Wednesday, July 16, 2014

Hanya 2,23% Beralih dari Truk ke Kereta


Supply Chain Indonesia menilai peralihan pendistribusian logistik dari moda transportasi jalan ke kereta api jalur ganda sepanjang Pantura 2,23%.

Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi menyatakan jalur ganda sepanjang utara Jawa sebagian besar akan dimanfaatkan untuk pengiriman dari wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat ke Jawa Timur atau sebaliknya dengan perkiraan volume pengiriman barang antar wilayah tersebut pada tahun 2014 setara dengan 80.000 TEus per hari.

Pengoperasian jalur ganda, imbuhnya, juga akan meningkatkan kapasitas angkut dari 5.000 TEUs menjadi sekitar 17.500 TEUs per minggu atau terjadi kenaikan sekitar 12.500 TEUs per minggu.

Sejauh ini, imbuhnya, sekitar 80% pengiriman barang di Pulau Jawa masih didominasi oleh moda transportasi jalan. Dengan demikian, pengoperasian jalur ganda tersebut berpotensi memindahkan pengangkutan barang dari truk ke kereta api sekitar 2,23%,

"Sekarang masih 2,23%. Kalau frekuensinya bisa ditambah 2 kali lipat, itu sudah 5%," ujarnya, Senin (14/7/2014).


Sumber :
http://industri.bisnis.com

Sunday, July 6, 2014

Indonesia Develops Drone to Monitor Border Regions


A small green aircraft flew in the blue sky over the Halim Perdanakusuma airbase in East Jakarta on Thursday morning.

The unmanned aerial vehicle (UAV) features all the characteristics of a surveillance drone, except for its thunderous sound.

“The plane is designed to carry out surveillance. Given its noise levels, however, its targets would easily become aware of its position,” Research and Technology Minister Gusti M. Hatta said during the drone’s flight demonstration, which was also attended by Defense Minister Purnomo Yusgiantoro.

The drone was developed jointly by the Agency for the Assessment and Application of Technology (BPPT) and the research and development division at the Defense Ministry.

Purnomo said after the demo that a squadron of drones would soon join the Indonesian Air Force (TNI-AU), making Indonesia one of a few countries that develop UAVs.

The aircraft, according to the minister, would be placed in the country’s vast border regions.

Indonesia shares land borders with Papua New Guinea to the east, Malaysia and Brunei Darussalam on Borneo, and Timor Leste on Timor Island. Most illegal migrants enter the country along these borders.

As of August this year, some 7,370 migrants had illegally entered Indonesia via Nunukan in East Kalimantan, which directly borders Malaysia.

Aside from surveillance, the UAVs can also be equipped with military applications.

“These UAVs can be upgraded to fire missiles and to carry bombs,” Purnomo said.

Currently, the BPPT and the Defense Ministry’s research and development division have created around 12 UAV prototypes, which bear names including Sriti, Alap-Alap, Gagak, Pelatuk and Wulung.

Wulung, which was tested on Thursday, has a wingspan of about 6 meters, a height of 1.2 meters and a length of around 4 meters. The aircraft performed surprisingly well during the test flight.

Despite the country’s achievement with the UAVs, the BPPT’s engineering researcher, Adrian Zulkifli, admitted that Indonesia was still far behind other countries in terms of unmanned aircraft development.

A report by CNN stated that the US had only 11 drones in 2011 when it declared its War on Terror. However, it currently had around 7,500 drones that have been deployed in many of its military operations overseas, the report said.

The drones can fly as far as Afghanistan, Iran and Pakistan, despite being remotely operated by pilots from military bases in the US.

Meanwhile, their Indonesian counterpart, the Wulung, can currently only fly as far as 73 kilometers from its ground controllers.

“We are working on enabling our UAVs to travel up to 300 kilometers,” Adrian said, adding that the Wulung could fly up to four hours non-stop.

The Wulung and the other UAVs are operated by software originally made by the BPPT.

“We created the software to operate the UAVs,” Adrian said, adding, however, that the aircraft’s engines and cameras were imported from European countries.

“We are learning to produce the engines so that we will not be forever dependent on other nations. However, their quality may not initially be as good as those from countries with advanced experience in UAV production.”

With the planned inclusion of a squadron of UAVs in the Air Force, the Indonesian Army will be one step closer to achieving its minimum essential force in 2025. However, the government still has much to do to meet the goal.

