Saturday, December 7, 2013

Dari Keiretsu ke Pertumbuhan Ekonomi



by Imam Budiraharjo

Dalam dunia bisnis di Jepang, ada satu istilah yang disebut dengan keiretsu (系列) atau perkongsian dalam bahasa Indonesianya. Secara umum, keiretsu terbagi 2 yaitu keiretsu horizontal dan keiretsu vertikal.

Keiretsu horizontal biasanya terpusat pada sebuah bank atau perusahaan dagang (trading company), yang fungsinya adalah meminjamkan uang atau menanam saham di perusahaan – perusahaan anggota keiretsu tersebut. Bank atau trading company sendiri memiliki kontrol dan fungsi pengawasaan atas perusahaan yang didanainya tersebut. 

Contohnya adalah Mitsubishi. Sentral dari grup bisnis ini dulunya adalah Mitsubishi Bank (sekarang dikenal dengan Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ), dengan anggota grup diantaranya adalah Mitsubishi Corporation, Mitsubishi Chemical, Mitsubishi Heavy Industry, Mitsubishi Materials, dan lain – lain.

Adapun struktur keiretsu vertikal sering digambarkan dengan piramida, dengan posisi puncaknya diisi oleh perusahaan pembuat produk yang merupakan hasil akhir dari seluruh transaksi yang terjadi di dalam struktur tadi. Dalam keiretsu Toyota atau Honda misalnya, maka produk yang dimaksud adalah kendaraan bermotor.

Pemasok utama dalam sistem keiretsu ini biasanya merupakan spin-off dari perusahaan utama pada awalnya, yang kemudian membentuk sub pemasok lagi pada tingkat di bawahnya. Sistem ini pada akhirnya akan membentuk suatu jaringan rantai pasok (supply chain) yang canggih yang bersifat jangka panjang, dan biasanya akan saling mengisi ketika salah satu rantainya tidak berfungsi atau kolaps karena sesuatu hal. Kasus kebakaran di pabrik Aisin Seiki di Kariya, Aichi, pada tanggal 1 Februari 1997 membuktikan kekuatan sistem keiretsu Toyota.

Pabrik Aisin Seiki yang mengalami kebakaran tersebut memproduksi P-Valve (proportioning valve) minyak rem, yang berfungsi mengontrol tekanan pada sistem rem belakang. Karena Toyota menganut prinsip JIT (Just In Time) dalam sistem produksinya, maka stok P-Valve adalah minimal, hanya mampu menyuplai produksi selama 4 jam. 

Kejadian ini diperkirakan akan memaksa Toyota untuk melakukan stop produksi selama berminggu-minggu karena Aisin adalah pemasok dari 99% suku cadang tersebut. Ketika pabrik Aisin terbakar, manajemen Aisin langsung buat crisis center dan melaporkan segala sesuatunya ke Toyota. Ini juga semacam kewajiban buat Aisin, karena Toyota adalah pemilik 23% sahamnya. 

Begitu Toyota mendapat laporan, mereka langsung mengerahkan sekitar 400 orang insinyur untuk mem-back up Aisin. Setelah melakukan analisis perencanaan produksi dan kebutuhan logistik, mereka kemudian meminta pemasok utama untuk membuat P-Valve. Dan ternyata pelaksanaannya tidak mudah karena ada sekitar 200 tipe P-Valve dengan tingkat kerumitan desain yang tinggi. 

Hal ini menuntut banyak modifikasi pada tool, mesin, jig, gauge, cutter, dll. Mendengar informasi kesulitan ini, akhirnya suplier yang lain nimbrung tanpa diminta. Dan akhirnya Toyota dapat berproduksi kembali pada tanggal 5 Februari 1997, tepat 5 hari setelah kebakaran terjadi.

Yang sangat fenomenal dari gotong royongnya para supplier Toyota untuk membuat P-valve adalah bahwa mereka sama sekali belum pernah membuat komponen tersebut. Berdasarkan drawing yang didapat baik dari pihak Aisin maupun Toyota, mereka membuat sendiri tooling maupun jig untuk produksi barang tersebut. 

