Thursday, September 4, 2014
Astra: Rekrut Karyawan Tidak Cuma Lihat IP
Indonesia punya pekerjaan rumah yang besar di bidang pembangunan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Pendidikan yang tinggi ternyata belum tentu mencerminkan kompetensi tenaga kerja.
PT Astra International Tbk (ASII) misalnya. Perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia ini harus memberikan pendidikan tambahan kepada ribuan tenaga kerja berpendidikan S1 yang direkrutnya setiap tahun. Perusahaan menganggap, indeks prestasi (IP) yang tinggi tidak mencerminkan kualitas sarjana yang direkrutnya.
"Setiap tahun kami merekrut 2.500-3.000 sarjana S1. Cari orang bagus itu sulit karena kita tidak bisa melihat cuma dengan IP," kata Direktur Astra International Paulus Bambang dalam dialog bertajuk 'Penguasaan SDM-Iptek Sebagai Kunci Kemajuan Indonesia di Masa Depan' dalam rangkaian seminar bertema Refleksi Tiga Tahun Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di JCC, Jakarta, Kamis (4/9/2014).
Padahal, kata Palus, bila pendidikan yang diterimanya tepat, SDM Indonesia mampu bersaing bahkan mengungguli SDM terlatih sekalipun di negara maju seperti Jepang dan Prancis.
"Kami punya pengalaman mengirim SDM untuk mendapat pendidikan di Jepang. Ternyata setelah mendapat pendidikan, mereka bisa produksi mobil dengan standar Jepang yang nggak kalah. Pernah kita ikutkan lomba, hasil desain mereka kita lombakan dengan Jepang dan Prancis dan ternyata menang. Kesimpulannya, orang Indonesia kalau dikasih kesempatan, nggak akan kalah," paparnya.
Paparan Paulus tersebut senada dengan pemikiran Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto. Menurutnya, selain dukungan dari sisi kebijakan, penyediaan SDM berkualitas juga menjadi hal yang mutlak untuk dipenuhi. "Inovasi teknologi tidak lepas dari kualitas manusia yang menguasai iptek," tegasnya.
Namun, lanjut Unggul, saat ini keberpihakan terhadap penguasaan iptek justru terlihat memudar. Ini tercermin dari anggaran iptek yang semakin minim, bukannya bertambah.
Unggul menyebutkan, saat ini anggaran untuk riset hanya mendapat porsi sekitar 2% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "Pada masa Orde Baru, anggaran riset 3,4% dari APBN. Sekarang turun terus," ungkapnya.
Minimnya penguasaan iptek di dalam negeri menyebabkan Indonesia masih tergantung pada produk-produk impor. Misalnya kala PT PLN (Persero) ingin membangun pembangkit listrik senilai Rp 100 triliun. Sebagian dananya habis dibelanjakan untuk membeli komponen dari luar negeri.
"Padahal, kalau kita bisa meningkatkan kualitas SDM, kita bisa membuat industri yang bernilai tambah. Dengan adanya industri dengan nilai tambah maka diharapakan indonesia bisa mengurangi impor barang modal," jelas Unggul.
Sebagai solusi dari permasalahan ini, pemerintah telah melakukan beberapa upaya. Salah satunya dengan membangun Sekolah Menengah Kejuruan dan institut-institut yang fokus pada pengembangan teknologi.
"Sekarang sudah belasan community college yang dibangun. Pemerintah juga akan membangun banyak politeknik serta membangun institut teknologi baru. Kemendikbud akan membangun dua institut teknologi baru di Sumatera dan Kalimantan," papar Rektor Institut Pertanian Bogor Ahmaloka dalam kesempatan yang sama.
Ahmaloka yang sore ini hadir menggantikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh ini menuturkan, dengan pembangunan ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat usia produktif dalam memperoleh pendidikan yang memadai dalam menghadapi persaingan global.
Sebagai gambaran, ia memaparkan, dibanding dengan negara lain partisipasi masyarakat Indonesia usia 18-24 tahun dalam pendidikan tinggi masih sangat rendah. "Jumlah mahasiswa Indonesia ada 6 juta. Kalau distatistikkan, angka partisipasi kasarnya baru 20%," kata Ahmaloka.
Artinya, dari setiap 100 orang penduduk Indonesia usia 18-24 tahun, hanya 20 orang yang bisa menikmati bangku kuliah. Angka ini sangat jauh bila dibandingkan dengan negara lain seperti Korea Selatan yang tingkat partisipasinya sudah 90%.
Ahmaloka melanjutkan, dengan adanya penambahan fasilitas-fasilitas pendidikan yang fokus pada bidang teknik khusus tersebut diharapkan bukan hanya partisipasi masyarakat terhadap pendidikan yang meningkat, tetapi dari sisi pengembangan SDM-nya juga semakin terarah.
"Harapannya, apa yang baik dan sudah tercapai saat ini dapat dilanjutkan apa yang belum baik dicarikan solusinya. Kesimpulannya, butuh satu usaha selain dari sisi kebijakan agar Indonesia memiliki daya saing yaitu dengan peningkatan riset dan inovasi. Dan inovasi teknologi tidak lepas dari sumber daya manusia yang berkualitas," paparnya.
Sumber :
http://finance.detik.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Related Posts
-
Kamar mandi / toilet biasanya dilengkapi dengan perlengkapan untuk buang air kecil maupun besar. Kamar mandi yang dilengkapi dengan urina...
-
Cerita di Balik Penutupan Pabrik Panasonic dan Toshiba Penutupan tiga pabrik Toshiba dan Panasonic di Indonesia membawa dampak pemutusa...
-
Hydrant SNI 03-1745-2000 Cara pemasangan sistem hidran untuk gedung menurut SNI 03-1745-2000 adalah sebagai berikut: Hidran terdiri d...
-
Laporan Tracer Study ITB Sarjana yang dirilis tahun 2023 memberikan gambaran menarik mengenai bonus tahunan yang diterima oleh alumni ITB. D...
-
Sebaiknya PPIC dibagi menjadi: PPIC Planner, bertugas untuk membuat perencanaan atau MPP (Master Production Plan) dan MRP (Material Req...
No comments:
Post a Comment