Source :
http://m.thejakartapost.com

Ilmuwan Indonesia Kembangkan UAV Terbesar di Asia


Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ilmuwan Indonesia yang kini berkarya di Jepang, mengembangkan pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehicle/UAV) berbadan besar bernama Josaphat Laboratory Large Scale Experimental Unmanned Aerial Vehicle (JX-1).

"JX-1 sementara ini terbesar di Jepang, dan mungkin di Asia," ungkap Josaphat dalam wawancara lewat e-mail dengan Kompas.com, Sabtu (16/6/2012). 

JX-1 dibuat untuk melakukan pengujian perangkat gelombang mikro dan kamera untuk penginderaan jarak jauh yang selama ini juga dikembangkan di laboratorium miliknya, Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL), di Center for Environmental Remote Sensing, Chiba University, Jepang.

JX-1 dikembangkan sejak lima tahun lalu. Salah satu pertimbangannya adalah efektivitas biaya. Jika meminjam UAV untuk pengujian, prosedurnya cukup rumit dan memakan biaya besar.

"Misalnya pernah saya akan instal radar dan ditawari biaya senilai sama untuk membuat UAV berbadan besar lebih dari lima unit. Kalau punya UAV sendiri, bisa setiap saat menerbangkan sendiri dan tidak perlu khawatir untuk mengoperasikannya di daerah-daerah berbahaya," urai Josaphat.

Lebih besar, lebih mumpuni

JX-1 memiliki beberapa kelebihan dibanding pesawat tanpa awak lain di Jepang saat ini, utamanya dalam hal ukurannya. 

"Angkatan bersenjata Jepang pun hanya mempunyai UAV originalnya dengan rentang sayap terbesar adalah 3 m, sedangkan JX-1 adalah 6 m dan dapat ber-payload sensor-sensor sekitar lebih dari 30 kg," tambah Josaphat. 

Pesawat tanpa awak berbadan besar diperlukan untuk mengakomodasi perangkat dengan beragam frekuensi serta mendukung proyek Josaphat selanjutnya.

Josaphat menjelaskan, teknologi Synthetic Aperture Radar (SAR) di Jepang saat ini bekerja pada frekuensi L band dengan polarisasi linear. Sementara Josaphat sendiri mengembangkan SAR yang berbasis polarisasi sirkuler sebagai sensor SAR baru di dunia. 

Supaya dapat dibandingkan dengan sensor sebelumnya, Josaphat tetap mengembangkan pada frekuensi yang sama. Sementara L band memiliki panjang gelombang yang cukup panjang sehingga dibutuhkan antena berukuran lebih besar.

"Agar dapat mengakomodasi perangkat pada frekuensi rendah ini hingga tinggi (sekitar 50 GHz), maka UAV ini dirancang mempunyai ruang besar sejak awal," papar Josaphat.

JX-1 juga dipersiapkan untuk mendukung penelitian berikutnya. Saat ini sedang dipersiapkan radar yang akan bekerja pada frekuensi P, S, C, X, dan Ku band. Ruang yang besar dibutuhkan untuk mengakomodasi payload misi secara bersamaan. 

"Memang saat ini ada UAV kecil-kecil, tapi mempunyai keterbatasan fungsi dalam misi, termasuk flight endurance," kata Josaphat.

Selain soal ukuran, JX-1 memiliki kelebihan sebab dirancang tembus gelombang mikro dengan dielectric constant sekitar 1,5 atau material badan pesawat berkarakteristik mendekati udara. Dengan demikian, radar bisa disimpan di dalam badan pesawat sehingga lebih terlindungi dan pancaran gelombang dapat menembusnya.

Tulang punggung riset penginderaan jauh

JX-1 berhasil diterbangkan perdana pada 7 Juni 2012 lalu di Fujikawa Airfield. Setelah penerbangan perdana ini, JX-1 bakal siap mendukung beragam misi pengujian serta misi lanjutan berikutnya. 

Saat ini, laboratorium Josaphat tengah mengembangkan Circularly Polarized Synthetic Aperture Radar (CP-SAR) sebagai SAR aktif sensor, GPS-SAR sebagai SAR pasif sensor, GPS-Radio Occultation (RO), dan Linear Polarized Synthetic Aperture Radar (LP-SAR). 

JX-1 nantinya akan dimanfaatkan untuk menguji coba sensor tersebut. Setelah uji coba, sensor akan diaplikasikan pada mikrosatelit yang juga dikembangkan oleh Josaphat dan tim, bernama GAIA-I dan GAIA-II.