Hebatnya lagi, setelah recovery suplai komponen itu sudah berjalan lancar, para “pemasok darurat” tersebut tidak meminta kepada Aisin maupun Toyota untuk melakukan kompensasi atas jam lembur, upaya engineering maupun alokasi sumber daya yang sudah dikerahkan untuk memproduksi barang yang bukan spesialisasinya itu. Tapi Toyota dan Aisin memutuskan memberikan apreasiasi atas mereka, yang totalnya mencapai sekitar $100 juta.

Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa bisa demikian? Laporan Wall Street Journal di awal Mei 1997 tentang recovery pasokan logistik Toyota akibat kebakaran Aisin menampilkan komentar beberapa pemasok Toyota. Keseluruhan komentar menyimpulkan satu hal bahwa mereka tidak memikirkan soal kompensasi dan kontrak (purchasing agreement), karena kondisinya darurat. 

Keterikatan inilah yang jadi kunci kekuatan keiretsu Toyota, hasil dari sebuah proses panjang hubungan customer-supplier yang dibina selama puluhan tahun. Hal ini berhasil karena memang ada role model-nya, yaitu Toyota itu sendiri, dengan sistem produksinya yang efisien.

Kejadian ini sangat menarik seluruh kalangan akademisi maupun praktisi manajemen, khususnya manajemen logistik, sehingga analisis kekuatan sistem keiretsu saat peristiwa Aisin ini bahkan sampai masuk ke jurnal manajemen sekolah bisnis MIT, Sloan Management Review.

Fenomena keiretsu Toyota ini menarik untuk dikaji karena ritme arus logistik di-drive oleh satu konsep produksi yang disebut JIT (Just In Time). Secara mudahnya, JIT dipahami sebagai memproses barang yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam jumlah yang tepat (the right material, at the right time, and in the exact amount)

Konsep ini secara ideal akan memangkas habis-habisan stok atau inventory pada level yang sangat minim sehingga masalah yang timbul akibat stok berlebih dapat diketahui dan dikontrol dengan baik. Kelebihan stok sering diibaratkan sebagai level air pada suatu danau atau laut. 

Bila level airnya tinggi, maka batu maupun rongsokan yang mengendap tidak terlihat sehingga  bisa menyebabkan perahu kandas karena menabraknya. Sebaliknya, dengan semakin rendah level air maka yang tersembunyi di dalam air akan menyembul sedikit demi sedikit sehingga dapat diambil antisipasi untuk melewati hambatan tadi. Pada prinsipnya, stok tidak dianggap sebagai sebagai aset, sehingga menyimpan stok yang tidak sesuai dengan tarikan produksi sama saja dengan pemborosan (muda atau waste).

JIT sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari implementasi sistem tarik (pull system), dimana lini akhir perakitan akan menarik komponen – komponen dari lini produksi sebelumnya. Dalam sistem ini, jumlah produksi ditentukan oleh tingkat permintaan pasar atau konsumen (market driven)

Dari analisis pemasaran, selera konsumen sendiri sudah mengalami pergeseran hingga pada tingkat dimana mereka menghendaki banyak variasi pada suatu produk. Kondisi ini akan memaksa produsen membuat barang dalam satuan produksi (lot) yang kecil untuk mengakomodasi berbagai varian di dalamnya. Akibatnya, pasokan komponen tidak dilakukan dalam jumlah besar (large batch), tapi dalam lot yang kecil dengan frekuensi pengiriman yang sering dan tepat waktu.

Dalam kasus Toyota, maka sebagai konsekuensi kondisi di atas, para pemasok secara alami mengumpul di sekitar pabrik Toyota. Hal ini juga merupakan konsekuensi logis untuk mengurangi biaya transportasi ke lokasi tujuan. Pola jaringan logistik ini akhirnya berkembang lebih jauh ke suatu hubungan patron klien, dimana patron yang dalam hal ini adalah Toyota, akan membantu klien yang dalam ini pemasok, untuk mencapai irama produksi yang sinkron dengan sistem JIT. 

Proses sinkronisasi tadi tidak hanya mencakup segi hardware seperti masalah optimalisasi utilitas produksi, tapi juga secara software seperti sistem produksi maupun pengembangan SDM. Jaringan pemasok Toyota sangat akrab dengan istilah TPS Jishuken.

