelaku distribusi ini antara lain: blantik, jagal, pedagang pengumpul, pedagang besar, rumah potong hewan, dan lain-lain. Sistem distribusi perlu ditata agar efisien dan para pelaku berperan dan mendapatkan keuntungan secara proporsional.
Edukasi di tingkat konsumsi. Edukasi diperlukan antara lain agar konsumen melakukan pola pembelian daging secara tepat. Sebagai contoh, pada saat ini masyarakat lebih menyukai membeli daging segar daripada daging beku. Padahal proses pendistribusian sapi potong lebih mahal yang berdampak ke harga daging.
Pengembangan infrastruktur dan sarana pengangkutan. Ketersediaan infrastruktur (pelabuhan khusus ternak, terminal ternak berikut fasilitas bongkar muat, cold storage system untuk cold chain) dan sarana pengangkutan (kapal ternak, kereta api khusus ternak) sangat diperlukan untuk efisiensi proses pengiriman ternak. Untuk pengangkutan sapi dari Jawa Timur ke Jakarta, misalnya, penggunaan kapal ternak berkapasitas 400 ekor jauh lebih efisien daripada menggunakan truk.
Pengawasan/pemantauan. Dilakukan untuk mengantisipasi pihak-pihak tertentu mengambil keuntungan dengan cara yang tidak dapat dibenarkan. Pengawasan/pemantauan terutama diperlukan pada proses distribusi yang dapat dilakukan dengan melakukan pencatatan arus pengiriman sapi potong antar wilayah, misalnya dengan memanfaatkan jembatan timbang. Di jembatan timbang tidak hanya dilakukan pencatatan berat truk dan muatannya (untuk menghindari beban lebih), namun dilakukan juga pencatatan jumlah sapi potong yang diangkut.
Koordinasi antar Instansi. Pembangunan rantai pasok ini memerlukan koordinasi antar instansi/lembaga/kementerian, misalnya: Kementerian Peternakan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, dan lain-lain. Koordinasi juga diperlukan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
Sumber : http://www.supplychainindonesia.com