Josaphat menjelaskan, kedua mikrosatelit yang dikembangkan bertujuan untuk mengamati pergerakan kerak bumi sehingga membantu memprediksi gempa dan tsunami 3-5 hari sebelum kejadian. GAIA-I akan mengamati dalam resolusi lebih besar, sementara GAIA-II dalam citra yang lebih detail.

Di Jepang, teknologi yang dikembangkan Josaphat digadang mampu menjadi tulang punggung dalam riset penginderaan jauh. Nantinya, penginderaan jauh tak hanya mengandalkan radar dan satelit, tetapi juga didukung pesawat tanpa awak.

Saat ini, kata Josaphat, Malaysia dan Jepang sudah bekerja sama lewat program transfer teknologi untuk mengamati Semenanjung Malaysia. Josaphat berharap, Indonesia pun ke depan juga berminat mengaplikasikan teknologi yang dikembangkannya.

Sumber :
http://sains.kompas.com

Wednesday, July 2, 2014

Alokasi Varians Biaya Produksi

Oleh : C. Latuconsina, SE, MSc.

Sejalan dengan migrasi ke sistem Enterprise Resource Planning (ERP) yang baru, sebuah perusahaan yang sebelumnya menerapkan system informasi yang belum terintegrasi antara production site, Head Office dan Marketing memperoleh sejumlah keuntungan, termasuk integrasi data dari mulai supplier bahan baku, barang dalam proses produksi, tenaga kerja, customer sampai dengan informasi penjualan, serta percepatan waktu dalam proses pelaporan keuangan. Namun, terlepas dari kemampuannya meng-handle database dalam jumlah besar, ternyata ERP yang digunakan oleh perusahaan menyimpan sedikit masalah yang dapat mempengaruhi analisa dan keputusan manajemen.

Sistem standard costing yang digunakan oleh ERP yang baru, menghasilkan sejumlah varians biaya produksi yang dihasilkan dari proses produksi. Standard cost yang dihitung melalui estimasi biaya dan aktivitas produksi untuk setahun produksi, dan di input dalam database, akan dijadikan patokan dalam sejumlah proses dalam production line. Standard cost ini termasuk material rate, labor rate, factory overhead (FOH) rate dan burden (variable FOH) rate. Beberapa varians yang dihasilkan dari proses produksi antara lain adalah purchase price variance, material rate variance, material usage variance, price revaluation variance, labor rate variance, labor usage variance, burden rate variance, account payable usage variance, dan account payable rate variance, yang terakumulasi pada akhir periode pelaporan.

Masalah yang muncul pada laporan keuangan akhir periode adalah nilai persediaan di neraca disajikan dengan nilai standar, sedangkan semua variance akan timbul pada laporan laba rugi. Tiba saatnya bagi manajemen untuk mengukur efisiensi dari biaya produksi secara total, berapakah sebenarnya biaya yang dikeluarkan dan termasuk dalam persediaan hasil produksi, yang terjual dan yang masih tersimpan di gudang pabrik. ERP yang ada saat ini tidak mempunyai fasilitas untuk menghitung dan mengalokasikan varians keluaran dari proses produksi ke masing-masing unit persediaan secara otomatis, sehingga alokasi varians harus dilakukan secara manual. Beberapa perusahaan yang menggunakan ERP sejenis tampaknya tidak menaruh perhatian terhadap alokasi varians ini, padahal, sebagaimana akan terlihat pada bagian akhir tulisan ini, pengalokasian varians yang tepat sebenarnya dapat memberikan masukan bagi manajemen dalam menganalisa, mengevaluasi dan 



memperbaiki kinerja operasinya.

Sebagaimana lazimnya proses pabrikasi lainnya, dengan sedikit perbedaan, maka persediaan di PTEI juga akan terbagi menjadi beberapa unsur,yaitu raw material, packing material, work in process, half finished goods dan finished goods. Pembedaan terminologi work in process dan half finished goods hanya mencerminkan kondisi beberapa persediaan setengah jadi (half finished) yang bisa langsung dijual atau diproses lebih lanjut (work in process). Mengingat keinginan manajemen untuk mengidentifikasi besarnya biaya yang diserap oleh setiap unsur persediaan, sehingga proses estimasi  penentuan laba per unit dari setiap item dan biaya produksi dapat dilakukan, maka masalah alokasi atas akumulasi varians yang muncul ke masing-masing jenis persedian harus diperhitungkan. Yang menjadi tantangan adalah PTEI bergerak dalam industri farmasi dan menghasilkan lebih dari 30 jenis obat dan masing masing jenis membutuhkan beragam bahan baku sebagai input, berdasarkan formulasi yang beragam, sehingga pengalokasian setiap varians yang berasal dari pembelian bahan baku, pemakaian bahan baku, tenaga kerja dan biaya overhead pabrik menjadi sebuah proses yang tidak sederhana.