Terkonsentrasinya para pemasok Toyota di daerah Chubu, khususnya perfektur Aichi, akhirnya membentuk suatu kluster industri yang terintegrasi dari hulu (pasokan material) sampai hilir (manufaktur). 

Kinerja Toyota sebagai fabrikan otomotif global yang meningkat secara konsisten memberikan pengaruh positif pada sistem keiretsu yang telah dibangunnya, sehingga menyebabkan daerah ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil & konsisten dibandingkan daerah yang lainnya di Jepang. Hal ini sejalan dengan prinsip yang disebut co-existence & co-prosperity (共存共栄), suatu jargon kebersamaan yang banyak disebut keiretsu Jepang.

Bukan hanya arus barang dan jasa yang terjadi di antara perusahaan, tapi terbentuk pula pola kemitraan strategis antara industri dan lembaga pendidikan, yang sering disebut dengan San-gaku (産学).Format relasi ini boleh dibilang seperti feed-back loop yang bersifat mutualisme, dimana lembaga pendidikan akan memasok kebutuhan tenaga kerja ke pihak industri, sementara itu industri dapat meminta coaching teknologi ke pihak lembaga pendidikan.

Dengan hubungan seperti di atas, maka pengaruh ekonomis pertama tentu akan ke daerah dimana kluster industrinya sudah terbentuk. Akan tetapi, pengaruh ini secara perlahan dipastikan akan berkembang secara nasional, karena daya tampung dan daya dukung kluster di daerah tersebut tentunya akan menemui titik jenuh ketika stabilitas arus barang dan jasa sudah tercapai untuk target produksi tertentu. 

Hal ini terbukti dengan Toyota membangun pabrik baru di Kyushu untuk lini produksi Lexus, yang merupakan pabrik terbaik di dunia versi riset JD Powers. Lokasi yang baru untuk lini produksi tertentu sudah tentu akan menyeret para pemasok untuk mengikutinya. Keadaan ini secara otomatis akan menciptakan kluster industri yang baru di daerah lain, yang akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi di tempat tersebut. Untuk contoh kecil di Indonesia, mungkin kita bisa melihat perkembangan daerah dimana beberapa kawasan industri berlokasi. Misalnya, daerah Karawang, Purwakarta, atau Cikampek.

Dari paparan sejak awal, dapat ditarik kesimpulan bahwa pola keiretsu vertikal dengan manajemen rantai pasoknya ternyata berimbas sangat besar pada pertumbuhan ekonomi , baik daerah maupun nasional. Sebagai gambarannya, analis ekonomi memperkirakan bahwa bila Toyota berhenti beroperasi 1 hari saja, maka pertumbuhan ekonomi Jepang akan melambat 0.1%.

Merujuk kasus di Jepang itu, akhirnya secara mudahnya dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dari sektor industri manufaktur dapat diilustrasikan dalam diagram alir sederhana di bawah ini:

Sistem tarik (pull system) –> Just in Time (JIT) –> Eliminasi muda (waste), mura (unbalance), muri (overload) –> Sistem produksi efisien –> Profit perusahaan –> Pertumbuhan ekonomi daerah –> Pertumbuhan ekonomi nasional.

Seperti ditunjukkan di atas, kunci untuk mewujudkan sistem produksi yang efisien adalah mengeliminasi muda, mura, dan muri. Dan sudah jamak diketahui bahwa langkah awal untuk meminimalisasi atau menghilangkan 3 hal tersebut adalah 5S (seiri, seiton, seiso, seiketsu, shitsuke). 

Kiichiro Toyoda yang merupakan pendiri dan bos pertama Toyota Motor Corp memberikan mantera yang terus dibaca sampai saat ini: “We are working on making better products by making improvements every day”. Dan Anda harus percaya bahwa kunci dari semua kehebatan Toyota itu dimulai dari aktivitas 5S yang tanpa henti.

Dalam konteks bangsa kita, mungkin permasalahan terbesarnya adalah bagaimana membudayakan 5S tersebut!

Catatan: 5S diterjemahkan sebagai 5R dalam bahasa Indonesia, yaitu Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin.

Sumber : 
milis APICS ID
http://imambudiraharjo.wordpress.com

Related Posts