Setelah melalui pembahasan dan penghitungan yang detail, akhirnya dibuat rumusan untuk alokasi varians. Perhitungan alokasi varians belum dilakukan dengan metode activity based accounting, dengan alas an masih terdapat banyak aktivitas yang sulit ditelusuri cost drivernya. Namun dengan pendekatan serupa, serta dengan mempertimbangkan beberapa keterbatasan seperti sulitnya mengidentifikasi alokasi jumlah unit bahan baku yang digunakan untuk multi produk yang melewati beberapa proses di floor produksi, common cost yang muncul pada biaya tenaga kerja dan overhead yang tidak selalu terkait dengan jam kerja buruh dan mesin, atau penyimpangan yang terlalu jauh bila hanya menggunakan kuantitas sebagai dasar alokasi dan sebagainya, akhirnya diputuskan untuk mengalokasikan varians tersebut ke unit produksi dengan dasar alokasi pada table di bawah ini:

Jenis Varians    Dasar Alokasi ke unit produksi
Purchase price variance    Nilai Purchase Order (Issued PO)
Material rate variance    Nilai Work Order (Issued WO)
Material usage variance    Nilai Work Order (Issued WO)
Price revaluation variance    Biaya revaluasi aktual
Labor rate variance    Total biaya tenaga kerja
Labor usage variance    Jumlah jam kerja buruh
Burden rate variance    Jumlah jam kerja mesin
Account payable usage variance    Biaya aktual
Account payable rate variance    Biaya actual

Dalam menghitung alokasi ini, juga mempertimbangkan asumsi arus barang berdasarkan First In First Out (FIFO) yaitu asumsi bahwa barang pertama masuk ke dalam produksi merupakan barang yang pertama keluar sebagai output produksi. Dengan demikian varians yang melekat pada saldo awal persediaan finished goods, yang diperoleh melalui perhitungan saat migrasi sistem ke ERP dilakukan, bila ternyata pada akhir periode berdasarkan asumsi FIFO sudah tidak ada di persediaan akhir, maka seluruh varians dari saldo awal tersebut akan dibebankan ke Cost of Goods Sold (COGS) yaitu harga pokok penjualan. Sedangkan bila ternyata tidak semua persediaan finished goods yang ada di saldo awal bisa terjual, maka sebagian varians akan melekat di saldo akhir persediaan yang tidak terjual. Asumsi FIFO digunakan karena jauh lebih sederhana dibandingkan dengan metode Weighted Average (rata-rata tertimbang) yang menghitung rata-rata nilai persediaan setiap kali terdapat penambahan atau persediaan sepanjang proses produksi, dan mengikuti kemampuan ERP yang digunakan. 

Cara pengalokasian varians juga menggunakan cara yang paling sederhana yaitu secara proporsional dengan menggunakan dasar alokasi pada tabel di atas. Sehingga suatu proses produksi yang melewati beberapa tahap proses akan melalui alokasi varians secara proposional ke dari satu proses ke proses berikutnya. Pada dasarnya, karena akumulasi dari varians baru diketahui pada akhir periode, maka pengalokasian ke unit produksi langsung pada saat terjadi varians tidak dilakukan. Hal ini menyebabkan pengalokasian varians dilakukan secara proporsional hanya pada akhir periode ke masing-masing unit produksi yang terjual dan yang tertinggal di persediaan akhir, juga meninggalkan distorsi dari nilai persediaan aktual setelah alokasi dilakukan.

Dengan menggunakan metode ini ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh:
1.    Metode tidak terlalu rumit untuk diimplementasikan.
2.    Analisa dari biaya aktual setelah alokasi untuk setiap jenis unit produksi dapat dilakukan dengan lebih baik.
3.    Sebagai early warning sistem atas terjadinya proses produksi yang tidak baik.
4.    Kemampuan manajemen dalam melakukan rencana produksi yang lebih baik dengan mengurangi varians yang berlebihan akibat proses produksi yang tidak favorable.
5.    Memperbaiki secara periodik rate standard yang belum tepat sehingga selisih antara aktual dan standar tidak terlalu besar.
6.    Memperbaiki analisa atas Cost of Goods Manufactured dan Cost of Goods Sold.
7.    Masukan bagi strategi pemasaran untuk pricing strategy dan fokus atas segmen pasar yang menjadi target, berdasarkan perhitungan unit cost aktual.
8.    Menjadi pertimbangan oleh Top Management dalam melakukan profit planning.

Namun metode ini juga tidak terlepas dari beberapa kelemahan mendasar:
1.    Distorsi yang tidak bisa dihindari karena sistem ERP tidak melakukan alokasi langsung ke masing-masing unit produksi saat varians terjadi, dan terakumulasi hanya pada total varians di akhir periode.
2.    Sulitnya menentukan cut-off dari timing alokasi varians dilakukan, terutama untuk varians yang terjadi pada level work in process pada routing awal yang kemudian tersebar pada beberapa routing di proses produksi level berikutnya. Mengingat terdapat puluhan production line yang harus dilakukan berbagai alokasi varians, pertanyaan seperti kapan suatu varians harus ditambahkan dulu oleh varians yang lain sebelum dialokasikan kembali akan sulit dijawab karena tidak adanya penentuan cut-off tersebut.
3.    Simplifikasi alokasi varians yang menggunakan metode proporsional juga dapat menyebabkan distorsi dalam penilaian persediaan

Perusahaan yang menggunakan ERP dalam kegiatan operasinya sebaiknya mempertimbangkan hal-hal di atas, mengingat perbedaan perlakuan atas pentingnya alokasi varians antar perusahaan. Bila perusahaan Anda ternyata memiliki kepedulian tentang hal ini, ada baiknya sebelum Anda memilih implementasi ERP tertentu, Anda mempertimbangkan apakah ERP memiliki fasilitas yang memadai untuk melakukan alokasi varians, atau perusahaan Anda dengan keterbatasan dana yang ada, memiliki kompetensi yang cukup dan lebih cost efficient untuk mengembangkan ERP dalam mengantisipasi masalah varians tersebut.

Sumber :
Milis APICS-ID
S__._,_.___


Demand-Driven Supply Chains Are In Demand


Analysts and supply chain practitioners have been discussing the concepts of a demand-driven supply chain (DDSC) for a decade. We have been working with our customers across many different industries, to help them realize these concepts. What is fascinating and revealing is how the core concepts are manifested in different ways depending on industry characteristics.

A Basic Definition

First, let’s get to a common definition of DDSC. The original impetus for DDSC was to understand the impact of latency and aggregation as information propagates up the supply chain from the source of demand to the suppliers, i.e., the bullwhip effect. Given typical supply lead times, suppliers generally produce enough to meet the demand forecast, which is only marginally accurate at the granular level at which inventory decisions (SKU/week) are made. However, as soon as it is known that the actual demand differs from the forecast, the supply levels need to be adjusted accordingly at each step of the supply chain. But due to the lag time between when the demand changes and when it is detected at various points along the supply chain, its effect is often amplified, leading to inventory shortages or excesses.

Companies tend to overcompensate by slowing down or speeding up production, which can cause inventory levels to fluctuate. This whipsaw effect is costly and inefficient for all participants.

Several important supply chain concepts have emerged in order to mitigate the bullwhip effect. These concepts are collectively referred to as “demand driven supply chain” and can be organized in terms of “demand side” and supply side” initiatives.

Demand-side initiatives focus on better ways to capture the demand signal closer to the source, analyze the demand to sense the latest and most accurate demand signal, and shape the demand by executing and tracking promotional and pricing strategies to steer demand in line with business objectives.

Supply-side initiatives generally have to do with lessening reliance on the forecast, by becoming more agile with faster response, when actual demand is known.

All of these strategies are aspects of being demand-driven, but it is rare to see a company pursue all of them. In fact, we have come to understand that, depending on the characteristics of the market and industry, companies will emphasize different elements. In this article we will look at the consumer packaged goods (CPG) and high-technology industries to illustrate this point.

Source :
http://www.industryweek.com/supplier-relationships/demand-driven-supply-chains-are-demand

Related Posts